Senin, 21 Desember 2015

Conciousness‬ Human Power

The dynamics of changes in person that rested on every human being as it is assumed that the fact that defames event alter, so forget the procession of the dialectic of existing social surrounding us...
It is necessary to realize that the dollar has tended to dip reversed the pattern of thought that pushing against something that may still abstract, often become a strong dimension of the explosion convulsions soul to seize it, without any filterisasi based on wisdom in loss.then is what makes human knowledge is not absolute.
If every man would know the potential for self conciousness inside himself, then all the things that are still abstract, should have to reduce what we know. It is necessary to realize also that what we know is the result of the knowladge by arguments, which meant that we only know based on assumptions- others assumptions and it could not be used as the basis to encourage in situ proposed something. That should be all the things that we know should be based on knowladge by exsperiance person that meant that what we know must be based on the experience that involves all indrawi us. It is in fact the knowledge of a real man.
Sydrom upheaval of power is the nature of human operational work would have territory, because people have a right to fight and survive in order to control the real power in the jure and the facto against either administrativ and teritory him. This is that we must realize with wise, that the dialectic of pragmatism that encourage and make we tend to feature attitude seems only we who do without responding dimensions around us.
Consider we are all social creatures that take advantage of each other and be a valuable man to take advantage of the others and give benefit to others....
‪#‎Conciousness‬ Human Power (by sandi)

Dinamika perubahan yg hinggap pada setiap manusia seolah diasumsikan kejadian yang hakikatnya kitalah yang merubah, sehingga menapikan prosesi dialektika sosial yang ada disekeliling kita...
Perlu disadari bahwa kecendrungan-kecendrungan pola fikir yang mendorong terhadap sesuatu yang kiranya masih abstrak, sering menjadi dimensi yang kuat akan terjadinya letupan kegoncangan jiwa untuk meraihnya, tanpa adanya filterisasi yang dilandasi kebijaksanaan dalam menyikapinya.maka inilah yang menjadikan pengetahuan manusia itu tidak absolute.
Sekiranya setiap manusia tahu akan potensi self conciousness dlm dirinya, maka segala sesuatu yang masih abstrak, hendaknya harus mereduksi apa yang kita tahu tersebut. Perlu disadari juga bahwa apa yang kita tahu itu adalah hasil dari pada knowladge by argument, yang dimaknai bahwa kita hanya tahu berdasarkan asumsi- asumsi orang lain, dan hal itu tidak bisa dijadikan landasan untuk mendorong dlam mengemukakan sesuatu. Yang seharusnya segala sesuatu yang kita ketahui hendaknya berdasarkan knowladge by exsperiance yg dimaknai bahwa apa yang kita ketahui harus berdasarkan pengalaman yang melibatkan segenap indrawi kita. Maka hal itu adalah hakikatnya pengetahuan manusia secara nyata.
Pergolakan sydrom of power merupakan fitrah stiap manusia dengan segala bentuk kekuasaanya, karena manusia mempunyai hak berjuang dan bertahan dalm rangka menguasai kekuasaan yang hakiki secara the jure dan the facto terhadap baik itu secara administrativ maupun teritory nya. Hal ini yang harus kita sadari dengan bijaksana, bahwa dialektika pragmatisme tersebut yang mendorong dan menjadikan kita cendrung kepada sikap kesewenangan seolah hanya kita lah yang berbuat tanpa merespon dimensi sekeliling kita.
Sadarilah kita semua adalah makhluk sosial yang saling memanfaatkan, jadilah manusia yang bernilai dengan mengambil manfaat dari yang lain dan memberi manfaat kepada yg lain...
‪#‎Conciousness‬ Human Power (by sandi)

Minggu, 20 Desember 2015

SISTEMATIKA FILSAFAT

SISTEMATIKA FILSAFAT

MAKALAH FILSAFAT ISLAM DAN UMUM (SISTEMATIKA FILSAFAT)

 
BAB II PEMBAHASAN
A. Sistematika Filsafat
A.1. Pengertian Sistematika dan Filsafat
Secara bahasa kata sistematika filsafat berasal dari dua kata yaitu sistematiak dan filsafat.Sistematika atau struktur[1], dalam bahasa inggris Systematic adalah susunan[2], dalam kamus bahasa indonesia sistematika adalah susunan aturan ; pengetahuan mengenai sesuatu sistem. Sedangkan menurut kamus oxford systematic is based on order, following a fixed plan[3].
Sedangkan filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akan budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab,  asal dan hukumnya[4]. Dalam bahasa inggris Philosohy is stydy of nature and the meaning of existence, how people should live.

A.2. Pengertian Sistematika Filsafat
sistematika filsafat adalah susunan aturan tentang filsafat yang telah disusun atau ditulis. Menurut Ahmad Tafsir (2009: 22) Hasil berpikir tentang segala sesuatu yang ada dan mungkin ada itu taditelah banyak sekali terkumpul, di dalam buku-buku tebal dan tipis.setelah disusun secar sistematis, ia dinamakan sistematika filsafat.
Karena objek filsafat sangat banyak sekali, hasil penelitian itu bertambah terus dan tidak dibuang, maka hasil pemikiran yang terkumpul dalam sisitematika filsafat menjadi banyak sekali. Karena banyaknya, jangankan mmempelajarinya, membaginyapun repot. Oleh karena itu tidak ada satupun yang berani mengaku akhli dalam filsafat;  paling banter ia akhli dalam logika, atau akhli dalam filsafat hukum, atau akhli dalam eksisitensialisme saja.

B. Cabang-Cabang Filsafat
Secara garis besar filsafat mempunyai tiga cabang besar, yaitu teori pengetahuan atau pemikiran filolsof tentang pengetahuan, teori hakikat atau pemikiran filsafat tentang hakikat dan teori nilai atau pemikiran filosof tentang nilai. Ringkasannya sebagai berikut:
1.                  Teori pengetahuan membicarakan cara memperoleh pengetahuan, disebut epistimologi.
2.                 Teori hakikat membicarakan pengetahuan itu sendiri, disebut ontologi.
3.                 Teori nilai membicarakan guna pengetahuan itu, disebut aksiologi.

B.1. Epistimologi
Epistemologi berasal dari kata yunani, episteme dan logos. Episteme biasa diartikan pengetahuan atau kebenaran, dan logos diartikan pikiran, kata atau teori. Epistemologi secara etimologi dapat diartikan teori pengetahuan yang benar.
Epistemologi membicarakan sumber pengetahuan, terjadinya pengetahuan, asal usul mulai pengetahuan, dan bagaimana cara memperoleh tentang pengetahan. Dalam bahasa inggris disebut epistemolgoy, yaitu cabang filsafat yang membahas tentang asal.
Ketika manusia baru lahir, ia tidak mempunyai ilmu pengetahuan sedikit pun. Tatkala ia sudah dewasa, pengetahuannya banyak sekali sementara kawanya yang seumur dengan dia meungkin mempunyai pengetahuan yang lebih banyak dari pada dia dalam bidang yang sama atau berbeda. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat  An-Nahl [16] :78
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (٧٨)

”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (Al-Qur’an Surat  An-Nahl [16] :78).

Dalam Surat Lain Allah berfirman dalam Surat Al-Alaq [96]: 3-5
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ (٣) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤) عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)

Artinya :
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
(Q.S Al-Alaq [96]: 3-5)
Bagaimana mereka itu masing-masing mendapatkan pengetahuan itu? Mengapa dapat juga berbeda tingkat akurasinya? Hal-hal semacam itu dibicarakan dalam epistimologi.
Runer berpendarat bahwa epistemology is the branch of philosophy wich investigates the original structure, methods and validaty of knowledge. Epistimologi merupakan cabang filsafat yang meyelidiki asal mula, metode-metode dan sahnya pengetahuan[5].
Louis (1992: 76) mengatakan kadang-kadang akhli metafisika secara ironis didefinisikan sebagai orang buta didalam suatu kamar yang gelap, yang sedang mencari seekor kucing yang tidak terdapat di kamar itu. Sehubungan dengan itu akhli epistimologi merupakan orang yang ingin mengetahui bagaimana caranya orang buta tersebut menemukan kucing tersebut, atau apakah ahli metafisika itu mengetahui sesuatu.

Pengetahuan manusia dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
1.  Pengetahuan sains
2.  Pengetahuan filsafat
3.  Pengetahuan mistis
Pengetahuan itu diperoleh manusia melalui berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai alat. Ada beberapa aliran atau metode yang berbicara tentang cara memperoleh pengetahuan.

B.1.1. Metode – Metode untuk Memperoleh Pengetahuan
1. Empirisme
Berasal dari kata yunani Empeirikos yang berasal dari kata empiera, berarti pengalaman. Menurut metode atau aliran ini pengetahuan manusia diperoleh dari pengalaman inderawi. Manusia tahu es dingin karena ia menyentuhnya, garam asin karena ia men-cicipinya.
Pencetus atau bapak dari ajaran ini adalah seorang britania yang bernama John locke (1632-1704). Ia mengatakn bahwa pada waktu manusia dilahirkan  akalnya merupakan sejenis buku catatan yang masih kosong. Lantas pengalamanya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan. Dalam teori ini pengalaman indra merupakan sumber pengetahuan yang benar. Teori ini disebut sebagai teori tabula rusa (meja lilin).
Disamping ada banyak kelemahan teori ini juga sangat bertentangan dengan ajaran Islam, karena menurut ajaran islam setiap anak yang lahir kedunia mempunyai fitah sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw.
Artinya : ”Tiap bayi lahir dilahirkadengan sesuai dengan fitrahnya, maka ibu bapaknyalah yang menyebabkannya yahudi atau nasroni atau majusi”.(HR. Muslim)
Fitrah disini berarti islam, mentauhidkan Allah, kesanggupan atau predisposisi untuk menerima dan melakukan kebenaran, perasaan untuk beribadah kepada Allah, dan lain-lain.[6] Jadi tidak kosong seperti kertas putih yang belum tertulis apapun.
Menurut Ahmad Tafsir (2009: 24) kelemahan aliran ini cukup banyak diantaranya :
1.      Indera terbatas
2.      Indera menipu
3.      Objek yang menipu
4.      Indra dan objek sekaligus
Aliran lain yang mirip dengan empirisme adalah sensasionalisme yaitu rangsangan indera secara kasar.

2. Rasionalisme
Tanpa menolak besarnya manfaat pengalaman indera dalam kehidupan manusia, namun persepsi inderawi hanya digunakan untuk merangsang kerja akal. Jadi akal berada diatas pengalaman inderawi. Jelasnya aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan[7]. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran terletak pada ide kita, dan bukanya pada diri barang sesuatu.
Bapak aliran ini adalah Rene Descartes (1596-1650) menyatakan bahwa akal budi difahamkan sebagai :
1.      Jenis perantara khusus yang dengan perantara tersebut dapat dikenalkebenaran.
2.      Teknik deduktif yang dengan memakai teknik tersebut dapat ditemukan kebenaran-kebenaran.

3. Positivisme
Merupakan sistesis dari empirisme dan rasionalisme. Dengan mengambil titik tolak dari empirisme, namun harus dipertajam dengan eksperimen, yang mampu secara objektif menentukan validitas dan reliabilitas pengetahuan.
Tokoh aliran ini adalah August Compte (1798-1857), ia penganut empirisme. Ia berpendapat indra itu amat pentingdalam memperoleh pengetahuan, namun harus dipertjjam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat eksperimen.


4. Intuisionisme
Intuisi tidak sama dengan perasaan, namun merupakan hasil evolusi pemahaman yang tinggi yang hanya dimiliki manusia. Kemampuan ini yang dapat memahami kebenaran yang utuh, tetap dan unik.  Henri Bergson (1859-1941) merupaka tokoh dari aliran ini. Ia menganggap tidak hanya indera yang terbatas, akal juga terbatas.
Dengan memahami keterbatasan indera dan akal, Bergson mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggiyang dimiliki manusia, yaitu intuisi. Pengembangan kemampuan ini memerlukan suatu usaha, kemampuan inilah yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap dan unique.intuisi ini menangkap objek secara langsung tanpa melalui pemikiran.
Menurut ajaran Tashawwuf atau thariqah pada khususnya, manusia itu ditutupi oleh hal-hal dan yang material, dipengaruhi oleh nafsunya. Bila nafsu ini dapat dikendalikan, penghalang material disingkirkan maka kekuatan rasa itu mampu bekerja, laksana antena. Mampu menangkap objek-objek gaib.

B.2. Ontologi
Setelah membenahi cara memperoleh pengetahuan filosof mulai meghadapi objek-objeknya untuk memperoleh pengetahuan objek-objek itu dipirkan secara mendalam sampai pada hakekatnya inilah sebabnya bagian ini dinamakan teori hakekat ada yang menamakan bagian ontologi. Bidang pembicaraan teori hakikat luas sekali segala yang ada dan yang mungkin ada yang boleh juga mencakup pengetahuan dan nilai. Apa itu hakekat ? hakikat ialah realitas : realitas ialah ke-real-an; real artinya kenyataan yang sebenarnya ; jadi hakikat kenyataan yang sebenarnya kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan keadaan sementara atau keadaan yang menipu , hukum keadaan yang berubah.
Objek telaah Ontologi tersebut adalah yang tidak terlihat pada satu perwujudan tertentu, yang membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya. Adanya segala sesuatu merupakan suatu segi dari kenyataan yang mengatasi semua perbedaan antara benda-benda dan makhluk hidup, antara jenis-jenis dan individu-individu. Diantara cabang – cabang hakikat adalah sebagai berikut :
1.                  Kosmologi membicarakan hakikat asal, hakikat susunan, hakikat berada, juga hakikat tujuan kosmos.
2.                 Antrofologi  membicarakan hakikat manusia.
3.                 Theodicea membahas mengenai hakikat tuhan
4.                 Theologia atau filsafat agama
5.                 Filsafat hokum
6.                 Filsafat pendidikan, Dll.

B.2.1. Aliran-Aliran Pemikiran dalam Ontologi
Dari pembahasannya memunculkan beberapa pandangan yang dikelompokkan dalam beberapa aliran berpikir, yaitu:

1. Materialisme
Aliran yang mengatakan bahwa hakikat dari segala sesuatu yang ada itu adalah materi. Sesuatu yang ada (yaitu materi) hanya mungkin lahir dari yang ada.

2. Idealisme (Spiritualisme)
Aliran ini menjawab kelemahan dari materialisme, yang mengatakan bahwa hakikat pengada itu justru rohani (spiritual). Rohani adalah dunia ide yang lebih hakiki dibanding materi.

3. Dualisme
Aliran ini ingin mempersatukan antara materi dan ide, yang berpendapat bahwa hakikat pengada (kenyataan) dalam alam semesta ini terdiri dari dua sumber tersebut, yaitu materi dan rohani.

4. Agnotisisme.
Aliran ini merupakan pendapat para filsuf yang mengambil sikap skeptis, yaitu ragu atas setiap jawaban yang mungkin benar dan mungkin pula tidak.

B.3. Aksiologi
Menurut kamus bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahun bagi kehidupan manusia. Menurut Kattsoff (1992: 327) Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut kefilsafahan.
Teori nilai mencakup dua cabang filsafat yang terkenal yaitu etika dan estetika. Yang pertama membicarakan hal baik-buruk perbuatan manusia, dan yang kedua membicarakan indah tidak indah pada seni, baik seni yang dibuat oleh manusia maupun seni yang dibuat oleh bukan manusia.
Kegunaan filsafat dalam rumusan itu terlalu umum sehingga sulit dipahami. berikut ini dicoba menjelaskan kegunaan filsafat hampir ditingkat teknis operasional. Untuk mengetahui kegunaan filsafat atau untuk apa filsafat itu digunakan atau apa sih guna filsafat itu, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal yaitu sebagai berikut :
1.      Filsafat sebagai kumpulan teori
Jika kita hendak ikut membentu dunia atau hendak mendukung suatu ide yang membentuk dunia atau hendak menentangsuatu system kebudayaan atau sisitem ekonomi atau politik, maka kita sebaiknya terlebih dahulu mempelajari teori-teori filsafatnya. Contohnya filsafat pendidikan,  politik, ekonomi dan lain-lain. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat.
2.      Filsafat sebagai pandangan hidup (philosophy of life)
Filsafat sebagai pandangan hidup fungsinya mirip dengan agama. Jika dalam islam dikatakan bahwa agama Islam itu adalah al-shirat al-mustaqim (jalan kehidupan) maka filsafat sebagai filsafat hidup demikian juga halnya. Ia menjadi pedoman. Isinya berupa ajaran dan ajaran itu dilaksanakan dalam kehidupan.
3.      Filsafat sebagai metode pemesahan masalah.
Sesuai dengan sifat filsafat, ia menyelesaikan masalah secara mendalam dan universal. Penyelesaian masalah secara mendalam artinya ia menyelesaikan masalah dengan pertama-tama mencari penyebab yang paling awal munculnya masalah. Universal artinya melihat masalah dengan hubungan seluas-luasnya.
BAB III
PENUTUP Simpulan
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa, hasil berpikir tentang segala sesuatu yang ada dan mungkin ada itu tadi telah banyak sekali terkumpul, di dalam buku-buku tebal dan tipis.setelah disusun secar sistematis, dinamakan sistematika filsafat.
Secara garis besar filsafat mempunyai tiga cabang besar, yaitu teori pengetahuan atau pemikiran filolsof tentang pengetahuan, teori hakikat atau pemikiran filsafat tentang hakikat dan teori nilai atau pemikiran filosof tentang nilai. Ringkasannya sebagai berikut:
1.      Teori pengetahuan membicarakan cara memperoleh pengetahuan, disebut epistimologi.
2.      Teori hakikat membicarakan pengetahuan itu sendiri, disebut ontologi.
3.      Teori nilai membicarakan guna pengetahuan itu, disebut aksiologi.

B. Saran
Alhamdulillah, makalah sisitematika ini bisa diselesaikan, walaupun masih banyak kekurangan baik dalam pembahasan maupun tulisan. Penulis berharap. Bagi  mahasiswa semoga bisa belajar dengan sungguh – sungguh, mendalam dan universal, mengenai hal apasaja baik masalah dunia maupun akhirat, karena tidak ada dikotomi didalam atau sekulerisme islam. Dan tentunya juga harus bersungguh – sungguh didalam mempelajari sistematika filsafat ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.



