Kamis, 25 Oktober 2012

Malam Nuzulul Quran

Al-Quran turun pada malam Lailatul Qadr bukan Malam ‘Nuzulul Quran’ 17 Ramadhan



Ketika memasuki malam yang ke 17 di bulan Ramadhan sebagian kaum muslimin dan masjid-masjid mulai diadakan peringatan turunnya al-Quran pertama kali yang disebut malam peringatan Nuzulul Quran. Hal ini juga ‘terkesan’ dikuatkan dengan catatan kaki dalam “al-Quran dan Terjemahnya” surat adh-Dhukhan ayat 3.

إِنَّآ أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ

Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi[1369] dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.
[1369] malam yang diberkahi ialah malam Al Quran pertama kali diturunkan. di Indonesia umumnya dianggap jatuh pada tanggal 17 Ramadhan.
Keyakinan ini bertentangan dengan firman Allah subhanahu wa ta’alaa dalam surat al-Qadr ayat pertama:

إِ نَّآ أَنْزَلْنَهُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ


“Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan[1593].”
[1593] Malam kemuliaan dikenal dalam bahasa Indonesia dengan malam Lailatul Qadr yaitu suatu malam yang penuh kemuliaan, kebesaran, Karena pada malam itu permulaan Turunnya Al Quran.
Ayat diatas dengan jelas bahwa al-Quran diturunkan pada malam kemulian (Lailatul Qadar) dan juga Terlihat jelas bahwa catatan kaki untuk ayat di atas dalam “al-Quran dan Terjemahnya” juga menjelaskan bahwa malam permulaan turunnya al-Quran adalah pada malam tersebut. Sekarang yang menjadi pertanyaan, kapan terjadinya malam Lailatul Qadar, malam dimana al-Quran itu turun ? apakah benar pada 17 Ramadhan seperti yang selama ini oleh sebagian kaum muslimin Indonesia mempertingatinya ?

Nabi shallahu’alaihi wa sallam pernah mengabarkan kepada kita tentang kapan akan datangnya malam Lailatul Qadar. Beliau pernah bersabda:
“Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan” (Hadits Riwayat Bukhari 4/225 dan Muslim 1169)
Beliau shallahu’alaihi wa sallam juga bersabda:
“Berusahalah untuk mencarinya pada sepuluh hari terakhir, apabila kalian lemah atau kurang fit, maka jangan sampai engkau lengah pada tujuh hari terakhir” (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Dengan demikian telah jelas bahwa lailatul qadar terjadi pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan yaitu pada malam-malam ganjilnya 21, 23, 25, 27 atau 29. Maka gugurlah keyakinan sebagian kaum muslimin yang menyatakan bahwa turunya al-Quran pertama kali pada tanggal 17 Ramadhan.
Jika ada yang berargumen, “Tanggal 17 Ramadhan yang dimaksud adalah turunnya al-Quran ayat pertama ke dunia kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yaitu surat al-‘Alaq  ayat 1-5, sedangkan Lailatul qadar pada surat al-Qadar adalah turunnya al-Quran seluruhnya dari lauhul mahfudz ke Baitul Izzah di langit dunia !!?”.
Maka jawabnya: Benar, bahwa turunnya al-Quran yaitu pada Lailatul qadar seperti yang tertuang dalam surat al-Qadar adalah turunnya al-Quran dari Lauhul Mahfudz ke Baitul Izzah di langit dunia, dan setelah itu al-Quran diturunkan secara bertahap selama 23 tahun. Seperti perkataan Ibnu Abbas radliyallahu’anhu dan yang lainnya ketika menafsirkan QS. Ad-Dukhon ayat 3:
“Allah menurunkan al-Quran sekaligus daru Lauh Mahfudz ke baitul izzah (rumah kemuliaan) di langit dunia kemudian Allah menurunkannya secara berangsur-angsur sesuai dengan berbagai peristiwa selama 23 tahun kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.” (Tafsir Ibnu Katsir 8/441)
Tetapi apakah ini menjadikan bahwa benar nya pendapat bahwa turunnya ayat pertama (QS. Al-‘Alaq: 1-5) kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam adalah 17 Ramadhan ?? mari kita simak pembahasan dibawah ini.
Pendapat bagus syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarokfury di Kitab Sirohnya tentang kapan awal permulaan wahyu
Dalam kitab siroh beliau, beliau menjelaskan bahwa memang ada perbedaan pendapat diantara pakar sejarah tentang kapan awal mula turunnya wahyu, yaitu turunnya surat Al-Alaq: 1-5. Beliau menguatkan pendapat yang menyatakan pada tanggal 21. Beliau mengatakan:
“Kami menguatkan pendapat yang menyatakan pada tanggal 21, sekalipun kami tidak melihat orang yang menguatkan pendapat ini. Sebab semua pakar biografi atau setidak-tidaknya mayoritas di antara mereka sepakat bahwa beliau diangkat menjadi Rasul pada ahari senin, hal ini diperkuat oleh riwayat para imam hadits, dari Abu Qotadah radliyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa hari senin. Maka beliau menjawab,
“Pada hari inilah aku dilahirkan dan pada hari ini pula turun wahyu (yang pertama) kepadaku.”
Dalam lafdz lain disebutkan, “Itulah hari aku dilahirkan dan pada hari itu pula aku diutus sebagai rasul atau turun wahyu kepadaku”
Lihat shahih Muslim 1/368; Ahmad 5/299, Al-Baihaqi 4/286-300, Al-Hakim 2/602.
Hari senin dari bulan Ramadhan pada tahun itu adalah jatuh pada tanggal 7, 14, 21, dan 28. Beberapa riwayat yang shahih telah menunjukkan bahwa Lailatul Qodar tidak jatuh kecuali pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Jadi jika kami membandingkan antara firman Allah, “Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada Lailatul Qodar”, dengan riwayat Abu Qotadah, bahwa diutusnya beliau sebagai rasul jatuh pada hari senin, serta berdasarkan penelitian ilmiah tentang jatuhnya hari senin dari bulan Ramadhan pada tahun itu, maka jelaslah bagi kami bahwa diutusnya beliau sebagai rasul jatuh pada malam tanggal 21 dari Bulan Ramadhan. (Lihat Kitab Siroh Nabawiyyah oleh Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarokfury Bab Di Bawah Naungan Nubuwah, hal. 58 pustaka al-Kautsar)
Maka jelaslah bahwa pendapat kapan al-Quran turun, baik al-Quran turun dari Baitul Izzah ke langit dunia atau dari langit dunia ke Rasulullah keduanya  saling melengkapi, dan bukan terjadi di 17 Ramadhan. Wallahu’alam.
Yang bisa dipetik dari pembahasan di atas
  1. Al-Quran diturunkan pada malam lailatul qadar bukan pada malam yang dikenal dengan malam ‘Nuzulul Quran’ yang bertepatan pada tanggal 17 Ramadhan.
  2. Lebih khusus lagi bahwa turunnya wahyu kepada Rasulullah shalallallahu’alaihi wa sallam yang pertama adalah 21 Ramadhan, seperti pendapat syaikh Shafiyyurahman.
  3. Peringatan Nuzulul Quran 17 Ramadhan dengan dzikir tertentu dan bentuk pengajian khusus adalah bentuk peringatan yang tidak pernah ada landasannya dari al-Quran dan Hadist Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam, sehingga termasuk dalam perkara bid’ah.
  4. Lailatul qadar terjadi pada sepuluh malam terakhir yang ganjil dibulan Ramadhan.
  5. Peringatan lailatul qadar pada malam 27 Ramadhan (atau malam ganjil lainnya) dengan suatu pengajian khusus juga merupakan bid’ah karena Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam tidak pernah memperingatinya melainkan beliau shallahu’alahi wa sallam menghidupkan malam tersebut dengan qiyamul lail dan memperbanyak doa.
  6. Himbauan kepada para penanggung jawab “al-Quran dan Terjemahnya” agar meluruskan catatan kaki atau takwil-takwil dari ayat suci al-Quran yang hanya merupakan anggapan-anggapan yang tidak berdalil atau bahkan tafsiran/takwil yang bathil.

Big Bang dalam Al quran



Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أولم يري الذين كفروا أن السموات والأرض كانتا رتقا ففتقناهما
Artinya: “Tidakkah orang-orang kafir memperhatikan bahwa langit dan bumi dahulu adalah satu kesatuan kemudian Kami pisahkan keduanya..”(Qs Al Anbiya: 30)
- Dalam kitab ‘Lisanul Arab’ Ibnu Manzur berkata:
رتقا: الرتق ضد الفتق (Rataq / menyatu) adalah anonim dari fataq (berpisah)

Pemahaman para Ahli Tafsir:
Imam Razi dalam tafsirnya mengatakan tentang firman Allah yang berbunyi:
أولم يري الذين كفروا أن السموات والأرض كانتا رتقا ففتقناهما
Para Ahli tafsir berbeda pendapat tentang maksud dari ‘Rotaq‘ dan ‘Fataq‘ pada beberapa pandangan:
Peristiwa The Big Bang (Ledakan Besar Alam)Pertama: Perkataan Al Hasan, Qotadah, Said bin Jubair, dari riwayat Ikrimah dari Ibnu Abbas radiyallahu anhu bahwa maknanya adalah bahwasanya langit dan bumi dahulunya adalah satu dan saling melekat satu sama lain. Lalu Allah memisahkan keduanya dan mengangkat langit sebagaimana yang kita lihat sekarang. Sementara bumi tetap pada keadaannya semula. Pendapat ini seolah menyiratkan bahwa penciptaan bumi lebih dahulu dilakukan daripada penciptaan langit. Ini karena Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika memisahkan keduanya, membiarkan bumi tidak berubah posisi dan meninggikan bagian-bagian langit.
Ka’ab berkata: “Allah menciptakan langit dan bumi dengan keadaan melekat kemudian menciptakan angin yang menjadi peniup posisi keduanya, lalu terpisahlah keduanya.”

Kedua: Pendapat Abu Shalih dan Mujahid, bahwa makna ayat di atas adalaha bahwa langit-langit itu tinggi, makanya dijadikan ia tujuh lapis. Demikian pula halnya dengan bumi.


Ketiga: Pendapat Ibnu Abbas, Al Hasan dan mayoritas ahli tafsir bahwa langit dan bumi dahulunya menyatu dengan kuat. Lalu Allah pisahkan langit dengan hujan dan bumi dengan tumbuh-tumbuhan dan pohon. Pendapat ini menguatkan dengan dalil:
والسماء ذات الرجع والأرض ذات الصدع (QS Ath Thariq:11-12)
Mereka mentarjih (menguatkan) pendapat ini dari pendapat pertama dengan dalil:
وجعلنا من الماء كل شيء حي

Keempat: Pendapat Abu Muslim Asfahani: Boleh-boleh saja makna ‘Fataq‘ itu adalah meng-adakan dan menampakkan, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فاطر السموت والأرض
قال بل ربكم رب السموت والأرض الذي فطرهن

Dalam ayat di atas disebutkan ‘meng-adakan‘ dengan lafaz ‘fataq‘. Dan keadaan sebelum ijad (meng-adakan) dengan lafaz ‘rotaq‘.
Imam Razi mengatakan: Sebenarnya yang nama tidak ada itu dinafikan. Sehingga ia tidak memiliki zat yang istimewa dan jenis-jenis yang bertolak belakang. Bahkan seolah-olah ia adalah hal yang satu dan serupa. Maka apabila hakikatnya ada, maka ketika wujud dan terbentuk bagian yang satu akan memiliki keistimewaan dari yang lain dan terpisah antara yang satu dengan yang lain. Dengan pandangan seperti inilah pantas mengartikan ‘rotaq‘ sebagai majaz dari sesuatu yang tidak ada dan ‘fataq‘ dari sesuatu yang ada.
Imam Thabari mengatakan ketika mentafsirkan ayat ini, katanya:
Yakni Kami naikkan keduanya dan Kami renggangkan keduanya.

Kemudian ahli ta’wil berbeda pendapat tentang makna ‘penyifatan Allah mengenai langit dan bumi’ dengan lafaz ‘rotaq‘. Bagaimana ‘rataq‘ dan apa pula makna ‘fataq‘?
Sebagian mereka mengatakan: Maksudnya adalah bahwa langit dan bumi dahulunya saling menempel, lalu Allah pisahkan keduanya dengan udara. Ini adalah ucapan Ibnu Abbas, Al Hasan dan Qotadah.

Yang paling berpendapat: Maknanya adalah bahwa langit dahulunya itu tidak menurunkan hujan. Demikian pula bumi tidak menumbuhkan apa-apa. Lalu langit dipisahkan dengan hujan dan bumi dengan tumbuh-tumbuhan. Ini riwayat dari Ikrimah, Athiyyah dan Ibnu Zaid.

Abu Ja’far Ath Thabari berkata: Pendapat yang terkuat dari sekian pendapat di atas adalah pendapat yang mengatakan bahwa arti ayat di atas adalah Tidakkah orang-orang kafir memperhatikan bahwa langit dan bumi dahulunya menyatu dari kombinasi hujan dan tumbuh-tumbuhan, lalu Kami pisahkan langit dengan air hujan dan bumi dengan tumbuh-tumbuhan. Alasan kami ini kami katakan melihat dalil yang menguatkannya yakni firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbunyi: وجعلنا من الماء كل شيء حي (Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu itu hidup) Qs Al Anbiya: 30.
Qurthubi juga mentarjih pendapat ini dalam tafsirnya.

Wallahu a’lam bish shawab

Tanda-Tanda Malam Lailatul Qodar


Lailatul Qadar atau Lailat Al-Qadar adalah satu malam yang penting yang terjadi pada bulan ramadhan. Al-Qur’an menyebut malam ini sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Inilah satu malam yang sangat sakral, dimana kitab suci Al-Qur’an diturunkan malam ini sebagai pedoman hidup ummat manusia.

Syaikh Salim Bin Ied Al Hilaly dan Syaikh Ali Bin Hasan Bin Ali Bin Abdul Hamid dalam laman Suara Al Qur'an menyebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan bahwa malam lailatul qadar terjadi pada malam antara tanggal 21, 23, 25, 27, 29 dan akhir malam bulan Ramadhan. Pendapat-pendapat yang ada berbeda-beda. Imam Al Iraqi dalam risalahnya 'Syarh Shadr bidzkri Lailatul Qadar', membawakan perkatan para ulama;

Imam Syafi’i berkata, “Menurut pemahamanku, wallahu a’lam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab sesuai yang ditanyakan, ketika ditanyakan kepada beliau,Apakah kami mencarinya di malam hari?”, beliau menjawab, “Carilah di malam tersebut.”. (Sebagaimana dinukil al Baghawi dalam Syarhus Sunnah 6/388).

Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadr itu pada malam terakhir bulan Ramadhan, berdasarkan hadits ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan beliau bersabda, (yang artinya) “Carilah malam Lailatur Qadar di (malam ganjil) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai luput dari tujuh hari terakhir, karena riwayat Ibnu Umar (dia berkata): Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya.” (HR Bukhari 4/221 dan Muslim 1165).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  juga menggambarkan tanda-tanda datangnya malam mulia ini sebagai berikut:

1. Udara dan suasana pagi yang tenang. Ibnu Abbas radliyallahu’anhu berkata: Rasulullah SAW bersabda : “Lailatul qadar adalah malam tentram dan tenang, tidak terlalu panas dan tidak pula terlalu dingin, esok paginya sang surya terbit dengan sinar lemah berwarna merah.”

2. Esok harinya cahaya matahari agak meredup, bersinar cerah tapi tidak kuat. Ubay bin Ka’ab radliyallahu’anhu berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda : “Keesokan hari malam lailatul qadar matahari terbit hingga tinggi tanpa sinar seperti nampan.”

3. Bulan nampak separuh bulatan. Abu Hurairoh ra pernah berkata bahwa mereka pernah berdiskusi tentang lailatul qadar disamping Rasulullah SAW lalu beliau bersabda; “Siapakah dari kalian yang masih ingat tatkala bulan muncul, yang berukuran separuh nampan.”

4. Sewaktu malam tampak terang, tidak dingin, tidak berawan, tidak hujan, tidak panas, tidak ada angin kencang, dedaunan tampak tidak bergerak dan tidak ada aktivitas meteor yang jatuh digalaksi. Rasulullah SAW bersabda: “Lailatul qadar adalah malam yang terang, tidak panas, tidak dingin, tidak ada awan, tidak hujan, tidak ada angin kencang dan tidak ada yang dilempar pada malam itu dengan bintang (lemparan meteor bagi setan)” (HR. at-Thobroni dalam al-Mu’jam al-Kabir 22/59 dengan sanad hasan), sebagaimana hadits dari Watsilah bin al-Asqo’.

5
. Terbawa kedalam mimpi. Beberapa sahabat Rasulullah SAW mengalami mimpi berjumpa dengan malam lailatul qadar.

6. Orang yang beribadah pada malam tersebut merasakan lezatnya ibadah, ketenangan hati dan kenikmatan bermunajat kepada Allah, tidak seperti malam-malam lainnya.

Tanda - Tanda Datangnya Malam Lailatul Qodr
Arti Malam Lailatul Qadar

Menurut Quraish Shihab, kata Qadar sesuai dengan penggunaannya dalam ayat-ayat Al Qur'an dapat memiliki tiga arti yakni :

1. Penetapan dan pengaturan sehingga Lailat Al-Qadar dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Penggunaan Qadar sebagai ketetapan dapat dijumpai pada surat Ad Dukhan ayat 3-5 : Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada suatu malam, dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan semua urusan yang penuh hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami

2. Kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran. Penggunaan Qadar yang merujuk pada kemuliaan dapat dijumpai pada surat Al-An'am (6): 91 yang berbicara tentang kaum musyrik: Mereka itu tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada masyarakat

3. Sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surat Al-Qadr. Penggunaan Qadar untuk melambangkan kesempitan dapat dijumpai pada surat Ar-Ra'd ayat 26: Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya).

teks bacaan hari raya ied

Teks Bacaan Lirik Takbiran

Takbiran

Teks Bacaan Lirik Takbiran

Malam Idhul Fitri dan Malam Idhul Adha adalah waktunya Takbiran.
Dan inilah  teks bacaan atau lafadz  takbir malam lebaran; Idul fitri-Idul adha. Lengkap dengan teks arab-latin-arti. Tersedia juga teks takbir versi panjang (sempurna).

Bacaan Takbiran
a. Takbir umumnya:

الله اكبر- الله اكبر- الله اكبر لااله الاالله والله اكبرالله اكبر ولله الحمد
                                                                                                                                          
Allahu akbar.. Allahu akbar.. Allahu akbar.....
Laa - ilaaha - illallaahu wallaahu akbar.
Allaahu akbar walillaahil - hamd.

Artinya :
Allah maha besar (3X)
Tiada Tuhan selain Allah
Allah maha besar
Allah maha besar dan segala puji bagi Allah.

b. Baca'an yang sempurna:


َاللهُ اكبَر كَبيْرًا والحَمدُ للهِ كثِيرًا وَسُبحَانَ اللهِ بُكرَةً واَصِيلا, لااله اِلااللهُ ولانعْبدُ الاإيّاه, مُخلِصِينَ لَه الدّ يْن, وَلَو كَرِهَ الكَا فِرُون, وَلَو كرِهَ المُنَافِقوْن, وَلَوكرِهَ المُشْرِكوْن, لاالهَ اِلا اللهَ وَحدَه, صَدَق ُوَعْدَه, وَنَصَرَ عبْدَه, وَأعَزّجُندَهُ وَهَزَمَ الاحْزَابَ وَاحْدَه, لاالهَ اِلاالله وَاللهُ اَكبر, اللهُ اكبَرُ وَِللهِ الحَمْد
Allaahu akbar kabiiraa walhamdulillaahi katsiiraa,...
wasubhaanallaahi bukrataw - wa ashillaa.
Laa - ilaaha illallallahu walaa na'budu illaa iyyaahu mukhlishiina lahuddiin walau karihal - kaafiruun, walau karihal munafiqun, walau karihal musyrikun. Laa - ilaaha - illallaahu wahdah, shadaqa wa'dah, wanashara 'abdah, - wa - a'azza - jundah, wahazamal - ahzaaba wahdah. Laa - ilaaha illallaahu wallaahu akbar. Allaahu akbar walillaahil - hamd.

