KEWAJIBAN ISTRI
Pasutri
pasti selalu menginginkan keluarganya terus tentram dan langgeng. Namun kadang
yang terjadi di tengah-tengah pernikahan adalah pertengkaran dan perselisihan.
Ini boleh jadi karena tidak mengetahui manakah yang menjadi hak atau kewajiban
dari masing-masing pasutri. Oleh karena itu, mengetahui kewajiban suami atau
kewajiban istri sangatlah penting. Sehingga istri atau suami masing-masing
mengetahui manakah tugas yang mesti ia emban dalam rumah tangga. Kali ini
rumaysho.com akan mengulas bahasan kewajiban istri. Namun jangan khawatir,
untuk kewajiban suami masih tetap ada setelah bahasan untuk istri selesai. Allahumma
yassir wa a’in.
Keagungan Hak Suami
Hak
suami yang menjadi kewajiban istri asalnya dijelaskan dalam ayat berikut ini,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى
النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا
مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا
حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ
فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ
سَبِيلًا
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” (QS. An Nisa’: 34)
Hak suami yang menjadi kewajiban istri amatlah besar sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ
يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا
جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ
“Seandainya
aku memerintahkan seseorang untuk sujud pada yang lain, maka tentu aku akan
memerintah para wanita untuk sujud pada suaminya karena Allah telah menjadikan
begitu besarnya hak suami yang menjadi kewajiban istri” (HR. Abu Daud no.
2140, Tirmidzi no. 1159, Ibnu Majah no. 1852 dan Ahmad 4: 381. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ketaatan seorang istri pada suami termasuk sebab yang menyebabkannya masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
وليس على المرأة بعد حق الله
ورسوله أوجب من حق الزوج
"Tidak
ada hak yang lebih wajib untuk ditunaikan seorang wanita –setelah hak Allah dan
Rasul-Nya- daripada hak suami" (Majmu' Al Fatawa, 32: 260)
Jika kewajiban istri pada suami adalah semulia itu, maka setiap wanita punya keharusan mengetahui hak-hak suami yang harus ia tunaikan.
Berikut
adalah rincian mengenai hak suami yang menjadi kewajiban istri:
Pertama: Mentaati
perintah suami
Istri
yang taat pada suami, senang dipandang dan tidak membangkang yang membuat suami
benci, itulah sebaik-baik wanita. Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, dia berkata,
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ
إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا
وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah
ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah
wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan
jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi
suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai
no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
shahih)
Begitu pula tempat seorang wanita di surga ataukah di neraka dilihat dari sikapnya terhadap suaminya, apakah ia taat ataukah durhaka.
Al
Hushoin bin Mihshan menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan
tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ:
نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ
عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ
وَنَارُكِ
“Apakah
engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.” “Bagaimana
(sikap) engkau terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam lagi. Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali
dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan
suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4: 341 dan
selainnya. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam
Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1933)
Namun
ketaatan istri pada suami tidaklah mutlak. Jika istri diperintah suami untuk
tidak berjilbab, berdandan menor di hadapan pria lain, meninggalkan shalat lima
waktu, atau bersetubuh di saat haidh, maka perintah dalam maksiat semacam ini
tidak boleh ditaati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ،
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak
ada ketaatan dalam perkara maksiat. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara
yang ma’ruf (kebaikan).” (HR. Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 1840)
Dan
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan,
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي
مَعْصِيَةِ اللهِ
“Tidak
ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad 1:
131. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Kedua: Berdiam di
rumah dan tidaklah keluar kecuali dengan izin suami
Allah Ta’ala
berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا
تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab: 33).
Seorang
istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Baik si
istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang
lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seorang
istri keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata,
“Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz
(pembangkangan), bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta
pantas mendapatkan siksa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 281)
Ketiga: Taat pada
suami ketika diajak ke ranjang
Dari
Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ
امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ
حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika
seorang pria mengajak istrinya ke ranjang, lantas si istri enggan memenuhinya,
maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR. Bukhari no. 5193
dan Muslim no. 1436).
Dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا
مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ
كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
“Demi
Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil
istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan
yang di langit (penduduk langit) murka pada istri tersebut sampai suaminya
ridha kepadanya.” (HR. Muslim no. 1436)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ini adalah dalil haramnya wanita enggan mendatangi ranjang jika tidak ada uzur. Termasuk haid bukanlah uzur karena suami masih bisa menikmati istri di atas kemaluannya” (Syarh Shahih Muslim, 10: 7). Namun jika istri ada halangan, seperti sakit atau kecapekan, maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi hal ini.