[1] Ahmad Tafsir. Filsafat Umum; Akal dan Hati sejak Theles sampai Capra. Jakarta. Remaja Rosdkarya. 2009. cet. Ke17   hal. 22
[2] Echoles, jhon M and Hassan sadily. An English-Indonesian Dictionary. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. 2005. Cet 26. Hal 575
[3] Oxford learner’s pocket dictionary; Third edition. Oxford University Press. 2009..cet. ke 11 Hal.438
[4] Dimas Setiawan. Kamus Praktis Modern Bahasa Indonesia. Jakarta. Bintang Indonesia. Hal 126
[5] Kattsoff , Louis O. Pengantar Filsafat. Terjemahan. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Cet. Ke 5. Hal 76

[6] Umar, Bukhari. Imu  Pendidikan Islam. 2010 Cet. Ke 1 hal 70-71
[7] Ahmad Tafsir. Filsafat Umum; Akal dan Hati sejak Theles sampai Capra. Jakarta. Remaja Rosdkarya. 2009. cet. Ke17   hal. 25

DAFTAR PUSTAKA

Tafsir,  Ahmad.  2009.  Filsafat Umum akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Kattsoff ,  Louis O. 1992.  Pengantar Filsafat. Terjemahan. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya

Selasa, 15 Desember 2015

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN

Model-Model Pembelajaran, Antara Lain:
Metode debat merupakan salah satu metode pembelajaran yang sangat penting untuk meningkatkan kemampuan akademik siswa. Materi ajar dipilih dan disusun menjadi paket pro dan kontra. Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok dan setiap kelompok terdiri dari empat orang. Di dalam kelompoknya, siswa (dua orang mengambil posisi pro dan dua orang lainnya dalam posisi kontra) melakukan perdebatan tentang topik yang ditugaskan. Laporan masing-masing kelompok yang menyangkut kedua posisi pro dan kontra diberikan kepada guru.

Selanjutnya guru dapat mengevaluasi setiap siswa tentang penguasaan materi yang meliputi kedua posisi tersebut dan mengevaluasi seberapa efektif siswa terlibat dalam prosedur debat.
Pada dasarnya, agar semua model berhasil seperti yang diharapkan pembelajaran kooperatif, setiap model harus melibatkan materi ajar yang memungkinkan siswa saling membantu dan mendukung ketika mereka belajar materi dan bekerja saling tergantung (interdependen) untuk menyelesaikan tugas. Ketrampilan sosial yang dibutuhkan dalam usaha berkolaborasi harus dipandang penting dalam keberhasilan menyelesaikan tugas kelompok. Ketrampilan ini dapat diajarkan kepada siswa dan peran siswa dapat ditentukan untuk memfasilitasi proses kelompok. Peran tersebut mungkin bermacam-macam menurut tugas, misalnya, peran pencatat (recorder), pembuat kesimpulan (summarizer), pengatur materi (material manager), atau fasilitator dan peran guru bisa sebagai pemonitor proses belajar.

Metode Role Playing
Metode Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung kepada apa yang diperankan. Kelebihan metode Role Playing:

Melibatkan seluruh siswa dapat berpartisipasi mempunyai kesempatan untuk memajukan kemampuannya dalam bekerjasama.

Siswa bebas mengambil keputusan dan berekspresi secara utuh.
Permainan merupakan penemuan yang mudah dan dapat digunakan dalam situasi dan waktu yang berbeda.
Guru dapat mengevaluasi pemahaman tiap siswa melalui pengamatan pada waktu melakukan permainan.
Permainan merupakan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi anak.

Metode Pemecahan Masalah (Problem Solving)
Metode pemecahan masalah (problem solving) adalah penggunaan metode dalam kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi berbagai masalah baik itu masalah pribadi atau perorangan maupun masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama.
Orientasi pembelajarannya adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.

Adapun keunggulan metode problem solving sebagai berikut:

Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan.
Berpikir dan bertindak kreatif.
Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis
Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan.
Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan.
Merangsang perkembangan kemajuan berfikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat.
Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dunia kerja.
Kelemahan metode problem solving sebagai berikut:

Beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode ini. Misal terbatasnya alat-alat laboratorium menyulitkan siswa untuk melihat dan mengamati serta akhirnya dapat menyimpulkan kejadian atau konsep tersebut.
Memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan metode pembelajaran yang lain.

Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Problem Based Instruction (PBI) memusatkan pada masalah kehidupannya yang bermakna bagi siswa, peran guru menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog.

Langkah-langkah:

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang dibutuhkan. Memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dll.)
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah.
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.

Kelebihan:
Siswa dilibatkan pada kegiatan belajar sehingga pengetahuannya benar-benar diserapnya dengan baik.
Dilatih untuk dapat bekerjasama dengan siswa lain.
Dapat memperoleh dari berbagai sumber.

Kekurangan:
Untuk siswa yang malas tujuan dari metode tersebut tidak dapat tercapai.
Membutuhkan banyak waktu dan dana.
Tidak semua mata pelajaran dapat diterapkan dengan metode ini

Cooperative Script
Skrip kooperatif adalah metode belajar dimana siswa bekerja berpasangan dan secara lisan mengikhtisarkan bagian-bagian dari materi yang dipelajari.

Langkah-langkah:

Guru membagi siswa untuk berpasangan.
Guru membagikan wacana / materi tiap siswa untuk dibaca dan membuat ringkasan.
Guru dan siswa menetapkan siapa yang pertama berperan sebagai pembicara dan siapa yang berperan sebagai pendengar.
Pembicara membacakan ringkasannya selengkap mungkin, dengan memasukkan ide-ide pokok dalam ringkasannya. Sementara pendengar menyimak / mengoreksi / menunjukkan ide-ide pokok yang kurang lengkap dan membantu mengingat / menghapal ide-ide pokok dengan menghubungkan materi sebelumnya atau dengan materi lainnya.
Bertukar peran, semula sebagai pembicara ditukar menjadi pendengar dan sebaliknya, serta lakukan seperti di atas.
Kesimpulan guru.
Penutup.

Kelebihan:
Melatih pendengaran, ketelitian / kecermatan.
Setiap siswa mendapat peran.
Melatih mengungkapkan kesalahan orang lain dengan lisan.

Kekurangan:
Hanya digunakan untuk mata pelajaran tertentu
Hanya dilakukan dua orang (tidak melibatkan seluruh kelas sehingga koreksi hanya sebatas pada dua orang tersebut).

Picture and Picture
Picture and Picture adalah suatu metode belajar yang menggunakan gambar dan dipasangkan / diurutkan menjadi urutan logis.

Langkah-langkah:
1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai.
2. Menyajikan materi sebagai pengantar.
3. Guru menunjukkan / memperlihatkan gambar-gambar yang berkaitan dengan materi.
4. Guru menunjuk / memanggil siswa secara bergantian memasang / mengurutkan gambar-gambar menjadi urutan yang logis.
5. Guru menanyakan alas an / dasar pemikiran urutan gambar tersebut.
6. Dari alasan / urutan gambar tersebut guru memulai menanamkan konsep / materi sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai.
7. Kesimpulan / rangkuman.

Kebaikan:
1. Guru lebih mengetahui kemampuan masing-masing siswa.
2. Melatih berpikir logis dan sistematis.

Kekurangan:Memakan banyak waktu. Banyak siswa yang pasif.

Numbered Heads Together
Numbered Heads Together adalah suatu metode belajar dimana setiap siswa diberi nomor kemudian dibuat suatu kelompok kemudian secara acak guru memanggil nomor dari siswa.
Langkah-langkah:

Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor.
Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya.
Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota kelompok dapat mengerjakannya.
Guru memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil kerjasama mereka.
Tanggapan dari teman yang lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain.
Kesimpulan.

Kelebihan:
Setiap siswa menjadi siap semua.
Dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh.
Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai.

Kelemahan:
Kemungkinan nomor yang dipanggil, dipanggil lagi oleh guru.
Tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru

Metode Investigasi Kelompok (Group Investigation)
Metode investigasi kelompok sering dipandang sebagai metode yang paling kompleks dan paling sulit untuk dilaksanakan dalam pembelajaran kooperatif. Metode ini melibatkan siswa sejak perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara untuk mempelajarinya melalui investigasi. Metode ini menuntut para siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam ketrampilan proses kelompok (group process skills). Para guru yang menggunakan metode investigasi kelompok umumnya membagi kelas menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 5 hingga 6 siswa dengan karakteristik yang heterogen. Pembagian kelompok dapat juga didasarkan atas kesenangan berteman atau kesamaan minat terhadap suatu topik tertentu. Para siswa memilih topik yang ingin dipelajari, mengikuti investigasi mendalam terhadap berbagai subtopik yang telah dipilih, kemudian menyiapkan dan menyajikan suatu laporan di depan kelas secara keseluruhan. Adapun deskripsi mengenai langkah-langkah metode investigasi kelompok dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Seleksi topik
Parasiswa memilih berbagai subtopik dalam suatu wilayah masalah umum yang biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa selanjutnya diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented groups) yang beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi kelompok heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik maupun kemampuan akademik.

b. Merencanakan kerjasama
Parasiswa beserta guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus, tugas dan tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah dipilih dari langkah a) di atas.

c. Implementasi
Parasiswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah b). Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan ketrampilan dengan variasi yang luas dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan.

d. Analisis dan sintesis
Parasiswa menganalisis dan mensintesis berbagai informasi yang diperoleh pada langkah c) dan merencanakan agar dapat diringkaskan dalam suatu penyajian yang menarik di depan kelas.

e. Penyajian hasil akhir
Semua kelompok menyajikan suatu presentasi yang menarik dari berbagai topik yang telah dipelajari agar semua siswa dalam kelas saling terlibat dan mencapai suatu perspektif yang luas mengenai topik tersebut. Presentasi kelompok dikoordinir oleh guru.

f. Evaluasi
Guru beserta siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa secara individu atau kelompok, atau keduanya.

Metode Jigsaw
Pada dasarnya, dalam model ini guru membagi satuan informasi yang besar menjadi komponen-komponen lebih kecil. Selanjutnya guru membagi siswa ke dalam kelompok belajar kooperatif yang terdiri dari empat orang siswa sehingga setiap anggota bertanggungjawab terhadap penguasaan setiap komponen/subtopik yang ditugaskan guru dengan sebaik-baiknya. Siswa dari masing-masing kelompok yang bertanggungjawab terhadap subtopik yang sama membentuk kelompok lagi yang terdiri dari yang terdiri dari dua atau tiga orang.

Siswa-siswa ini bekerja sama untuk menyelesaikan tugas kooperatifnya dalam: a) belajar dan menjadi ahli dalam subtopik bagiannya; b) merencanakan bagaimana mengajarkan subtopik bagiannya kepada anggota kelompoknya semula. Setelah itu siswa tersebut kembali lagi ke kelompok masing-masing sebagai “ahli” dalam subtopiknya dan mengajarkan informasi penting dalam subtopik tersebut kepada temannya. Ahli dalam subtopik lainnya juga bertindak serupa. Sehingga seluruh siswa bertanggung jawab untuk menunjukkan penguasaannya terhadap seluruh materi yang ditugaskan oleh guru. Dengan demikian, setiap siswa dalam kelompok harus menguasai topik secara keseluruhan.

Metode Team Games Tournament (TGT)
Pembelajaran kooperatif model TGT adalah salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement.
Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif model TGT memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan tanggung jawab, kerjasama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar.
Ada5 komponen utama dalam komponen utama dalam TGT yaitu:

1. Penyajian kelas 
Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas, biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung atau dengan ceramah, diskusi yang dipimpin guru. Pada saat penyajian kelas ini siswa harus benar-benar memperhatikan dan memahami materi yang disampaikan guru, karena akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada saat game karena skor game akan menentukan skor kelompok.

2. Kelompok (team)
Kelompok biasanya terdiri dari 4 sampai 5 orang siswa yang anggotanya heterogen dilihat dari prestasi akademik, jenis kelamin dan ras atau etnik. Fungsi kelompok adalah untuk lebih mendalami materi bersama teman kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja dengan baik dan optimal pada saat game.

3. Game
Game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji pengetahuan yang didapat siswa dari penyajian kelas dan belajar kelompok. Kebanyakan game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan sederhana bernomor. Siswa memilih kartu bernomor dan mencoba menjawab pertanyaan yang sesuai dengan nomor itu. Siswa yang menjawab benar pertanyaan itu akan mendapat skor. Skor ini yang nantinya dikumpulkan siswa untuk turnamen mingguan.

4. Turnamen
Biasanya turnamen dilakukan pada akhir minggu atau pada setiap unit setelah guru melakukan presentasi kelas dan kelompok sudah mengerjakan lembar kerja. Turnamen pertama guru membagi siswa ke dalam beberapa meja turnamen. Tiga siswa tertinggi prestasinya dikelompokkan pada meja I, tiga siswa selanjutnya pada meja II dan seterusnya.

5. Team recognize (penghargaan kelompok)
Guru kemudian mengumumkan kelompok yang menang, masing-masing team akan mendapat sertifikat atau hadiah apabila rata-rata skor memenuhi kriteria yang ditentukan. Team mendapat julukan “Super Team” jika rata-rata skor 45 atau lebih, “Great Team” apabila rata-rata mencapai 40-45 dan “Good Team” apabila rata-ratanya 30-40

Model Student Teams – Achievement Divisions (STAD)
Siswa dikelompokkan secara heterogen kemudian siswa yang pandai menjelaskan anggota lain sampai mengerti.

Langkah-langkah:
Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang secara heterogen (campuran menurut prestasi, jenis kelamin, suku, dll.).
Guru menyajikan pelajaran.
Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota kelompok. Anggota yang tahu menjelaskan kepada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti.
Guru memberi kuis / pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis tidak boleh saling membantu.
Memberi evaluasi.
Penutup.

Kelebihan:
1. Seluruh siswa menjadi lebih siap.
2. Melatih kerjasama dengan baik.

Kekurangan:
1. Anggota kelompok semua mengalami kesulitan.
2. Membedakan siswa.

Model Examples Non Examples
Examples Non Examples adalah metode belajar yang menggunakan contoh-contoh. Contoh-contoh dapat dari kasus / gambar yang relevan dengan KD.

Langkah-langkah:
Guru mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Guru menempelkan gambar di papan atau ditayangkan lewat OHP.
Guru memberi petunjuk dan memberi kesempatan kepada siswa untuk memperhatikan / menganalisa gambar.
Melalui diskusi kelompok 2-3 orang siswa, hasil diskusi dari analisa gambar tersebut dicatat pada kertas.
Tiap kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya.
Mulai dari komentar / hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan materi sesuai tujuan yang ingin dicapai.
Kesimpulan.

Kebaikan:
1. Siswa lebih kritis dalam menganalisa gambar.
2. Siswa mengetahui aplikasi dari materi berupa contoh gambar.
3. Siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya.

Kekurangan:
1. Tidak semua materi dapat disajikan dalam bentuk gambar.
2. Memakan waktu yang lama.

Model Lesson Study
Lesson Study adalah suatu metode yang dikembankan di Jepang yang dalam bahasa Jepangnyadisebut Jugyokenkyuu. Istilah lesson study sendiri diciptakan oleh Makoto Yoshida.
Lesson Study merupakan suatu proses dalam mengembangkan profesionalitas guru-guru di Jepang dengan jalan menyelidiki/ menguji praktik mengajar mereka agar menjadi lebih efektif.
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:

1. Sejumlah guru bekerjasama dalam suatu kelompok. Kerjasama ini meliputi:
a. Perencanaan.
b. Praktek mengajar.
c. Observasi.
d. Refleksi/ kritikan terhadap pembelajaran.

2. Salah satu guru dalam kelompok tersebut melakukan tahap perencanaan yaitu membuat rencana pembelajaran yang matang dilengkapi dengan dasar-dasar teori yang menunjang.

3. Guru yang telah membuat rencana pembelajaran pada (2) kemudian mengajar di kelas sesungguhnya. Berarti tahap praktek mengajar terlaksana.

4. Guru-guru lain dalam kelompok tersebut mengamati proses pembelajaran sambil mencocokkan rencana pembelajaran yang telah dibuat. Berarti tahap observasi terlalui.

5. Semua guru dalam kelompok termasuk guru yang telah mengajar kemudian bersama-sama mendiskusikan pengamatan mereka terhadap pembelajaran yang telah berlangsung. Tahap ini merupakan tahap refleksi. Dalam tahap ini juga didiskusikan langkah-langkah perbaikan untuk pembelajaran berikutnya.

6. Hasil pada (5) selanjutnya diimplementasikan pada kelas/ pembelajaran berikutnya dan seterusnya kembali ke (2).

Adapun kelebihan metode lesson study sebagai berikut:
– Dapat diterapkan di setiap bidang mulai seni, bahasa, sampai matematika dan olahraga dan pada setiap tingkatan kelas.
– Dapat dilaksanakan antar/ lintas sekolah.

Model Pembelajaran ARIAS
Abstrak. Model pembelajaran ARIAS dikembangkan sebagai salah satu alternatif yang dapat digunakan oleh guru sebagai dasar melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik. Model pembelajaran ARIAS berisi lima komponen yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran yaitu assurance, relevance, interest, assessment, dan satisfaction yang dikembangkan berdasarkan teori-teori belajar.

Model ini sudah dicobakan di dua sekolah yang berbeda yaitu salah satu SD negeri di Kota Palembang (percobaan pertama) dan satu SD negeri di Sekayu, Kabupaten Musi Banyu Asin (percobaan kedua). Hasil percobaan di lapangan menunjukkan bahwa model pembelajaran ARIAS memberi pengaruh yang positif terhadap motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa. Berdasarkan hasil percobaan tersebut model pembelajaran ARIAS dapat digunakan oleh para guru sebagai dasar melaksanakan kegiatan pembelajaran dalam usaha meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa.