Artinya:
Allah maha besar dengan segala kebesaran,
Segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya,
Dan maha suci Allah sepanjang pagi dan sore.
Tiada Tuhan selain Allah dan kami tidak menyembah selain kepada-Nya dengan memurnikan agama Islam meskipun orang kafir, munafiq dan musyrik membencinya.
Tiada Tuhan selain Allah dengan ke Esaan-Nya. Dia menepati janji, menolong hamba dan memuliakan bala tentara-Nya serta melarikan musuh dengan ke Esaan-Nya.
Tiada Tuhan selain Allah, Allah maha besar. Allah maha besar dan segala puji bagi Allah

Jumat, 24 Agustus 2012

ART PROPAGANDA


PROPAGANDA



Propaganda adalah cara cuci otak pemerintah persis seperti Hitler dgn ganyang Yahudinya pemerintah kita mempergunakan Propaganda sebagai cuci otak Komunal. dulu kita mengenal" ganyang Malaysia" kemudian " ganyang PKI" sekarang "ganyang PRD" Propaganda ini sangat berbahaya. Bukan saja menyesatkan tapi bisa membakar emosi orang terhadap dan menimbulkan sikap brutal terhadap orang yg sudah diberi cap " ganyang".
Banyak orang yang melupakan sejarah, Bahwa PKI itu dulu adalah partai yang sah. Tetapi berkat program brain wash pemerintah yg bernama pelajaran PMP dan penataran P4, maka PKI tak ubahnya seperti hantu yang menakutkan. Maka coba lihat betapa image terhadap PKI sudah sedemikian jeleknya sampai anak dan cucu PKI sendiri masih diaanggap berbahaya oleh masyarakat. Kini giliran PRD pun tiba.Pemerintah dgn susah payah mencoba menghipnotis masyarakat bahwa PRD itu adalah PKI.Padahal perjuangan PRD itu sebenarnya perjuangan yang mewakili tuntutan perubahan kita semua.Dan kebanyakan dari mereka bukan generasi yang lahir pada saat PKI berkuasa. Suatu saat nanti mungkin semua orang yang ingin bekerja harus melampirkan surat bebas PRD agar bisa bekerja.

Propaganda Jerman dgn " Heil Hitler" nya di terjemahkan oleh pemerintah dgn gaya yg lain." Suharto Bapak Pembangunan". atau " "Suharto penyambung Lidah rakyat". Propaganda sangat membodohkan kita semua. Satu Satunya cara untuk melumpuhkan Propaganda adalah dengan Counter Attack. Cipatakan Counter Propaganda baru seperti" Down with Golkar" atau"Lengserkan Orde Baru" atau yang lebih radikal " Ganyang Suharto"
Apakah label komunisme yang dipakai pemerintah untuk menyapu bersih gerakan prodemokrasi masih cukup efektif?

* Sederhana saja, kalau kita belajar dari sejarah dan pelajari teori-teori komunikasi dan propaganda, ada satu diktum yang menyatakan bahwa informasi atau indoktrinasi yang terus-menerus dijejalkan tanpa didukung oleh bukti empirik; lama kelamaan akan
membuat orang yang menerima menjadi mual dan muntah. Nah, demikian halnya dengan 'hantu komunisme' yang dipakai pemerintah saat ini. Masyarakat awam sudah kebal dan tidak percaya lagi, apalagi kalangan aktivis pro-demokrasi. Lagipula 'teror' itu  saya gunakan istilah ini karena lebih tepat terbukti lebih banyak digunakan untuk membungkam suara-suara kritis dan mengalihkan perhatian dari masalah sosial yang ada. Kalaupun kemudian masyarakat takut akan pelabelan atau stigmatisasi komunis itu lebih karena kekhawatiran mereka akan implikasi tindakan represi dari pemerintah.

Anda percaya kekuatan pro-demokrasi akan kembali bangkit di masa rezim Soeharto ini?
* Tentu saja kekuatan prodemokrasi kembali akan bangkit. Selama ada ketidakadilan, penyimpangan sosial, dan penyalahgunaan kekuasaan; resultantenya selalu muncul aktor-aktor yang menuntut dan menginginkan reformasi dan demokratisasi. Semangat semacam itu tidak bisa ditindas dengan kekerasan fisik. Apalagi pergerakan selama ini, meskipun belum menunjukkan kinerja dan kualitas yang optimal, tapi secara embriotik cukup prospektif.

Kapan mereka bangkit?
* Kalau ditanya kapan waktunya, sebetulnya sekarang inipun kelompok-kelompok prodemokrasi tetap melakukan aktivitas seperti biasa, tapi mengapa tak terlihat dipermukaan? Jawabannya tergantung pada isyu dan momentumnya apa yang menstimulusnya. Apakah masyarakat juga optimis terhadap gerakan prodemokrasi?

* Ini bukan persoalan optimis atau pesimis. Gerak sejarah memperlihatkan bahwa sebuah rejim otoriter pada saatnya akan mengalami krisis. Krisis itu inheren pada rejim itu sendiri. Secara struktural rejim otoriter akan mengalami kemandekan karena tidak mampu untuk memperbaiki atau mereproduksi sistimnya sendiri.
Akan tetapi krisis itu tidak akan memuncak dan mengarah kepada transisi menuju perubahan, kalau tidak aktor-aktor yang memfasilitasinya. Nah, di sinilah fungsi gerakan prodemokrasi. Perubahan akan terjadi sebagai hasil dialektika dari ketegangan struktural dan subyektivitas aktor pro-demokrasi.

Perselisihan di tingkat elit dan tekanan internasional, apakah itu juga bisa jadi alasan optimis?
* Fragmentasi di kalangan elit politik/militer memang sedikit memberi peluang atau keleluasaan ruang gerak kelompok prodemokrasi melakukan manuver politik, demikian juga tekanan internasional sedikit memberi perlindungan atau proteksi pada aktor prodemokrasi dari tekanan negara. Namun menurut hemat saya, faktor yang paling signifikan bagi transisi menuju demokratisasi di Indonesia adalah pergeseran struktur ekonomi dan gerak, mobilitas modal. Perubahan di Indonesia kelak merupakan hasil dari konflik kelas antara pemodal transnasional, pemodal domestik, dengan pemodal yang selama ini menjalankan praktek rente-kapitalisme.

Mengenai Megawati, masihkah ia potensial setelah 27 Juli terjadi?
* Megawati tetap menjadi salah satu figur penting dalam transisi dan demokratisasi di Indonesia. Sekarang saja ia sudah menjadi simbol harapan rakyat Indonesia akan perbaikan sosial. Performancenya yang sejuk dan cenderung nonkonfrotatif tampaknya menjadi obat bagi masyarakat Indonesia yang sakit, karena trauma politik peristiwa 1965. Walaupun ia belum menunjukkan kapasitas politik intelektual seperti yang diharapkan oleh kalangan terpelajar kota dan sedikit banyak kepopulerannya juga didukung oleh kharisma ayahnya, Bung Karno. Namun itu saja, sudah menunjukkan bahwa gerakan pro-demokrasi tidak bisa mengabaikan Megawati, perlu ada dialog lebih lanjut dan kerangka kerja yang lebih konkrit dengannya.

Bila sedikit berefleksi, melihat peristiwa 27 Juli serta dampaknya, pelajaran apa yang bisa diambil dari kejadian itu? Apakah gerakan pro-demokrasi saat itu overestimate?
* Persoalannya bukanlah gerakan pro-demokrasi yang terlalu overestimasi atau terlalu percaya diri, tapi itu adalah konsekuensi dari sebuah pilihan dan keberpihakan. Politik adalah seni mencari kemungkinan. Lagipula gerakan pro-demokrasi memang mau tak mau harus mendukung Megawati karena 'kekotoran' yang dilakukan pemerintah untuk menggeser Megawati. Adalah tindakan amoral dan tak bertanggungjawab apabila kelompok dan individu yang mengklaim ingin mewujudkan demokrasi di Indonesia,hanya berdiam diri atau pasif melihat praktek abuses of power. Kalaupun kemudian yang terjadi adalah reaksi keras dan represi dari pemerintah, yang harus dilihat bukanlah akibatnya tapi apa sebabnya. Sejauh ini yang dilakukan oleh PDI di bawah Megawati dan gerakan pro-demokrasi tetap berada dijalur yang konstitusional dan demokratik. Demonstrasi turun ke jalan dan mimbar bebas adalah prosedur demokratik yang sah.

Apa yang bisa dipergunakan untuk kembali mempersatukan, mengkonsolidasikan kekuatan pro-demokrasi saat ini?
* Untuk soal ini, saya kira tak ada satupun yang bisa dengan jitu menebak isyu apa yang bisa mempersatukan atau mengkonsolidasi kekuatan pro-demokrasi. Begitu banyak isyu sosial, ekonomi, dan politik yang problematik dalam masyarakat Indonesia. Yang manapun bisa menjadi trigger. Persoalannya sekarang kembali kepada aktor-aktor pro-demokrasi itu sendiri, apakah mereka mampu meningkatkan pengorganisasian diri dengan baik dan disiplin. Tak hanya beraliansi sekedar karena reaksi terhadap satu kasus saja. Tapi membangun aliansi yang permanen. Aliansi strategis. Dan yang paling penting lagi bagaimana kekuatan pro-demokrasi mampu membangkitkan resistensi, perlawanan rakyat. Meski sekarang masih banyak yang 'tiarap'...

* Seharusnya kita lihat, peristiwa 27 Juli merupakan pendidikan politik yang paling berharga bagi rakyat Indonesia. Kesadaran politik rakyat jauh lebih baik dari apa yang selama ini kita kira. Karena secara transparan rakyat melihat dengan jelas bagaimana praktek politik yang dijalankan pemerintah. Dan, kalau kita mau melihat dengan jernih, boleh dikata kelompok-kelompok dalam masyarakat tidak banyak terpengaruh peristiwa 27 Juli. Lihat saja aksi protes buruh atau protes rakyat yang tanahnya mengalami sengketa tetap muncul. Yang justru aktivitasnya menurun adalah kelompok-kelompok yang selama ini mengklaim pro-demokrasi. Apa artinya ini? Bagi rakyat yang menjadi korban 'pembangunan', perubahan adalah suatu hal yang mendesak yang menyangkut keberlangsungan hidup mereka sehari-hari, sedangkan bagi kelompok-
kelompok pro-demokrasi yang kebanyakan dari mereka masuk kategori kelas menengah, pada dasarnya ada atau tidak perubahan, keberlangsungan hidup mereka sehari-hari masih lebih terjamin

Propaganda Monyong
Oleh : Nirwanto Ki S Hendrowinoto

Peserta pemilu dengan berbagai ulah habis-habisan unjuk gigi. Mulai dari kampanye di ruang tertutup sampai di jalan-jalan dan lapangan terbuka mereka buka-bukaan menyampaikan ‘iklan’ dagang partai agar rakyat simpati dan mencoblosnya. Meski sebutan era reformasi tapi propaganda di masa sekarang nyaris tidak ada bedanya dengan model kampanye di zaman Orde Baru. Gayanya, jahitannya, bahannya, apalagi potongan dan cara-cara bicara untuk meminang massa samimawon. Mereka masih menjual ‘konflik’ dan bukan program-program nyata memperbaiki nasib bangsa. Hampir semua partai peserta pemilu masih mengobral ‘janji’ bukan ‘bukti’. Kalaupun ada partai yang melakukan kampanye dengan pendekatan dialogis, gregetnya nyaris kurang terasa. Boleh dibilang ibarat masakan kurang bumbu penyedap dan ”gizi”. Perang propaganda untuk masa sekarang, bukan hanya dengan menjual angin suara saja tetapi juga sudah sampai bicara berapa jumlah angpao yang harus dibagi-bagikan. Semua ini dilakukan untuk menjaring dan meraih simpati sebanyak-banyaknya. ltu sebabnya, kampanye melalui media massa dan media elektronik dianggap sangat menguntungkan dan dapat mempengaruhi massa begitu cepat. Menariknya secara terbuka partai peserta pemilu bonek (bondo nekat) menyatakan dirinya sebagai partai yang siap membela dan mensejahterahkan rakyat. Padahal dagangan kecap nomor satu ini bukan hal yang baru, melainkan sudah dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Rakyat sudah muak dan bosan dengan janji-janji palsu, sebab pada prakteknya sejak pemilu pertama di gelar di Tanah Air hingga sekarang, hasilnya sama saja rakyat nasibnya tetap melarat. Kini tawaran berbagai merk itu secara kontinyu menyerbu di rumah rakyat melalui media televisi. Tujuannya tidak lain, partai peserta pemilu ingin mengajak rujuk nasional. Propaganda ini ternyata cukup efektif bahkan dapat merayap sampai ke pelosok-pelosok tanah air. Mulai dari kakek-kakek, nenek-nenek serta anak-anak kecil sudah pandai mengeja pesan, ”Cong Tih” sambit menunjuk ke arah moncong mulutnya.

Propaganda Semu; Bagi masyarakat majemuk seperti di Indonesia sekecil apapun informasi yang sampai ke telinga rakyat sudah dapat dipastikan penyebarannya begitu cepat dan mudah terprovokasi. Semua ini karena peran media cetak maupun elektronik yang telah menjadi kebutuhan masyarakat. Baru-baru ini - misalnya penyakit demam berdarah telah menjadi musibah nasional.Melalui media massa dan elektronik informasi itu dapatdengan cepat diketahui oleh masyarakat luas. Begitupun dengan iklan layanan masyarakat agar menjaga lingkungan merupakan bukti pesan yang sangat jitu dan mujarab. Oleh karenanya dengan begitu banyaknya partai peserta pemilu mengadu ‘monyong’ di televisi, bukannya masyarakat bertambah cerdas untuk memilih partai mana yang akan dijadikan idolanya, tetapi justru kebingungan tujuh keliling mana yang musti dicoblos.

          Adu Monyong; Menjual kebohongan merupakan pekerjaan yang tidak terlampau sulit. Seperti yang kita saksikan dipinggiran jalan trotoar, begitu banyak para pedagang yang ‘menyihir’ para konsumennya agar tertarik membeli sebuah produk. Pemasaran dengan kiat mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan cara berbohong, pasti tidak akan langgeng dan menjadi berkah. Begitu juga, kalau partai peserta pemilu dalam kampanye cuma adu monyong menjual ‘kebohongan’ , rakyat pasti akan ngacir kabur.
Pengalaman sudah membuktikan.Semestinya dalam setiap penyelenggaraan Pemilu, tatanan kehidupan masyarakat bertambah baik bukannya bertambah sengsara. Tetapi apa yang terjadi? Inilah nasib yang menimpa di tanah air kita, pemilu justru mengundang persoalan baru. Bukannya menuju pada perbaikan nasib bangsa tetapi justru sebaliknya
(Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan budaya

Propaganda vs Terorisme
Oleh HUSIN M. Al-BANJARI

DALAM bukunya "Weltgeschichte der Spionage" (Sejarah Dunia Spionase, Suedwest Verlag GmbH & Co. KG, Muenchen, 1988), yang berisi agen, sistem, dan aksi spionase, seorang ahli sejarah spionase Jerman, Janusz Piekalkiewicz, menutup uraiannya dengan sebuah prediksi, "Tujuan kegiatan dinas rahasia dalam bidang spionase militer di masa mendatang adalah pengintaian potensi-potensi angkatan bersenjata lawan yang diprediksi dalam sepuluh tahun ke depan akan terjadi penemuan perala tan baru...."

Empat ratus tahun Sebelum Masehi, ahli strategi perang Cina, Sun Tzu, mengatakan, "Seratus kemenangan dalam seratus pertempuran bukanlah puncak bersejarah. Adapun seni paling tinggi adalah menekuk lawan tanpa kontak senjata." Misi "menaklukkan lawan tanpa kontak senjata" sering identik dengan misi spionase. Spionaselah yang memegang kunci agar perang dimenangkan dengan mudah, juga murah. "Wissen ist niemals zu teuer bezahlt" (tahu tidak pernah bayar mahal), itulah keyakinan Sir Francis Walsingham yang membentuk badan intelijen Inggris "Secret Service" adab XVI.
Karena kemiripan dalam sifat kerahasiaannya ("seorang dinas rahasia harus tetap rahasia." -George C. Marshall), propaganda dan terorisme sama-sama menggunakan cara-cara atau biasa memanfaatkan jasa, spionase. Bahkan dapat dikatakan, bahwa propaganda dan terorisme adalah kegiatan spionase itu sendiri.
Rupanya buku tersebut amat terilhami oleh bayangan "keberlanjutan" perlombaan senjata selama Perang Dingin; ada gambaran musuh yang nyata, teknologi dan persenjataan yang nyata, serta rencana penyerangan yang nyata pula. Bayangan perang "konvensional" seperti itu ternyata meleset, namun tidak berarti kegiatan pengintaian (mata-mata, spionase), sebagai sebuah alat bantu untuk menaklukan lawan terserah apa "lawan" didefinisikan berhenti.

Zaman berubah, seting konfrontasi global berubah. Menutup abad 20 ini Perang Dingin AS vs Uni Soviet telah berakhir, maka definisi tentang "musuh" pun perlu dipikirkan ulang, terutama bagi pemenang. Penggelindingan bola politik tata dunia dari demokrasi ke globalisasi yang dimotori AS, selain dianggap membawa optimisme bagi kemanusiaan, juga mengandung janin dan melahirkan sepasang oposisi biner baru; yang teramat serius mengancam jalannya pertumbuhan peradaban: propaganda vs terorisme. Kesannya, bukan lagi Perang Dingin penuh intrik dan selubung ketegangan, tetapi semuanya menjadi begitu kontras, vulgar, dan terbuka. Memang, ada alasan yang cukup mengapa satu negara adidaya mengambil propaganda perang "panas" ini.
Adalah The New York Times kian produktif mengusung aktualisasi makna dua kosakata (propaganda dan terorisme) ini ke hadapan publik. Sudah mafhum, kalau surat kabar ini menuding Indonesia sebagai salah satu negara sarang teroris. Dalam edisi 9 Oktober 2001 koran ini mengutip sumber Pentagon bahwa Al-Qaida mengembangkan organisasinya di tiga negara (Indonesia, Filipina, dan Malaysia) setelah Afganistan. Lagi, koran ini, edisi 16 Desember 2002, mengutip pejabat senior Pentagon ihwal perdebatan menyangkut misi propaganda rahasia militer AS di negara sahabat di Timur Tengah, Asia, dan Eropa. Di antara misi rahasia itu adalah mendiskreditkan dan meruntuhkan pengaruh masjid dan sekolah Islam, mendirikan sekolah yang didanai AS, dan mengajarkan Islam ala Amerika. Ini semua berarti, suatu awal babak baru pertempuran yang lebih vulgar, telah ditandai.

Tulisan ini tidak akan membahas sepak terjang Amrozi, Faruq, Ladin, juga Bush, ataupun Blair. Juga tidak akan terpancing dengan isi ungkapan karena itu hanyalah simbol-simbol yang fenomenal, namun membaca ada semacam skenario global sedang memperhadapkan dua isu politik global agar saling bertubrukan: propaganda vs terorisme.
Pertanyaannya, wajarkah alam kita saat ini harus diselimuti oleh dua "hantu zaman" yang mengerikan ini, sedangkan isu-isu "penyelamatan zaman" seperti dialog, toleransi, HAM, demokratisasi, dan keberadaban, baru saja gencar dikhotbahkan? Terkesan ada setting sejarah yang "dipercepat," terburu-buru. Dari mana terlihat? Jawabannya rasa-rasanya kasat mata, bahwa dampak yang ditimbulkan oleh gejala perang baru (terorisme vs propaganda) tak lagi membutuhkan dialog, pertimbangan HAM, apa itu demokrasi, berapa nyawa manusia melayang, dll, semuanya itu semacam "sudah terlampaui"; usang; tak penting lagi.
Sederhananya mungkin begini: Orang besar-kuat, tetapi penakut akan mengambil jalan propaganda, orang kecil-miskin, tetapi nekat akan menempuh jalan teror. Dua-duanya seimbang dalam memproduk ketakutan manusia dan kegelisahan peradaban.
Itulah barangkali strategi khas untuk sebuah setting peperangan yang tidak seimbang. Yang khas lagi dari keduanya adalah absen dalam dua hal: fairness dan sportivitas. Duel konvensional amat dihindari dua pihak bertikai ini. Kekuatan kecil menghadang yang besar, tentu hanya langkah fatal; kekuatan besar mengeroyok yang kecil, memalukan. Tampaknya kedua belah pihak lebih sepakat untuk "lempar batu sembunyi tangan".