Keempat: Tidak
mengizinkan orang lain masuk rumah kecuali dengan izin suami
Pesan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada haji Wada’,
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى
النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ
فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ
أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ
“Bertakwalah
kalian dalam urusan para wanita (istri-istri kalian), karena sesungguhnya
kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan
kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka
tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak kalian sukai untuk menginjak
permadani kalian” (HR. Muslim no. 1218)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ
تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنَ فِى بَيْتِهِ
إِلاَّ بِإِذْنِهِ ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ
فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُه
“Tidak
halal bagi seorang isteri untuk berpuasa (sunnah), sedangkan suaminya ada
kecuali dengan izinnya. Dan ia tidak boleh mengizinkan orang lain masuk rumah
suami tanpa ijin darinya. Dan jika ia menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah
dari suami, maka suami mendapat setengah pahalanya”. (HR. Bukhari no.
5195 dan Muslim no. 1026)
Dalam lafazh Ibnu Hibban disebutkan hadits dari Abu Hurairah,
لاَ تَأْذَنُ المَرْأَةُ فِي
بَيْتِ زَوْجِهَا وَهُوَ شَاهِدُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak
boleh seorang wanita mengizinkan seorang pun untuk masuk di rumah suaminya
sedangkan suaminya ada melainkan dengan izin suaminya.” (HR. Ibnu Hibban 9:
476. Kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini shahih sesuai
syarat Muslim)
Hadits di atas dipahami jika tidak diketahui ridho suami ketika ada orang lain yang masuk. Adapun jika seandainya suami ridho dan asalnya membolehkan orang lain itu masuk, maka tidaklah masalah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 193)
Kelima: Tidak
berpuasa sunnah ketika suami ada kecuali dengan izin suami
Para
fuqoha telah sepakat bahwa seorang wanita tidak diperkenankan untuk
melaksanakan puasa sunnah melainkan dengan izin suaminya (Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyyah, 28: 99). Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu
Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ
تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidaklah
halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak
bepergian) kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim
no. 1026)
Dalam lafazh lainnya disebutkan,
لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ
وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ غَيْرَ رَمَضَانَ
“Tidak
boleh seorang wanita berpuasa selain puasa Ramadhan sedangkan suaminya sedang
ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya” (HR. Abu Daud no. 2458.
An Nawawi dalam Al Majmu’ 6: 392 mengatakan, “Sanad riwayat ini shahih sesuai
dengan syarat Bukhari dan Muslim”)
Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan izin bisa jadi dengan ridho suami. Ridho suami sudah sama dengan izinnya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)
Imam
Nawawi rahimahullah menerangkan, “Larangan pada hadits di atas
dimaksudkan untuk puasa tathowwu’ dan puasa sunnah yang tidak ditentukan
waktunya. Menurut ulama Syafi’iyah, larangan yang dimaksudkan dalam hadits di
atas adalah larangan haram.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)
Al
Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud larangan puasa
tanpa izin suami di sini adalah untuk puasa selain puasa di bulan Ramadhan.
Adapun jika puasanya adalah wajib, dilakukan di luar Ramadhan dan waktunya
masih lapang untuk menunaikannya, maka tetap harus dengan izin suami. ...
Hadits ini menunjukkan diharamkannya puasa yang dimaksudkan tanpa izin suami.
Demikianlah pendapat mayoritas ulama.” (Fathul Bari, 9: 295)
Dalam Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyah disebutkan, “Jika seorang wanita menjalankan puasa
(selain puasa Ramadhan) tanpa izin suaminya, puasanya tetap sah, namun ia
telah melakukan keharaman. Demikian pendapat mayoritas fuqoha. Ulama
Hanafiyah menganggapnya makruh tahrim. Ulama Syafi’iyah menyatakan
seperti itu haram jika puasanya berulang kali. Akan tetapi jika puasanya
tidak berulang kali (artinya, memiliki batasan waktu tertentu) seperti puasa
‘Arofah, puasa ‘Asyura, puasa enam hari di bulan Syawal, maka boleh dilakukan
tanpa izin suami, kecuali jika memang suami melarangnya.” (Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyyah, 28: 99)
Jadi,
puasa yang mesti dilakukan dengan izin suami ada dua macam: (1) puasa sunnah
yang tidak memiliki batasan waktu tertentu (seperti puasa senin kamis[1]),
(2) puasa wajib yang masih ada waktu longgar untuk melakukannya. Contoh dari
yang kedua adalah qodho’ puasa yang waktunya masih longgar sampai Ramadhan
berikutnya.[2]
Jika Suami Tidak di Tempat
Berdasarkan
pemahaman dalil yang telah disebutkan, jika suami tidak di tempat, maka
istri tidak perlu meminta izin pada suami ketika ingin melakukan puasa sunnah.
Keadaan yang dimaksudkan seperti ketika suami sedang bersafar, sedang sakit,
sedang berihrom atau suami sendiri sedang puasa (Lihat Fathul Bari, 9: 296
dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99) Kondisi sakit membuat suami tidak mungkin
melakukan jima’ (hubungan badan). Keadaan ihrom terlarang untuk jima’, begitu
pula ketika suami sedang puasa. Inilah yang dimaksud kondisi suami tidak di
tempat.