Kata kunci: motivasi berprestasi, hasil belajar siswa, ARIAS, kegiatan pembelajaran

1. Pendahuluan

Salah satu masalah dalam pembelajaran di sekolah adalah rendahnya hasil belajar siswa. Suatu tes terhadap sejumlah siswa SD dari berbagai kabupaten dan propinsi menunjukkan hasil belajar siswa sangat rendah (Lastri 1993:12). Nilai Ebtanas siswa SD dalam kurun waktu lima tahun terakhir (1993/1994 sampai dengan 1997/1998) menunjukkan hasil belajar yang kurang menggembirakan (Depdikbud, 1998).

Hasil belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor dari dalam (internal) maupun faktor dari luar (eksternal). Menurut Suryabrata (1982: 27) yang termasuk faktor internal adalah faktor fisiologis dan psikologis (misalnya kecerdasan motivasi berprestasi dan kemampuan kognitif), sedangkan yang termasuk faktor eksternal adalah faktor lingkungan dan instrumental (misalnya guru, kurikulum, dan model pembelajaran). Bloom (1982: 11) mengemukakan tiga faktor utama yang mempengaruhi hasil belajar, yaitu kemampuan kognitif, motivasi berprestasi dan kualitas pembelajaran. Kualitas pembelajaran adalah kualitas kegiatan pembelajaran yang dilakukan dan ini menyangkut model pembelajaran yang digunakan.

Sering ditemukan di lapangan bahwa guru menguasai materi suatu subjek dengan baik tetapi tidak dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik. Hal itu terjadi karena kegiatan tersebut tidak didasarkan pada model pembelajaran tertentu sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa rendah. Timbul pertanyaan apakah mungkin dikembangkan suatu model pembelajaran yang sederhana, sistematik, bermakna dan dapat digunakan oleh para guru sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik sehingga dapat membantu meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil belajar. Berkenaan dengan hal itu, maka dengan memperhatikan berbagai konsep dan teori belajar dikembangkanlah suatu model pembelajaran yang disebut dengan model pembelajaran ARIAS. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh model pembelajaran ARIAS terhadap motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa, telah dicobakan pada sejumlah siswa di dua sekolah yang berbeda. Hasil percobaan di lapangan menunjukkan bahwa model pembelajaran ARIAS memberi pengaruh yang positif terhadap motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa. Oleh karena itu, model pembelajaran ARIAS ini dapat digunakan oleh para guru sebagai dasar melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik, dan sebagai suatu alternatif dalam usaha meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa. Tujuan percobaan lapangan ini untuk mengetahui apakah ada pengaruh model pembelajaran ARIAS terhadap motivasi berprestasi dan hasil belajar.

2. Kajian Teori dan Pembahasan

2.1 Model Pembelajaran ARIAS

Model pembelajaran ARIAS merupakan modifikasi dari model ARCS. Model ARCS (Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction), dikembangkan oleh Keller dan Kopp (1987: 2-9) sebagai jawaban pertanyaan bagaimana merancang pembelajaran yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi dan hasil belajar. Model pembelajaran ini dikembangkan berdasarkan teori nilai harapan (expectancy value theory) yang mengandung dua komponen yaitu nilai (value) dari tujuan yang akan dicapai dan harapan (expectancy) agar berhasil mencapai tujuan itu. Dari dua komponen tersebut oleh Keller dikembangkan menjadi empat komponen. Keempat komponen model pembelajaran itu adalah attention, relevance, confidence dan satisfaction dengan akronim ARCS (Keller dan Kopp, 1987: 289-319).

Model pembelajaran ini menarik karena dikembangkan atas dasar teori-teori belajar dan pengalaman nyata para instruktur (Bohlin, 1987: 11-14). Namun demikian, pada model pembelajaran ini tidak ada evaluasi (assessment), padahal evaluasi merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan pembelajaran. Evaluasi yang dilaksanakan tidak hanya pada akhir kegiatan pembelajaran tetapi perlu dilaksanakan selama proses kegiatan berlangsung. Evaluasi dilaksanakan untuk mengetahui sampai sejauh mana kemajuan yang dicapai atau hasil belajar yang diperoleh siswa (DeCecco, 1968: 610). Evaluasi yang dilaksanakan selama proses pembelajaran menurut Saunders et al. seperti yang dikutip Beard dan Senior (1980: 72) dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Mengingat pentingnya evaluasi, maka model pembelajaran ini dimodifikasi dengan menambahkan komponen evaluasi pada model pembelajaran tersebut.

Dengan modifikasi tersebut, model pembelajaran yang digunakan mengandung lima komponen yaitu: attention (minat/perhatian); relevance (relevansi); confidence (percaya/yakin); satisfaction (kepuasan/bangga), dan assessment (evaluasi). Modifikasi juga dilakukan dengan penggantian nama confidence menjadi assurance, dan attention menjadi interest. Penggantian nama confidence (percaya diri) menjadi assurance, karena kata assurance sinonim dengan kata self-confidence (Morris, 1981: 80). Dalam kegiatan pembelajaran guru tidak hanya percaya bahwa siswa akan mampu dan berhasil, melainkan juga sangat penting menanamkan rasa percaya diri siswa bahwa mereka merasa mampu dan dapat berhasil. Demikian juga penggantian kata attention menjadi interest, karena pada kata interest (minat) sudah terkandung pengertian attention (perhatian). Dengan kata interest tidak hanya sekedar menarik minat/perhatian siswa pada awal kegiatan melainkan tetap memelihara minat/perhatian tersebut selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Untuk memperoleh akronim yang lebih baik dan lebih bermakna maka urutannya pun dimodifikasi menjadi assurance, relevance, interest, assessment dan satisfaction. Makna dari modifikasi ini adalah usaha pertama dalam kegiatan pembelajaran untuk menanamkan rasa yakin/percaya pada siswa. Kegiatan pembelajaran ada relevansinya dengan kehidupan siswa, berusaha menarik dan memelihara minat/perhatian siswa. Kemudian diadakan evaluasi dan menumbuhkan rasa bangga pada siswa dengan memberikan penguatan (reinforcement). Dengan mengambil huruf awal dari masing-masing komponen menghasilkan kata ARIAS sebagai akronim. Oleh karena itu, model pembelajaran yang sudah dimodifikasi ini disebut model pembelajaran ARIAS.

2.2 Komponen Model Pembelajaran ARIAS

Seperti yang telah dikemukakan model pembelajaran ARIAS terdiri dari lima komponen (assurance, relevance, interest, assessment, dan satisfaction) yang disusun berdasarkan teori belajar. Kelima komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran. Deskripsi singkat masing-masing komponen dan beberapa contoh yang dapat dilakukan untuk membangkitkan dan meningkatkannya kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut.

Komponen pertama model pembelajaran ARIAS adalah assurance (percaya diri), yaitu berhubungan dengan sikap percaya, yakin akan berhasil atau yang berhubungan dengan harapan untuk berhasil (Keller, 1987: 2-9). Menurut Bandura seperti dikutip oleh Gagne dan Driscoll (1988: 70) seseorang yang memiliki sikap percaya diri tinggi cenderung akan berhasil bagaimana pun kemampuan yang ia miliki. Sikap di mana seseorang merasa yakin, percaya dapat berhasil mencapai sesuatu akan mempengaruhi mereka bertingkah laku untuk mencapai keberhasilan tersebut. Sikap ini mempengaruhi kinerja aktual seseorang, sehingga perbedaan dalam sikap ini menimbulkan perbedaan dalam kinerja. Sikap percaya, yakin atau harapan akan berhasil mendorong individu bertingkah laku untuk mencapai suatu keberhasilan (Petri, 1986: 218). Siswa yang memiliki sikap percaya diri memiliki penilaian positif tentang dirinya cenderung menampilkan prestasi yang baik secara terus menerus (Prayitno, 1989: 42). Sikap percaya diri, yakin akan berhasil ini perlu ditanamkan kepada siswa untuk mendorong mereka agar berusaha dengan maksimal guna mencapai keberhasilan yang optimal. Dengan sikap yakin, penuh percaya diri dan merasa mampu dapat melakukan sesuatu dengan berhasil, siswa terdorong untuk melakukan sesuatu kegiatan dengan sebaik-baiknya sehingga dapat mencapai hasil yang lebih baik dari sebelumnya atau dapat melebihi orang lain. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk mempengaruhi sikap percaya diri adalah:

– Membantu siswa menyadari kekuatan dan kelemahan diri serta menanamkan pada siswa gambaran diri positif terhadap diri sendiri. Menghadirkan seseorang yang terkenal dalam suatu bidang sebagai pembicara, memperlihatkan video tapes atau potret seseorang yang telah berhasil (sebagai model), misalnya merupakan salah satu cara menanamkan gambaran positif terhadap diri sendiri dan kepada siswa. Menurut Martin dan Briggs (1986: 427-433) penggunaan model seseorang yang berhasil dapat mengubah sikap dan tingkah laku individu mendapat dukungan luas dari para ahli. Menggunakan seseorang sebagai model untuk menanamkan sikap percaya diri menurut Bandura seperti dikutip Gagne dan Briggs (1979: 88) sudah dilakukan secara luas di sekolah-sekolah.

– Menggunakan suatu patokan, standar yang memungkinkan siswa dapat mencapai keberhasilan (misalnya dengan mengatakan bahwa kamu tentu dapat menjawab pertanyaan di bawah ini tanpa melihat buku).

– Memberi tugas yang sukar tetapi cukup realistis untuk diselesaikan/sesuai dengan kemampuan siswa (misalnya memberi tugas kepada siswa dimulai dari yang mudah berangsur sampai ke tugas yang sukar). Menyajikan materi secara bertahap sesuai dengan urutan dan tingkat kesukarannya menurut Keller dan Dodge seperti dikutip Reigeluth dan Curtis dalam Gagne (1987: 175-202) merupakan salah satu usaha menanamkan rasa percaya diri pada siswa.

– Memberi kesempatan kepada siswa secara bertahap mandiri dalam belajar dan melatih suatu keterampilan.

Komponen kedua model pembelajaran ARIAS, relevance, yaitu berhubungan dengan kehidupan siswa baik berupa pengalaman sekarang atau yang telah dimiliki maupun yang berhubungan dengan kebutuhan karir sekarang atau yang akan datang (Keller, 1987: 2-9). Siswa merasa kegiatan pembelajaran yang mereka ikuti memiliki nilai, bermanfaat dan berguna bagi kehidupan mereka. Siswa akan terdorong mempelajari sesuatu kalau apa yang akan dipelajari ada relevansinya dengan kehidupan mereka, dan memiliki tujuan yang jelas. Sesuatu yang memiliki arah tujuan, dan sasaran yang jelas serta ada manfaat dan relevan dengan kehidupan akan mendorong individu untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan tujuan yang jelas mereka akan mengetahui kemampuan apa yang akan dimiliki dan pengalaman apa yang akan didapat. Mereka juga akan mengetahui kesenjangan antara kemampuan yang telah dimiliki dengan kemampuan baru itu sehingga kesenjangan tadi dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali (Gagne dan Driscoll, 1988: 140).

Dalam kegiatan pembelajaran, para guru perlu memperhatikan unsur relevansi ini. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan relevansi dalam pembelajaran adalah:
– Mengemukakan tujuan sasaran yang akan dicapai. Tujuan yang jelas akan memberikan harapan yang jelas (konkrit) pada siswa dan mendorong mereka untuk mencapai tujuan tersebut (DeCecco,1968: 162). Hal ini akan mempengaruhi hasil belajar mereka.

– Mengemukakan manfaat pelajaran bagi kehidupan siswa baik untuk masa sekarang dan/atau untuk berbagai aktivitas di masa mendatang.

– Menggunakan bahasa yang jelas atau contoh-contoh yang ada hubungannya dengan pengalaman nyata atau nilai- nilai yang dimiliki siswa. Bahasa yang jelas yaitu bahasa yang dimengerti oleh siswa. Pengalaman nyata atau pengalaman yang langsung dialami siswa dapat menjembataninya ke hal-hal baru. Pengalaman selain memberi keasyikan bagi siswa, juga diperlukan secara esensial sebagai jembatan mengarah kepada titik tolak yang sama dalam melibatkan siswa secara mental, emosional, sosial dan fisik, sekaligus merupakan usaha melihat lingkup permasalahan yang sedang dibicarakan (Semiawan, 1991). (4) Menggunakan berbagai alternatif strategi dan media pembelajaran yang cocok untuk pencapaian tujuan. Dengan demikian dimungkinkan menggunakan bermacam-macam strategi dan/atau media pembelajaran pada setiap kegiatan pembelajaran.

Komponen ketiga model pembelajaran ARIAS, interest, adalah yang berhubungan dengan minat/perhatian siswa. Menurut Woodruff seperti dikutip oleh Callahan (1966: 23) bahwa sesungguhnya belajar tidak terjadi tanpa ada minat/perhatian. Keller seperti dikutip Reigeluth (1987: 383-430) menyatakan bahwa dalam kegiatan pembelajaran minat/perhatian tidak hanya harus dibangkitkan melainkan juga harus dipelihara selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu, guru harus memperhatikan berbagai bentuk dan memfokuskan pada minat/perhatian dalam kegiatan pembelajaran. Herndon (1987:11-14) menunjukkan bahwa adanya minat/perhatian siswa terhadap tugas yang diberikan dapat mendorong siswa melanjutkan tugasnya. Siswa akan kembali mengerjakan sesuatu yang menarik sesuai dengan minat/perhatian mereka. Membangkitkan dan memelihara minat/perhatian merupakan usaha menumbuhkan keingintahuan siswa yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran.

Minat/perhatian merupakan alat yang sangat berguna dalam usaha mempengaruhi hasil belajar siswa. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk membangkitkan dan menjaga minat/perhatian siswa antara lain adalah:
– Menggunakan cerita, analogi, sesuatu yang baru, menampilkan sesuatu yang lain/aneh yang berbeda dari biasa dalam pembelajaran.

– Memberi kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembelajaran, misalnya para siswa diajak diskusi untuk memilih topik yang akan dibicarakan, mengajukan pertanyaan atau mengemukakan masalah yang perlu dipecahkan.

– Mengadakan variasi dalam kegiatan pembelajaran misalnya menurut Lesser seperti dikutip Gagne dan Driscoll (1988: 69) variasi dari serius ke humor, dari cepat ke lambat, dari suara keras ke suara yang sedang, dan mengubah gaya mengajar.

– Mengadakan komunikasi nonverbal dalam kegiatan pembelajaran seperti demonstrasi dan simulasi yang menurut Gagne dan Briggs (1979: 157) dapat dilakukan untuk menarik minat/perhatian siswa.

Komponen keempat model pembelajaran ARIAS adalah assessment, yaitu yang berhubungan dengan evaluasi terhadap siswa. Evaluasi merupakan suatu bagian pokok dalam pembelajaran yang memberikan keuntungan bagi guru dan murid (Lefrancois, 1982: 336). Bagi guru menurut Deale seperti dikutip Lefrancois (1982: 336) evaluasi merupakan alat untuk mengetahui apakah yang telah diajarkan sudah dipahami oleh siswa; untuk memonitor kemajuan siswa sebagai individu maupun sebagai kelompok; untuk merekam apa yang telah siswa capai, dan untuk membantu siswa dalam belajar. Bagi siswa, evaluasi merupakan umpan balik tentang kelebihan dan kelemahan yang dimiliki, dapat mendorong belajar lebih baik dan meningkatkan motivasi berprestasi (Hopkins dan Antes, 1990:31). Evaluasi terhadap siswa dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana kemajuan yang telah mereka capai. Apakah siswa telah memiliki kemampuan seperti yang dinyatakan dalam tujuan pembelajaran (Gagne dan Briggs, 1979:157). Evaluasi tidak hanya dilakukan oleh guru tetapi juga oleh siswa untuk mengevaluasi diri mereka sendiri (self assessment) atau evaluasi diri. Evaluasi diri dilakukan oleh siswa terhadap diri mereka sendiri, maupun terhadap teman mereka. Hal ini akan mendorong siswa untuk berusaha lebih baik lagi dari sebelumnya agar mencapai hasil yang maksimal. Mereka akan merasa malu kalau kelemahan dan kekurangan yang dimiliki diketahui oleh teman mereka sendiri. Evaluasi terhadap diri sendiri merupakan evaluasi yang mendukung proses belajar mengajar serta membantu siswa meningkatkan keberhasilannya (Soekamto, 1994). Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Martin dan Briggs seperti dikutip Bohlin (1987: 11-14) bahwa evaluasi diri secara luas sangat membantu dalam pengembangan belajar atas inisiatif sendiri. Dengan demikian, evaluasi diri dapat mendorong siswa untuk meningkatkan apa yang ingin mereka capai. Ini juga sesuai dengan apa yang dikemukakan Morton dan Macbeth seperti dikutip Beard dan Senior (1980: 76) bahwa evaluasi diri dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Oleh karena itu, untuk mempengaruhi hasil belajar siswa evaluasi perlu dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan evaluasi antara lain adalah:

Mengadakan evaluasi dan memberi umpan balik terhadap kinerja siswa.
Memberikan evaluasi yang obyektif dan adil serta segera menginformasikan hasil evaluasi kepada siswa.
Memberi kesempatan kepada siswa mengadakan evaluasi terhadap diri sendiri.
Memberi kesempatan kepada siswa mengadakan evaluasi terhadap teman.
Komponen kelima model pembelajaran ARIAS adalah satisfaction yaitu yang berhubungan dengan rasa bangga, puas atas hasil yang dicapai. Dalam teori belajar satisfaction adalah reinforcement (penguatan). Siswa yang telah berhasil mengerjakan atau mencapai sesuatu merasa bangga/puas atas keberhasilan tersebut. Keberhasilan dan kebanggaan itu menjadi penguat bagi siswa tersebut untuk mencapai keberhasilan berikutnya (Gagne dan Driscoll, 1988: 70). Reinforcement atau penguatan yang dapat memberikan rasa bangga dan puas pada siswa adalah penting dan perlu dalam kegiatan pembelajaran (Hilgard dan Bower, 1975:561). Menurut Keller berdasarkan teori kebanggaan, rasa puas dapat timbul dari dalam diri individu sendiri yang disebut kebanggaan intrinsik di mana individu merasa puas dan bangga telah berhasil mengerjakan, mencapai atau mendapat sesuatu. Kebanggaan dan rasa puas ini juga dapat timbul karena pengaruh dari luar individu, yaitu dari orang lain atau lingkungan yang disebut kebanggaan ekstrinsik (Keller dan Kopp, 1987: 2-9). Seseorang merasa bangga dan puas karena apa yang dikerjakan dan dihasilkan mendapat penghargaan baik bersifat verbal maupun nonverbal dari orang lain atau lingkungan. Memberikan penghargaan (reward) menurut Thorndike seperti dikutip oleh Gagne dan Briggs (1979: <!–[if gte vml 1]> <![endif]–><!–[if !vml]–><!–[endif]–>merupakan suatu penguatan (reinforcement) dalam kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, memberikan penghargaan merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mempengaruhi hasil belajar siswa (Hilgard dan Bower, 1975: 561). Untuk itu, rasa bangga dan puas perlu ditanamkan dan dijaga dalam diri siswa. Beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain :

– Memberi penguatan (reinforcement), penghargaan yang pantas baik secara verbal maupun non-verbal kepada siswa yang telah menampilkan keberhasilannya. Ucapan guru : “Bagus, kamu telah mengerjakannya dengan baik sekali!”. Menganggukkan kepala sambil tersenyum sebagai tanda setuju atas jawaban siswa terhadap suatu pertanyaan, merupakan suatu bentuk penguatan bagi siswa yang telah berhasil melakukan suatu kegiatan. Ucapan yang tulus dan/atau senyuman guru yang simpatik menimbulkan rasa bangga pada siswa dan ini akan mendorongnya untuk melakukan kegiatan lebih baik lagi, dan memperoleh hasil yang lebih baik dari sebelumnya.