Namun, semena-mena mengatakan AS sebagai penakut, rasanya kurang wajar. Lalu, mengapa AS yang adidaya itu menggelar propaganda? Jawabannya dapat dirujuk dari filsafat globalisasi itu sendiri. Tata ekonomi baru yang disebut "globalisasi" yang datang bersamaan dengan filsafat ekonomi-politik neoliberalisme memandang manusia beserta seluruh aspeknya semata-mata sebagai homo economicus (manusia ekonomi) dan menetapkannya sebagai satu-satunya model yang mendasari tindakan dan relasi manusia.
Selain menghendaki pemerintahan yang ekonomis, dialog yang ekonomis, konsep yang ekonomis, politik yang ekomonis, ekonomi yang ekonomis, perusahaan yang ekonomis, manusia-manusia ekonomis, pendek kata segala-galanya ekonomis, AS merancang perang pun harus yang ekonomis. Oleh karena itu, propagandalah satu-satunya strategi dengan biaya murah, namun hasilnya mucekil.

Di masa Perang Dingin, musuh itu riil, hanya aksinya yang abstrak. Uni Soviet itu nyata, tetapi pertempurannya lebih banyak terjadi di dunia "maya", ketegangan lebih banyak hanya dalam ilustrasi film. Intrik intelijen, perlombaan senjata, dan perebutan pengaruh (ideologi) terhadap publik dunia menjadi ciri dominan. Tidak ada perang konvensional terbuka kapitalis vs komunis, AS vs Uni Soviet, di masa itu. Itu terjadi karena masing-masing senantiasa berhitung. Kekuatan militer kedua belah pihak hampir seimbang. "Peperangan" lebih banyak berkecamuk di urat syaraf.

Kapitalisme akhirnya memenangkan game ini, tetapi sebenarnya kekalahan Uni Soviet bukan oleh AS, tetapi oleh negara lain karena tenaga Uni Soviet habis terkuras setelah Negeri Beruang itu nekat melakukan invasi militer ke Afganistan. Tinggallah AS juara sendirian, tidak ada lawan. Lalu, ada gravitasi subjektif, mungkin berlaku ujub atas kebolehannya sendiri, "Persis reaksi koboi setelah menembak jatuh lawannya: memutar-mutar pistol dan lalu menyarungkannya. Seekor ayam jantan akan berkokok setelah musuhnya lari" (Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997). Francis Fukuyama segera "menarikan" pena dengan the end of history-nya, bahwa ujung Perang Dingin telah sekaligus mengantarkan kepada akhir sejarah dan "bahwa dunia ditakdirkan semakin mirip dengan Barat" (visi global Hans Kohn dan Robert Emerson). Benarkah demikian?
Gambarannya sama sekali jauh berbeda. Dalam wacana strategi: tidak ada lawan, berarti kemunduran. Untuk maju, suatu bangsa membutuhkan musuh. Bisa berupa bangsa, kelompok agama, atau sekadar persepsi artifisial, yang karenanya seluruh gerbong bangsa terpacu menghadapinya. Yang penting di sini adalah, ada satu simbol yang dianggap sebagai common enemy (musuh bersama). Ketika lawan riil tidak ada, diciptakanlah lawan dalam bayangan, sebut saja "Perang Panas" (mengambil analogi terbalik dari Perang Dingin). Suatu sindiran yang barangkali tak jauh beda dari buku Enemy in The Mirror, karya Roxanne L. Euben (Princeton University Pres, 1999); berperang melawan persepsi yang adalah ciptaannya sendiri.

Berbeda dari Perang Dingin, di masa Perang Panas ini, aksinya riil, tetapi musuhnya yang abstrak. Produk terorisme sebagaimana juga produk propaganda adalah nyata, terasa; sekian orang mati, sekian miliar kerugian material, sekian bangunan luluhlantak, bahkan bisa melenyapkan sebuah negeri dari peta. Akan tetapi, pelakunya atau sekurangnya "alasannya," masih abstrak. Meski ada di sana disebutkan nama si Anu atau Si Fulan sebagai pelaku, dalam tataran publik, tetap saja ragu. Khasnya kerja dunia serbarahasia, seperti propaganda dan terorisme, adalah memproduk bias persepsi dan mengidap ketidakjelasan inheren; ada sesuatu yang disembunyikan; sesuatu yang lebih penting dan berharga ketimbang yang diedit ke permukaan.
Artinya, jangankan sekadar mengutip "seorang pejabat Pentagon" pernyataan resmi negara pun belum tentu apa yang sebenarnya. Ini karena, baik propaganda maupun terorisme, bekerja dengan agendanya sendiri. Sebuah agenda di luar kebiasaan nalar wajar. Kerahasiaan inilah yang membuat kabur persepsi, publik kehilangan konteks antara tujuan sebenarnya dan aksi masif destruktif yang tampak.
Itulah model perang akhir zaman, teramat sungkelit untuk dipahami. Meminjam istilah Jakob Sumardjo dalam artikel "Puisi Kalekatu" ("PR", 10/12/2002), perang model ini seperti kalekatu, binatang kecil sejenis laron yang suka terbang atau meloncat sehingga sulit ditangkap. Juga lamat-lamat ada sedikit "irisan" dengan pendapat Roxanne L. Euben untuk bidang politik, bahwa "masalah khusus dari teori politik adalah bagaimana caranya membentuk suatu masyarakat yang tanpa perlu fondasi transenden yang menunjang." Suatu bangunan masyarakat politik "pascafondasional" (istilah Euben sendiri) yang menolak segala fondasi sakral, merasa lebih nyaman dengan hasil imajinasi.

Ada semacam tren: orang-orang pascamodern meninggalkan yang fakta dan lebih menyukai yang imaji. Apakah manusia kini sudah bosan dengan realitas kasat mata? Bahkan orang sudah membayangkan, perang zaman ini sejatinya adalah perang wacana; adapun korban jatuh, gedung runtuh, itu hanya fakta semacam "bumbu penyedap" saja, ornamen pemanis dari sebuah skenario.
Kini, di alam kita, konsep the clash of civilization-nya Samuel Huntington juga harus direvisi. Karena hanya benar selama menyangkut hal-hal nonfisik, tidak ada lagi perang kolosal seperti halnya Perang Salib, yang menghadapkan dua pasukan dalam kontak bersenjata, Kristen vs Islam, dimulai 1099 M.

          Akan tetapi, apakah makna praktis "terorisme" dan "propaganda" bagi kita orang awam? Kita pada umumnya meyakini, baik terorisme maupun propaganda, keduanya adalah jalan yang tidak wajar/normal. Terorisme menerjang lawan dari belakang secara culas; propaganda mengintimidasi lawan, termasuk membohongi publiknya sendiri. Kedua cara ini dikutuk baik oleh agama ataupun nurani kemanusiaan. Hanya orang-orang yang kerdil dan tak berperikemanusiaan sajalah yang sanggup menjalankan dua strategi ini. Sebuah rivalitas artifisial, keduanya saling berhadapan dalam aksi-aksi masif menghebohkan tanpa kita tahu -- dengan yakin -- siapa sebenarnya yang menjadi pelaku.

Pada dasarnya terorisme adalah sebentuk propaganda juga, sedangkan propaganda bisa merupakan sebentuk teror. Kini bukan lagi perang ideologi, tetapi perang persepsi. Suatu aksi biasa bisa diversi teror oleh propaganda, yang bukan propaganda bisa dibikin propaganda oleh teror. Peran media massa dalam hal ini amat dominan. Itulah barangkali jawaban mengapa The New York Times berperan sedemikian rupa.

Sampai kapan perang ini akan berakhir? Mari kita sama-sama bertanya kepada Ki Dalang.*** 
Pikiran rakyat, senin 6 Januari 2003
Penulis adalah alumni Univ. Braunschweig, Jerman, 1993, kini bekerja di bagian Personel & Org. Dev. SBU Helikopter, PT Dirgantara Indonesia Bandung.
 
Rekan-rekan Yth.
Berikut adalah ide2 propaganda yang menekankan agar Pemilu bebas dari okum, cara2, dan pengaruh Orba. Propaganda ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran politik masyarakat akan pentingnya mewujudkan pemerintahan baru yang hanya bisa terwujud melalui Pemilu yang bebas Orba. Jadi, meskipun masih terdapat pro kontra akan kesahihan Pemilu yg dilaksanakan oleh rejim Habibie yg tidak legitimate dan spekulasi keberhasilan pemilu nanti, yang terpenting adalah meningkatkan kesadaran politik masyarakat sehingga bisa mengambil keputusan sendiri harus apa dan bagaimana dalam menyikapi Pemilu nanti.
 
Bagi rekan2 seperjuangan yang sevisi, dimohon partisipasinya untuk masing-masing mengimplementasikan propaganda tersebut dalam berbagai bentuk yang bisa menyampaikan pesan tersebut ke publik secara luas, khususnya dari lingkungan sehari-hari di kantor, klien, kampus, ataupun rumah tangga.
Mengingat biayanya akan sangat besar jika ditanggung satu pihak, sangat diharapkan masing2 pihak berkontribusi sesuai kemampuannya untuk mencetak/memproduksi sendiri alat propagandanya. Materinya bisa diambil atau dikembangkan dari alternatif2 di bawah ini. Yg penting, ide dasarnya adalah: SAPU BERSIH ORDE BARU, baik itu cara-cara berpikirnya, cara bertindaknya, kemunafikannya, kejahatan politiknya, birokrasinya, ketegaannya menyengsarakan rakyat, sampai oknum dan antek2nya, baik individu maupun organisasi.
 
Bentuk2 media propaganda tsb al.:
1. Barang cetakan: stiker, spanduk, poster, kaos, badge
2. Banner Ad di internet, signature email anda
3. Iklan di media cetak
dll
Duncan Hallas 1984

Agitasi dan propaganda


Sumber: What do we mean by ...?, Socialist Worker Review, No.68, Sep 1968, hlm.10;Disalin & diberi tanda baca oleh Einde OCallaghan untuk Marxists Internet Archive;


Menurut kamus Oxford, mengagitasi adalah “membangkitkan perhatian (to excite) atau mendorong (stir it up)”, sedangkan propaganda adalah sebuah “rencana sistematis atau gerakan bersama untuk penyebarluasan suatu keyakinan atau doktrin.
Definisi ini bukan merupakan titik pijak yang buruk. Agitasi memfokuskan diri pada sebuah isu aktual, berupaya ‘mendorong’ suatu tindakan terhadap isu tersebut. Propaganda berurusan dengan penjelasan gagasan-gagasan secara terinci dan lebih sistematis.

Seorang marxis perintis di Rusia, Plekhanov, menunjukkan sebuah konsekuensi yang penting dari pembedaan ini. “Seorang propagandis menyajikan banyak gagasan ke satu atau sedikit orang; seorang agitator menyajikan hanya satu atau sedikit gagasan, tetapi menyajikannya ke sejumlah besar orang (a mass of people)”. Seperti semua generalisasi yang seperti itu, pernyataan di atas jangan dipahami secara sangat harfiah. Propaganda, dalam keadaan yang menguntungkan, bisa meraih ribuan atau puluhan ribu orang. Dan ‘sejumlah besar orang’ yang dicapai oleh agitasi jumlahnya sangat tidak tetap. Sekalipun demikian, inti dari pernyataan Plekhanov itu memiliki landasan yang kuat (sound).
 
Banyak gagasan ke sedikit orang
Lenin, dalam What is to be done, mengembangkan gagasan ini:
Seorang propagandis yang, katakanlah, berurusan dengan persoalan pengangguran, mesti menjelaskan watak kapitalistis dari krisis, sebab dari tak terhindarkannya krisis dalam masyarakat modern, kebutuhan untuk mentransformasikan masyarakat ini menjadi sebuah masyarakat sosialis, dsb. Secara singkat, ia mesti menyajikan “banyak gagasan”, betul-betul sangat banyak, sehingga gagasan itu akan dipahami sebagai suatu keseluruhan yang integral oleh (secara komparatif) sedikit orang. Meskipun demikian, seorang agitator, yang berbicara mengenai persoalan yang sama, akan mengambil sebagai sebuah ilustrasi, kematian anggota keluarga seorang buruh karena kelaparan, peningkatan pemelaratan (impoverishment) dsb., dan penggunaan fakta ini, yang diketahui oleh semua orang, akan mengarahkan upayanya menjadi penyajian sebuah gagasan tunggal ke “massa”. Sebagai akibatnya, seorang propagandis bekerja terutama dengan mamakai bahasa cetak; seorang agitator dengan memakai bahasa lisan.

Mengenai pokok pikiran yang terakhir, Lenin keliru, karena ia terlalu berat-sebelah. Seperti yang ia sendiri nyatakan, sebelum dan sesudah ia menulis pernyataan di atas, sebuah surat kabar revolusioner bisa dan mesti menjadi agitator yang paling efektif. Tetapi ini merupakan masalah sekunder. Hal yang penting adalah bahwa agitasi, apakah secara lisan atau tertulis, tidak berupaya menjelaskan segala sesuatu. Jadi kita menyatakan, dan mesti menyatakan, bahwa para individu buruh tambang yang menggunakan pengadilan kapitalis untuk melawan NUM adalah buruh pengkhianat, bajingan (villains), dipandang dari segi perjuangan sekarang ini; betul-betul terpisah dari argumen umum tentang watak negara kapitalis. Tentu kita akan mengajukan argumen, tetapi kita berupaya ‘membangkitkan perhatian’, ‘mendorong’, ‘membangkitkan rasa tidak senang dan kemarahan’ terhadap pengadilan di sebanyak mungkin buruh. Ini mencakup mereka (mayoritas besar) yang belum menerima gagasan bahwa negara, negara apapun dan pengadilannya, pasti merupakan sebuah instrumen dari kekuasaan kelas.
Atau ambil sebuah contoh lain. Lenin berbicara tentang “ketidakadilan yang amat parah” (crying injustice). Namun, sebagai seorang pengikut Marx yang mendalam, ia betul-betul mengetahui bahwa tidak ada ‘keadilan’ atau ‘ketidakadilan’ yang terlepas dari kepentingan kelas. Di sini, ia menunjuk dan berseru pada kontradiksi antara konsep ‘keadilan’ (‘justice’ or ‘fairness’) yang dipromosikan oleh para ideolog masyarakat kapitalis dengan realitas yang terekspos dalam perjalanan perjuangan kelas. Dan hal itu mutlak benar dari sudut pandang agitasi.

Seorang propagandis, tentu saja, mesti menyelidiki secara lebih mendalam, mesti meneliti konsep keadilan, perkembangan dan transformasinya melalui berbagai masyarakat berkelas yang berbeda, isi kelasnya yang tak terhindarkan. Tetapi hal itu bukan merupakan tujuan utama dari agitasi. Para ‘marxis’ yang tidak memahami pembedaan ini menjadi korban dari ideologi borjuis, menjadi korban dari generalisasi yang lepas dari konteks waktu (timeless generalisations), yang mencerminkan masyarakat berkelas yang diidealisasikan. Yang paling penting, mereka tidak memahami secara konkrit bagaimana sebenarnya sikap kelas buruh berubah. Mereka tidak memahami peran pengalaman, sebagai contoh, pengalaman tentang peran polisi dalam pemogokan para buruh tambang. Mereka tidak memahami perbedaan antara agitasi dan propaganda.

Kedua hal itu penting, sangat diperlukan, tetapi keduanya tidak selalu bisa dikerjakan. Agitasi memerlukan kekuatan yang lebih besar. Tentu saja seorang individu terkadang bisa mengagitasi sebuah keluhan tertentu secara efektif, katakanlah, keluhan mengenai kurangnya sabun atau tissue toilet yang layak di sebuah tempat kerja tertentu, tetapi sebuah agitasi yang luas dengan sebuah fokus yang umum tidaklah mungkin tanpa sejumlah besar orang yang ditugaskan dengan pantas untuk melaksanakannya, tanpa sebuah partai.

Jadi apa pentingnya pembedaan tersebut sekarang ini? Untuk sebagian besar, para sosialis di Inggris tidak berbicara ke ribuan atau puluhan ribu orang. Kita sedang berbicara ke sejumlah kecil orang, biasanya berupaya meyakinkan mereka (to win them) melalui politik sosialis yang umum, dan bukan melalui agitasi massa. Jadi apa yang kita usulkan (arguing) pada dasarnya adalah propaganda. Tetapi di sinilah kebingungan muncul. Karena terdapat lebih dari satu jenis propaganda. Ada sebuah pembedaan antara propaganda abstrak dan jenis propaganda yang diharapkan dapat mengarah ke suatu aktivitas, yaitu propaganda yang konkrit atau realistik.

Propaganda abstrak memunculkan gagasan yang secara formal benar, tetapi tidak terkait dengan perjuangan atau dengan tingkat kesadaran yang ada di antara mereka yang menjadi sasaran dari penyebaran gagasan itu. Sebagai contoh, menyatakan bahwa di bawah sosialisme sistem upah akan dihapuskan adalah mutlak benar, menempatkan usulan yang seperti itu kepada para buruh sekarang ini bukanlah agitasi, melainkan propaganda dalam bentuk yang paling abstrak. Begitu pula, usulan terus-menerus (constant demand) untuk sebuah pemogokan umum, terlepas dari apakah prospek untuk melakukannya bersifat riil dalam situasi yang sekarang, mengarah tidak ke agitasi, melainkan ke penarikan diri (abstaining) dari perjuangan yang riil di sini dan sekarang.

Di sisi lain, propaganda realistis berpijak dari asumsi bahwa kelompok-kelompok sosialis yang kecil tidak dapat secara meyakinkan mempengaruhi kelompok-kelompok buruh yang besar sekarang ini di hampir setiap keadaan. Tetapi hal itu juga mengasumsikan bahwa terdapat argumen tentang isu-isu spesifik, yang dapat dicoba untuk dibangun oleh para sosialis. Jadi seorang propagandis realistis di sebuah pabrik tidak akan mengusulkan penghapusan sistem upah. Ia (laki-laki atau perempuan) akan mengusulkan serangkaian tuntutan yang diharapkan dapat mengarahkan perjuangan ke kemenangan, dan sudah tentu melebihi kemenangan kecil (tokens) yang diberikan oleh bikorasi serikat buruh. Jadi mereka akan mengusulkan, misalnya, peningkatan ongkos rata-rata setiap produk (a flat rate increase), pemogokan mati-matian dengan tuntutan penuh (the full claim, all out...strike) dan bukan pemogokan yang selektif, dsb.
 
Menyeimbangkan agitasi dengan propaganda secara benar (Getting the balance right)
Semua ini bukanlah agitasi dalam arti yang dibicarakan oleh Lenin, hal itu adalah satu atau dua orang sosialis yang memunculkan serangkaian gagasan tentang bagaimana untuk menang. Tetapi hal itu juga bukan propaganda abstrak karena hal itu terkait dengan sebuah perjuangan yang riil dan karenanya bisa terkait dengan minoritas buruh yang cukup besar di suatu wilayah. Ini berarti bahwa propaganda realistis dapat membangun hubungan (strike a chord) dengan sekelompok orang yang jauh lebih besar daripada mereka yang sepenuhnya terbuka untuk gagasan-gagasan sosialis. Bahwa sekarang ini hanya sekelompok orang yang sangat kecil yang akan terbuka untuk semua gagasan-gagasan sosialisme. Kelompok yang lebih besar tidak akan seperti itu, tetapi masih bisa menerima banyak propaganda dari kaum sosialis untuk tidak mempercayai para pejabat, untuk mengorganisir di lapisan bawah (the rank and file) dan sebagainya.

Pentingnya pembedaan ini ada dua (twofold). Para sosialis yang mempercayai bahwa mereka harus melakukan propaganda di kelompok-kelompok diskusi mereka yang kecil, dan mengagitasi di tempat kerja mereka, sangat mungkin menaksir terlalu tinggi (overestimate) pengaruh mereka di sejumlah besar buruh dan dengan demikian kehilangan kesempatan untuk membangun basis di sekitar sejumlah kecil pendukung. Mereka yang percaya bahwa mereka hanya harus melakukan propaganda abstrak dalam diskusi-diskusi mereka dengan para sosialis yang lain dan di tempat kerja mereka bisa mengambil sikap menarik diri ketika perjuangan yang riil benar-benar meletus.
Dengan melakukan propaganda realistis pada sebuah periode di mana agitasi massa secara umum tidak mungkin, kaum sosialis akan jauh lebih mungkin untuk dapat menghindari kedua jebakan tersebut.