Hikmah Mengapa Harus dengan Izin Suami
Ibnu
Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan, “Dalam hadits yang
menerangkan masalah ini terdapat pelajaran bahwa menunaikan hak suami itu lebih
utama daripada menjalankan kebaikan yang hukumnya sunnah. Karena menunaikan hak
suami adalah suatu kewajiban. Menjalankan yang wajib tentu mesti didahulukan
dari menjalankan ibadah yang sifatnya sunnah.” (Fathul Bari, 9/296)
Imam
Nawawi rahimahullah menerangkan, “Sebab terlarangnya berpuasa tanpa izin
suami di atas adalah karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang (dengan
bersetubuh, pen) bersama pasangannya setiap harinya. Hak suami ini tidak bisa
ditunda karena sebab ia melakukan puasa sunnah atau melakukan puasa wajib yang
masih bisa ditunda.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)
-bersambung insya Allah-
Di kalangan awam, terjadi pemahamann bahwa pada malam Jum’at itu disunnahkan. Bahkan inilah yang dipraktekkan. Memang ada hadits yang barangkali jadi dalil, namun ada pemahaman yang kurang tepat yang dipahami oleh mereka.
Dari Aus bin Aus, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ اغْتَسَلَ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَغَسَّلَ ، وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ ، وَدَنَا وَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ
، كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا أَجْرُ سَنَةٍ صِيَامُهَا وَقِيَامُهَا
“Barangsiapa
yang mandi pada hari Jum’at dengan mencuci kepala dan anggota badan lainnya,
lalu ia pergi di awal waktu atau ia pergi dan mendapati khutbah pertama, lalu
ia mendekat pada imam, mendengar khutbah serta diam, maka setiap langkah
kakinya terhitung seperti puasa dan shalat setahun.” (HR. Tirmidzi no. 496.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ada
ulama yang menafsirkan maksud hadits penyebutan mandi dengan ghosala
bermakna mencuci kepala, sedangkan ightasala berarti mencuci anggota
badan lainnya. Demikian disebutkan dalam Tuhfatul Ahwadzi, 3: 3. Bahkan inilah
makna yang lebih tepat.
Ada
tafsiran lain mengenai makna mandi dalam hadits di atas. Sebagaimana kata Ibnul
Qayyim dalam Zaadul Ma’ad,
قال الإمام أحمد :
(غَسَّل) أي : جامع أهله ، وكذا فسَّره وكيع
Imam
Ahmad berkata, makna ghossala adalah menyetubuhi istri. Demikian ditafsirkan
pula oleh Waki’.
Tafsiran
di atas disebutkan pula dalam Fathul Bari 2: 366 dan Tuhfatul Ahwadzi, 3: 3.
Tentu hubungan intim tersebut mengharuskan untuk mandi junub.
Namun
kalau kita lihat tekstual hadits di atas, yang dimaksud hubungan intim adalah
pada pagi hari pada hari Jum’at, bukan pada malam harinya. Sebagaimana
hal ini dipahami oleh para ulama dan mereka tidak memahaminya pada malam
Jum’at.
وقال السيوطي في
تنوير الحوالك: ويؤيده حديث: أيعجز أحدكم أن يجامع أهله في كل يوم جمعة، فإن له
أجرين اثنين: أجر غسله، وأجر غسل امرأته. أخرجه البيهقي في شعب الإيمان من حديث
أبي هريرة.
As
Suyuthi dalam Tanwirul Hawalik dan beliau menguatkan hadits tersebut
berkata: Apakah kalian lemas menyetubuhi istri kalian pada setiap hari Jum’at
(artinya bukan di malam hari, -pen)? Karena menyetubuhi saat itu mendapat dua
pahala: (1) pahala mandi Jum’at, (2) pahala menyebabkan istri mandi (karena
disetubuhi). Yaitu hadits yang dimaksud dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam
Syu’abul Iman dari hadits Abu Hurairah.
Dan sah-sah saja jika mandi Jum’at digabungkan dengan mandi junub. Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Jika seseorang meniatkan mandi junub dan mandi Jum’at sekaligus, maka maksud tersebut dibolehkan.” (Al Majmu’, 1: 326)
Intinya,
sebenarnya pemahaman kurang tepat yang tersebar di masyarakat awam. Yang tepat,
yang dianjurkan adalah hubungan intim pada pagi hari ketika mau berangkat
Jumatan, bukan di malam hari. Tentang anjurannya pun masih diperselisihkan oleh
para ulama karena tafsiran yang berbeda dari mereka mengenai hadits yang kami
bawakan di awal.
Wallahu a'lam.
Wallahu waliyyut
taufiq was sadaad.