– Memberi kesempatan kepada siswa untuk menerapkan pengetahuan/keterampilan yang baru diperoleh dalam situasi nyata atau simulasi.

– Memperlihatkan perhatian yang besar kepada siswa, sehingga mereka merasa dikenal dan dihargai oleh para guru.

– Memberi kesempatan kepada siswa untuk membantu teman mereka yang mengalami kesulitan/memerlukan bantuan.

2.3 Penggunaan Model Pembelajaran ARIAS

Penggunaan model pembelajaran ARIAS perlu dilakukan sejak awal, sebelum guru melakukan kegiatan pembelajaran di kelas. Model pembelajaran ini digunakan sejak guru atau perancang merancang kegiatan pembelajaran dalam bentuk satuan pelajaran misalnya. Satuan pelajaran sebagai pegangan (pedoman) guru kelas dan satuan pelajaran sebagai bahan/materi bagi siswa. Satuan pelajaran sebagai pegangan bagi guru disusun sedemikian rupa, sehingga satuan pelajaran tersebut sudah mengandung komponen-komponen ARIAS. Artinya, dalam satuan pelajaran itu sudah tergambarkan usaha/kegiatan yang akan dilakukan untuk menanamkan rasa percaya diri pada siswa, mengadakan kegiatan yang relevan, membangkitkan minat/perhatian siswa, melakukan evaluasi dan menumbuhkan rasa dihargai/bangga pada siswa. Guru atau pengembang sudah merancang urutan semua kegiatan yang akan dilakukan, strategi atau metode pembelajaran yang akan digunakan, media pembelajaran apa yang akan dipakai, perlengkapan apa yang dibutuhkan, dan bagaimana cara penilaian akan dilaksanakan. Meskipun demikian pelaksanaan kegiatan pembelajaran disesuaikan dengan situasi, kondisi dan lingkungan siswa. Demikian juga halnya dengan satuan pelajaran sebagai bahan/materi untuk siswa. Bahan/materi tersebut harus disusun berdasarkan model pembelajaran ARIAS. Bahasa, kosa kata, kalimat, gambar atau ilustrasi, pada bahan/materi dapat menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa, bahwa mereka mampu, dan apa yang dipelajari ada relevansi dengan kehidupan mereka. Bentuk, susunan dan isi bahan/materi dapat membangkitkan minat/perhatian siswa, memberi kesempatan kepada siswa untuk mengadakan evaluasi diri dan siswa merasa dihargai yang dapat menimbulkan rasa bangga pada mereka. Guru dan/atau pengembang agar menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti, kata-kata yang jelas dan kalimat yang sederhana tidak berbelit-belit sehingga maksudnya dapat dengan mudah ditangkap dan dicerna siswa. Bahan/materi agar dilengkapi dengan gambar yang jelas dan menarik dalam jumlah yang cukup. Gambar dapat menimbulkan berbagai macam khayalan/fantasi dan dapat membantu siswa lebih mudah memahami bahan/materi yang sedang dipelajari.

Siswa dapat membayangkan/mengkhayalkan apa saja, bahkan dapat membayangkan dirinya sebagai apa saja (McClelland, 1987: 29). Bahan/materi disusun sesuai urutan dan tahap kesukarannya perlu dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan keingintahuan dan memungkinkan siswa dapat mengadakan evaluasi sendiri.

3. Hasil Percobaan di Lapangan

Model pembelajaran ARIAS telah dicobakan pada sejumlah siswa di dua sekolah yang berbeda. Pertama model ini dicobakan kepada sejumlah siswa kelas V dari sebuah sekolah dasar (SD) Negeri di Kota Palembang selama satu caturwulan yaitu catur wulan III tahun ajaran 1995/1996. Sekolah ini diambil sebagai sampel secara acak sederhana dari sejumlah SD negeri setara di Kota Palembang yang memiliki kelas V paralel. Dari keseluruhan siswa SD ini diambil 60 orang siswa kelas V sebagai sampel yang dikelompokkan ke dalam empat kelompok, di mana masing-masing kelompok berjumlah 15 orang siswa. Sampel siswa ini juga diambil secara acak sederhana. Percobaan menggunakan metode eksperimen dengan rancangan faktorial 2 x 2. Untuk memperoleh data yang diperlukan digunakan instrumen tes hasil belajar dan kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Data yang diperoleh dianalisis dengan ANAVA—2 jalur dengan uji F pada taraf signifikansi a = 0,05.

Percobaan kedua juga menggunakan metode eksperimen dengan rancangan 2 x 2 dilaksanakan di SD yang berbeda, yaitu sebuah SD negeri di Sekayu, Kabupaten Musi Banyu Asin. Lama percobaan selama satu caturwulan yaitu catur wulan II tahun ajaran 1996/1997. Jumlah sampel sebanyak 80 orang siswa yang dikelompokkan ke dalam empat kelompok di mana masing-masing kelompok berjumlah 20 orang siswa. Baik sampel SD maupun sampel siswa diambil secara acak sederhana. Untuk memperoleh data yang diperlukan digunakan tes motivasi berprestasi. Data yang diperoleh juga dianalisis dengan ANAVA—2 jalur pada taraf signifikansi a = 0,05. Seperti halnya pada percobaan pertama, pada percobaan kedua ini juga dilakukan uji persyaratan analisis yaitu uji Lilliefors untuk normalitas dan uji Bartlett untuk homogenitas data.

Apakah motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa yang mengikuti model pembelajaran ARIAS lebih tinggi daripada mereka yang mengikuti model pembelajaran non-ARIAS. Untuk itu baik pada percobaan pertama maupun pada percobaan kedua, siswa dikelompokkan ke dalam kelompok kontrol dan eksperimen. Kegiatan pembelajaran pada kelompok eksperimen dilaksanakan berdasarkan model pembelajaran ARIAS. Satuan pelajaran yang disusun berdasarkan model pembelajaran ARIAS disusun/dikembangkan oleh penulis. Pada kelompok kontrol kegiatan pembelajaran dilaksanakan berdasarkan model pembelajaran non-ARIAS, dengan satuan pelajaran disusun oleh guru kelas bersangkutan. Pada kedua percobaan ini dilakukan pengontrolan validitas internal dan eksternal. Pengontrolan validitas internal adalah:

(1) Menyetarakan setiap kelompok pada awal percobaan dengan menganalisis skor tes awal setiap kelompok untuk menghindari efek pemilihan subjek yang berbeda;

(2) Menggunakan instrumen yang sama untuk tes akhir dan tes awal guna menghindari efek perbedaan instrumen pengukur;

(3) Mengusahakan agar tidak ada subjek yang mengundurkan diri selama penelitian berlangsung untuk menghindari efek kehilangan subjek dalam percobaan;

(4) Memberikan perlakuan yang relatif singkat, untuk menghindari efek pematangan dan efek tes awal. Pengontrolan validitas eksternal adalah:

1. Penentuan kelompok kontrol, kelompok eksperimen dan pemilihan guru yang memiliki kualifikasi setara ditetapkan secara acak;

2. Suasana belajar, situasi kelas, dan kondisi setiap kelompok semua sama seperti hari-hari belajar biasa, kecuali penggunaan model pembelajaran ARIAS pada kelompok eksperimen, untuk menghindari efek lingkungan yang dapat menyebabkan reaksi yang berlebihan dari siswa;

3. Selama percobaan siswa tidak diberitahu bahwa sedang ada penelitian untuk menghindari efek Howthorne dan John Henry.

Hasil ANAVA menunjukkan bahwa pada percobaan pertama Fo=10,74 jauh lebih besar dari Ft=4,02 pada taraf signifikansi a = 0,05, dan perbedaan rerata skor antara kedua kelompok XA=78,80 > Xn-A=75,93 (Sopah, 1999: 120 – 121). Hasil ini menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang mengikuti model pembelajaran ARIAS lebih tinggi daripada mereka yang mengikuti model pembelajaran non-ARIAS. Pada percobaan kedua Fo=8,44 lebih besar dari Ft=3,96 pada taraf signifikansi a = 0,05, dan perbedaan rerata skor antara kedua kelompok adalah XA=18,55 > Xn-A=15,98 (Sopah,1998: 99-100). Hasil ini menunjukkan bahwa motivasi berprestasi siswa yang mengikuti model pembelajaran ARIAS lebih tinggi daripada mereka yang mengikuti model pembelajaran non-ARIAS.

Hasil kedua percobaan menunjukkan bahwa ada pengaruh model pembelajaran ARIAS terhadap motivasi berprestasi dan hasil belajar. Motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa yang mengikuti model pembelajaran ARIAS lebih tinggi daripada mereka yang mengikuti model pembelajaran non-ARIAS.

4. Penutup

Dari hasil kedua percobaan lapangan tersebut dapat dikatakan bahwa model pembelajaran ARIAS dapat digunakan oleh guru sebagai suatu alternatif dalam usaha meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil belajar. Meskipun percobaan lapangan ini menunjukkan hasil positif namun kedua percobaan ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu:

Dari hasil kedua percobaan lapangan tersebut dapat dikatakan bahwa model pembelajaran dapat digunakan oleh guru sebagai suatu alternatif dalam usaha meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil belajar. Meskipun percobaan lapangan ini menunjukkan hasil positif namun kedua percobaan ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu:

– Percobaan ini dilakukan dengan mengambil sampel salah satu SD negeri di Kota Palembang (percobaan pertama) dan satu SD negeri di Sekayu, Kabupaten Musi Banyu Asin (percobaan kedua). Walaupun sampel ini diambil secara acak, namun jumlahnya sangat terbatas, sehingga hasilnya belum tentu dapat digeneralisasikan ke wilayah yang lebih luas. Untuk itu, perlu penelitian sejenis lainnya dengan sebaran dan wilayah sampel yang lebih luas. Dengan dukungan hasil penelitian sejenis ini maka diharapkan dapat merupakan bahan pertimbangan penggunaan model pembelajaran ARIAS di Sekolah Dasar.

– Waktu yang digunakan untuk percobaan ini juga terbatas. Percobaan hanya berlangsung selama satu catur wulan. Karena waktunya terbatas, maka bahan atau materi yang diberikan juga terbatas, belum begitu banyak. Meskipun dalam percobaan ini telah dilakukan pengendalian secara cermat, namun karena terbatasnya waktu dan bahan yang diberikan kemungkinan adanya pengaruh variabel lain yang tidak terkendali dapat terjadi. Untuk itu, perlu adanya penelitian lanjutan yang waktunya lebih lama, bahan/materi yang diberikan lebih banyak, sehingga dapat lebih mencerminkan bahwa model pembelajaran ARIAS dapat mempengaruhi hasil belajar siswa atau tidak.

– Bidang studi yang digunakan terbatas pada satu bidang studi bahkan satu subbidang studi. Hasil baik yang diperoleh dalam subbidang studi ini belum tentu memberikan hasil yang sama pada bidang studi lain. Karena itu juga perlu adanya penelitian sejenis lainnya pada berbagai bidang studi, sehingga dapat mencerminkan besarnya pengaruh model pembelajaran ARIAS terhadap hasil belajar siswa.

– Dalam percobaan ini satuan pelajaran yang disusun menurut model pembelajaran ARIAS, baik untuk pegangan guru maupun sebagai bahan/materi bagi murid disusun oleh penulis. Satuan pelajaran menurut model pembelajaran ARIAS ini dicobakan dan ternyata hasilnya baik. Hasil baik ini mungkin perlu didukung oleh penelitian sejenis lainnya di mana satuan pelajaran menurut model pembelajaran ARIAS disusun oleh guru bersangkutan. Dengan demikian akan terlihat apakah memang satuan pelajaran menurut model pembelajaran ARIAS yang disusun oleh guru dengan berbagai macam keterbatasannya juga akan mencapai hasil yang lebih baik.

Pustaka Acuan :

Beard, Ruth M. dan Senior, Isabel J. 1980. Motivating students. London: Routledge and Kegan Paul Ltd.
Bloom, Benjamin S.1982. Human characteristics and school learning. New York: McGraw-Hill Book Company.
Bohlin, Roy M. 1987. Motivation in instructional design: Comparison of an American and a Soviet model, Journal of Instructional Development vol. 10 (2), 11-14.
Callahan, Sterling G. 1966. Successful teaching in secondary schools. Chicago: Scott, Foreman and Company.
Davies, Ivor K. 1981. Instructional technique. New York: McGraw Hill Book Company.
DeCecco, John P. 1968. The psychology of learning and instructions: Educational psychology. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Laporan EBTANAS SD. Palembang: Depdikbud Kodya Palembang.
Dick, Walter dan Reiser, Robert A. 1989. Planning effective instruction. Boston: Allyn and Bacon.
Gagne, Robert M, dan Briggs, Leslie J. 1979. Principles of instructional design. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Gagne, Robert M. dan Driscoll, Marcy P. 1988. Essentials of learning for instruction. Englewood Cliffs, NJ.: Prentice-Hall, Inc.
Hendorn, James N. 1987. Learner interests, achievement, and continuing motivation in instruction, Journal of Instructional Development, Vol. 10 (3), 11-14.
Hilgard, Ernest R. dan Bower, Gordon H. 1975. Theories of learning. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.
Hopkins, Charles D. dan Antes, Richard L. 1990. Classroom measurement and evaluation. Itasca, Illinois: F.E. Peacock Publisher, Inc.
Keller, John M. 1983. Motivational design instruction dalam Charles M Reigeluth (ed.), Instructional design theories and models, 383-430. Hillsdale, NJ.: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
________ 1987. Development and use of ARCS model of instructional design, Journal of Instructional Development, Vol. 10 (3), 2-9.
Keller, John M. dan Thomas W. Kopp. 1987. An application of the ARCS model of motivational design, dalam Charles M. Reigeluth (ed), Instructional theories in action, 289-319. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Lastri, M.T.F. 1993. Kemampuan murid SD memprihatinkan, Kompas, 14 Juli, 12.
Lefrancois, Guy R. 1982. Psychology for teaching. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company.
McClelland, David C. 1987. Memacu masyarakat berprestasi. Terjemahan Siswo Suyanto dan W.W. Bakowatun. Jakarta: CV. Intermedia.
Morris, William (ed) 1981. The American heritage dictionary of English language. Boston: Houghton Miflin Company. Petri, Herbert L. 1986. Motivation: Theory and research. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company.
Prayitno, Elida 1989. Motivasi dalam belajar. Jakarta: PPPLPTK.
Reigeluth, Charles M. dan Curtis Ruth V. 1987. Learning situations and instructinal models, dalam Robert M. Gagne (ed.), Instructional technology foundations, 175-206. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. Semiawan, Conny R. 1991.
Strategi pembelajaran yang efektif dan efisien dalam Conny R. Semiawan dan Soedijarto (ed.), Mencari strategi pengembangan pendidikan nasional menjelang abad XXI, 165-175. Jakarta: Grasindo. Soekamto, Toeti 1994. Evaluasi diri demi peningkatan mutu pendidikan. Pidato pengukuhan guru besar tetap Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta, 30 Juli.
Sopah, Djamaah 1998. Studi tentang model peningkatan motivasi berprestasi siswa, Laporan penelitian. Palembang: Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya.
________ 1999. Pengaruh model pembelajaran ARIAS dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar siswa, Disertasi. Jakarta: PPS-IKIP Jakarta.
Suryabrata, Sumadi 1982. Psikologi pendidikan: Materi pendidikan program bimbingan konseling di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Depdikbud.