Game dan Propaganda Barat

Kita hidup di sebuah zaman yang dipenuhi oleh segala jenis propaganda, yang bahkan telah memasuki alat permainan sehari-hari. Tetapi propaganda pada dunia saat ini lebih banyak didasari oleh unsur politik dan dirancang untuk mendukung program yang dijalankan oleh negara-negara seperti Amerika Serikat. Game atau permainan komputer, play station dsb yang merupakan topik pembahasan dalam pertemuan kita kali ini, merupakan alat permainan yang telah berubah menjadi sarana propaganda. Karena itu bisa kita katakan bahwa fungsi permainan ini telah jauh dari sekadar sebagai alat penghibur dan pengasah otak.
Semua orang tahu apa yang dimaksudkan dengan permainan komputer, tetapi hanya sebagian kecil yang dapat memahami apa sebenarnya yang tersembunyi di permainan ini. Karena itu, betapa mudah alat ini mempengaruhi para penggunanya. Dalam pembahasan kali ini, kami akan membawa anda untuk meninjau beberapa permainan komputer dan menyinggung sifat ambisius perang Amerika dan pengembangan kekerasan yang terdapat dalam permainan ini.
Presiden Amerika, George W Bush pada tanggal 6 Februari 2003 sebelum menyerang Irak berkata kepada Saddam, “The game is over“ atau permainan telah usai. Jacques Chirac dengan lebih jeli mengatakan, “It is not a game, It is not over” artinya ini bukan lah permainan, dan belum berakhir. Sementara itu, seorang Jenderal Tentera Amerika saat menjelaskan teknik perang dipergunakan di Irak banyak mengambil istilah yang ada pada game Pac Man. Pengguanaan istilah-istilah seperti ini dinikmati oleh para pengguna game, sebab istilah-istilah tersebut sudah tidak lagi dipakai pada permainan semata tetapi juga telah menjadi bagian dari kehidupan nyata.

Tetapi di balik itu sebenarnya ada masalah besar yang layak diperhatikan. Dengan menggunakan istilah-istilah seperti itu, para politisi dan kalangan militer AS berusaha mengesankan kepada dunia bahwa perang bukan sebuah fenomena yang buruk. Sebab dalam game, perang tidak mengakibatkan seorangpun terbunuh bahkan tidak ada setetes darahpun yang tercecer. Sementara mereka yang terlibat di medan perang tidak memiliki hubungan keluarga dengan siapapun. Tetapi apakah itu semua sama dengan perang yang terjadi di alam nyata?
Pada dekade terakhir, game dengan tema perang telah berkembang secara luas dengan adanya unsur politik yang mengarahkan. Game dengan judul Badai Padang Pasir adalah salah satu contohnya. Lakon yang ditayangkan dalam permainan ini adalah tentera Amerika atau Inggeris yang bertugas membebaskan Irak dari cengkaman diktator. Musuh utama mereka dalam permainan ini jelas seorang Irak.

Ketika permainan ini dipasarkan pada 13 September 2002 di Eropa, tidak ada sedikitpun suara penentangan. Game diperjualbelikan secara bebas. Hanya mereka yang berusia bawah 16 tahun tidak dianjurkan menggunakannya. Padahal serangan militer Amerika dan Inggeris ke Irak baru terjadi enam bulan setelah itu. Tidak diragukan lagi permainan ini dirancang untuk membuat penggunanya berada pada posisi pembela pola baru dunia.
Game dengan judul Kembali ke Istana Welfan Ashtain dirancang lebih rumit dan teliti. Dalam game ini, pemain menempati posisi tentera Amerika dalam perang dunia kedua. Dia menyelundup masuk ke istana-istana atau gedung tentara Nazi. Lambang Nazi dapat ditemukan dengan mudah pada game ini. Pada mulanya orang berfikir bahwa permainan ini mengandungi unsur propaganda untuk ideologi nasionalisme sosialis atau nazisme. Protes pertama atas game ini muncul tahun 1992 saat stiker Nazi mewarnai cover game ini. Padahal tujuan sebenarnya dari game lebih dari itu. Sama seperti permainan Taufan Sahara, permainan ini juga berusaha mengesankan pasukan Amerika sebagai malaikat penyelamat.

Kelanjutan dari propaganda ini adalah game-game yang dirancang oleh pihak militer Amerika Serikat yang dapat didownload secara percuma dari internet. Permainan ini bernama “Tentara Amerika” dan pertama kali dipasarkan tanggal 4 Februari 2002 bersamaan dengan peringatan hari kemerdekaan Amerika Serikat. Dalam permainan ditampilkan seorang tentara Amerika yang dengan berani maju ke medan perang dan menghancurkan apa saja yang ada di hadapannya. Permainan ini ditujukan untuk menarik minat generasi muda agar menyukai pekerjaan yang berbau militer. Uniknya, untuk bermain, kita mesti mendaftar di situs internet angkatan bersenjata Amerika Serikat. Mereka yang telah melalui periode latihan militer, akan memiliki peluang besar untuk melewati berbagai tahap permainan ini.

Pada tanggal 13 hingga 16 May 2003 festival pameran permainan komputer yang kedua berlangsung di Los Angeles. Dalam pameran ini sebagian besar perancang game yang ikut memberikan pandangan mengenai perkembangan mendatang permainan komputer adalah perwira militer. Transformasi mendatang ini mencakup masalah kendaraan jenis baru, misi baru, dan kehadiran orang sipil dalam permainan baru. Singkatnya, pameran ini berusaha mengesankan ketertautan dunia nyata dengan alam permainan. Pameran yang berlangsung selama tiga hari ini diakhiri dengan pameran dua kenderaan baru militer.

Sejak dimulainya invasi Amerika dan Inggris di Irak pada 20 November 2003, perusahaan Sony menempelkan tanda Shock and Awe atau kejutan dan kekaguman, pada barang-barang produksinya. Mungkin saja tujuan di balik itu adalah untuk merancang sebuah permainan dengan nama yang sama. Tetapi gelombang protes telah memaksa Sony untuk menyingkirkan niatnya. Meski demikian, perusahaan yang menguasai pasar permainan komputer ini tetap merancang permainan dengan tema perang Irak. Permainan ini merupakan lanjutan kepada permainan Taufan Sahara dan diberi nama Kembali ke Baghdad. Rata-rata usia mereka yang menggunakan permainan komputer adalah 20 tahun. Media ini mempunyai peminat di seluruh dunia terutama anak-anak muda, dan bukan terbatas pada anak-anak. Seperti apa yang telah kami jelaskan, banyak sekali kebijakan expansionis negara-negara adidaya semisal Amerika Serikat dipropagandakan lewat permainan seperti ini. Maka sudah menjadi tanggungjawab para ahli hari ini untuk tidak memandang permainan komputer ini sebagai permainan yang aman dan hanya memiliki nilai hiburan semata. Adalah jelas bahwa ketidakpedulian dalam hal ini menyebabkan senjata propaganda ini semakin berbahaya dan meninggalkan dampak negatif yang lebih besar.

18.07.2004
Propaganda?

"Wah, ente sekarang jadi agen propaganda nih?"
Propaganda! Sudah lama saya tak mendengar kata-kata ini sampai seorang teman lama, entah bercanda entah serius, tiba-tiba menggunakan kata ini ketika tahu saya bekerja di sebuah radio siaran internasional.
"Ah, kayak ente nggak aja..", itu saja jawaban saya padanya. Maklum ia juga kerja di salah satu lembaga internasional yang salah satunya bergerak di bidang training atau bahasa kerennya 'pemberdayaan' untuk radio-radio di Indonesia. "Gue sih nyari duit aje, bos..!", balasnya sambil 'nyengir'. Pembicaraan soal propaganda berakhir prematur sementara saya terus saja terganggu dengan istilah ini. Apa yang salah dengan propaganda?"

Propaganda: Sebuah proses penyebaran doktrin atau informasi yang merefleksikan pandangan atau kepentingan dari mereka yang menyebarkannya. Ini penjelasan versi dictionary.com. Sementara menurut ensiklopedi Brittanica, istilah propaganda sendiri mulai dikenal dari hasil karya Congregatio de Propaganda Fide', sebuah organisasi yang didirikan oleh sejumlah Kardinal Katolik Roma di tahun 1622 untuk menjalankan penyebaran misi ajaran mereka di negara-negara non kristen. Jadi bagi beberapa kalangan, propaganda ini terkait dengan misi keagamaan.
'Terimakasih' kepada Adolf Hitler, istilah ini kemudian mendapat konotasi negatif. Di bab 6 dari bukunya "Mein Kampf", Hitler menuliskan perlunya propaganda untuk mempersuasi pihak lain, untuk menggerakan massa. Saking percayanya, Hitler sampai menunjuk seorang menteri khusus untuk urusan propaganda ini. Namanya Joseph Goebbels. Jabatannya: Menteri Urusan Propaganda dan Pencerahan Nasional. (kata pencerahan ini menarik karena mengingatkan saya pada salah satu departemen yang dulu ada di Indonesia yang tugasnya juga melakukan pencerahan alias penerangan.. hehe)

Tugas utamanya Goebbels dan Departemennya ada dua:
Pertama, memastikan tak ada orang di Jerman yang punya akses kepada hal-hal yang bisa merusak kepentingan atau misi Nazi. Kedua, memastikan bahwa misi dan pola pandang Nazi berhasil disebarkan dengan cara yang se persuasif mungkin.
Untuk menjamin kelancaran tugasnya itu, Goebbels di bantu oleh SS dan Gestapo yang tak lain adalah satuan polisi yang paling ditakuti di jaman Nazi. Namanya polisi, tugasnya pasti sudah jelas lah. Selain dengan SS dan Gestapo, Goebbels juga dibantu oleh sosok orang yang bernama Albert Speer yang kemudian dikenal sebagai salah satu penjahat perang paling kejam dari masa Nazi. Speers ini yang konon ditugaskan melakukan penyebaran ajaran Nazi kepada masyarakat.
Ah, ini yang mungkin membuat saya merasa 'terganggu' dengan istilah propaganda karena mengingatkan saya pada jaman-jaman Hitler dan juga jaman-jaman orde baru dimana kegiatan ini memang sangat kental mewarnai kehidupan masyarakat. Jadi 'kangen' Pak Harmoko juga.. :-)
Tapi kembalilah pada artian dasar dari propaganda (dan buang jauh bayangan Hitler atau mungkin Pak Harmoko), maka kita akan menemukan kenyataan bahwa sebetulnya setiap hari kita dikelilingi oleh praktek propaganda. Media adalah salah satu yang menjalankan praktek ini. Sekali lagi buang jauh-jauh muka 'Jojon' ala Jerman di benak anda, dan anda akan menyadari itu.
Saya termasuk orang yang tidak terlalu percaya pada konsep media bebas, apalagi kalau sudah di embel-embeli dengan kata "yang bertanggung jawab". Setiap hari, setiap saat kita melakukan propaganda terhadap hal-hal yang kita percayai, dan ingin agar orang lain juga mempercayai. Ia bisa berupa nilai-nilai politik, nilai agama, etika sampai ke hal sehari-hari seperti memilih sabun cuci mana yang lebih bisa mencuci sendiri, atau shampoo mana yang bisa membuat rambut anda melayang-layang dengan indahnya ditiup angin. Semua sibuk berpropaganda. Yang membedakan hanyalah pada cara mereka mengemasnya. Sebut satu media saja yang tidak melakukan propaganda, dan saya akan merubah semua apa yang saya percayai.

Jadi kembali pada pertanyaan awal saya, "Apa yang salah dengan propaganda?"
Kalau dikaitkan dengan apa yang dilakukan Hitler, mungkin wajar saja saya terganggu. Tapi kalau dikaitkan dengan sebuah proses penyebaran informasi yang merefleksikan suatu pandangan tertentu dari si penyebar informasi, rasanya sah-sah saja. Saya selalu percaya bahwa di dunia ini sudah terlalu banyak orang yang selalu berusaha untuk membuat orang percaya pada apa yang ia percayai, karena seringkali ia sendiri tidak percaya diri dengan apa yang dipercayainya sampai kemudian ada yang ikut percaya pada apa yang dipercayanya. Bingung? Coba ulang kalimat terakhir tadi..

Jadi kenapa mesti terganggu dengan istilah propaganda? Mungkin karena sudah terlalu lama kita terjebak dalam istilah-istilah yang kita buat sendiri.
Atau mungkin akan lebih aman mengutip kata-kata teman saya di awal tadi: "Gue sih nyari duit aje, bos..!".
Ah, jangan ah...!!

Singapura, 14 Oktober 2003
Propaganda media massa

Dikirim oleh: Ahmad_Dika pada Rabu, 18 Desember, 2002 - 09:39 PM WIB
Menurut teori perang Sun Tzu, memenangkan sebuah perang tanpa mengerahkan armada militer adalah kemenangan yang terbaik. Kemenangan ini dapat diraih apabila musuh dapat ditundukkan pemikirannya. Tunduknya pemikiran akan menyebabkan tunduknya seorang manusia kepada manusia lain yang mampu mengubah pemikirannya. Di sini propaganda memainkan peranan yang sangat penting Menurut Karl Marx,"kejahatan yang terus menerus dipropagandakan sebagai kebaikan lambat laun akan diterima masyarakat sebagai kebaikan itu sendiri." Sekali lagi yang dituntut di sini adalah kepandaian dan kontinuitas propaganda sehingga terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat. Nilai-nilai social memang bersifat fleksibel, tergantung dari pola pikir masyarakat pengusung nilai. Apabila pola pikir masyarakat berubah, otomatis nilai masyarakat akan berubah pula.

Pada era 1930-1950, Barat masih mengusung nilai-nilai religius Kristiani dengan cukup kental. Namun hanya dalam tempo sepuluh tahun saja, sekitar periode 1960-an, Barat mengalami revolusi budaya dan seks yang luar biasa sebagai imbas dari propaganda kebebasan. Kalau pada era 30-50 berjemur di pantai bertelanjang dada adalah terlarang, maka kini perempuan-perempuan Barat bebas memanggang tubuhnya di pantai-pantai dengan dada terbuka, bahkan tanpa busana.

Propaganda yang mengenai sasaran, akan mengubah pola pikir masyarakat yang pada akhirnya mampu merubah seluruh tatanan nilai yang ada. Propaganda dapat juga berupa pembentukan opini dan stigmatisasi (memberikan cap/julukan tertentu pada suatu kelompok/individu tertentu). Secara gambling dapat dikatakan, seorang jahat yang pandai mempropagandakan dirinya sebagai manusia baik, akan mendapatkan penilaian baik dari masyarakat apabila propagandanya dilakukan secara kontinu dan mengena sasaran.
Dalam hal stigmatisasi, bisa dijelaskan sebagai berikut; si A adalah orang baik dan si B adalah si jahat yang amat pandai berpropaganda dan menguasai jalur informasi. Karena benci pada si A, si B terus menerus mencekoki masyarakat dengan propaganda bahwa si A adalah penjahat. Karena dilakukan secara terus-menerus dan sistematis, lambat laun A yang baik akan menjadi jahat di mata masyarakat. Di sini, informasi disebarkan untuk menciptakan opini yang diyakini sebagai fakta, dan bukan menyebarkan fakta sebagai informasi. Begitu hebatnya akibat propaganda sehingga bukan saja mampu mengubah pola pikir dan system social, tapi juga mendefinisikan the good one and the bad one. Pada masa sekarang, media massa (suratkabar, tabloid, majalah, televisi, radio, internet) adalah corong propaganda yang paling ampuh. Seiring makin mengglobalnya komunikasi dan makin dekatnya jarak antar manusia, maka propaganda pun kian meningkat. Sehingga tercipta idiom yang menguasai jalur informasi, akan menguasai dunia.

          Pada hakikatnya, media massa berfungsi sebagai penyampai fakta dari suatu peristiwa kepada masyarakat luas. Namun dalam kapasitasnya, media massa telah pula menjadi corong propaganda secara halus maupun kasar. Pada masa sekarang ini, sebagai akibat dari propaganda pembentukan opini, kita bisa melihat terjungkirnya nilai-nilai social yang pernah ada. Yang benar menjadi salah, dan yang salah menjadi benar.
Di Palestina, sebuah terorisme negara tengah berlangsung, yang dilakukan oleh Israel atas Palestina. Israel menjajah Palestina, Palestina membalas dan media massa justru menulis Palestina adalah teroris dengan aksi bom syahidnya. Media massa telah menyembunyikan fakta, dan melakukan kecurangan informasi demi kepentingan tertentu. Kejadian lain, WTC runtuh, dan tanpa bukti konkrit Amerika Serikat menyerbu Afghanistan dengan alas an Afghan adalah tempat persembunyian Usamah bin Ladin yang diduga dalang keruntuhan WTC. Media massa di Indonesia banyak menurunkan artikel tentang masalah ini, dan rata-rata Usamah berada dalam posisi dipojokkan.
Jika merunut teori perang Sun Tzu bahwa propaganda dan penggantian pemikiran dilakukan untuk memenangkan perang tanpa berlaga langsung di medan peperangan, maka sebuah pertanyaan patut diajukan diantara gencarnya pembentukan opini media massa: apakah media massa sedang dalam kondisi perang ? apakah media massa bermaksud menundukkan pemikiran suatu kaum agar mengikuti kaum yang menyokong media massa bersangkutan ? Jika hal ini benar, maka tentunya akan tercipatnya individu-individu yang menjadi korban pembentukan opini. Individu yang membebek. Apabila hal ini terjadi, maka media massa bukanlah media informasi, melainkan media indoktrinasi.
Pada akhirnya subjektivitas adalah bagian tak terpisahkan dari media massa. Sebuah media massa yang jujur memaparkan fakta adalah angin segar dalam kehidupan yang kian penuh tipu muslihat ini. Bagi Umat Islam sendiri, Allah sudah memberikan petunjuk untuk selalu meneliti dan berwaspada terhadap berita-berita yang bersumber dari orang kafir.
Wallahu a'lam bishowab.
Media Indonesia, rabu 24 juni 2004

Perang Urat Saraf dalam Kampanye
Tjipta Lesmana, Pengajar Sekolah Staf dan Komando TNI, Bandung

PERANG urat saraf (psychological warfare) adalah pemanfaatan secara terencana propaganda dan tindakan lain yang bertujuan pokok untuk mempengaruhi pendapat, emosi, sikap dan perilaku lawan, kelompok netral maupun sahabat dalam rangka mencapai sasaran dan tujuan nasional.
Perang urat saraf (PUS) tidak semata-mata dibutuhkan tatkala peperangan berlangsung, namun dalam masa damai pun PUS memainkan peran penting, khususnya dalam hubungan internasional. Dalam perkembangan selanjutnya, PUS diakui sangat besar perannya dalam bidang apa saja yang mengandung elemen kompetisi, perlombaan atau persaingan.

Lalu, propaganda itu sendiri apa? Propaganda tidak lain adalah diseminasi informasi secara sistematis dan terus-menerus yang ditujukan, terutama, kepada pihak lawan dalam upaya mengubah pandangan, sikap dan emosi lawan mereka terhadap diri kita. Harold Lasswell (1977:48), seorang pakar komunikasi politik Amerika, mengemukakan bahwa propaganda dalam pelaksanaannya tidak menggunakan kekerasan atau tekanan-tekanan ekonomi, melainkan by manipulation of attitudes and opinions through social suggestion. Selanjutnya, Lasswell memberikan pandangannya bahwa masyarakat modern yang kita kenal sekarang miskin solidaritas sosial, dan miskin perekat sosial seperti yang kita kenal pada masyarakat primitif. Nah, propaganda adalah mesin politik yang kalau dilancarkan secara tepat sasaran mampu welding millions into one amalgamated mass of hate and will and hope.
***
Dalam kampanye pemilihan presiden saat ini, propaganda sangat dimanfaatkan oleh hampir semua (tim sukses) capres/cawapres. Satu sama lain saling tohok. Maklum, di dalam tim sukses capres/cawapres terdapat sejumlah mantan pejabat tinggi intelijen TNI; bahkan termasuk mereka yang pernah menjabat Kepala BIA atau Wakil Kepala BIA. Dan semua orang harus mengakui bahwa intelijen TNI, khususnya Angkatan Darat, termasuk sangat piawai dalam mempermainkan perang urat saraf dan propaganda, sebab intelijen dan propaganda adalah dua kegiatan yang saling mengisi dan saling bergantungan dalam operasinya.