SUMBER HUKUM ISLAM

SUMBER HUKUM ISLAM

a. Pengertian Sumber dan Dalil
Kata “sumber“ dalam hukum fiqh adalah terjemahan dari kata mashdar yang jamaknya adalah mashadir, yang dapat diartikan suatu wadah yang dalam wadah tersebut dapat ditemukan atau ditimba norma hukum.
Dalam pengertian ini kata “sumber” hanya digunakan untuk al Qur’an dan Sunnah, karena keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba hukum syara’nya. Hukum syara yaitu seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
Sedangkan kata “dalil” berarti sesuatu yang dapat menunjuki. Bila dihubungkan dengan kata hukum atau al adillah syar’iyyah berarti sesuatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita dalam menemukan hukum Allah. Kata dalil dapat digunakan untuk al Quran, sunnah, ijma, dan qiyas, karena semuanya menuntun kepada penemuan hukum Allah.
Di kalangan fuqoha, dalil diartikan sesuatu yang padanya terdapat penunjukan pengajaran, baik yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang meyakinkan atau kepada dugaan kuat yang tidak meyakinkan.
Menurut ulama ushul fiqh dalil diartikan sesuatu yang menyampaikan kepada tuntutan khabari dengan pemikiran yang shahih.
Prinsip dalil syara menurut al Syatibi :
1. Dalil syara tidak bertentangan dengan tuntutan akal.
2. Tujuan pembentukan dalil adalah menempatkan perbuatan manusia dalam perhitungannya.
3. Setiap dalil bersifat kulli (global).
4. Dalil syara terbagi dalam qathi dan zhanni.
5. Dalil syara terdiri dari dalil naqli dan dalil aqli.
Al Midi membagi dalil ke dalam dua kelompok, yaitu dalil shahih (wajib diamalkan) dan sesuatu yang diperkirakan dalil shahih yang sebenarnya bukan dalil. Dalil shahih terdiri dari al- Quran dan Sunnah yang disebut dalil nash dan bukan nash terdiri dari :
a. terpelihara dari kesalahan, yaitu ijma.
b. terpelihara dari kesalahan tetapi dapat dihubungkan dengan nash, yaitu qiyas
c. tidak terpelihara dari kesalahan dan tidak dapat dihubungkan dengan nash, yaitu istidlal.
Sesuatu yang diperkirakan dalil shahih sebenarnya bukan dalil, yaitu : syaru man qablana, mazhab shahabi, istihsan, dan maslahah mursalah.
Jadi, dalil-dalil syara yang disepakati adalah al Quran, Sunnah, Ijma, dan Qiyas.
Hukum berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti “memutuskan”, “menetapkan”, dan “menyelesaikan”. Sedangkan pengertian hukum menurut istilah sederhana adalah seperangkat aturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun oleh orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.
Bila pengertian hukum tersebut dihubungkan dengan Islam atau syara maka “Hukum Islam” berarti seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam. dari pengertian ini mengandung arti bahwa hukum Islam mengatur tindak lahir manusia yang dikenakan hukum. Peraturan tersebut berlaku dan mempunyai kekuatan terhadap orang-orang yang meyakini kebenaran wahyu dan Sunnah Rasul itu, yaitu umat Islam.
Jadi, yang dimaksud Sumber Hukum Islam adalah al Quran dan Sunnah Rasul yang merupakan seperangkat aturan tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam.
b. Macam-Macam Sumber Hukum Islam
Para ulama sepakat bahwa, Sumber Hukum Islam ada tiga, yaitu; al Quran, Sunnah, dan al Rayu ( akal ).Landasannya adalah :
1.) Al Quran surat al Nisa (4) :59 yang artinya”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah ( al Quran ) dan Rasul ( Sunnah )”.
Perintah mentaati Allah berarti perintah menjalankan hukum yang terdapat dalam al Quran.
Perintah mentaati Rasul berarti perintah mengamalkan apa yang disampaikan Rasul dalam Sunnahnya.
Perintah mentaati ulil amri berarti perintah mengamalkan hukum yang ditemukan berdasarkan ijma.
Perintah mengembalikan sesuatu yang siperselisihkan hukumnya kepada Allah dan Rasul berarti perintah mengamalkan hukum yang ditemukan melalui qiyas. Ijma dan qiyas merupakan hasil dari al Rayu ( hasil ijtihad ).
2.) Sunnah, yaitu kisah pembicaraan Nabi dengan Muaz bin Jabal sewaktu ia diutus oleh Nabi sebagai qadli ( hakim ) ke Yaman.
Nabi : Bagaimana Anda memutuskan seandainya kepada Anda dihadapkan suatu perkara?
Muaz : Saya memutuskan berdasarkan apa yang saya temukan dalam al Quran.
Nabi : Kalau engkau tidak dapat menemukan dalam al Quran ?
Muaz : Saya memutuskan berdasarkan apa yang saya temukan dalam Sunnah.
Nabi : Seandainya dalam Sunnah pun engkau tidak dapat menemukan jawabannya ?
Muaz : Saya mengamalkan ijtihad dengan nalar saya dan saya tidak akan berbuat kelengah-
an.
Nabi : Segala puji untuk Allah yang telah meberikan taufik kepada utusan Rasul Allah me-
Nurut apa yang direlakannya.
A. Al Quran Sebagai Sumber Hukum Islam
1. Pengertian Al Quran
Secara etimologis al Quran adalah bentuk masdhar dari kata qa-ra-a ( ), sewazan dengan kata fulan ( ) yang artinya bacaan, berbicara tentang apa yang tertulis padanya, atau melihat dan menelaah. Dalam pemgertian ini, berarti , yaitu isim maful (ob- yek) dari . hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al Qiyamah (75) : 17-18.
Quran juga sebagai nama kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, bila dilafazkan dengan menggunakan alif-lam yang berarti juga “keseluruhan apa yang dimaksud dengan Quran” (QS ( ) : 9). Al Quran juga disebut al Kitab dalam surat al Baqarah ayat 2.
Definisi al Quran menurut beberapa tokoh :
Syaltut, al Qur’an adalah “ lafaz Arabi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dinukilkan kepada kita secara mutawatir ”.
Al Syaukani, al Qur’an adalah “ kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis dalam mushaf, dinukilkan secara mutawatir ”.
Abu Zahroh, al Qur’an adalah “ kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW “.
Al Sarkhisi, al Qur’an adalah “ kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, ditulis dalam mushaf, diturunkan dengan huruf yang tujuh yang mashur dan dinukilkan secara mutawatir “.
Al Midi, al Qur’an adalah “ al kitab adalah al Quran yang diturunkan “.
Ibnu Subki, al Qur’an adalah “ lafaz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, mengandung mujizat setiap suratnya, yang beribadah membacanya “.
Jadi definisi al Quran dapat disimpulkan sebagai lafaz berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang dinukilkan secara mutawatir.
2. Otentisitas ( Keaslian ) al Quran
Umat Islam sepakat bahwa kumpulan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril yang disebut al Quran dan termuat dalam mushaf adalah otentik ( betul-betul dariAllah ). Hal ini dibuktikan dari kehati-hatian para sahabat Nabi memeliharanya sebelum ia dibukukan dan dikumpulkan. Begitu pula kehati-hatian para sahabat dalam membukukan dan memelihara penggandaanny. Selain itu, al Quran disampaikan dan disebarluaskan secara periwayatan oleh orang banyak yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta ( mutawatir ). Oleh karena itu, al Quran itu bersifat otentik sebagaimana firman Allah dalam surat al Hijr (15) ayat 9, yang artinya “ sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al Quran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya “.
a. Bacaan ( Qiraat ) al Quran
Dari segi pembacaan ( qiraat ) al Quran, terdapat tujuh macam qiraat yang disepakati kemutawatirannya. Itulah yang disebut qiraat yang tujuh ( qiraat sabah ), yaitu qiraat : Ibnu Katsir (Mekah), Ibnu Amir (Syam), Nafi` (Madinah), Abu Amru (Bashroh), `Ashim (Kufah), Hamzah (Kufah), al Kisai (Kufah).
Selain itu ada tiga qiraat lagi, yaitu Ibnu Ja`far,Ya`kub, dan Khalafa, tetapi tidak disepakati kemutawatirannya oleh para ulama. Qiraat yang tidak mutawatirini disebut qiraat syadzdzah atau ganjil, lain dari yang umum berlaku. Keganjilan qiraat syadzdzah ini diantaranya karena adanya penambahan kata sebagai penjelasan terhadap kata yang terletak di sampingnya atau pengubahan kata.
b. Kedudukan qira`at syadzdzah
Imam al Syafi`I berpendapat, tidak boleh menggunakan dalil untuk menetapkan hukum dengan qiraat syadzdzah. Alasannya adalah periwayat yang membawa pesan wahyu dari Nabi, bila ia hanya seorang dengan mengatakan bahwa pesan yang ia bawa itu adalah al Quran mungkin salah danjika tyidak disebutkannya bahwa pesan yang ia bawa adalah al Quran, maka ia berada dalam keraguan antara apakah pesan itu khabar dari Nabi atau pendapatnya sendiri. Karena itu tidak dapat dijadikan hujjah yang kuat.
Imam Abu Hanifah menerima qiraat syadzdzah sebagai sumber dalam menetapkan hukum. Alasannya, meskipun periwayatannya tidak meyakinkan sebagai ayat al Quran, namun setidaknya ia sama dengan hadits ahad, sedangkan hadits ahad dapat dijadikan sumber dalam mengistimbathkan hukum.
c. Basmalah dalam al Qur`an
Terdapat perbedaan pendapat ulama tentang basmalah ( ) dalam al Quran. Basmalah terdapat dalam mushaf standar sebanyak 114. sekali dalam surat al Naml (27) : 30 dan 113 kali dalam permulaan setiap surat, kecuali surat al Taubah (9).
Basmalah adalah bagian dari al Qur`an karena terdapat dalam surat al Naml. Dalam hal ini, sumber khabarnya bersifat mutawatir dan tidak terdapat perbedaan pendapat. Paraulama beda pendapat mengenai basmalah yang terdapat di luar surat al Naml.
Imam Syafi`I berpendapat bahwa basmalah ini merupakan satu ayat dari surat al Qur`an yang diawali oleh basmalah. Alasannya adalah :
i) Hadits riwayat Abdul Hamid yang artinya ………alhamdulillah atau surat al fatihah terdiri dari 7 ayat, satu diantaranya adalah basmalah.
ii) Hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah, dari Umi Salamah bahwa Rasulullah membaca basmalah pada awal surat al fatihah dan surat-surat lainnya.
Imam Malik berpendapat ; “ basmalah di awal setiao surat bukan merupakan ayat dalam al- Quran, juga bukan salah satu ayat dalam surat al fatitah atau surat lainnya “. Alasannya adalah umat Islam Madinah tidak membaca al fatihah pada awal setiap surat dalam shalat yang mereka lakukan ( zaman Nabi sampai masa Imam Malik ).
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tertulisnya basmalah dalam al Qur`anmenunjukkan bahwa ia bagioan dari al Qur`an, tetapi tidak menunjukkan bahwa ia bagian dari surat al- Qur`an yang didahului basmalah itu. Basmalah dalam al Qur`an adalah sebagai pemisah antara satu surat dengan surat lainnya.
3. Fungsi dan Tujuan Turunnya al Qur`an
Fungsi turunnya al Qur`an :
1. Sebagai petunjuk ( hudan ) bagi umat manusia.
2. Sebagai rahmat atau keberuntungan dari Allah dalam bentuk kasih sayang-Nya untuk umat manusia.
3. Sebagai pembeda ( furqon ) antara yang baik dan buruk, halal haram, salah benar, dan sebagainya.
4. Sebagai pengajaran yang akan mengajarkan dan membimbing umat dalam kehidupan untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akherat.
5. Sebagai berita gembira ( busyro) bagi orang yang telah berbuat baik kepada Allah dan semua manusia.
6. Sebagai penjelasan ( tibyan ) atau yang menjelaskan ( mubin ) terhadap sesuatu yang disampaikan Allah.
7. Sebagai pembenar ( mushaddiq ) terhadap kitab yang sebelumnya ( Taurat, Zabur, Injil ) sebelum adanya perubahan terhadap isi kitab tersebut.
8. Sebagai cahaya yang akan menerangi kehidupan manusia menuju jalan keselamatan.
9. Sebagai tafsil, yaitu memberi penjelasan secara rinci sehingga dapat dilaksanakan sesuai yang dikehendaki Allah.
10.Sebagai syifau al shudur, yaitu obat rtohani yang sakit.
11.Sebagai hakim, yaitu sumber kebijaksanaan.
Al Qur`an diturunkan secara berangsur-angsur. Maksud diturunkan secara berangsur-angsur yaitu :
1. Sebagai tatsbital fu`ad ( kemantapan hati )
Yaitu ketenangan dan kepuasan rohani dalam menerima dan menjalankan alQur`an bagi Nabi maupun bagi umatnya. Bagi Nabi yaitu seringnya Nabi berkomunikasi langsung dengan Tuhan. Bagi umatnya yaitu bahwa hukum Allah yang terkandung dalam al Qur`an merupakan revolusi budaya sehingga mungkin lebih baik bila dilakukan secara berangsur-angsur. Selain itu, beban hukum yang ada dalam al Qur`an dapat dilaksanakan tidak dengan sekaligus yang dapat mmenimbulkan masalah social dan keagamaan.
2. Untuk adanya tartil ( membaca dengan baik dan indah )
Karena al Qur`an turun pada kaum yang umumnya ummi atau but abaca tulis. Allah menghendaki ayat-ayat al Qur`an dapat dihafal oleh umat dengan baik secara menyeluruh sehingga otentisitas al Qur`an terjamin.
Turunnya al Qur`an dibagi ke dalam dua tahap, yaitu:
a. Periode Mekah ( ayat Makiyah ), ayat yang turun pada periode ini umumnya berisi tentang akidah dan moral Islam.
b. Periode Madinah ( ayat Madaniyah ), ayat yang turun pada periode ini berisi hukum-hukum dan pemantapan akidah.
4. Mu`jizat al Qur`an
Secara etimologis ( lughowii ) mu`jizat berarti sesuatu yang dapat melemahkan, sehingga orang lain tidak dapat berbuat yang sama atau melebihi.
Al Qur`an merupakan mu`jizat terbesar Nabi Muhammad SAW. bentuk kemu`jizatan al- Qur`an yaitu :
Segi keindahan bahasa. Keindaannya terdapat dalam penggunaan kata, susunan kata dan kalimat, ungkapan, dan hubungan satu ungkapan dengan ungkapan lainnya.
Dari segi pemberitaan mengenai kejadian masa lalu yang kemudian terbukti kebenarannya, dan sesuai dengan pemberitaan kitab suci sebelumnya.
Dari segi pemberitaan al Qur`an tentang hal-hal yang akan terjadi dan ternyata memang kemudian terjadi. Misalnya pemberitaan kekalahan Persia dari Romawi ( QS al Rum (30):2-4)
Dari segi kandungannya akan hakekat kejadian alam dengan seisinya serta hubungan antara satu dengan lainnya. Pemberitaan seperti ini merupakan hal luar biasa yang kemudian terbukti melalui pemggalian ilmu pengetahuan dan teknologi. Misalnya kejadian manusia (QS al-Mu`min (23):12-14).
Dari segi kandungan mengenai pedoman hidup yang menuntun manusia mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat ; tentang halal-haram, salah-benar, baik-buruk, boleh dan tidak boleh serta tentang etika pergaulan.
Demikian hal-hal luar biasa yang terdapat dalam al Qur`an yang tidak mungkin diciptakan oleh Nabi Muhammad SAW yang ummi dan tidak pernah belajar ilmu pengetahuan dan sejarah. Jadi tidak diragukan bahwa al Qur`an itu asli dari Allah SWT.
5. Penjelasan Al Qur`an terhadap Hukum
Ayat-ayat al Qur`an dari segi kejelasan arti ada dua macam, yaitu :
1. Ayat muhkam, yaitu ayat yang jelas maknanya.
2. Ayat mutasyabih, yaitu ayat yang tidak pasti arti dan maknanya, sehingga dapat dipahamai
dengan beberapa kemungkinan.
Dari segi penjelasannya terhadap hukum, ada beberapa cara yang digunakan al Qur`an :
1. Secara juz`I ( terperinci ), misalnya tentang waris (al Nisa (4):11-12) dan sanksi zina (al Nur
(24):4).
2. Secara kulli ( global ) atau garis besar yang masih membutuhkan penjelasan dari Nabi
Muhammad SAW.
3. Secara isyarat, satu ayat al Qur`an dapat memberikan beberapa maksud.
Ayat al Qur`an dan juz`I penunjukannya terhadap hukum adalah pasti ( qath`I dilalah ). Umumnya berlaku untuk bidang aqidah, ibadah pokok, dan norma yang tidak akan mengalami perubahan ( mis; berbuat baik kepada ibu bapak ).
Ayat al Qur`an mutasyabihat dan kulli serta mengandung isyarat penunjukannya terhadap hukum bersifat zhanni ( tidak meyakinkan ). Ayat al Qur`an yang bersifat zhanni ini umumnya berlaku untuk bidang muamalah dalam arti luas.
6. Hukum yang Terkandung dalam Al Qur`an
Secara garis besar hukum yang terkandung dalam al Qur`an dapat dibagi 3 macam :
Pertama, hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Swt mengenai apa yang harus diyakini dan harus dihindari sehubungan dengan keyakinannya ( hukum i`tiqadiyah ) yang dikaji dalam “ilmu tauhid” atau “ ushuluddin”.
Kedua, hukum yang mengatur pergaulan manusia( hukum khuluqiyah ) yang kemudian dikembangkan dalam ilmu akhlak.
Ketiga, hukum yang menyangkut tindak tanduk manusia dan tingkah laku lahirnya dalam hubungan dengan Allah Swt, dan dalam hubungannya dengan sesama manusia, dan dalam bentuk apa-apa yang harus dilakukan atau dijauhi ( hukum amaliyah ) yang dikembangkan dalam hukum syari`ah.
Hukum amaliyah tersebut secara garis besar dibagi dua :
1. Hukum ibadah dalam arti khusus, hukum yang mengatur tingkah laku dan perbuatan lahiriah
manusia dalam hubungannya dengan Allah Swt,seperti; shalat, puasa zakat, dan haji.
2. Hukum muamalah dalam arti umum, yaitu hukum yang mengatur tingkah laku lahiriah manu-
sia dalam hubungannya dengan sesama dan alam sekitar, seperti; jual beli, perkawinan,pembu-
nuhan, dan lain-lain.
Dilihat dari segi pemberlakuannya, hukum muamalah terdiri dari beberapa macam, yaitu:
a. Hukum muamalah dalam arti khusus, yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama manusia yang menyangkut kebutuhan harta bagi keperluan hidup. Contoh : jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan sebagainya.
b. Hukum munakahat, yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama manusia yang menyangkut kebutuhan akan penyaluran nafsu sahwat secara sah dan yang berkaitan dengan itu. Contoh : nikah, talak, cerai, dan pengasuhan anak yang dilahirkan.
c. Hukum mawarits dan wasiat, yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama manusia yang menyangkut kebutuhan perpindahan harta karena adanya kematian.
d. Hukum jinayah atau pidana, yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama manusia yang menyangkut kebutuhan usaha pencegahan terjadinya kejahatan; harta, penyaluran sahwat, dan lain-lain serta sanksinya. Contoh; pencurian, pembunuhan, perzinaan dan sebagainya.
e. Hukum murafa`at atau qadha atau hukum acara yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama manusia yang menyangkut kebutuhan usaha penyelesaian akibat tindak kejahatan di pengadilan. Contoh; kesaksian, gugatan, dan pembuktian.
f. Hukum dusturiyah atau tata Negara yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama manusia yang menyangkut kebutuhan kehidupan bermasyarakat dan bernegara
g. Hukum dualiyah atau hukum hubungan internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama manusia yang menyangkut kebutuhan dengan negara lain dalam keadaan damai maupun perang. Contoh; ekstradisi, perjanjian, tawanan perang dan sebagainya.
B. Sunnah Sebagai Sumber Hukum dan Dalil
a. Pengertian Sunnah
Secara etimologi sunnah berarti cara yang biasa dilakukan, baik cara itu baik atau buruk.
Menurut para ulama Islam mengutip dari al Qur`an, sunnah berarti cara yang biasa dilakukan dalam pengamalan agama.
Menurut ulama ushul, sunnah adalah “ apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun pengakuan dan sifat Nabi ”.
Menurut ulama fiqh, sunnah adalah “ sifat hukum bagi suatu perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti dengan pengertian diberi pahalaorang yang melakukannyadan tidak berdosa orang yang tidak melakukannya”. Ulama fiqh menempatkan sunnah sebagai salah satu dari hukum syara` yang lima. Berarti sunnah adalah “hukum” bukan “suimber hukum”.
Kata “sunnah” identik dengan “hadits” , yaitu sama-sama dari Nabi Muhammad SAW. Menurut para, hadits lebih banyak mengarah kepada ucapan Nabi, sedangkan sunnah lebih banyak mengarah kepada perbuatandan tindakan Nabi yang sudah menjadi tradisi yang hidup dalam pengalaman agama.
b. Macam-Macam Sunnah :
1. Sunnah Qauliyah, yaitu ucapan Nabi yang didengar sahabat beliau dan disampaikannya kepada kepada orang lain. Namun ucapan Nabi ini bukan wahyu al Qur`an. Untuk membedakan sunnah dan wahyu al Qur`an yang sama-sama lahir dari lisan Nabi adalah dengan cara, antara lain :
a. Bila wahyu al Qur`an selalu mendapat perhatian khusus dari Nabi dan menyuruh orang lain untuk menghafal dan menuliskannya serta mengurutkannya sesuai petunjuk Allah. Sedangkan sunnah tidak, bahkan Nabi melarang menuliskannya karena khawatir tercampur dengan al Qur`an.
b. Penukilan alQur`an selalu dalam bentuk mutawatir, sedangkan sunnah pada umumnya diriwayatkan secara perorangan.
c. Penukilan al Qur`an selalu dalam bentuk penukilan lafaz dengan arti sesuai dengan teks aslinya seperti yang didengar dari Nabi. Sedangkan sunnah dinukilkan secara ma`nawi ( disampaikan dengan redaksi dan ibarat yang berbeda walau maksudnya sama ).
d. Bila yang diucapkan Nabi al Qur`an mempunyai daya pesona / mu`jizat, sedangkan bila sunnah tidak.
2. Sunnah Fi`liyah, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yang dilihat atau diketahui oleh sahabat, kemudian disampaikan kepada orang laindengan ucapannya.
Para ulama membagi perbuatan Nabi ke dalam tiga bentuk :
a. Perbuatan dan tingkah laku Nabi sebagai manusia biasa. Ulama berbeda pendapat tentang keteladanannya bagi umat, ada yang berpendapat bahwa perbuatan Nabi bentuk ini mempunyai daya hukum untuk diikuti dan ada yang berpendapat tidak mempunyai daya hukum untuk diikuti.
b. PerbuatanNabi yang memiliki petunjuk yang menjelaskan bahwa perbuatan tersebut khusus untuk Nabi.
c. Perbuatan dan tingkah laku Nabi yang berhubungan dengan penjelasan hukum.
Perbuatan Nabi yang diketahui merupakan penjelasan hukum untuk umat edan menjadi dalil hukum yang harus diikuti oleh umat.
3. Sunnah Taqririyah, yaitu perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang dilakukan dihadapan Nabi atau sepengetahuan Nabi, tetapi tidak ditanggapi atau dicegah oleh Nabi. Keadaan diamnya Nabi dibedakan pada dua bentuk :
Pertama, Nabi mengetahui perbuata itu pernah dibenci dan dilarang ileh Nabi. Diamnya Nabi dapat berarti perbuatan itu tidak boleh dilakukan atau boleh dilakukan ( pencabutan larangan ).
Kedua, Nabi belum pernah melarang perbuatan itusebelumnya dan tidak diketahui pula haramnya. Diamnya Nabi menunjukan hukumnya adalah ibahah ( meniadakan keberatan untuk diperbuat ).
c. Periwayatan Sunnah
Periwayatan Sunnah mempunyai tingkatan kebenaran yang ditentukan oleh faktor-faktor; bersinambungnya khabar itu dari yang menerimanya dari Nabi sampai kepada orang yang menyimpulkan dan membukukannya, kuantitas orang yang membawa khabar pada tiap sambungannya, kualitas pembawa khabar dari segi kuat dan setia ingatannya, dan kejujuran serta keadilannya.
Dari segi jumlah pembawa khabar, ulama membagi khabar ke dalam tiga tingkat :
1. Khabar Mutawatir, yaitu khabar yang disampaikan secara bersinambungan oleh orang banyak kepada orang banyak yang untuk setiap sambungan mencapai jumlah tertentu yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berbohong.
2. Khabar Masyhur, yaitu khabar yang diterima dari Nabi oleh beberapa orang sahabat kemudian disampaikan kepada orang banyak yang selanjutnya disampaikan kepada orang banyak pula yang jumlahnya mencapai ukuran batas khabar mutawatir.
3. Khabar Ahad, yaitu khabar yang diterima dari Nabi secara perorangan dan dilanjutkan periwa- yatannya sampai kepada perawi akhir.
d. Fungsi Sunnah
Fungsi utama Sunnah adalah sebagai penjelas al Qur`an. Dengan demikian, bila al- Qur`an disebut sumber asli hukum fiqh, maka Sunnah disebut sebagai bayanni ( penjelas ). Oleh karena itu, Sunnah menjalankan fungsi sebagai berikut :
Menguatkan dan menjelaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al Qur`an (ta`qid dan taqrir)
Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam al Qur`an.
Menetapkan suatu hukum dalam sunnahyang tidak ada dalam al Qur`an ( itsbat dan insya` ).
e. Sunnah Berdaya Hukum
Dari segi boleh diikut atau ditinggalkannya suatu Sunnah, ulama membagi Sunnah ke dalam dua kelompok :
1. Sunah Tasyri atau Sunnah yang berdaya hukum yang mengikat untuk diikuti. Sunnah ini terdiri dari aqidah, akhlak, dan hukum-hukum amaliyah.
2. Sunnah bukan tasyri, yaitu Sunnah yang tidak berdaya hukum dan tidak mengikat untuk didikuti.
f. Kedudukan Sunnah sebagai Sumber Hukum
Jumhur ulama berpendapat bahwa Sunnah berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua setelah al Qur`an dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam, alasannya antara lain :
1. Banyak ayat al Qur`an yang menyuruh umat untuk menaati Rasul ( al Nisa`(4): 59
2. Ayat al Qur`an sering menyuruh umat untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (al-A`raf :158)
3. Ayat al Qur`an menetapkan bahwa yang dikatakan Nabi seluruhnya adalah berdasarkan wahyu ( al Najm (53) : 3-4 ).
Kekuatan Sunnah sebagai sumber hukum ditentukan oleh kebenaran materi ( wurud ) dan penunjukannya terhadap hukum. Dari segi kebenaran materinya, kekuatan Sunnah mengikuti kebenaran pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir, masyhur, dan ahad.
Khabar mutawatir akan menghasilkan ilmu yakin (qath`i) bila memenuhi syarat-syarat :
1. Pembawa berita mencapai jumlah tertentu yang tidak mungkin sepakat berbohong.
2. Pembawa berita mengetahui pasti apa yang diberitakannya.
3. Pengetahuan mereka tentang berita itu berdasarkan pengalaman sendiri.
4. Jumlah penerima dan pembawa berita sama pada bagian pangkal, tengah, dan ujungnya.
5. Pembawa berita mempunyai kemampuan untuk menerima pengetahuan yang diberikan kepadanya.
Khabar atau Sunnah masyhur mempunyai kekuatan yang qath`i pada tingkat sahabat tetapi kekuatannya dari Nabi hanya bersifat zhanni. Menurut Abu Hanifah, khabar masyhur menimbulkan ilmu yakin walaupun kadarnya di bawah keyakinan yang ditimbulkan oleh khabar mutawatir.
Khabar ahad pada dasarnya tidak mempunyai kekuatan yang meyakinkan. Ia hanya menghasilkan ilmu hanya sampai tingkatan zhan ( dugaan kuat dan tidak meyakinkan ). Menurut mayoritas ulama, khabar ahad dapat dijadikan dalil dalam beramal dan penetapan hukum bila memenuhi syarat-syarat :
a. Pembawa berita orang Islam
b. Pembawa berita sudah mukallaf ( dewasa )
c. Pembawa berita daya ingatnya kuat
d. Pembawa berita mempunyai sifat adil dan jujur dalam penyampaian khabar yang diterimanya.
Dari segi bersinambungnya sebuah khabar atau hadits dibagi menjadi dua tingkat :
Pertama, Muttasil Sanad, yaitu khabar yang periwayatannya bersinambungan dan tidak ada rantai yang putus.
Kedua, Khabar Mursal, yaitu khabar yang garis periwayatannya ada yang terputus. Ulama Syafi`i tidak menerima khabar mursal sebagai dalil, kecuali diperkuat oleh salah satu diantara hal berikut :
1. diperkuat oleh khabar yang pembawa beritanya bersinambung.
2. sesuai dengan ucapan sebagian sahabat.
3. diperkuat khabar mursal yang lain yang telah diterima sebagai dalil sebelumnya.
4. secara nyata diterima oleh ahli ilmu dan kelompok yang mengemukakan fatwa menge- nai hal yang sama dengan apa yang dijelaskan oleh hadits mursal tersebut.
C. Ra`yu ( Nalar ) sebagai Dalil Hukum
1. Pengertian
Ra`yu artinya melihat. Obyek yang dilihat bisa konkrit maupun abstrak. Yang dimaksud ra`yu dalam pembahasan ini adalah memikirkan, hasil pemikiran atau rasio.
2. BatasPenggunaan Ra`yu
Ra`yu dapat digunakan dalam dua hal, yaitu :
1. Dalam hal yang tidak ada hukumnya sama sekali.
2. Dalam hal yang sudah diatur dalam nash tetapi penunjukannnya terhadap hukum tidak secara pasti.
3. Kekuatan Hukum Hasil Temuan Nalar
Hukum hasil ra`yu mujtahid kekuatannya bersifat relative ( zhani ). Karena tidak dapat dipastikan oleh mujtahid itu sendiri bahwa itulah sebenarnya hukum Allah, karena Allah tidak pernah menjelaskan demikian.
4. Penggunaan Ra`yu sebagai Dalil Hukum Fiqh
Bentuk penggunaan ra`yu diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Dilihat dari segi orang yang menggunakannya, dibagi dua :
a. Penggunaan ra`yu secara kolektif atau ijtihad jama`i, yaitu hukum yang ditetapkan didasarkan pada hal penalaran yang sama.
b. Penggunaan ra`yu secara perorangan ( ijtihad fardi ), yaitu apa yang dicapaioleh seseorang mujtahid tentang hukum suatu masalah belum tentu sama dengan apa yang dapat dicapai oleh mujtahid lain mengenai masalah yang sama.
Dari dua cara penggunaan ra`yu diatas, yang terkuat dari segi kebenaran atau terhindar dari kesalahan adalah ijtihad jama`i. Cara penggunaan ijtihad jama`i disebut juga ijma`.
2. Dilihat dari segi ada tidaknya dasar rujukan ra`yu itu kepada nash al Qur`an atau Sunnah :
a. Ra`yu yang merujuk pada nash Qur`an dan Sunnah.
b. Ra`yu yang tidak merujuk pada nash Qur`an dan Sunnah
Yang terkuat dari segi pencapaian kebenaran dan terhindar dari kesalahan adalah ra`yu yang merujuk pada nash al Qur`an dan Sunnah. Penggunaan ra`yu ini disebut qiyas.
Ijma dan qiyas disepakati ulama sebagi dalil yang kuat dalam penemuan hukum fiqh dalam al Qur`an dan Sunnah yang tidak menjelaskan hukumnya secara pasti.
5. Metode Penentuan Hukum Menggunakan Ra`yu
a. Ijma`
1. Pengertian
Secara etimologi, ijma` mengandung dua arti :
1. Ijma` berarti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu.
2. Ijma` juga berarti sepakat.
Menurut istilah syar`i pengertian ijma` dirumuskan sebagai berikut :
a. Al Ghazali, ijma` yaitu kesepakatan umat Muhammad SAW secara khusus atas sesuatu urusan agama
b. Al Midi, ijma` yaitu kesepakatan sejumlah ahlul halli wal `Aqd ( para ahli yang kompeten dalam mengurusi umat ) dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus. Atau kesepakatan para mukallaf dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus.
c. Ulama Syi`ah, ijma` yaitu kesepakatan suatu komunitas karena kesepakatan mereka dalam menetapkan hukum syara`.
d. Al Nazham, ijma` yaitu setiap perkataan yang hujjahnya tidak dapat dibantah.
e. Abdul Wahab Khallaf, ijma` yaitu consensus semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah Rasul wafat atassuatu hukum syara` mengenai suatu kasus.
Rukun ( unsur ) ijma`:
1. Terdapat sejumlah orang yang berkualitas mujtahid.
2. Semua mujtahid itu sepakat tentang hukum suatau masalah.
3. Kesepakatan itu tercapai setelah terlebih dahulu masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatnya sebagi hasil dari usaha ijtihadnya.
2. Kedudukan Ijma` sebagai Dalil Hukum
Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma` menempati salah satu dalil hukum setelah al Qur`an dan Sunnah. Jadi, ijma` dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat Islam.
3. Pendapat Jumhur Ulama Tentang Pembatasa Ijma`
a. Keikutsertaan kalangan awam dalam ijma` ;jumhur ulama berpendapat bahwa suara orang awam tidak diperhitungkan untuk melangsungkan suatu ijma`.
b. Ijma` sesudah masa sahabat ; ijma` tidak hanya berlaku pada masa sahabat saja, tetapi setiap masaijma` itu mempunyai kekuatan hujjah bila memenuhi ketentuannya. Alasannya bahwa dalil-dalil yang menunjukkan kehujjahan ijma` tidak keluar dari al Qur`an, Sunnah, dan logika.
c. Kesepakatan mayoritas ; tidak sah ijma` bila hanya mayoritas ulama saja yang bersepakat sedangkan ada minoritas yang menentangnya.
d. Kesepakatan ulama Madinah ; kesepakatan ulama Madinah saja tidak merupakan kekuatan hujjah terhadap ulama lain yang tidak sependapat dengan mereka, sehingga kesepakatan ulama Madinah bukan ijma`.
e. Kesepakatan ahlu al bait ( keturunan Nabi Muhammad dari Fatimah dan Ali ) ; kesepakatan mereka atas suatu hukum tidak dianggap ijma` yang mempunyai kekuatan hukum terhadap orang lain.
f. Kesepakatan khulafaur rasyidin ; kesepakatan kholifah yang empat itu bukan ijma` dan tidak dapat dijadikan hujjah menurut apa adanya. Alsannya adalah terpelihara dari kesalahan dan dosa adalah kesepakatan menyeluruh bukan kesepakatan terbatas. Dasarnya adalah sabda Nabi “ sahabat-sahabatku semua laksana bintang bercahaya “.
4. Pendapat Ulama Tentang Persyaratan Ijma`
a. Kuantitas anggota ijma`
Imam Haramain menetapkan kehujjahan ijma` melalui dalil `aqli. Ia berpendapat bahwa jumlah ulama mujtahid untuk terlaksanya ijma` adalah jumlah yang mencapai batas mutawatir, karena kehujjahan ijma` ditentukan terhindarnya dari kesalahan.
Menurut al Midi dan ulama Hambali tidak mensyaratkan jumlah mutawatir untuk terlaksanya ijma`, karena kehujjahan suatu ijma`ditentukan oleh dalil naqli bukan dalil `aqli.
b. Berlalunya masa
Telah dijelaskan bahwa ijma` itu berlangsungberdasarkan kesepakatan ulamamujtahid dalam suatu masa tertentu. Sebagian ulama menyatakan syahnya ijma` tidak perlu mensyaratkan berlalunya masa.