Ketika capres PDIP, Megawati, tiba-tiba digoyang oleh isu perempuan tidak boleh jadi pemimpin bangsa, that is psychological warfare. Tujuannya untuk menggoyahkan sikap kelompok Muslim; minimal agar mereka berpikir 10 kali sebelum memutuskan untuk mencoblos Mega/Hazyim Muzadi pada 4 Juli nanti. Sementara itu, Wiranto pun terus digoyang oleh berbagai isu: dari mulai masalah HAM sampai soal Pamswakarsa dan VCD AFI.
SBY juga digoyang oleh propaganda yang secara sistematis dilancarkan oleh lawan-lawannya. Di kalangan minoritas (Kristen dan keturunan) beredar luas isu bahwa SBY anti-Kristen dan hendak melaksanakan Syariat Islam. Ironisnya, di kalangan muslim radikal pun beredar isu bahwa SBY anti-Syariat Islam. Kalau ia terpilih sebagai presiden, ia akan menangkapi para aktivis Syariat Islam.
Dalam teori, dikenal propaganda hitam dan putih. Berbeda dengan propaganda putih, propaganda hitam tidak menampakkan identitas sumber informasi. Tetapi, barang siapa memiliki kemampuan analisis yang kritis, sumber informasi ini sebenarnya tidak bisa ditebak juga. Di luar black and white propaganda, sebetulnya masih ada satu bentuk propaganda yang lebih bahaya lagi, yaitu clandestine propaganda. Propaganda ini dilancarkan di bawah tanah, sangat rahasia, hanya beberapa gelintir operator yang mengetahui operasinya. Bentuk propaganda ini dikatakan jahat, sebab para operatornya mempunyai satu tekad dalam menjalankan misinya yaitu “menggorok lawan” tanpa belas kasihan sedikit pun. Kerahasiaan dijaga sedemikian rupa, sehingga big-boss pun adakalanya tidak tahu kalau anak buah yang melancarkannya.

Selain itu, pengungkapan kembali kasus 27 Juli 1996 yang terkesan mendadak dan 'tanpa petir, tanpa kilat' boleh jadi bagian dari propaganda yang dilancarkan oleh lawan politik SBY. Kita sama-sama ketahui bahwa pihak kepolisian sudah lama mendapatkan bukti-bukti di lapangan mengenai kasus 27 Juli. Ketika Rusdihardjo diangkat sebagai Kapolri pada awal tahun 2000, dia berjanji akan menuntaskan kasus ini dalam tempo tiga bulan. Dan Jenderal Polisi Rusdihardjo bukan sekadar obral janji. Ia dan aparatnya betul-betul bekerja keras untuk mengungkap misteri ini.

Pada awal 2002, bukti-bukti yang dimiliki Polri sebetulnya sudah cukup lengkap. Tetapi, invincible hands tidak memungkinkan Polri menegakkan keadilan secara benar-benar adil. Yang diseret ke pengadilan – sejak tahun 2002 -- hanyalah para pelaku kelas 'keroco'. Tidak ada satu pun mantan petinggi TNI dan Polri yang diajukan ke pengadilan. Dan pimpinan Polri selalu mengelak setiap kali ditanya oleh pers bagaimana hasil pemeriksaan instansinya terhadap para petinggi TNI dan Polri yang diduga terlibat.
Tapi, tanggal 7 Juni 2004, Kapolri tiba-tiba, 'ya', tiba-tiba sekali! memerintahkan Bareskrim untuk membuka kembali kasus ini. Letjen TNI Sutiyoso, Mayjen Zaky Anwar Makarim dan beberapa jenderal lain dinyatakan sebagai tersangka. Sandiwara apa yang sedang dipergelarkan? Bukankah di penghujung 2002 PDIP mati-matian mendukung Sutiyoso untuk dipilih kembali sebagai Gubernur DKI? Bukankah Megawati selaku Ketua Umum DPP PDIP ketika itu sampai memecat Ketua DPD PDIP Jakarta, karena sikapnya yang berani menentang pencalonan kembali Sutiyoso?

Jika pelimpahan kasus 27 Juli merupakan bagian dari clandestine propaganda untuk menghadang SBY dari pencalonan presiden, saya kira perancang skenario itu adalah orang-orang yang tidak paham ilmu propaganda. Dalam textbooks diajarkan bahwa propaganda tidak bisa berangkat dari kebohongan. Pesan yang ditembakkan oleh propaganda harus faktual, atau semifaktual. Namun, kita tidak bisa memproklamasikan diri secara terbuka, karena pertimbangan tertentu. Jika isi propaganda hanya kebohongan semata, hasilnya pasti backfire alias memukul sendiri! Apalagi jika isi propaganda yang penuh kebohongan itu dilemparkan di ladang yang tidak kondusif. Kepercayaan rendah masyarakat terhadap pemerintah Megawati saat ini merupakan satu indikator ladang tidak kondusif yang dimaksud.
***
Yang tidak kalah menarik dari pemanfaatan propaganda dalam kampanye pemilihan presiden adalah indikasi bahwa Amien Rais bersih dari tohokan propaganda. Yang ramai diterpa segala macam propaganda sejauh ini hanya terbatas pada tiga capres, yaitu Megawati, SBY, dan Wiranto. Kenapa demikian?

Pertama, tiga capres ini memang yang paling diunggulkan masyarakat luas. Tiga capres ini, diam-diam, juga saling mengintip, menganggap lawan sebagai saingan beratnya. Menurut Kwik Kian Gie, SBY dianggap lawan terberat Mega. Begitu juga menurut Tim Sukses SBY: Megawati saingan terberatnya. Tetapi, baik Mega maupun SBY sama-sama tidak meremehkan Wiranto mengingat mesin politik Golkar yang sudah mengakar di daerah-daerah. Karena tiga calon ini saling mengintip dan saling berseberangan, wajar jika ada anggota tim sukses mereka yang overakting; dalam arti melakukan tindakan-tindakan (termasuk propaganda) yang tidak proporsional.

Kedua, jika tiga capres ini kills each other, yang diuntungkan pasti Amien Rais. Orang-orang Amien kini pun tertawa dan gembira melihat tiga lawannya itu saling 'berantem'. Bisa jadi, orang-orang Amien diam-diam memanfaatkan black propaganda yang berseliweran untuk keuntungan bosnya. Katakan, mereka meninggikan atau memprovokasi intensitas propaganda hitam itu, sehingga tanpa disadari, pertikaian antara Mega, SBY dan Wiranto pun berlangsung semakin sengit.
Maka, Tim Sukses Megawati, SBY atau Wiranto jangan sembarang bermain-main dengan perang urat saraf atau propaganda dalam kampanye pemilihan presiden, sebelum Anda memahami betul ilmu itu. Salah-salah Anda akan menangguk hasil yang backfire

PROPAGANDA AMERIKA ABAD 21: TEKNIK LAMA UNTUK MUSUH BARU
Media Kerja Budaya
Ignatius Haryanto

Akhir Februari 2002 lalu dunia banyak dikejutkan dengan rencana Amerika untuk mendirikan kantor Office of Strategic Influence (OSI), sebuah lembaga yang direncanakan berdiri di bawah Pentagon, sebagai suatu kantor yang bertujuan untuk melakukan perang disinformasi kepada negara-negara luar yang tidak mendukung usaha-usaha AS dalam perang melawan teroris.
Ide mendirikan Kantor urusan Pengaruh Strategis ini awalnya dikemukakan untuk merespon kepentingan Amerika yang merasa bahwa perang mereka melawan teroris tidak banyak mendapat dukungan di negara-negara Asia, Timur Tengah dan bahkan di Eropa Barat sekalipun. Oleh karena itu diusulkan pembentukan kantor ini yang dimaksudkan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mendukung perang. Bentuk dukungan ini tidak hanya dalam bentuk menyebarkan sejumlah selebaran ataupun lewat pesan-pesan televisi, tapi juga dengan mempergunakan item-item pemberitaan media massa, dan juga internet. Kalau perlu item pemberitaan bisa saja dalam bentuk disinformasi kepada negara-negara yang dianggap lawan Amerika.

Untuk pembentukan kantor ini, Pentagon awalnya terlihat sangat serius, karena mereka mengontrak Rendon Group, sebuah kantor konsultan di Washington yang dipimpin oleh John W. Rendon, bekas manajer kampanye presiden Jimmy Carter, dan menunjuk Brig Jend. Simon P. Worden sebagai Direkturnya. Rendon Group ini dikenal ketika masa Perang Teluk berhasil melakukan kerja propaganda untuk kepentingan keluarga kerajaan Kuwait dengan menunjukkan kekejaman Irak dalam serangan ke Kuwait. Untuk kantor baru ini tadinya direncanakan akan dikeluarkan uang sekitar US$10 milyar sebagai awal. Dana ini diambil dari dana darurat yang dimiliki Pentagon dan direstui oleh kalangan Kongres bulan Oktober tahun lalu.

Usaha menyebarkan propaganda tersebut tentu tak bisa dilepaskan dari strategi besar AS untuk menguasai dunia. Untuk itu baik juga membaca lagi apa yang pernah ditulis oleh ahli politik klasik Amerika, Harold Laswell, bapak ilmu propaganda yang pada 1933 menulis bahwa pengelolaan masalah sosial dan politik yang baik seringkali tergantung pada koordinasi yang rapi antara penggunaan propaganda dan penggunaan paksaan, penggunaan jalan kekerasan atau damai, iming-iming ekonomi, negosiasi diplomatis dan teknik-teknik lainnya.

Ketertutupan dan Pengekangan di Amerika Paska Tragedi September 2001
Pembentukan OSI yang kemudian batal itu hanyalah satu dari sekian kejadian yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir di negeri adidaya, Amerika Serikat. Dari dalam negeri sendiri, ada banyak protes yang dilancarkan sejumlah kalangan untuk memprotes perilaku arogan Amerika terhadap dunia, dan menganggap bahwa wilayah perang Amerika adalah seluruh dunia. Untuk itu pemerintah Amerika bisa saja menganggap seluruh dunia menjadi musuhnya, kecuali kalau negara-negara tersebut terang-terangan mengatakan bahwa mereka menyokong tindakan Amerika. Dari kalangan seniman, intelektual, dan jurnalis, ada banyak kritik diungkapkan lewat berbagai pameran kesenian, opini di media massa dan ruang-ruang kuliah. Namun sebagian besar dari kritik ini mendapatkan reaksi yang tak kurang kerasnya dari pemerintah yang sedang blingsatan mencari musuh-musuhnya. Dennis J. Kucinich, seorang anggota Kongres dari Distrik Ohio, mengritik terbuka perilaku Amerika yang anti demokrasi itu. Ia mempertanyakan tindakan Amerika ini dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam Konstitusi Amerika. “Bagaimana kita bisa menerima perlakuan yang melanggar amandemen pertama dan hak untuk bicara bebas, hak untuk berkumpul secara damai?” Dalam surat terbukanya ia pun menyatakan, “Kita tak bisa membenarkan pengupingan dan pengecekan fasilitas internet tanpa perintah dari pengadilan. Kita tak bisa membenarkan pemeriksaan tanpa disertai surat perintah. Kita tak bisa menerima begitu saja kekuasaan kepada Jaksa Agung untuk menentukan kelompok-kelompok yang ia anggap sebagai kelompok teroris lokal. Kita tak bisa menerima begitu saja keleluasaan FBI untuk mengakses seluruh data yang kita miliki hingga data yang menyangkut soal data kesehatan dan data keuangan seseorang.”

Ungkapan ini menjadikan situasinya lebih jelas. Ada ketakutan tersendiri di kalangan masyarakat Amerika atas perilaku pemerintah dan aparat militer yang menjadikan seluruh dunia termasuk kampung halamannya sendiri sebagai wilayah perang. Dan rejim yang seperti ini, menjadi sangat sensitif dengan suara-suara yang berlainan dengan suara yang dipompakan terus menerus dalam media massa yang oligopolis tersebut. (lihat wawancara GuerrilaNews.com dengan Christopher Simpson, seorang profesor dan pengajar dari American University, di Washington DC) Ketika perang di Afganistan dimulai, raja media Rupert Murdoch, dengan sadar mengatakan bahwa grup media miliknya akan sangat memperhatikan kepentingan pemerintah dan tidak akan menyudutkan posisi pemerintah. Sebagian aktivitas di industri perfilman Hollywood pun sempat berhenti karena para produser acara memaksa untuk menyeleksi kembali berbagai tayangan yang dikhawatirkan bisa memunculkan sentimen anti-Amerika.

Matthew Rothschild, seorang editor dari majalah The Progressive menulis bahwa masa yang dialami Amerika sekarang mengingatkan pada situasi Amerika di 1950-an, masa yang disebut sebagai McCarthyism. McCarthy adalah nama seorang anggota parlemen Amerika yang memompakan semangat anti komunis di Amerika pada masa perang dingin. Menurut Rothschild dalam artikel yang diterbitkan The Progressive bulan Februari 2002 itu, kata “Terorisme” itu sama nilainya dengan kata “Komunisme” pada 1950-an. Setiap orang di Amerika menjadi sangat ngeri kalau ia dituduh ada kaitan dengan “Terorisme”, sementara tindakan menakut-nakuti itu adalah terorisme yang sesungguhnya. Sejumlah pameran seni dikuntit oleh anggota FBI atau Dinas Rahasia, para aktivis anti perang juga digeledah rumahnya, untuk dicari “barang-barang anti Amerika”-nya, bisa poster yang mengolok-olok presiden Bush, himbauan anti perang, poster yang mempertanyakan kematian anak-anak karena kekurangan gizi di Afganistan dan matinya penduduk sipil di wilayah ‘musuh’ tersebut. Sejumlah jurnalis dicopot dari pekerjaannya sebagai wartawan karena menuliskan kolom atau editorial yang “tidak sesuai dengan suasana yang dirasakan masyarakat Amerika kebanyakan”. Profesor yang kritis di universitas pun dihimbau untuk tidak memberikan kuliah atau bahkan diberhentikan.

Jackie Anderson misalnya, adalah seorang wartawan dari koran Sun Advocate di Price, Utah, mengalami nasib tak baik ini. Ia sudah bekerja selama tiga tahun di koran itu dan ketika terjadi pemboman gedung WTC ia sempat menulis kolom yang isinya “Perang bukanlah satu-satunya solusi yang kita miliki saat ini. Mencari keadilan adalah aksi yang bisa dilakukan, namun Mencari Kedamaian pun adalah aksi yang bisa dilakukan.” Seminggu setelah kolomnya beredar, ia diberhentikan oleh editornya yang cuma bisa berkata “Bukan itu arah yang hendak diambil koran ini.”
Beberapa koran malah sempat menurunkan tulisan besar-besar yang meminta maaf atas ‘kelancangan’ salah satu staf mereka ketika menurunkan tulisan yang “tidak sesuai dengan suasana umum masyarakat di Amerika”.
Dalam suasana seperti ini, baik pemerintah Amerika maupun media massa seakan mengglorifikasi kehendak untuk berperang. Padahal perang melawan siapa, mengapa dan berapa lama perang akan dilangsungkan, tak pernah dijawab dengan jelas. Perang melawan terorisme, sebagaimana diklaim pemerintah Amerika Serikat, kemudian menjadi semacam keleluasaan Amerika untuk bisa masuk ke berbagai wilayah negara, sambil menakut-nakuti suatu wilayah akan diserang atau diberi perhatian khusus. Yang terjadi kemudian pemerintah AS gemar sekali menuduh suatu negara sebagai pendukung terorisme dan mengancam untuk segera menggerakkan pasukan ke wilayah tersebut.
Peperangan yang tak jelas musuhnya ini kemudian jadi makin meluas dan meluas. Tak banyak orang yang berani mempertanyakan kebijakan Amerika ini, selain karena memang media massa besar di Amerika telah membuat banyak orang terbuai dalam permainan perang-perangan ini. Berbulan-bulan stasiun televisi CNN, milik AOL-Time Warner Group (grup media paling besar di dunia), menurunkan pemberitaan yang selalu di bawah tajuk “US Under Attack”. Jika sebagian orang masih memelihara kewarasan otaknya, maka tajuk berita macam itu memuakkan dan bisa bikin muntah.
Jelas benar bahwa media massa yang oligopolis, yang memiliki asset yang demikian besar, tak bisa menjaga kekritisannya atas rejim yang sedang sensitif ini. Dan kita mengambil logika yang sederhana saja: suatu perusahaan media tak mungkin bisa menjadi sedemikian besar jika tak memperoleh proteksi ekonomi dan politik dari kelompok-kelompok kekuasaan yang ada, baik dari pemerintahan sipil dan militer, penguasa politik ataupun ekonomi. Dan semakin membesarnya sebuah grup media, maka mereka akan semakin menyimpan konflik kepentingan yang sangat tinggi, karena penguasa politik dan ekonomi tertinggi adalah sobat-sobatnya. Mana mungkin sobat-sobat ini, apakah itu perusahaan multinasional yang jadi pengiklan grup media ini, ataukah penguasa politik yang setuju melindungi grup media tersebut akan diperlakukan secara kritis?

Teknik lama untuk musuh baru

Kalau melihat praktek yang dilakukan Amerika dalam peperangan melawan Afganistan, kemudian juga apa yang sedang dilakukan terhadap Irak demi menjatuhkan Saddam Husein, kiranya hal ini tak bisa dilepaskan dari strategi yang memang sudah ada dalam perencanaan badan-badan intelejen Amerika, bahwa selain perang fisik dilangsungkan untuk menjatuhkan musuh-musuh Amerika, perang dalam bentuk kata-kata, dalam bentuk informasi, juga dilakukan untuk mendukung perang sesungguhnya.
Teknik propaganda semacam ini pun jelas dilakukan oleh Amerika dan para pendukungnya untuk menggulingkan sejumlah pemerintahan di dunia, misalnya pemerintahan Sukarno, pemerintahan Allende di Chile, dan lain-lain.

Semakin banyak bukti yang bisa ditunjukkan tentang keterlibatan Amerika dalam penjatuhan Sukarno pada 1965, terutama ketika Amerika memberikan bantuan peralatan telekomunikasi kepada Angkatan Darat untuk memudahkan usaha memberantas kelompok komunis kala itu. Dan di Jakarta sendiri menjelang kejatuhan Sukarno diketahui ada sebuah pemancar radio yang sangat besar kekuatannya, yang menyiarkan propaganda-propaganda untuk menjelek-jelekkan Sukarno. Bukti soal bantuan telekomunikasi tersebut bisa dilihat pada arsip-arsip yang telah dideklasifikasi dari CIA untuk laporan tentang Indonesia pada 1965.
      
Belum lagi jika kita pelajari apa saja langkah yang dilakukan Amerika dalam perang melawan Afganistan beberapa waktu yang lalu. Di awal peperangan yang terjadi sejak Oktober 2001, Amerika mendrop berbagai paket makanan kepada penduduk sipil Afganistan sembari menyelipkan berbagai pamflet yang menjelekkan pemerintahan Taliban di Afganistan. Lepas dari kita setuju atau tidak pemerintahan Taliban menjalankan kekuasaannya, di situ tampak sekali bagaimana langkah-langkah perang kata-kata atau propaganda dijalankan bersamaan dengan perang dalam arti yang sesungguhnya.

Mengapa demikian? Karena menurut Harold Laswell ongkos kegiatan propaganda lebih murah daripada perang yang sebenarnya, dan terkadang bisa mendapatkan hasil yang lebih efektif daripada menggelar perang yang sesungguhnya. Kita juga ingat bagaimana Amerika dalam perang dengan Afganistan pun menyiapkan suatu radio khusus yang disiarkan dalam bahasa Pashtun bahasa kelompok mayoritas di negeri tersebut untuk mendukung kejatuhan pemerintahan Taliban. Jadi hal tentang propaganda yang dilakukan oleh Amerika, bukanlah sesuatu yang baru, namun merupakan teknik standar yang diterapkan oleh Amerika ke berbagai negara yang dianggap musuhnya. Demikian pula yang terjadi ketika Amerika melakukan invasi ke Vietnam pada dekade 1960-an. Propaganda lewat radio setempat pun jadi salah satu bagian dari strategi operasi perang Amerika.