Imam Ahmad Ibn Hambal, Ustadz Abu Bakar Ibn Fauraq, dan sebagian kecil ulama Syafi`iyah berpendapat bahwa berlalunya masa atau punahnya peserta ijma` merupakan syarat untuk kekuatan hujjah suatu ijma`.
Jumhur ulama berpendapat bahwa berlalunya masa dan meninggalnya peserta ijma` bukan syarat kekuatan suatu ijma`, alasannya :
1. Dalil kehujjahan ijma` itu berasal dari al Qur`an dan Sunnah. Keduanya tidak mewajibkan berlalunya masa.
2. Hakikat ijma` itu adalah kesepakatan. Kekuatan hukum terletak pada kesepakatannya itu.
3. Para tabi`in berhujjah dengan ijma` pada masa generasi sahabat masih ada.
4. Mempersyaratkan berlalunya masa bagi kekuatan ijma` akan menyebabkan tidak terlaksananya ketentuan hasil ijma` secara mutlak, padahal ia ketentuan yang mengikat.
Sebagian ulama merinci bahwa berlalunya masa dan meninggalnya semua peserta ijma` merupakan syarat untuk ijma` sukuti, sedangkan untuk ijma` sharih tidak perlu persyaratan tersebut.
c. Sandaran ijma`
Yaitu dalil yang kuat dalam bentuknash al Qur`an dan Sunnah, baik langsung maupun tidak.
1. Hampir semua ulama berpendapat bahwa ijma` itu harus menunjuk pada sandaran yang kuat, bukan hanya berdasar taufik dari Allah SWT. Alasannya, antara lain :
a. Tidak akan tercapai kebenaran tanpa adanya rujukan atau sandaran.
b. Nabi Muhammad tidak menetapkan hukum, kecuali dengan wahyu.
c. Mengemukakan pendapat dalam hal agama tanpa dalil adalah tindakan yang salah.
d. Bila mujtahid dapat menetapkan hukum tanpa sandaran secara perorangan maka tidak
perlu kesepakatan.
e. Produk hukum syar`i bila tidak disandarkan pada dalil, maka tidak diketahui dengan hu-
kum syara`. Keadaan demikian tidak dapat diterima.
2. Sebagian kecil ulama tidak mempersyaratkan adanya sandaran ijma`, alasannya :
a. Jika ijma` memerlukan sandaran dalil, berarti kekuatan ijma` terletak pada dalil. Ini sama dengan tidak ada ijma` sebagai dalil syara` yang berdiri sendiri.
b. Cukup banyak ijma` yang tidak menyandarkan diri pada dalil. Contoh ijma` ulama tentang pengambilan sewa pemandian umum.
Tentang qiyas dan ijtihad dijadikan sandaran ijma` ;
1. Jumhur ulama membolehkan qiyas dan ijtihad dijadikan sandaran ijma`.
2. Ulama Syi`ah dan Daud al Zhahiri berpendapat tidak boleh menjadikan qiyas atau ijtihad sebagai sandaran ijma`, alasannya :
i) Bentuk qiyas berbeda-beda, pandangan ulama terhadapnya juga berbeda-beda.
ii) Para sahabat selalu menetapkan hukum secara ijma` dengan sandaran al Qur`an dan
Sunnah.
3. Sebagian ulama berpendapat qiyas boleh dijadikan sandaran ijma`dengan qiyas yang mempunyai `ilat yang kuat.
5. Fungsi Ima`:
a. Menetapkan hukum atas dasar taufik Allah.
b. Meningkatkan kualitas dalil yang dijadikan sandaran ijma`.
6. Peringkat Ijma`
a. Ijma` Sharih, yaitu ijma yang terjadi setelah semua mujtahid dalam satu masa mengemukakan pendapatnya tentang hukum tertentu secara jelas dan terbuka; melalui lisan, tulisan, atau perbuatan dan ternyata semua pendapat mereka menghasilkan hukum yang sama atas hukum tersebut.
Bila ijma` sharih berlangsung, maka dilalah (penunjukan) nya terhadap hukumadalah qath`i.
b. Ijma` sukuti, yaitu kesepakatan ulama melalui cara seorang mujtahid atau lebih mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu masalah dalam masa tertentu, kemudian pendapat itu tersebar luas serta diketahui banyak orang, tidak ada mujtahid lain yang mengemukakan pendapatnya berbeda atau yang menyanggah pendapat itu.
Ijma` sukuti pengaruhnya terhadap hukum bersifat zhanni.
Imam Syafi`i dan pengikutnya berpendapat ijma` sukuti adalah bukan ijma` yang dipandang bukan sebagai sumber hukum, dengan sendirinya tidak mempunyai kekeuatan hukum yang mengikat.
Imam Ahmad, ulama Hanafiyah, sebagian ulama Syafi`i, dan al Jubbai berpendapat bahwa ijma` sukuti adalah ijma` yang mempunyai kekeuatan hukum yang mengikat sebagai hujjah. Dengan syarat; berlalunya masa penyampaian, semua mujtahid telah meninggal, dan tidak ada sanggahan.
Abu Hasyim :” ijma` sukuti bukan ijma`, tetapi dapat menjadi hujjah dalam menetapkan hukum “.
c. Kesepakatan dalam prinsip, yaitu para mujtahidberbeda pendapat dan menghasilkan banyak pendapat yang berkembang namun mereka sepakat dalam satu hal tertentu yang merupakan prinsip. Kesepakatan yang prinsip ini dapat dijadikan hujjah dan tidak boleh mujtahid mengemukakan pendapat yang menyalahi pendapat orang banyak itu.
Dari segi penerimaan ulama terhadap ijma`, ulama membaginya :
1. Ijma` kaum muslimin, yaitu ijma` yang menyeluruh dan merata dilaksanakan oleh umat
Islam.
2. Ijma` para sahabat, ijma` ini dapat diterima semua pihak.
3. Ijma` ahlul `ilmu dalam segala masa, adalah pengertian ijma` secara umum.
7. Nasakh ( Pembatalan ) Ijma`
Nasakh ( Pembatalan ) Ijma` adalah munculnya ijma` ulama yang menyatakan bahwakeputusan ijma` sebelumnya tidak berlaku lagi; atau muncul pendapat ulama secara perorangan; atau muncul suatu ijma` atas suatu hukum berbeda dengan apa yang sebelumnya disepakati ulama terdahulu.
Pada dasarnya nasakh tidak berlaku kecuali dalam hukum-hukum yang ditetapkan dengan nash al Qur`an ataupun hadits dan hanya berlaku semasa Nabi masih hidup dan tidak berlaku sesudahnya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa nasakh tidak berlaku dalam ijma`. Alasannya bahwa yang akan menasakh tentunyan nash, ijma`, dan qiyas. Tidak mungkin ijma` dinasakh dengan nash al Qur`an atau Sunnah karena keduanya hanya mungkin terjadi pada masa Nabi masih hidup, sedangkan ijma` terjadi setelah Nabi wafat.
Ulama Mu`tazilah Fakhrur Razi berpendapat bahwa ijma` dapat dinasakh dengan ijma` yang dating kemudian. Alasannya, diantara sandaran ijma` adalah qiyas yang `illatnya adalah sifat yang dilihat oleh ulama sebagai maslahat, tetapi maslahat itu berubah pada masa berikutnya dan pada masa itu ulama merujuk pada sifat yang lain ( yang berbeda ). Keadaan yang telah berubah ini menghendaki hukum yang berbeda dari hukum yang sebelumnya.
8. Ketetapan Ijma`
Bila telah berlangsung suatu ijma` maka ia mempunyai kekuatan hukum ( hujjah ) untuk pada masa itu atau untuk umat sesudahnya. Penukilan dan penyebaran ijma` harus meyakinkan yaitu melalui khabar yang mutawatir supaya bersifat qath`i pada asa hukumnya dan qath`i pada sanadnya ( materi hukumnya ) dan periwayatannya.
Ulama berbeda tentang periwayatan ijma`. Ada ulama yang mempersyaratkan dalil asal harus qath`id an menolak penggunaan khabar ahad dalam menukilkan ijma`. Ulama yang lain tidak mensyaratkan dalil asal harus qath`i, mereka berpendapat bahwa ijma` yang dinukilkan secara ahad dapat dijadikan hujjah.
9. Merngingkari Hasil Ijma`
Yaitu dengan sadar tidak melaksanakan hasil suatu ijma` dalam perbuatannya. Pengingkaran ini dapat disebabkan oleh :
a. Ia secara prinsip tidak mengakui ijma` sebagai salah satu dalil hukum yang mengikat.
b. Ia secara prinsip mengakui ijma` sebagai hujjah syar`iyah, namun ia menolak ijma` tertentu karena menurut keyakinannya penukilan ijma` itu tidak meyakinkan atau ia tidak yakin telah terjadi ijma` tentang suatu masalah.
c. Ia memang menerima ijma` secara prinsip dan meyakini ima` telah berlangsung, namun ia tetap tidak mengindahkannya.
Para ulama menganggap kafir orang yangmengingkari ijma` yang qath`i. karena berarti mengingkari al Qur`an dan Sunnah Nabi.
Muhamad Khudhari Bey berpendapat bahwa mengkafirkan orang yang mengingkari ijma` tanpa melihat alasannya adalah tidak benar. Seseorang yang mengingkari “cara menetapkan hukum syara`” tidak kafir. Tetapi seseorang yang mengakui sesuatu sebagai hukum syara`, namun dengan sadar ia mengingkarinya, berarti mengingkari syara`. ini berarti ia telah keluar dari hukum Islam.
b. Qiyas sebagai Metode Penggalian Hukum Syara`
1. Arti Qiyas
Secara etimologi qiyasberarti , artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya. Secara terminologi ( istilah hukum ) qiyas didefinisikan :
1. Al Ghazali, mendefinisikan qiyas “ menanggungkan ( menghubungkan ) sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya dalam penetapan atau peniadaan hukum “.
2. Ibnu Subki “ qiyas adalah menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaannya dalam `illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkan ( mujtahid ) “.
3. Abu Hasan al Bashri “ qiyas adalah menghasilkan ( menetapkan ) hukum ashal pada furu` karena keduanya sama dalam hal `illat hukum menurut mijtahid “.
4. Abu Zahrah “ menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nash kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam `illat hukum “.
5. Al Midi “ ibarat dari kesamaan antara furu` dengan ashal dalam `illat yang diistimbathkan dari hukum ashal “.
Rukun ( unsur qiyas ) :
1. Hal yang telah ditetapkan hukumnya oleh pembuat hukum ( ashal atau maqis `alaih atau musyabbah bihi ).
2. Hal yang belum ditemukan hukumnya secara jelas dalam nash syara` ( maqis atau furu` atau musyabbah ).
3. Hukum ashal, yaitu hukum yang disebutkan sendiri oleh syari`.
4. `Illat hukum yang terdapat pada ashal dan terlihat pula oleh mujtahid pada furu`.
2. Qiyas sebagai Dalil Hukum Syara`
Dalam hal penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil hukum syara`, Muhammad Abu Zahrah membagi menjadi tiga kelompok :
a. Kelompok jumhur ulama mnejadikan qiyas sebagai dalil syara`
b. Kelompok ulama Zhahiriyah dan Syi`ah Imamiyah menolak penggunaan qiyas secara mutlak. Zhahiriyah juga menolk penemuan `illat atas suatu hukum dan menganggap tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkannya hukum syara`.
c. Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah, kadang-kadang memberikan kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas, sehingga qiyas itu dapat membatasi keumuman sebagian ayat al Qur`an dan Sunnah.
Masing-masing kelompok mengemukakan dalil al Qur`an, Sunnah, ijma` ulama, atau sahabat dan dalil`aqli.
1. Dalil al Qur`an
a. Allah SWT memberikan petunjuk bagi penggunaan qiyas dengan cara menyamakan dua hal (QS Yasin (36): 78-79 ); “ Ia berkata, siapakah yang akan menghidupkan tulang belulang sesudah ia berserakan? Katakanlah : yang akan menghidupkannya adalah yang mengadakannya yang pertama kali “. Dalam hal ini Allah menyamakan menghidupkan tulang kepada penciptaan pertama kali.
Kelompok Zhahiriyah menolak argumentasi ini. Menurut mereka ayat tersebut hanya sebagaimana arti zhahirnya saja, yaitu : yang sanggup mneciptakan sesuatu pertama kali, sanggup pula menghidupkan orang mati.
b. Allah menyuruh menggunakan qiyas sebagaimana dipahami beberapa ayat al Qur`an , antara lain; “ Maka ambillah ( kejadian itu ) untuk menjadi ibarat ( pelajaran ) hai orang-orang yang mempunyai pandangan ” ( QS al Hasyr (59): 2 ).” Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati “ ( QS Ali Imran (3) : 13 ).
Kelompok Zhahiri juga menolak argumentasi jumhur ulama ini, mereka mengatakan tidak satupun ilmu mengenai bahasa Arab sebagai bahasa al Qur`an yang menjelaskan al i`tibar sebagai qiyas.
2. Dalil Sunnah
Diantara dalil Sunnah yang dikemukakan jumhur ulama sebagai ergumentasi bagi penggunaan qiyas adalah :
a. Hadits Nabi tentang percakapan Nabi dengan Muaz bin Jabal.
Zhahiri menolak dalil hadits tersebut karena hadits tersebut dianggap gugur dari segi matan ( teks ) dan sanadnya ( periwayatannya ). Dari segi sanad, hadits diriwayatkan dari suatu kaum yang namanya tidak diketahui. Selain itu. Kelompok Zhahiri menganggap hadits tersebut maudhu` ( dibuat-buat ) dan jelas kebohongannya, karena mustahil ada hukum yang tidak dijelaskan dalam al Qur`an seperti dalam Qur`an surat al An`am(6) : 38 “ tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam al kitab ( al Qur`an ) “.
b. Hadits Nabi dari Ibnu Abbas. “ Nabi berkata : bagaimana pendapatmu bila bapakmu berhutang, apakah engkau akan membayarnya ? dijawab oleh penanya: ya, memang Nabi berkata; hutang kepada Allah lebih patut untuk dibayar “.
Kelompok ulama yang menolak penggunaan qiyas dalam menetapkan hukum syara` adalah:
1. Syi`ah Imamiyah, mereka tidak membolehkan sama sekali penggunaan qiyas. Dalil yang mereka gunakan “ agama Allah tidak dapat dicapai melalui akal “ dan “ Sunnah itu bila diqiyaskan akan merusak agama “.
2. Al Nazham, mengatakan bahwa “`illat yang tersebut dalam nash mewajibkan adanya usaha menghubungkan hukum “ melalui “lafaz “ yang umum, tidak melalui qiyas.
3. Zhahiriyah yang pemimpinnya Abu Daud Khallaf, mereka tidak menggunakan qiyas tetapi menggunakan kaidah “umum lafaz nash”. Contohnya, jumhur ulama mengharamkan memukul orang tua karena diqiyaskan dengan haramnya mengucapkan kata “uf” kepada orang tua. Keduanya mempunyai `illat yang sama, yaitu “menyakiti orang tua”.
Zhahiri juga mengharamkan memukul orang tua tetapi tidak menggunakan qiyas. Mereka menggunakan dalil umum perintah berbuat baik kepada orang tua dalam firman Allah dan hadits Nabi, jadi haramnya memukul orang tua itu bukan karena adanya larangan mengucapkan “uf”.
Selain itu Zhahiriyah juga mengemukakan beberapa dalil tentang larangan menetapkan hukum berdasarkan qiyas :
a. Qur`an surat al Maidah (5) ; 3 “ pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Kucukupkan nikmatKu dan telah Kuridloi Islam sebagai agamamu…”.
b. Tidak dibenarkan seseorang mengikuti tasyabuh dalam al Qur`an dan tidak boleh mencari makna ayat yang mutasyabih. QS Ali Imran (3): 7 “adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan ( suka pada yang bathil ) maka mereka mengikuti ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari ta`wilnya”.
c. Terdapat beberapa nash al Qur`an yang dengan jelas menolak penggunaan akal dalam menetapkan hukum.
d. Hadits Nabi yang menyuruh orang beriman untuk meninggalkan apa-apa yang telah ditinggalkan Allah dan Rasul ketika tidak adanya nash.
3. Syarat-Syarat Qiyas
a. Maqis `alaih ( tempat mengqiyaskan sesuatu kepadanya ) atau ashal atau mahal hukum, syaratnya :
1. Harus ada dalil atau petunjuk yang membolehkan mengqiyaskan sesuatu kepadanya baik secara nau`i atau syakhsi ( lingkungan yang sempit atau maksud yang terbatas ) ( Utsman al Baththi ).
2. Harus ada kesepakatan ulama tentang adanya `illat pada ashal maqis `alaih itu ( Basyir al- Marisi ).
Jumhur ulama menolak syarat di atas karena tidak ada dalil atau petunjuk yang mempersyaratkannya.
b. Maqis atau Furu` ( sesuatu yang akan disamakan hukumnya dengan ashal atau sesuatu yang dibangun atau dihubungkan kepada sesuatu yang lain ), syaratnya;
1. `Illat yang terdapat pada furu` mempunyai kesamaan dengan `illat yang terdapat pada ashal.
2. Harus ada kesamaan antara furu` itu dengan ashal dalam hal `illat, maupun hukum ( ada kesamaan jenis `illat dan jenis hukum ).
3. Ketetapan pada furu` tidak menyalahi dalil qath`i ( termasuk khabar ahad ).
4. Tidak ada penentang ( hukum lain ) yang lebih kuat terhadap furu` dan `illat qiyas itu.
5. Furu` itutidak pernah diatur hukumnya dalam nash tertentu.
6. Furu` tidak mendahului ashal dalam keberadaannya.
c. Hukum ashal, syaratnya :
1. Hukum ashal itu bukan hukum syara`
2. Hukum ashal itu ditetapkan dengan nash, bukan dengan ijma` atau qiyas.
3. Hukum ashal itu adalah hukum yang tetap berlaku, bukan hukum yang telah dinasakhkan.
4. Hukum ashal itu tidak menyimpang dari ketentuan qiyas, misalnya alas an hukumnya irasional dan hukum berlaku hanya untuk kasus tertentu.,
5. Hukum ashal itu harus disepakati ulama
6. Dalil yang menetapkan hukum ashal, secara langsung tidak menjangkau kepada furu`.
d. `Illat, syaratnya :
1. `Illat harus mengandung hikmah yang mendorong pelaksaan hukum dan dapat dijadikan sebagai kaitan hukum.
2. `Illat itu adalah suatu sifat yang jelas dan dapat disaksikan.
3. `Illat harus dalam bentuk sifat yang terukur, keadaannya jela dan terbatas sehingga tidak tercampur dengan yang lainnya.
4. Harus ada hubungan kesesuaian dan kelayakan antara hukum dengan sifat yang akan menjadi `illat.
5. `Illat harus mempunyai daya rentang, maksudnya `illat ada di ashal dan di tempat lain.
6. Tak ada dalil yang menyatakan bahwa sifat itu tidak dipandang untuk menjadi `illat.
1. Arti ` Illat
Ulama Syi`ah, `illat adalah pemberitahuan bagi hukum.
Ulama Hanafi, `illat itu pemberitahuan untuk adanya hukum, yang menetapkan hukum-hukum nash , karena nash itulah yang menimbulkan hukum.
Ulama Mu`tazilah, `illat adalah sesuatu yang dengan sendirinya mempengaruhiterhadap hukum yang didasarkan pada manfaat dan mufsadat ( kamanfaatan dan perusak ).
Imam al Ghazali pendapatnya sama dengan Mu`tazilah, namun pengaruh`illat terhadap hukum tidak berlaku dengan sendirinya, tetapi karena adanya izin Allah.
Al Midi, `illat adalah pendorong terhadap hukum. Maksudnya, `illat mengandung hikmah yang pantas menjadi tujuan bagi pembuat hukum dalam menetapkan hukum.
2. Bentuk `Illat
Sifat hakiki, yaitu yang dapat dicapai oleh akal dengan sendirinya, tanpa tergantung pada `urf ( kebiasaan ) atau lainnya.
Sifat hissi, yaitu sesuatu yang dapat diamati dengan alat indera.
Sifat urfi, yaitu sifat yang tidak dapat diukur tetapi dapat dirasakan bersama.
Sifat lughawi, yaitu sifat yang dapat diketahui dari penamaannya dalam artian bahasa.
Syar`i, sifat yang keadaannya sebagi hukum syar`i dijadikan alas an untuk menetapkan sesuatu hukum.
Murakkab, yaitu berhubungannya beberapa sifat yang menjadi alasan adanya suatu hukum.
3. Fungsi `Illat
Penyebab atau penetap adanya hukum.
Penolak ( dafi`ah ) keberadaan hukum akan terjadi, tetapi tidak mencabut hukum itu seandainya `illat tersebut terdapat pada saat hukum tengah berlaku.
Pencabut ( rafi`at ) kelangsungan suatu hukum, bila `illat terjadi pada masa tersebut, tetapi `illat ini tidak menolak terjadinya suatu hukum.
Penolak dan pencegah suatu hukum. Mencegah terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabut bila hukum itu telah berlangsung.
4. Hubungan Kesesuaian ‘Illat dengan Hukum (Munasabah)
Dalam mengartikan munasabah ada beberapa rumusan, yaitu :
Ibnu Subhi
Munasib yaitu sesuatu yang pantas atau sesuai menurut adat kebiasaan dengan perbuatan orang-orang yang berakal.
Ulama
Munasib yaitu sesuatu yang dapat mendatangkan manfaat bagi menusia dan menghindarkan bencana dari manusia.
Abu Zaid Al-Dabbusi
Munasib itu ibarat yang bila diserahkan kepada akal maka akan mudah diterimanya.
Al-Midi
Munasib yaitu ibarat dari suatu sifat yang jelas dan terukur, yang dari penetapan hukum atas dasar sifat itu niscaya akan tercapai apa yang patut menjadi tujuan ditetapkannya hukum tersebut.
Pembagian Munasib
Para ahli ushul fiqih membagi munasib dengan melihat dari 3 segi :
Dari segi tingkat pencapaian hukum, menurut Al Midi dan Ibnu Subki :
Tercapainya tujuan penetapan hukum secara menyakinkan. Contoh : hukum jual beli tujuannya pemindahan kepemilikan barang.
Tercapainya tujuan penetapan hukum secara zhanni. Contoh : hukum qishosh.
Tercapainya tujuan penetapan hukum kemungkinannya sama dengan tidak tercapainya. Contoh : sanksi bagi para pemabuk.
Tercapainya tujuan penetapan hukum dalam kemungkinannya lebih kecil. Contoh : hukum perkawinan tujuannya mendapat keturunan.
Munasib ditinjau dari segi penetapan hukum di atasnya.
Dharuri, yaitu sesuatu yang sangat dibutuhkan, atau kebutuhan akan adanya mencapai batas dhoruri, karena kehidupan manusia tidak akan tegak tanpa keberadanya.
Dhoruri yang perklu di tegakkan ada lima (Al dhoruri yatal khomsah) :
Memelihara agama (hifzh al-din) ; untuk itu perlu ditetapkan hukuman mati terhadap orang murtad dan memerangi orang kafir.
Memelihara jiwa (hifzh al-nafs) ; untuk itu perlu ditetapkan hukum qishosh terhadap yang melakukan pembunuhan tanpa hak
Memelihara akal (hifzh al-`aqli) ; untuk itu perlu ditetapkan hukum had terhadap peminum minuman keras.
Memelihara keturunan (hifzh al-nasl) ; untuk itu perlu ditetapkan hukum had dera dan rajam atas pelaku zina.
Memelihara harta (hifzh al-mal) ; untuk itu perlu ditetapkan hukum potong tangan terhadp pencuri dan had untuk perampok jalanan.
Haji  , yakni sesuatu yang diperlukan adanya tetapi tidak sampai pada tingkat dhoruri. Haji ini juga menyangkut dharwiyat yang lima, tetapi tidak secara langsung, contohnya belajar agama untuk mewujudkan kehidupan beragama, melakukan jual beli digunakan untuk mencari harta, menuntut ilmu untuk meluhurkan akal, makan untuk terpeliharanya jiwa.
Pelanggaran terhadap larangan bersifat Haji tidak seberat pelanggaran terhadap yang bersifat dhoruri. Larangan terhadap Haji disebut ardhi, sedangkan pelanggaran terhadap dhoruri disebut dzati.
Tahsini, yakni sesuatu yang sebaiknya dilakukan.
Tahsini dalam hubungannya dengan jiwa, umpamanya memelihara diri dari tuduhan palsu dan caci maki.
Ibnu Subki membagi tahsini dalam 2 bagian :
Tahsini yang tidak melanggar kaidah, seperti pencabutan kalau yakin jadi saksi bagi seorang hamba.
Tahsini yang melanggar kaidah, seperti hukum katabah yakni janji untuk memerdekakan seorang hamba yang diberikan seorang tuan dengan jalan menebusnya secara mencicil.
Munasib ditinjau dari segi diperhitungkannya atau dipandangnya ‘illat oleh syari’ antara lain terbagi :
Munasib muassir, yakni berlakunnya ‘ain ‘illat (‘illat itu sendiri) dalam ’ain hukum (hukum itu sendiri) yang dipandang atau diperhitungkan oleh nash atau ijma’. Umpamanya penetapan ‘illat membatalkan wudhu` dengan memegang alat kelamin. Hal ini ditetapkan langsung oleh nash (hadits nabi dari Al Tirmidzi). Contoh ‘illat yang dipandang oleh ijma’ adalah menetapkan ‘illat kewalian ayah atau harta anak dibawah umur, yaitu keadaannya ’’dibawah umur ’’ yang ditetapkan oleh ijma.
Munasib mulaim, yakni kesesuaian atau munasib yang berlakunya ‘ain ‘illat untuk ‘ain hukum secara langsung bukan ditetapkan oleh nash atau ijma’.
Munasib mulghah, yakni munasib yang oleh akal dapat diterima sebagai sesuatu yang baik dan mashlahat.
Munasib mursal ( lepas ), yakni munasib yang tidak ada dalil yang menolaknya tetapi juga tidak ada dalil yang memandangnya. Munasib mursal ini dikalangan ulama yang menyebutnya sebagai maslahah mursalah atau istislah.
5. Masalih Al-‘illat
Masalih Al-‘illat adalah suatu cara atau metode untuk mengetahui ‘illat dalam suatu hukum atau hal-hal yang memberi petunjuk kepada kita adanya ‘illat dalam suatu hukum. Masalih al-‘illat itu adalah :
Nash
Penetapan nash dalam menetapkan ‘illat tidaklah berarti ‘illat itu secara langsung disebutkan dalam nash, tetapi secara pemahaman lafadz-lafadznya. Ada dua lafadz nash yang memberi petunjuk adanya ‘illat .
Nash Syarih, yakni lafadz-lafadz dalam nash yang secara jelas memberi petunjuk mengenai ‘illat dan tidak ada kemungkinan selain dari itu.
Nash Zhahir, yakni lafadz-lafadz yang secara lahir memang digunakan untuk menunjukan ‘illat tetapi dapat pula berarti bukan untuk ‘illat.
Ijma’
Ijma’ menjelaskan ‘illat dalam hukum yang disebutkan dalam nash.
Al Ima’ wa Al-tanbih
Yaitu penyertaan sifat dalam hukum. Sifat yang menyertai dalam hukum itu suatu sifat yang disebut dalam lafadz. Bentuk al Ima’ wa al tanbih antara lain :
Penetapan hukum oleh syari’sesudah mendengar suatu sifat. Sifat yang menimbulkan hukum itu adalah ‘illat untk hukum tersebut. Contoh : seorang melapor pada Nabi saw, bahwa bahwa ia telah menggauli istrinya siang hari pada bulan Ramadhan, Nabi saw : ’’ merdekakanlah hamba sahaya”.
Penyebutan sifat oleh syari’ dalam hukum memberi petunjuk bahwa ‘illat untuk hukum tersebut. Contoh hadis Nabi saw : ”Janganlah seorang menghakimi antara dua norang dalam keadaan marah”.
Perbedaan antara dua hukum disebabkan adanya sifat atau syarat atau ma’ani atau pengecualian. Contoh hadits Nabi saw : ‘’ Sesungguhnya Nabi saw memberi dua bagian untuk kuda dan satu bagian untuk orangnya ‘’
Mengiringkan hukum dengan sifat, sifat yang mengiringi hukum itu ialah ‘illat untuk hukum yang diiringinya itu. Contoh : “Hormatilah ulama itu”. Hormati adalah hukum, ulama adalah sifatnya.
Sabru wa Taqsim
Secara harfiyah sabru wa taqsin berarti memperhitungkan dan menyingkirkan. Maksudnya adalah meneliti kemungkinan sifat yang terdapat dalam ashal, kemudian meneliti dan menyingkirkan sifat yang tidak pantas menjadi ‘illat, maka sifat yang tertinggal itulah yang menjadi ‘illat untuk hukum ashal tersebut.
Takhrijul Manath
Takhrijul Manath adalah usaha menyakatan ‘illat dengan cara mengemukakan keserasian sifat dan hukum yang beriringan serta terhindar dari sesuatu yang mencacatkan. Contoh pencarian ‘illat dalam hadits riwayat Muslim « setiap yang ,memabukkan adalah haram ». Dalam nash « haram » dengan kata « yang memabukkan » diseiringkan.
Tanqihul Manath
Yaitu menetapkan satu sifat diantara bebrapa sifat yang terdapat dalam ashal untuk menjadi ‘illat hukum setelah meneliti kepantasannya dan menyingkirkan yang lainnya. Selanjutnya kekhususan sifat itu ditinggalkan dan hukum diberi ‘illat dengan yang lebih umum. Perbedaannya dengan Sabru wa Taqsin adalah Tanqihul manath sifat-sifat yang diteliti sudah ada dalam nash, sedangkan sabru wa taqsim belum ada sama sekali dalam nash.
Thard
Tard yaitu pernyataan hukum dengan sifat tanpa adanya titik keserasian yang berarti
Syabah
Yaitu sifat yang memiliki kesamaan. Syabah terdiri dari dua bentuk, antara lain :
Qiyas yang kesamaan antara hukum dan sifat sangat dominan, yakni menghubungkan furu’ dengan dua ashal namun kesamaan dengan salah satu diantaranya lebih dominan.
Qiyas shuri, yakni mengqiyaskan sesuatu hanya karena kesamaan bentuknya ; seperti mengqiyaskan kuda dengan keledai dalam hal tidak dikenai zakat.
Dawran atau yang sirkular
Yaitu adanya hukum sewaktu bertemunya sifat tidak terdapat hukum sewaktu tidak ditemukan sifat. Kebanyakan ulama menyetujui cara dawran itu dapat menetapkan ’illat secara dzani karena adanya beberapa kemungkinan.
Ilghau al fariq
Yaitu adanya titik perbedaan yang dapat dihilangkan sehingga terlihat kesamaannya. Umpamanya laki-laki dan perempuan dalam suatu kasus dibedakan, mamun dalam kasus lain (masalah ibadah disamakan).
5. Pebagian Qiyas
Pembagian qias dari segi kekuatan ’illat yang terdapat pada furu’ dibandingkan menjadi ’illat yang terdapat pada ashal, yakni ;
Qiyas Awlawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan ’illat pada furu’. Umpama, keharaman memukul lebih kuat dari keharaman berkata ”uf” kepada orang tua.
Qiyas musawi, yakni qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ sama keadaannya dengan berluknya hukum pada ashal karena kekuatan ’illatnya sama. Contoh membakar hartanya anak yatim atau memakannya secara tidak patut sama-sama merusak harta anak yatim.
Qiyas adwan yakni qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih lemah dibandingkan berlakunnya hukum pada ashal mskipun qiyas tersebut memiliki persyaratan. Misalnya, hukum riba pada gandum dengan hukum riba pada apel.
Pembagian qiyas dari segi kejelasan ‘illatnya.
Qiyas jali, yakni qiyas yang ‘illatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashal, atau tidak ditetapkan ‘illatnya dalam nash, namun titik perbedaan antara ashal dengan furu’nya dipastikan tidak ada pengaruhnya.
Qiyas Khofi, yaitu qiyas yang ‘illatnya tidak disebutkan dalam nash.
Pembagian qiyas dari segi keserasian ‘illatnya dengan hukum. Yakni qiyas muatssir dan qiyas mulaim.
Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidak ‘illat itu pada qiyas itu, yakni;
Qiyas ma’na atau qiyas dalam makna ashal, yaitu qiyas yang meskipun ‘illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas namun antara ashal dengan furu’ tidak dapat dibedakan, sehingga furu’ seolah-olah ashal itu sendiri. Umpamanya, membakar harta anak yatim yang diqiyaskan dengan memakan hartanya secara tidak patut dengan `illat merusak harta anak yatim.
Qiyas ‘illat, yakni qiyas yang ‘illat dijelaskan dalamnya, qiyas tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya hukum dalam ashal. Umpamanya, qiyas nabiz untuk khomr dengan ‘illat “rangsangan yang kuat” yang memabukan.
Qiyas dilalah, yaitu qiyas yang ‘illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, namun ia merupakan keharusan bagi ‘illat yang memberi petunjuk akan adanya ‘illat. Umpamanya, mengqiyaskan nabiz kepada khamr dengan menggunakan alasan “ bau yang menyengat”
Pembagian qiyas dari segi metode (masalik) yang digunakan dalam ashal dan furu’
Qiyas ikhalah, yakni qiyas yang ’illat hukumnya ditetapkan dengan metode munasabah dan ikhalah
Qiyas Syabah, yakni qiyas yang ’illat ashalnya ditetapkan dengan metode Syabah.
Qiyas Syabru, yakni qiyas yang ’illat ashalnya diteetapkan dengan metode Sabru wa taqsim
Qiyas Thard, yakni qiyas yang ’illat ashalnya ditetapkan fdengan metode tard.
C. ISTIHSAN
Pengertian
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencaari yang baik. Menurut ulama ushul fiqih, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’, menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meningalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan.
Pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian yang mula-mula ditetapkan hukumnya berdasarkan nash kemudian ditemukan nash lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah ke hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.
Dasar Hukum Istihsan
Yang berpegang pada dalil istihsan adalah madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan sebenarnya seperti qiyas, yakni memenangkan qiyas khofi atas qiyas jali. Madzhab Maliki dan sebagian madzhab Hanbali juga menggunakan.
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya hujjah adalah madzhab Safi’i. Menurut mereka istihsan adalah menetapkan hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsu.
Menurut As Sathibi, orang yang menetapkan hukum dengan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata, tetapi harus berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah swt menciptakn syara’ dan sesuai pula kaidah-kaidah syara’ yang umum.
Macam-macam Istihsan
Dilihat dari segi pengertian istihsan diatas maka istihsan terbagi menjadi dua macam, yaitu :
Pindah dari qiyas jali ke qiyas khafi, karena ada dalil yang mengharuskan perpindahan itu. Contoh menurt madzhab Hanafi, jika wakaf diqiyaskan kepada jual beli (qiyas Jali), maka tujuan wakaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicarikan ashal yang lain, yakni sewa-menyewa . kedua peristiwa itu ada persamaan ’illatnya mengutamakan manfaat barang dan harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yakni tercapainya tujuan wakaf, maka dilakukan perpindahan dari qiyas jali ke qiyas khafi.
Pindah dari hukum kulli ke hukum juz’i, karena adanya dalil yang mengharuskan perpindahan itu. Istihsan semacam ini oleh madzhab Hanafi dikatakan istihsan dharurat, karena penyimpangan itu dilakukan karena suatu kepentingan dan karena darurat. Contoh, Syara’ melarang jual beli dengan perjanjian barang yang belum ada wujudnya, yakni yang disebut hukum kulli. Tetapi syara’ memberi keringanan kepada pembalian barang secara kontan tetapi barangnya akan dikirim kemudian. Pemberian keringanan ini merupakan pengecualian dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz’i, karena keadaan memerlukan dan telah menetapkan adat kebiasaan dalam masyarakat.
Dilihat dari segi sandarannya, maka istihsan dibagi menjadi
Istihsan dengan sandaran qiyas khafi
Istihsan dengan sandaran nash
Istihsan dengan sandaran ’urf
Istihsan dengan sandaran keadaan darurat.
DAFTAR PUSTAKA
Muchtar Kamal, dkk, Ushul Fiqh Jilid 1, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta : 1995 M
Muchtar Kamal, dkk, Ushul Fiqh Jilid 2, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta : –
Syarifuddin Amir, Prof. DR. H., Ushul Fiqh Jilid 1, Logos, Jakarta : 2005 M