Propaganda sendiri merupakan kemampuan membentuk persepsi tertentu kepada orang lain. Sebenarnya istilah propaganda itu sendiri adalah sesuatu yang netral, karena kata itu berarti mempromosikan suatu ide. Tapi dalam perkembangannya istilah ini menjadi cenderung negatif, karena di dalamnya ada unsur-unsur paksaan baik itu kasar maupun halus, untuk meyakinkan suatu ide tertentu. Apalagi kalau propaganda itu dilakukan oleh pihak Negara dengan bantuan kalangan intelektual yang mengabdi padanya. Noam Chomsky mengungkapkan hal ini dalam salah satu papernya pada 1991, yang kemudian dimuat dalam Alternative Press Review (“Media Control”, Musim Gugur tahun 1993) “Propaganda Negara, jika didukung oleh kalangan terdidik, akan menghasilkan dampak yang sangat besar”.

Sebenarnya bukan hanya propaganda negara yang berbahaya, tapi juga propaganda yang dilakukan oleh kalangan industriawan, karena kalangan industriawan ini menggunakan perusahaan-perusahaan hubungan masyarakat (Public Relations) untuk memompa citranya kepada media massa, dan dari tahun ke tahun, jumlah uang yang berputar dalam bisnis pencitraan ini makin lama makin naik. Bayangkan saja bahwa kantor OSI yang batal dibuat Amerika, pertama sekali menggamit kalangan profesional dari industri kehumasan ini untuk membantu pemulihan citra Amerika di negara-negara Muslim.

Pada masa perang dingin, yang mulai sejak akhir perang dunia II hingga 1960-an, sebenarnya propaganda ini pun banyak dilakukan oleh Amerika, dan terutama karena Amerika didukung dengan banyaknya sarjana ilmu Komunikasi yang terlibat dalam proyek-proyek rahasia badan intelejen untuk memperbesar pengaruh Amerika di dunia, dan terutama kepada negara-negara yang dianggap berpotensi untuk menjadi musuh atau penentang Amerika.

Institusi seperti CIA pada 1950-an sangat terlibat dalam pembentukan kelembagaan akademis serta dukungan dana atas kegiatan ini, terutama dalam pendirian CENIS (Center for International Studies) di MIT. Salah satu tema utama yang diteliti oleh para sarjana yang tergabung dalam CENIS ini adalah tema tentang ‘pertumbuhan ekonomi’ dan juga ‘modernisasi’ di negara dunia ketiga. Di antara para sarjana yang tergabung dalam CENIS di antaranya adalah Daniel Lerner, Ithiel de Sola Pool, lalu juga ada nama-nama lain seperti Harold Lasswell, Paul Lazarfeld, Edward Shils, sebagai anggota komitenya. Daniel Lerner dikenal dengan bukunya The Passing of Traditional Society, sementara Pool, Lazarfeld, dikenal sebagai ahli-ahli ilmu komunikasi, dan Lasswell dikenal sebagai bapaknya propaganda di Amerika dan Shills adalah jurubicara utama dari Proyek Kebebasan Budaya yang didukung oleh CIA dan juga Kongres Amerika.

Dalam perkembangannya CENIS juga melakukan studi atas sejumlah wilayah geografis yang dianggap oleh kalangan intelejen Amerika sebagai ‘agigator’ seperti misalnya di Indonesia, di Chili, Puerto Rico, Perancis, Italia, Cuba dan lain-lain. Sejumlah laporan yang diproduksi oleh sarjana-sarjana CENIS menyebutkan bahwa perubahan sosial di negara-negara berkembang terutama adalah menata permasalahan untuk kepentingan Amerika, dimana di dalamnya termasuk masalah urbanisasi, industrialisasi, sekularisasi dan juga komunikasi. Semua masalah tadi dianggap bisa diukur dan dipergunakan untuk mempertahankan kepentingan Amerika.
Jika membaca buku yang ditulis Noam Chomsky dan Edward S. Herman, 23 tahun yang lalu (The Washington Connection and Third World Fascism: The Political Economy of Human Rights: volume I, Spokesman, 1979), maka tesis utama dari buku itu tetap relevan sampai sekarang bahwa Amerika dalam menjalankan politik luar negerinya selain menggunakan kebijakan global, dan pembangunan institusi di sejumlah wilayah, juga menggunakan pula taktik “brainwashing under freedom” (mencuci otak dengan berdalih soal kebebasan). Taktik ini direncanakan oleh kelompok politik di pusat kekuasaan, bekerjasama dengan para intelektualnya dan juga juru bicara media massanya, untuk merekonstruksi dan menggeser perspektif sejarah dan interpretasi atas peristiwa-peristiwa aktual yang sesuai dengan kepentingan mereka. Semua taktik ini dikerjakan dengan cara yang sangat luarbiasa impresif.

Banyak sudah yang menjadi korban dari perang-perang Amerika ini, mulai dari Pakistan, Burundi, negara-negara Amerika Latin termasuk di dalamnya menumbangkan rejim demokratis di Chili, Salvador Allende Timor Timur, Indonesia, Thailand, Filipina, Republik Dominika dan juga Vietnam.

Propaganda Jalan Terus

Kembali ke masa kini, kepentingan Amerika akan terus dijaga dengan pencitraan yang mereka lakukan dalam menyelubungi kepentingan-kepentingan mereka di berbagai tempat. USA Today edisi 28 Februari 2002, menulis bahwa George Bush mengatakan bahwa Amerika masih harus bekerja keras untuk memperbaiki citra mereka di negara-negara Muslim. Bush mengungkapkan hal itu sebagai respon dari hasil survey yang dilakukan oleh lembaga polling Gallup yang menyebutkan bahwa di sembilan negara Muslim, 53% responden berpendapat bahwa mereka tak menyukai negara Amerika, dan 58% responden yang sama juga mengatakan bahwa mereka tak menyukai sosok presiden Amerika saat ini, George W. Bush. Gallup melakukan survey atas hampir 10.000 responden di Pakistan, Iran, Indonesia, Turki, Libanon, Maroko, Kuwait, Jordan dan Arab Saudi. Sementara itu Bush sendiri tetap mendukung pembentukan radio alternatif guna menggulingkan pemimpin Irak, Saddam Husein, karena Saddam dicurigai memiliki jaringan dengan para teroris. Jadi walau kantor OSI urung didirikan, namun nyatanya, kegiatan propaganda terus dilakukan tanpa kelembagaan OSI sekalipun. Ada atau tak ada institusi, maka propaganda dan infiltrasi terus dilakukan Amerika. Tentu saja untuk memperkukuh posisinya sebagai satu-satunya negara adidaya di dunia, dan juga negara yang menjadi ‘polisi dunia’.

Untuk mengimbangi peran dominan Amerika macam begini, maka peran dari media massa yang independen pun menjadi penting. Media yang besar, cenderung terkooptasi dengan pertentangan kepentingan dengan para petinggi militer Amerika, dan mereka relatif tidak kritis atau cenderung melakukan sensor diri agar mereka tidak terjebak dalam situasi yang tidak mengenakkan bagi sobat-sobat mereka tersebut. Peran media yang independen ini menjadi penting karena karena desakan bertubi-tubi dari media massa itu pulalah, maka Donald H. Rumsfeld, Menteri Pertahanan Amerika tersebut membatalkan ide pembentukan OSI tersebut. Katanya “Keberadaan kantor OSI dibatalkan karena pendapat yang berbeda di kalangan media, baik berupa editorial hingga karikatur mengolok-olok kantor itu sehingga membuatnya jadi tidak akan efektif. Konsep tentang kantor ini sudah dirusak sedemikian rupa sehingga kantor ini kalaupun didirikan tidak akan bisa berlangsung dengan efektif.”

Bahan Bacaan:
Christopher Simpson, Science of Coercion: Communication Research and Psycological Warfare 1945-1960, Oxford University Press, 1994
A.C. Manulang, Menguak Tabu Intelejen: Teror, Motif dan Rezim, Jakarta: Panta Rhei a1, 2001
Noam Chomsky & Edward S. Herman, The Washington Connection and Third World Fascism: The Political Economy of Human Rights: Vol. I, Spokesman, 1979
Matthew Rothschild, “The New McCarthyism”, The Progressive February 2002
Ruth Conniff, “The Word from Washington: Patriot Games”, The Progressive February 2002
Noam Chomsky, “Media Control”, ringkasan dari Alternative Press Review Fall, 1993
Wawancara Stephen Marshall dengan Christopher Simpson, dalam Guerrilanews.com “The Science of Coercion”
IGNATIUS HARYANTO adalah jurnalis, dan wakil direktur Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) di Jakarta


Korban Perang Mikrofon 21 Hari

KEDUA pria berseragam tentara ini, menjelaskan dan melayani tanya jawab wartawan, masing-masing dengan gaya dan versinya. Sahaf yang berkacamata, beberapa jam sebelum "terjungkalnya" patung Saddam Hussein, menjelaskan tegas betapa Irak akan menang dan mengusir tentara gabungan. Sebaliknya Brooke dengan dingin, menegaskan kalau tentara AS dan Inggris juga pasti akan menang. Dua versi informasi yang berbeda juntrungannya, namun keduanya mirip ... sama-sama merasa menang!
Di palagan bermesiu darah dan nyawa, dua orang mewakili "kepentingan" bangsa-bangsa dunia, berupaya tampil sehebat mungkin agar menarik puja dan puji pihaknya. Kata-kata kalimatnya, kalau perlu, menggunakan kata keras dan kalimat kasar, supaya pemirsa tayangannya melampiaskan kepuasanan sambil manggut-manggut, atau geleng-geleng kepala.
APA yang tertayang gambarnya dan terlontar bunyi ucapannya, sungguh terbayang di mata dan terngiang di telinga. Gambar-gambar yang menusuk ke hati, kata-kata yang melekat di benak, semua itu bagian dari taktik dan strateginya propaganda. Baik kubu Irak maupun geng tentara AS cs.
Materi propaganda itu, memang dibuat dan dirancang dengan kesadaran penuh, baik materi sajiannya maupun nada pengucapan dan ilustrasinya. Propaganda memang suatu upaya yang ditata sedemikian rupa, untuk mempengaruhi dan memanipulasi sesuatu keputusan, kegiatan, ataupun keyakinan dari sejumlah masyarakat agar terarah ke suatu tujuan khusus yang berupa isu dan opini.
Baik Brooke dan terutama Sahaf, memang sengaja "dipasang" badannya agar menemui wartawan dan ber-acting, sambil mengeluarkan informasi penting perihal kedudukan dan keberadaan pihaknya, dalam pertikaian bersenjata bom maut dan peluru tajam. Seharusnya, kedua "informan" ini sudah merencanakan dan mengatur persiapan, baik materi data dan informasinya, juga beberapa persiapan kalimat untuk menangkis pertanyaan maut wartawan perang.
Layaknya sebuah propaganda, isi atau kandungan informasinya harus benar-benar "berbahasa" umum, serta dapat diterima masyarakat kebanyakan. Apabila propaganda itu menampilkan propagandisnya, sang "corong" ini betul-betul harus disetel dan dilatih, kalau perlu disutradarai agar penampilannya enak dilihat, infonya enak didengar, juga gampang dimengerti.
Artinya propagandis itu, memang orang pilihan dengan syaraf kuat dan berani berkata benar, meski harus tabah meski berkata "bohong" juga. Yang penting, tukang propaganda itu benar-benar harus setel yakin, apa yang diucapkan dan dijelaskan itu, sebisa mungkin meyakinkan dan menyedot perhatian pendengarnya sehingga emosi dan perasaannya akan terpengaruh, meski bisa positif bisa pula negatif.
Sebab dalam suatu propaganda, peranan "corongnya" itu mutlak penting. Hanya dengan kata-kata dan kalau perlu disertai bukti, si propagandis itu harus berupaya memanipulasi agar sekelompok publik, dapat dipengaruhi dan diyakinkan kalau ide, produk atau seseorang yang ditokohkannya itu, sesungguhnya akan memberikan sesuatu kebaikan atau kelebihan, dibanding dengan lawan isunya.

Kalau membanding Sahaf dan Brooke, sebagai dua propagandis yang pernah ngetop, Sahaf yang tampil lebih matang dan selalu berbahasa Arab dan Inggris, sempat memukau dan amat menarik empati pemirsa, meski kosakatanya kadang terdengar kurang diplomatis. Sedangkan Brooke yang bergaya serdadu, serta bicaranya amat teknis meski sopan, namun kering tanpa tawa dan canda.
Lepas dari siapa kalahkan siapa, kedua juru bicara ini seharusnya dipersiapkan dan mempersiapkan dirinya. Mengingat kedua pihak berseteru itu, masing menyebut "musuh" terhadap lawan aksinya, tentunya pihak-pihak itu sudah tahu "siapa bagaimana apa" sang musuh itu.

Irak dan AS, kebetulan pernah berseteru dalam Perang Teluk sekitar 12 tahun lalu (17 Januari-28 Februari 1991), masing-masing pasti sudah paham siapa itu si "Amerikiya" yang musuh, siapa pula sang "Iraqi" yang enemy itu.
BAGAIMANA strategi dan perencanaan "perang propaganda" ini, tentunya bagi dua kubu militer itu amatlah "RHS" alias rahasia. Meski kedua pihak itu memiliki lembaga atau institusinya, namun sejauh ini belum pernah mengedarkan pers rilis, seraya memaparkan apa saja yang mereka ketahui perihal musuhnya.
Di dunia telaah ilmu-ilmu sosial, ada buku klasik menarik yang mengungkapkan, betapa di saat Perang Dunia II yang mencabut puluhan ribu nyawa, semua pihak yang terlibat selain mempersiapkan "mata-mata" yang intelijen, juga memberdayakan "otak-otak" yang peneliti. Orang-orang akademi ini, dilibatkan penuh untuk menelaah dan memperhatikan penuh segala perilaku informasi, termasuk macam-macam propaganda yang ada.
Salah satu contoh klasik dan legendaris, tentunya kasus Ruth Benedict. Sebagai ahli antropologi budaya yang tertarik pada sejarah, tradisi, dan karakter bangsa Jepang, Benedict pada bulan Juli 1944 ditugaskan pemerintah AS, untuk bekerja penuh di Kantor Penerangan Perang, menjadi "mata-mata" dari jarak jauh melalui telaah disiplin ilmunya. Antropolog perempuan itu, ditugaskan mempelajari bangsa Jepang yang musuh besarnya AS di Perang Dunia II (1939-1945).

Jepang sebagai bangsa besar Asia, dianggap memiliki perbedaan kebiasaan dalam bertindak dan berpikir. Amerika yang sudah berperang habis-habisan itu, menemui kesulitan tidak enteng.
Meski di saat itu, Jepang sudah membuka dirinya selama 75 tahun, bangsa luar lainnya tetap tidak bisa mengerti, apalagi mendalami watak bangsa kulit kuning itu. Di pertengahan abad XX lalu, memang sudah banyak buku mengulas Jepang, namun sepertinya tetap ada kalimat tambahan dengan awal kata "tetapi juga". Misalnya tulisan perihal bertapa orang Jepang itu amatlah ramah-tamah, namun ada tambahan "tetapi juga ... kasar dan menekan".
AS belajar dari pengalaman Rusia ketika berperang melawan Jepang pada tahun 1905. "Tsar memerangi suatu bangsa yang sepenuhnya dipersenjatai dan terlatih, akan tetapi tidak tergolong dalam tradisi Barat... Inilah yang membuat perang tersebut suatu masalah tentang watak musuh. Kita harus mengerti tingkah laku mereka untuk bisa memenangkannya," begitu kalimat pembuka Benedict dalam buku legendarisnya The Chrysanthemum and the Sword (cetakan ke-30, 1979).

Di Amerika Serikat orang percaya perang melawan Jepang akan berlangsung tiga tahun, atau mungkin 10 tahun lagi. Sementara di Jepang, mereka siap berperang terus meski berlangsung seratus tahun lagi, begitu tulis Benedict. "Kemenangan Amerika di pulau-pulau Pasifik, itu masih sejauh ribuan mil dari Jepang... Rakyat Jepang senantiasa menganggap dirinya masih pemenang," tulis Benedict.
SELAIN mewawancarai dan mengamati perilaku kaum nisei, kaum warga negara AS keturunan Jepang kelahiran Amerika, Kantor Penerangan Perang AS juga mempelajari kampanye propaganda Jepang di negerinya sendiri. Antara lain, propaganda Jepang menyebutkan hal paling berharga dari manusia, hanyalah jiwa.
Materi hanyalah pelengkapnya. "Untuk menandingi baja AS, kita harus melawan dengan daging kita!"
Benedict pun menjelaskan contoh sebuah buku. "Bacalah ini dan perang sudah dimenangkan!" Begitu kalimat cetak tebal buku sakti itu. Penerbang Jepang pun yang membaca indoktrinasi kitab perang itu, kontan rela dan berani menabrakkan pesawat kecilnya, langsung ke kapal perang AS yang besar-besar. Keberanian pilot dari satuan Kamikaze itu, memang ampuh menghantam musuhnya macam "angin dewata" atau kamikaze.

Sementara itu, radio Dai Nippon tetap mengumandangkan seruan, pengompor semangat, dan pendorong niat untuk bekerja, bersatu, dan bertekad mengalahkan musuhnya. Tiap pagi, bangsa Jepang ikut taisho alias senam pemanas badan. "Semakin kita kurang makanan, semakin kita harus meningkatkan kekuatan fisik kita dengan cara lain. Ayo kita senam!" Begitu kampanye propagandanya.
Pemujaan rakyat Jepang terhadap Sang Kaisar pun, tidak kenal kata alpa. Bukan cuma tentara diwajibkan membungkuk tiga kali ke arah timur, sambil berseru "banzai". Tapi segala pemberian, anugerah ataupun sekadar persenan rokok dari atasan untuk tentaranya, sang komandan selalu bilang "ini dari Kaisar".
Kesetiaan diri terhadap bangsa, negara, dan kaisar selalu dihubungkan dengan sikap bushido dan pandangan luhur terhadap keadilan, keberanian, kebaikan hati, kesopanan, kehormatan, kesetiaan, dan pengendalian diri. Bahkan sampai ketegasan membunuh diri ber-seppuku atau harakiri.
"Bangsa Jepang berkadar amat ekstrem. Bersifat tidak agresif sekaligus amat agresif, militeristis dan estetis, kasar dan sopan, kaku dan mudah bergaul, setia dan berkhianat, pemberani dan pengecut, konservatif dan terbuka ... Apa yang akan dilakukan bangsa Jepang? Apakah penyerahan mungkin terjadi tanpa invasi? ... Haruskah mengebom Istana Kaisar?"
Pendek cerita, Perang Dunia II pun usai dengan segala konsekuensinya. Kisah sekelumit kilas balik PD II tadi, cuma untuk mengingatkan kembali, betapa demi suatu "kemenangan", manusia mau berupaya apa saja. Termasuk meneliti apa saja kehebatan dan kelemahan sang lawan.
Kembali ke soal "Perang 21 Hari" AS-Inggris vs Irak, tentunya kedua pihak sudah mempelajari kedigjayaan dan keloyoan lawannya. Juga kedua pihak itu, tahu betul cara berpropaganda dan berperang dengan mikrofon.

Negara berseteru itu, boleh dikata sudah sukses menarik perhatian hampir seluruh warga dunia. Malah mereka boleh dikata nyaris berhasil, memprovokasi sebagian besar manusia bumi untuk memihak ke sana dan ke sini. Jadi selama "Perang 21 Hari" lalu, nyaris pula berjatuhan banyak korban, gara-gara "perang mikrofon". Kompas, 13 April 2003

 

IV. TENTANG PROPAGANDA DAN AGITASI 

20. Tugas kita yang paling utama sebelum meletusnya pemberontakan revolusioner secara terbuka adalah melancarkan propaganda dan agitasi revolusioner. Namun, selama ini pekerjaan tersebut masih dilakukan dengan cara‑cara lama. Hal ini pun hanya terbatas pada pidato‑pidato dalam rapat‑rapat massa, tanpa memperhatikan isi revolusioner dari pidato‑pidato tersebut dan dalam bahan‑bahan tulisan politiknya.
Propaganda dan agitasi Komunis harus berakar di benak kaum proletar. Ia harus lahir dari kehidupan aktual kaum buruh, kepentingan‑kepentingan dan aspirasi mereka dan, di atas segala-galanya, dari perjuangan bersama yang dilancarkan oleh mereka.
Aspek yang terpenting dari propaganda Komunis adalah isi dan wataknya yang revolusioner. Oleh karena itu, slogan‑slogan dan seluruh sikap politik Komunis, dalam menanggapi satu atau berbagai persoalan dalam situasi kongkrit yang ada, harus mendapatkan perhatian dan pengkajian secara khusus. Partai‑partai Komunis tidak akan pernah bisa menyatakan sikapnya secara tepat jika para propaganda dan agitator profesionalnya serta para anggota partai tidak mendapatkan pendidikan politik secara menyeluruh dan terus menerus. 

21. Bentuk‑bentuk pokok propaganda Komunis adalah sebagai berikut:
  • Propaganda orang ke orang secara lisan;
        Keterlibatan Komunis dalam serikat buruh dan gerakan politik kelas buruh lainnya; serta
    Propaganda melalui Roran Partai maupun pendistribusian bahan‑bahan bacaan lainnya
      Seluruh anggota partai, baik legal maupun illegal, harus terlibat secara reguler dalam salah satu dan atau bentuk‑bentuk propaganda lainnya.
Propaganda dari orang ke orang terutama harus berbentuk agitasi dari rumah ke rumah secara sistematik. Untuk itu harus dibentuk group‑group khusus. Di wilayah-wilayah tertentu, dimana organisasi lokal‑partai memiliki cukup pengaruh, setiap rumah harus didatangi. Di kota-kota besar, agitasi jalanan yang diorganisasi secara khusus dengan menggunakan poster dan selebaran seringkali memberikan hasil yang baik. Sementara itu, di pabrik-pabrik dan di kantor-kantor, sel-sel maupun fraksi-fraksi harus menjalankan propaganda dari orang ke orang yang digabungkan dengan pendistribusian bahan bacaan.

Di samping itu, jika di suatu negeri terdapat bangsa‑bangsa minoritas maka partai harus mencurahkan perhatiannya secara khusus dalam hal pekerjaan agitasi propaganda di kalangan kelas buruhnya. Tentu saja agitasi propaganda ini harus dilakukan dengan menggunakan bahasa‑bahasa bangsa minoritas. Untuk menjalankan kerja tersebut harus didirikan organ‑organ partai khusus. 
       
        22. Di negeri‑negeri kapitalis dimana sebagian besar kaum proletariatnya belum memiliki kesadaran revolusioner, harus dicarikan metode kerja agitasi propaganda secara lebih efektif. Propaganda harus disesuaikan dengan tingkat kesadaran buruh yang belum revolusioner namun yang sudah mulai teradikalisir, dan juga harus dilakukan upaya-upaya untuk semakin mendekatkan mereka ke gerakan revolusioner. Dalam situasi apapun, propaganda dan slogan Komunis harus mampu meneguhkan aspirasi yang masih ragu dan masih belum mencerminkan kesadaran kelas, yakni aspirasi yang masih dipengaruhi oleh ideologi borjuis namun yang sudah mencerminkan watak revolusioner, yang berkembang di kalangan kelas buruh dalam rangka melawan tradisi borjuis.
Pada saat yang sama juga, Propaganda Komunis harus melebihi tuntutan‑tuntutan maupun harapan massa proletar yang masih terbatas dan samar‑samar. Berdasar tuntutan dan harapan inilah kita bisa membangun dan mengembangkan pengaruh kita serta mendorong kaum proletar untuk memahami dan bersimpati terhadap Komunisme. 

23. Agitasi Komunis di kalangan massa proletar harus dijalankan sedemikian rupa sehingga kaum militan proletar akhirnya bisa mengetahui bahwa hanya organisasi Komunis lah yang berani dan berpandangan jauh ke depan. Dengan demikian mereka akan mengakuinya sebagai pimpinan gerakan buruh yang loyal dan enerjik.
Untuk meraih pengakuan ini maka kaum Komunis harus terlibat dalam seluruh perjuangan sehari‑hari dan dalam seluruh gerakan kelas buruh, serta membela kaum buruh dalam setiap perlawanannya terhadap kaum kapitalis, khususnya ketika mereka sedang memperjuangkan pengurangan jam kerja, kenaikan upah, perbaikan kondisi kerja dan sebagainya. Kaum Komunis harus melakukan pengkajian secara mendalam terhadap kondisi kehidupan sehari‑hari kaum buruh; mereka harus membantu buruh untuk memahami problem‑problem yang mereka hadapi; membantu mereka dalam merumuskan tuntutan-tuntutannya secara praktis dan jelas; menggalang kesetiakawanan kelas dan meningkatkan wawasan mereka terhadap kepentingan dan tujuan bersama mereka sebagai anggota kelas di suatu negeri, sebagai bagian dari laskar proletariat internasional.

Hanya melalui kerja sehari‑hari di basis massa serta dengan komitmen yang teguh dan penuh berpartisipasi dalam seluruh perjuangan proletariat, maka sebuah partai dapat menjadi partai Komunis dalam maknanya yang sejati. Hanya dengan cara‑cara inilah maka Partai Komunis bisa membedakan dirinya dengan partal‑partai Sosialis, yang kebanyakan aktivitasnya hanyalah melakukan propaganda abstrak, yang banyak‑banyak merekrut anggota kesana kemari hanya berbicara tentang reformasi dan segala "kemungkinan" untuk berjuang melalui parlemen. Keterlibatan seluruh anggota Partai Komunis secara sadar dan teguh dalam perjuangan serta perlawanan sehari‑hari kelas terhisap terhadap kelas penghisap merupakan prasyarat yang teramat penting bukan hanya bagi perebutan kekuasaan, namun yang lebih penting lagi, untuk mewujudkan kediktatoran proletariat. Hanya dengan memimpin massa pekerja dalam perjuangan sehari‑hari melawan serangan kapitalisme lah maka Partai Komunis mampu menjadi pelopor kelas pekerja. Dengan demikian partai belajar dari praktek untuk memimpin kaum proletar guna mempersiapkan penggulingan akhir terhadap kaum borjuasi. 
       
        24. Untuk bisa terlibat dalam gerakan buruh, kaum Komunis harus dikerahkan/dimobilisir dengan kekuatan penuh, utamanya pada saat terjadi pemogokan maupun perjuangan‑perjuangan massal lainnya yang dilakukan kaum buruh.

Adalah sebuah kesalahan besar jika kaum Komunis mengecam tingkat perjuangan buruh yang masih menuntut perbaikan kondisi kerja. Sama besarnya dengan kesalahan di atas jika partai kemudian bersikap pasif dengan dalih bahwa kita hanya setia kepada program Komunis untuk melancarkan pemberontakan revolusioner bersenjata sebagai tujuan akhirnya. Betapapun terbatas dan sederhananya tuntutan yang hendak diajukan kaum buruh, jangan sampai kaum Komunis mencari dalih untuk tidak melibatkan diri dalam perjuangan tersebut. Aktivitas agitasi kita jangan sampai menimbulkan kesan bahwa kita, kaum Komunis, hanya mau membantu pemogokan yang menguntungkannya atau hanya menyepakati aksi‑aksi yang besar saja. Sebaliknya, kaum Komunis harus selalu berupaya meraih nama baik sebagai pejuang yang berani dan efektif di kalangan massa yang tengah berjuang. 

25. Sel‑sel (fraksi‑fraksi) Komunis yang bekerja dalam gerakan serikat buruh seringkali tidak mampu mengakomodasi tuntutan-tuntutan sederhana yang mendesak. Adalah mudah, namun sama sekali tidak menguntungkan, untuk selalu menceramahi kaum buruh dengan prinsip‑prinsip umum Komunisme, untuk kemudian menolak segala bentuk sindikalisme, justru ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang kongkrit. Praktek‑praktek demikian hanya akan menguntungkan Amsterdam Internasional Kuning[1][1].

Sebaliknya, aksi‑aksi Komunis harus selalu dituntun oleh kajian‑kajian yang mendalam terhadap semua aspek persoalan tersebut. Sebagai contoh, dari pada melakukan serangan secara teoritik terhadap seluruh kesepakatan tentang pengupahan, justru yang harus kita lakukan adalah memerangi seluruh kesepakatan pengupahan yang disetujui oleh para pimpinan Amsterdam. Segala sesuatu yang bisa meredam militansi kaum proletar harus kita kecam dan lawan mati‑matian; dan sebagaimana sudah kita ketahui bersama, kaum kapitalis dan kacung‑kacung Amsterdamnya mencoba memanfaatkan kesepakatan pengupahan tersebut untuk membelenggu militansi kaum buruh yang militan. Akan tetapi, sebagaimana sudah menjadi keharusan kita, kaum Komunis dapat membelejeti kaum kapitalis secara efektif justru dengan mengajukan kesepakatan-kesepakatan upah yang tidak akan membelenggu militansi kaum buruh.

Sikap yang sama juga harus kita ambil dalam menghadapi persoalan tunjangan bagi pengangguran, kesehatan, dana‑dana pemogokan serta tunjangan‑tunjangan lainnya yang diberikan oleh serikat‑serikat buruh. Dana pemogokan maupun dana tunjangan ini sendiri akan banyak memberikan manfaat. Adalah tidak tepat untuk menentang pengumpulan‑pengumpulan dana semacam ini. Yang kita tentang bukanlah metode perjuangan yang menyertakan pengumpulan dana pemogokan dan tunjangan, melainkan kita menentang setiap cara dan pemanfaatan penggunaan dana‑dana tersebut oleh para pimpinan Amsterdam. Karena apa yang dilakukan mereka pada hakekatnya bertentangan dengan kepentingan revolusioner kaum buruh.
Sebagai contoh bisa ditunjukkan disini, yakni berkaitan dengan dana tunjangan kesehatan bagi kaum buruh yang sedang sakit. Kaum Komunis dapat menuntut penghapusan sistem sumbangan wajib untuk pengeluaran dana tersebut, untuk itu kita juga harus menentang semua persyaratan yang membatasi sistem sumbangan secara sukarela. Jika masih ada sejumlah buruh yang ingin tetap mempertahankan sistem sumbangan wajib bagi dana kesehatan maka kita tidak bisa begitu saja melarang mereka untuk melakukannya, karena hal yang demikian ini justru akan membingungkan kaum buruh. Yang pertama‑tama harus kita lakukan adalah membebaskan mereka dari konsepsi tunjangan ala borjuis kecil yang masih melekat pada diri mereka. Cara yang paling efektif adalah dengan melancarkan propaganda dari orang ke orang. 

26. Dalam perjuangan kita menentang serikat‑serikat buruh maupun partai‑partai buruh yang didominasi kaum sosial‑demokrat dan borjuis kecil, kita tidak bisa menggunakan cara‑cara persuasi. Perjuangan menentang mereka justru harus kita lakukan dengan sepenuh tenaga. Hal tersebut akan berhasil kita lakukan jika kita bisa meyakinkan para pengikut mereka, yakni dengan cara membelejeti para pimpinan yang telah mengkhianati sosialisme dan yang telah menjatuhkan diri mereka ke dalam jebakan kapitalisme. Oleh karena itu begitu muncul kesempatan, kita harus menggiring para pimpinan itu untuk membuka kedok mereka; baru setelah itu kita bisa melancarkan serangan gencar ke arah mereka.
Bagi kita adalah tidak cukup untuk sekedar mencap para pimpinan Amsterdam tersebut dengan cap "kuning." Justru kekuningan mereka ini harus dibuktikan dengan contoh‑contoh praktis secara terus menerus, seperti aktivitas mereka di serikat‑serikat buruh , di Biro Perburuhan Internasional Liga Bangsa‑Bangsa, di kementerian‑kementerian dan pemerintahan borjuasi, pidato‑pidato khianat yang mereka sampaikan dalam sidang‑sidang parlemen maupun dalam konferensi‑konferensi, sikap-sikap politik yang mereka tunjukkan dalam ratusan artikel tulisannya di koran‑koran. Akhirnya, yang terutama kita harus blejeti adalah kebimbangan dan keengganan yang mereka tunjukkan ketika mempersiapkan atau melancarkan kampanye‑kampanye kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja yang paling wajar sekalipun. Semua hal diatas menyediakan kesempatan bagi kaum Komunis untuk membelejeti mereka setiap hari, baik itu dalam pidato‑pidato maupun dalam resolusi‑resolusi kita, yang secara jelas, ringkas dan tegas membongkar aktivitas khianat dan sayap kanan dari para pimpinan Amsterdam. Pembuktian‑pembuktian inilah yang membuat mereka layak dijuluki sebagai pimpinan‑pimpinan "kuning."

Sel‑sel dan fraksi‑fraksi kita harus melancarkan perjuangan praktisnya dengan cara yang sistematik. Kaum Komunis jangan sampai dikalahkan oleh birokrat rendahan serikat buruh yang seringkali dengan maksud‑maksud baik namun yang karena tidak cukup kekuatan untuk mempraktekannya, berlindung di balik anggaran dasar (statuta), resolusi‑resolusi kongres serikat buruh maupun arahan‑arahan kerja dari pengurus pusatnya. Para birokrat rendahan serikat buruh ini sering memanfaatkan hal‑hal di atas sebagai dalih untuk tidak mendorong perjuangan agar lebih maju lagi. Sebaliknya, kaum Komunis harus selalu menuntut mereka untuk memberikan pemecahan terhadap persoalan yang ada, dan yang lebih penting adalah kita harus menunjukkan apa yang sudah kaum Komunis kerjakan untuk menghilangkan hambatan‑hambatan tadi. Baru setelah itu kita menanyakan kepada para pejabat rendahan dan anggota serikat buruh tadi tentang kesediaan mereka untuk diajak serta memecahkan persoalan dan memerangi hambatan‑hambatan ini secara terbuka. 

27. Sebelumnya, fraksi‑fraksi harus secara seksama mempersiapkan keterlibatan Komunis dalam konferensi‑konferensi dan pertemuan‑pertemuan yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi serikat buruh. Sebagai contoh, kaum Komunis harus merancang secara rinci usulan‑usulan yang akan diajukannya, memilih pembicara dan mencalonkan orang untuk pemilihan kepengurusan yang diambil dari kawan‑kawan yang cakap, berpengalaman dan enerjik. Melalui fraksi‑fraksinya, organisasi-organisasi Komunis harus melakukan persiapan seksama untuk menghadapi seluruh pertemuan kaum buruh, pertemuan‑pertemuan pemilihan, demonstrasi‑demonstrasi dan acara‑acara politik lain yang diselenggarakan oleh organisasi‑organisasi saingan. Jika kaum Komunis menyelenggarakan pertemuan‑pertemuan buruh mereka sendiri, mereka harus mengatur sejumlah besar group agitator yang akan disebarkan di tengah‑tengah massa, baik itu dalam tahap persiapan maupun selama pelaksanaan pertemuan, yang akhirnya memungkinkan group‑group tersebut terlibat dalam menyusun rencana aksi selanjutnya. Hanya dengan cara inilah hasil propaganda yang memuaskan dapat kita peroleh.  

28. Kaum Komunis harus selalu mempelajari bagaimana cara menarik kaum buruh yang belum terorganisasi dan yang belum sadar politik ke dalam wilayah pengaruh partai. Sel‑sel dan fraksi-fraksi kita harus mendekati kaum buruh ini untuk bergabung dengan serikat‑serikat buruh maupun untuk membaca koran partai kita. Organisasi‑organisasi yang lain juga harus kita gunakan untuk menyebarkan pengaruh kita, seperti: koperasi‑koperasi konsumsi, organisasi‑organisasi veteran dan korban perang, badan‑badan pendidikan, kelompok‑kelompok studi, klub‑klub olah raga dan kelompok‑kelompok teater. Jika sebuah partai Komunis harus bekerja dengan cara‑cara illegal, para anggota partai dapat mengambil inisiatif untuk membangun organisasi‑organisasi buruh semacam tadi ‑termasuk organisasi‑organisasi simpatisan‑ yang ada di luar partai, namun kesemuanya ini harus atas kesepakatan dan arahan kerja dari organ‑organ pimpinan partai. Organisasi-organisasi pemuda dan perempuan Komunis juga dapat menyelenggarakan kursus‑kursus, sekolah‑sekolah malam, festival dan acara‑acara piknik di hari libur, dan bermacam kegiatan yang bisa menarik perhatian rakyat pekerja, yang sebelumnya tidak akrab dengan politik Partai Komunis. Untuk kemudian kita akan menghubungkan orang‑orang ini ke dalam organisasi‑organisasi serta melibatkan mereka dalam pekerjaan‑pekerjaan partai, seperti penyebaran selebaran, mengedarkan koran Partai dan semacamnya. Hanya dengan keterlibatan dalam gerakan secara menyeluruh ini maka kaum buruh akan lebih mudah mengatasi sikap-sikap borjuis kecil mereka.  

29. Untuk bisa menarik barisan semi‑proletar dari kalangan rakyat pekerja agar berpihak kepada proletariat revolusioner, kaum Komunis harus menggunakan konflik yang terjadi antara mereka dengan tuan‑tuan tanah besar, kaum kapitalis dan negara kapitalis. Dengan demikian kita bisa menghilangkan kecurigaan kelas‑kelas perantara ini terhadap revolusi proletar. Tentu saja ini akan memakan waktu panjang. Barisan semi‑proletar akan semakin yakin dengan gerakan Komunis jika partai bisa memenangkan simpati mereka dalam memperjuangkan kebutuhan mereka sehari‑hari, memberikan bantuan cuma‑cuma dan memberikan saran ketika mereka menghadapi kesulitan‑kesulitan dan sebagainya. Dan pada saat bersamaan kaum Komunis mendorong mereka untuk bergabung dalam perkumpulan‑perkumpulan khusus sehingga mereka dapat memperoleh pendidikan lebih lanjut. Dengan tindakan‑tindakan tersebut mereka akan menaruh kepercayaan terhadap gerakan Komunis. Kaum Komunis jangan sampai mengendorkan upayanya untuk membersihkan pengaruh organisasi maupun orang‑orang yang anti Komunis di kalangan petani miskin, pekerja‑pekerja industri rumah tangga maupun elemen‑elemen semi‑proletariat lainnya. Kaum Komunis harus membuka kedok musuh‑musuh rakyat ini sebagai penghisap yang mewakili kejahatan sistem kapitalisme. Propaganda dan agitasi Komunis harus dilancarkan pada setiap konflik yang terjadi sehari‑hari, yaitu konflik antara angan‑angan demokrasi borjuis kecil mereka dengan kenyataan praktek birokrasi negara dengan menggunakan bahasan yang mudah dipahami oleh mereka.
Organisasi-organisasi lokal di wilayah pedesaan harus membagi pekerjaan di kalangan anggotanya untuk melancarkan agitasi dari rumah ke rumah. Hanya dengan cara ini, setiap perkampungan, perkebunan maupun masing-masing rumah di wilayah yang bersangkutan dapat kita sentuh. 
         
          30. Sementara itu metode-metode propaganda di kalangan prajurit angkatan darat dan angkatan laut negara kapitalis harus disesuaikan dengan kekhususan kondisi di masing‑masing negara. Agitasi anti‑militerisme yang berwatak pasifis adalah membahayakan. Secara prinsipil kaum proletar menentang semua organisasi militer negara borjuis dan kelas borjuasi, kaum proletar pun akan melawan pengaruh mereka secara konsisten. Namun institusi‑institusi ini (angkatan darat, klub‑klub menembak, organisasi‑organisasi pertahanan sipil dan semacamnya) dapat dimanfaatkan untuk melakukan latihan kemiliteran bagi kaum buruh dalam mempersiapkan perjuangan revolusioner. Artinya, agitasi yang intensif tidak dilancarkan untuk menentang prinsip‑prinsip latihan kemiliteran bagi pemuda maupun buruh, namun untuk melawan rejim militer dan kekuasaan para perwira yang sewenang‑wenang. Oleh karena itu setiap kesempatan untuk mendapatkan senjata bagi kaum buruh harus bisa dimanfaatkan sebaik‑baiknya demi keuntungan revolusi. Jajaran agitasi propaganda harus mengamati setiap pertentangan kelas yang ada antara para perwira, yang memperoleh fasilitas baik, dengan kalangan prajurit rendahan, yang menerima perlakuan buruk serta kondisi sosial yang celaka. Agitasi harus dilancarkan di kalangan prajurit sehingga mereka dapat secara jelas melihat bahwa masa depan mereka sangat tergantung pada perjuangan kelas yang terhisap. Di tengah‑tengah gejolak revolusioner, kita juga harus melancarkan agitasi untuk mendorong adanya pemilihan‑pemilihan perwira secara demokratik dan pembentukan Soviet‑Soviet (Dewan‑Dewan) Perwakilan Prajurit. Jika ini berhasil dilakukan maka ia akan bisa menghancurkan dasar-dasar kekuasaan kelas borjuasi. Agitasi‑agitasi secara seksama dan dengan sekuat tenaga harus dilakukan untuk menentang pasukan khusus dan gerombolan‑gerombolan sipilnya yang dikerahkan borjuasi dalam perang kelas. Kaum Komunis harus memilih saat yang tepat untuk meruntuhkan moral serta mendorong perpecahan di jajaran pasukan mereka. Jika di kalangan tentara, biasanya di kalangan korps perwira, terdapat banyak orang yang berbeda asal-usul kelas sosialnya dengan rakyat, maka harus dilakukan pembelejetan, dengan demikian akan membuat mereka semakin terkucil. Dan jika dalam pasukan mereka terdapat orang‑orang yang berasal‑usul‑kelas yang sama dengan rakyat, maka mereka juga harus dibelejeti, dengan demikian akan timbul kebencian yang meluas di kalangan rakyat terhadap tindakan khianat mereka. Tindakan pembelejetan ini diharapkan akan meruntuhkan disiplin militer orang‑orang tadi

 

B. KISAH TENTANG BAGAIMANA MARTINOV MEMPERDALAM PLEKHANOV

 
“Alangkah banyaknya orang sosial-demokrat sebangsa Lomonosov yang muncul di kalangan kita di waktu belakangan ini!” ujar seorang kawan pada suatu hari, dan yang dimaksudkannya ialah kecenderungan yang mengagumkan dari banyak orang di antara yang condong pada ekonomisme “dengan akal sendiri” pasti sampai pada kebenaran-kebenaran besar (misalnya, bahwa perjuangan ekonomi mendorong kaum buruh memikirkan ketiadaan hak bagi mereka), dan dengan demikian menganggap sepi, dengan sikap yang sangat menghina dari orang-orang zenial alamiah, segala yang sudah dihasilkan oleh perkembangan pikiran revolusioner dan perkembangan gerakan revolusioner yang terdahulu. Martinov-Lomonosov adalah justru seorang zenial alamiah semacam itu. Lihatlah artikelnya “Soal-Soal Terdekat” maka orang akan melihat bagaimana Martinov dengan akal sendiri mendekati apa yang sudah lama dikatakan oleh Akselrod (yang tentu saja sepatah kata pun tidak disebut-sebut oleh si Lomonosov kita); bagaimana, misalnya, dia mulai mengerti bahwa kita tidak dapat menganggap sepi oposisi dari berbagai lapisan borjuasi (Raboceye Dyelo No.9, hlm. 61, 62, 71; bandingkan ini dengan Jawaban redaksi Raboceye Dyelo kepada Akselrod,hlm. 22, 23, 24), dll. Tetapi sayang, dia hanya “mendekati” dan baru “mulai”, tidak lebih dari itu, karena dia bagaimanapun juga belum begitu mengerti ide-ide Akselrod, sehingga dia masih bicara tentang “perjuangan ekonomi melawan kaum majikan dan pemerintah”. Selama tiga tahun (1898-1901) Raboceye Dyelo telah berusaha keras untuk memahami Akselrod, tetapi—tetapi bagaimanapun tidak memahaminya! Barangkali hal ini terjadi juga karena sosial-demokrasi, “seperti umat manusia”, selalu mengajukan untuk dirinya sendiri hanya tugas-tugas yang dapat dilaksanakan?

Tetapi orang-orang  sebangsa Lomonosov itu menonjol tidak hanya karena ketidaktahuan mereka mengenai banyak hal (ini baru setengah celaka!), tetapi juga karena ketidaksedaran mereka akan kepicikan pengetahuan mereka. Nah, ini sudah celaka yang sesungguhnya: dan celaka inilah yang mendorong mereka tanpa berpanjang-panjang mulai “memperdalam” Plekhanov.

“Telah banyak waktu berlalu”, cerita Martinov-Lomonosov, “sejak Plekhanov menulis buku ini” (Tugas-Tugas Kaum Sosialis Dalam Perjuangan Melawan Bahaya Kelaparan di Rusia). “Kaum sosial-demokrat yang selama sepuluh tahun memimpin perjuangan ekonomi klas buruh…..belum berhasil memberikan dasar terori yang luas bagi taktik Partai. Soal ini sekarang sudah menjadi matang dan jika kita ingin memberikan dasar teori itu, kita tentu saja harus banyak memperdalam prinsip-prinsip taktik yang pernah dikembangkan oleh Plekhanov…… Definisi kita sekarang tentang perbedaan antara propaganda dengan agitasi harus berbeda dari definisi Plekhanov”. (Martinov baru saja mengutip kata-kata Plekhanov: “Seorang propagandis mengemukakan banyak ide kepada satu atau beberapa orang; seorang agitator hanya mengemukakan satu atau beberapa ide, tetapi dia mengemukakannya kepada sejumlah besar orang”). “Dengan propaganda kita artikan penjelasan secara revolusioner  tentang seluruh sistem sekarang atau manifestasi-manifestasinya sebagian-sebagian, tak peduli apakah ia dilakukan dalam bentuk yang dapat dipahami oleh orang-seorang atau oleh massa luas. Dengan agitasi, dalam arti kata setepatnya” (sic!), “kita artikan menyerukan kepada massa supaya melakukan aksi-aksi konkrit tertentu, memudahkan campur-tangan revolusioner secara langsung dari proletariat dalam kehidupan sosial”.

Kita ucapkan selamat kepada sosial-demokrasi Rusia—dan internasional—atas terminologi Martinov yang baru ini yang lebih tepat dan lebih mendalam. Selama ini kami berpendapat (bersama-sama dengan Plekhanov dan dengan semua pemimpin gerakan buruh internasional) bahwa seorang propagandis jika dia membahas misalnya, soal penganggurang itu juga harus menerangkan sifat kapitalis dari krisis, menunjukkan sebab-sebab mengapa krisis-krisis itu tak terhindarkan dalam msyarakat dewasa ini, melukiskan perlunya mengubah masyarakat ini menjadi masyarakat sosialis, dsbnya. Pendek kata, dia harus mengemukakan “banyak ide”, begitu banyak sehingga semua ide itu secara keseluruhan sekaligus akan dimengerti hanya oleh (relatif) beberapa orang saja. Akan tetapi seorang agitator yang berbicara tentang soal itu juga, akan mengambil sebagai contoh yang paling menyolok dan paling luas diketahui oleh para pendengarnya, misalnya, kematian karena kelaparan keluarga seorang penganggur, semakin meningkatnya kemelaratan, dsb, dan dengan menggunakan kematian ini, yang diketahui oleh semua orang tak ada kecualinya, akanmengarahkan segenap usahanya pada pengemukaan satu ide kepada “massa”, yaitu ide tentang kegilaan kontradiksi antara meningkatnya kekayaan dan meningkatnya kemiskinan; dia akan berusaha keras untuk membangkitkan ketidakpuasan dan kemarahan di kalangan massa terhadap ketidakadilan yang menyolok mata itu, dan menyerahkan penjelasan yang lebih lengkap tentang kontradiksi itu kepada propagandis. Karena itu, propagandis terutama bekerja dengan kata tercetak; agitator dengan kata hidup. Dari propagandis dituntut sifat-sifat yang berbeda dengan yang dituntut dari agitator. Kautsky dan Lafargue, misalnya, kita namakan propagandis; Bebel dan Guesde kita namakan agitator. Mengkhususkan bidang ketiga atau fungsi ketiga aktivitas praktis, dan memasukkan ke dalam fungsi ini “seruan kepada massa supaya melakukan aksi-aksi konkrit tertentu”, adalah omong-kosong besar, karena “seruan”, sebagai satu tindakan, atau sudah sewajarnya dan tak terelakkan melengkapi karya teori, brosur propaganda dan pidato agitasi, atau merupakan fungsi pelaksana semata-mata. Ambillah, misalnya, perjuangan yang sekarang sedang dilakukan oleh kaum sosial-demokrat Jerman menentang pajak padi-padian. Para ahli teori menulis karya-karya rise tentang politik cukai dan “menyerukan”, misalnya, supaya orang berjuang untuk perjanjian-perjanjian dagang dan untuk kebebasan berdagang. Propagandis melakukan hal itu juga dalam majalah, dan agitator dalam pidato-pidato di muka umum. Pada saat sekarang, “aksi-aksi konkrit” massa mengambil bentuk penandatanganan petisi-petisi kepada Reichstag menentang penaikan pajak padi-padian. Seruan untuk aksi ini secara tak langsung berasal dari para ahli teori, propagandis dan agitator, dan secara langsung berasal dari kaum buruh yang mengedarkan surat-surat petisi itu ke pabrik-pabrik dan rumah-rumah perseorangan mengumpulkan tanda-tangan. Menurut “terminologi Martinov”, kautsky dan Bebel kedua-duanya adalah propagandis, sedang mereka yang mengumpulkan tanda-tangan adalah agitaor; tidakkah demikian?

Contoh Jerman itu mengingatkan saya pada kata Jerman “Verballhornung” yang kalau diterjemahkan secara hurufiah berarti “pem-Ballhorn-an”. Johann Ballhorn, seorang penerbit di Leipzig pada abad ke 16, menerbitkan buku bacaan anak-anak dimana, sebagaimana kebiasaannya, dimuat lukisan ayam jantan; tetapi gambar ini bukannya melukiskan seekor ayam jantan biasa yang berjalu, melainkan melukiskannya tanpa jalu tetapi dengan dua butir telur terletak di dekatnya. Pada sampul buku ini dicetaknya tulisan tambahan “Cetakan yang telah diperbaiki oleh Johann Ballhorn”. Sejak waktu itu orang-orang Jerman menamakan setiap “perbaikan” yang sesungguhnya memperburuk, sebagai “pem-Ballhorn-an”. Dan orang mau tak mau mesti teringat pada Ballhorn apabila orang melihat bagaimana orang-orang sebangsa Martinov itu mencoba “memperdalam” Plekhanov.

Mengapa Lomonosov kita itu “menciptakan” kekusutan ini? Untuk menggambarkan bagaimana Iskra “mencurahkan perhatian hanya pada satu segi dari persoalan, seperti yang telah dilakukan oleh Plekhanov lima belas tahun yang lalu” (hlm. 39). “Menurut Iskra, tugas-tugas propaganda mendesak ke latar belakang tugas-tugas agitasi, sekurang-kurangnya untuk waktu sekarang” (hlm. 52). Jika dalil yang terakhir ini kita terjemahkan dari bahasa Martinov ke dalam bahasa manusia biasa (karena manusia belum berhasil memahami terminologi yang baru diciptakan itu), maka akan kita peroleh yang berikut: Menurut Iskra, tugas-tugas propaganda politik politik dan agitasi politik mendesak ke latar belakang tugas “mengajukan tuntutan-tuntutan konkrit kepada pemerintah untuk tindakan-tindakan legislatif dan administrasi” yang “menjanjikan hasil-hasil tertentu yang nyata berwujud” (atau tuntutan-tuntutan untuk refrom-reform sosial, yaitu jika kita sekali lagi saja diperkenankan menggunakan terminologi lama dri manusia lama yang belum mencapai tingkat Martinov). Kami sarankan supaya pembaca membandingkan tesis ini dengan tirade (semburan kata-kata—Red. IP) berikut ini:

“Yang juga mengherankan kita dalam program-program ini” (program-program kaum sosial-demokrat revolusioner) “ialah senantiasa ditonjolkannya keunggulan-keunggulan aktivitas kaum buruh dalam parlemen (yang tidak ada di Rusia), meskipun kaum sosial-demokrat itu tidak mau tahu sama-sekali (berkat nihilisme revolusioner mereka) akan arti penting kaum buruh ikut serta dalam sidang-sidang legislatif tuan pabrik mengenai urusan-urusan pabrik (yang ada di Rusia)……atau sekurang-kurangnya arti penting kaum buruh ikut serta dalam badan-badan kota-praja”……..

Penulis tirade ini menyatakan dengan sedikit lebih berterus-terang, jelas dan blak-blakan ide itu juga yang telah di dapat oleh Martinov-Lomonosov dengan akal sendiri. Penulis ini ialah R. M. dalam lampiran Khusus Rabacaya Misl (hlm. 15).
Jumat, 26 Oktober 2001

Memahami Makna dan Seluk Beluk Propaganda
Judul: Komunikasi Propaganda, Penulis: Nurudin, Penerbit: Remaja Rosdakarya Bandung, Cetakan Pertama, Juli 2001, Tebal: (viii + 155) halaman.


PROPAGANDA sebetulnya sering kita bicarakan, karena propaganda memang tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Ia menjadi bagian dari alat atau teknik berkomunikasi dan dijadikan sebagai salah satu metode dalam komunikasi.
Sejalan dengan tingkat perkembangan teknologi komunikasi yang kian pesat, maka metode komunikasi pun mengalami perkembangan yang pesat pula. Namun semua itu, mempunyai aksentuasi sama yakni komunikator menyampaikan pesan, ide, dan gagasan, kepada pihak lain (komunikan). Hanya model yang digunakannya berbeda-beda.

Bila dirinci secara lebih konkret, metode komunikasi dalam dunia kontemporer saat ini yang merupakan pengembangan dari komunikasi verbal dan nonverbal meliputi banyak bidang, antara lain jurnalistik, hubungan masyarakat, periklanan, pameran/ eksposisi, propaganda, dan publikasi. Berdasarkan metode dalam komunikasi seperti tersebut tadi, semakin jelas kiranya, bahwa propaganda menjadi salah satu metode dalam komunikasi.
Tentunya, karena propaganda menjadi bagian dari kegiatan komunikasi, maka metode, media, karakteristik unsur komunikasi (komunikator, pesan, media, komunikan) dan pola yang digunakan, sama dengan model-model komunikasi lain. Oleh karena itu, unsur komunikasi secara umum juga berlaku bagi propaganda.

 

***

BAHASAN singkat di atas merupakan sekelumit dari buku tentang propaganda dan relevansinya dengan bidang komunikasi. Buku Komunikasi Propaganda ini berusaha menghadirkan konsepsi integral dan komprehensif mengenai propaganda, yang belakangan ini mengalami peyoratif (pemburukan) makna.

Oleh karena itu, buku ini mencoba menggali permasalahan dasar, sejarah, dampak, berbagai kasus propaganda di Indonesia dan sekaligus antisipasinya jika berdampak negatif, dengan counter propaganda. Itu artinya, kita tidak perlu apriori pada propaganda, demikian juga tetap harus waspada terhadap dampak buruk yang bisa ditimbulkan.

Pertama-tama buku ini membawa pembaca pada sebuah pemahaman bahwa propaganda itu bisa diibaratkan sebuh ilmu. Tentunya, ilmu itu akan membutuhkan hasil positif jika melekat pada orang yang mempunyai kepribadian baik. Namun, propaganda akan menghasilkan kejelekan dan menimbulkan kesengsaraan manakala melekat pada orang yang tidak baik.
Hal tersebut dapat dibuktikan oleh sejarah antara lain bagaimana Napoleon Bonaparte menggunakan propaganda politik untuk memenangkan perang. Serta tak terkecuali seorang Adolf Hitler yang menggunakan propaganda untuk memusuhi suatu ras dan memenangkan perang dengan meluaskan jurang pemisah antara negara lain sehingga terjadi perpecahan. Jadi propaganda akan berimplikasi baik atau buruk sangat tergantung pada komunikatornya.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa sekarang ini propaganda mengalami peyoratif makna yang cukup signifikan, maka buku karya alumnus Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta ini menjelaskan bahwa yang membuat propaganda mengalami pemutarbalikan fakta, disalahgunakan untuk tidak hanya menyebut mengalami makna peyoratif, adalah disebabkan hal-hal sebagai berikut.

Pertama, propaganda mengalami sisi negatif jika telah digunakan dalam bidang-bidang sekuler.
Kedua, propaganda akan mengalami makna negatif sangat tergantung pada peran pemimpin yang menggunakan propaganda tersebut.
Ketiga, propaganda berkait erat dengan situasi dan kondisi masyarakatnya.
Keempat, propaganda dalam perkembangannya hanya digunakan oleh pihak-pihak tertentu yang tak bertanggung jawab dalam mengejar ambisinya.

Pada bab selanjutnya buku ini mengetengahkan bagaimana teknik melakukan propaganda. Ada beberapa teknik yang bisa digunakan dalam melancarkan propaganda. Efektif tidaknya dan pilihan mana yang digunakan, sangat bergantung pada kondisi komunikan, kemampuan komunikator (propagandis), lingkungan sosial politik dan budaya masyarakatnya.
Dalam buku itu disebutkan, beberapa teknik propaganda dan uraiannya. Sedangkan media yang dapat digunakan dalam kegiatan propaganda, disebutkan: media massa, buku, film, dan selebaran.

 

***

PENULIS buku itu kemudian membawa pembaca pada paradigma secara utuh, dan diberi uraian tentang implementasi propaganda politik pada masa tiga Presiden Indonesia yang pernah menjabat yaitu Soeharto, BJ Habibie, dan Abdurrahman Wahid.
Di era Soeharto atau yang lebih dikenal masa Orde Baru, propaganda politik yang pernah dilakukan antara lain; (1) propaganda menampilkan citra baik kepribadian pemimpin, (2) propaganda pembangunan ekonomi, (3) propaganda dengan organisasi berbasis militer, (4) propaganda sakralisasi Pancasila dan UUD 1945, (5) propaganda penertiban politik dan asas tunggal, dan (6) propaganda dengan politisasi agama.

Pada era BJ Habibie propaganda yang sering diserukannya adalah tentang demokratisasi. Selain itu juga propaganda moral altruisme bangsa dan propaganda pseudo demokrasi.
Untuk era Abdulrrahman Wahid (Gus Dur) yang selama memimpin bangsa ini sangat dipenuhi pro-kontra di masyarakat, dinamika propaganda Gus Dur yang khas dan layak disimak dalam buku ini adalah propaganda menggunakan language politic, mempropagandakan fiqh politik, propaganda "kesejahteraan dan demokrasi sama-sama penting", propaganda Ketetapan (Tap) MPRS No XXV/MPRS/1966, propaganda negara tanpa "tentara", propaganda politik memaafkan, dan terakhir propaganda demokrasi dengan teologi inklusivisme.
Jika propaganda berdampak negatif dan kita tak ingin propaganda seperti itu berkembang di masyarakat, maka tentu saja harus dilawan. Usaha melawan propaganda inilah yang dinamakan counter propaganda. Khusus pembahasan masalah counter propaganda dapat disimak pada bab akhir dari buku karya Nurudin ini.

Dalam counter propaganda, propagandis memberikan kebenaran ide dan gagasan yang sudah melenceng, memberikan fakta-fakta empirik beserta dampak positif yang dimungkinkan terjadi. Counter propaganda harus dilakukan terus-menerus agar tertanam kuat di benak komunikan. Atau kalau sudah tertanam kuat keburukan, propaganda bisa sedikit banyak mempengaruhi pola pikirnya. Jika komunikan jadi bimbang mempertimbangkan kembali keyakinannya-setelah sebelumnya mempercayai dan berperilaku jelek mengikuti propaganda terdahulu-itu artinya counter propaganda bisa dikatakan setengah berhasil (hlm 125).

Kayaknya Nurudin ingin membuat pembaca lebih memahami apa yang diuraikannya, maka pada bagian ini pula ia memberikan beberapa contoh kasus counter propaganda. Kenapa hal ini dilakukan? Sebab, berbagai kasus itu menolak atau menunjukkan tentang ketimpangan propaganda yang dilakukan pihak lain (pemerintah) dan memberikan esensi dasar obyektivitasnya.
Ini bukan berarti kasus itu seratus persen benar. Hanya ada beberapa indikasi mengembalikan sesuatu pada posisi semula yang tak lain dan bukan mempunyai esensi counter propaganda.
Secara keseluruhan buku ini bisa dijadikan pegangan untuk memfungsikan propaganda secara lebih baik, beretika, sebagai propagandis yang bermoral.

 

***

DENGAN membahami makna dan seluk beluk propaganda, kita akan mudah mengerti atau menangkap sesuatu yang ditawarkan oleh siapa pun. Misal membaca iklan, mendengarkan promosi barang jualan atau gagasan, dan sebagainya. Pendeknya, kalau kita menguasai masalah propaganda, tak akan mudah tergiur atau terperosok ke hal-hal yang tidak kita inginkan (Kompas)
 

Salira81.com