Kamis, 14 April 2016

PILAR PERADABAN PEMIKIRAN ISLAM

PILAR PERADABAN PEMIKIRAN ISLAM

Oleh : Mujiatun Ridawati, MSI.



I. PENDAHULUAN

Perkembangan sejarah pemikiran keislaman di Indonesia memiliki mata -rantai yang cukup panjang dan berliku, sejarah Islam di perairan Nusantara ini tidak serta merta hadir dan berproses begitu saja, akan tetapi memiliki kompleksitas persoalan. Selanjutnya hal tersebut dapat teratasi oleh strategi dakwah kebudayaan yang diusung oleh pembawa risalah kenabian, yakni para ulama penyebar Islam. Islam hadir membawa wajah baru bagi tatanan  sosial masyarakat di belahan bumi manapun, termasuk pula di Indonesia, ia harus berbenturan dengan realitas sosial, budaya, tatanan politik, tradisi keagamaan yang sama sekali baru. Dengan demikian, pada gilirannya Islam harus pula tampil adaptif terhadap realitas yang dijumpainya.

Pemikiran keislaman lahir dari realitas sosial yang dijumpainya, respon Islam terhadap umat manusia itulah yang pada gilirannya terekam menjadi pemikiran yang terus bergulir bak cendawan di musim hujan. Banyaknya pemikiran keislaman seiring dengan banyaknya persoalan yang dihadapi, dan tentunya sebanyak jumlah pemikir itu pula, oleh karena itu, pluralitas pemikiran keislaman, patut pula direspon karena merupakan kekayaan yang penting bagi kebaikan umat

II. Pemikiran Islam Kontemporer Bidang Sosial Keagamaan

Realitas umat Islam di Indonesia menunjukan kemajemukan, baik dalam paham keagamaan maupun dalam sosial keagamaan, kemjemukan ini sejalan dengan kemjemukan masyarakat Indonesia itu sendiri, atas dasar suku bangsa, bahasa, agama. Segmentasi umat Islam di Indonesia antara lain mempunyai dimensi yang bersifat kultural, artinya, keragaman kelompok umat Islam mempunyai latar belakang budaya keagamaan (religio-kultural) yang relatif berbeda, sejalan dengan perbedaan latar belakang budaya kemasyarakatan (sosio-kultural) mereka.

Pengaruh latar belakang budaya lokal seperti  dimaksud dapat diamati umpamanya pada kecenderungan masing-masing pendiri NU dan Muhammadiyah as.KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU yang hidup di lingkungan budaya santri yang kuat di Jombang, menawarkan model pendekatan terhadap Islamisasi yang dapat disebut santrinisasi santri. Sementara itu, KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, yang hidup di lingukungan  budaya priyayi di Kauman Yogyakarta, menawarkan model pendekatan yang  dapat disebut santrinisasi priyayi atau priyayisasi santri.

Pembahasan tentang pemikiran sosial keagamaan baik Muhammadiyah dan NU telah banyak ditelaah dan dipublikasikan, tetapi munculnya pemikiran Islam di Indonesia yang dikembangkan oleh individu pasca Muhammadiyah dan NU belum dipetakan. Oleh karena itu, penting dideskripsikn tentang pemikiran Islam individu dan bagaimana wujud pemikiran itu telah dituangkan oleh tokoh-tokohnya. Untuk memudahkan kita memasuki pembicaraan ini, kiranya penggambaran di bawah ini dirasa dapat membantu.

A. Islam Rasional

Para pemikir Islam rasional antara lain seperti Harun Nasution, mempunyai pikiran-pikiran keagamaan yang terfokus pada kenyataan bahwa al-Qur’an tidak memberikan panduan-panduan kehidupan secara detail. Karenanya ijtihad menjadi sangat penting maknanya sebagai mekanisme untuk melakukan interpretasi atau reaktualisasi atas doktrin ajaran Islam.

Dalam hal ini, kaum muslim perlu untuk mempertimbangkan pentingnya aspek-aspek lokal, kontekstual dan temporal dalam pengembangan pemikirannya. Dengan demikian, kehidupan keagamaan komunitas muslim di Indonesia tidak akan tercabut dari nilai-nilai budaya mereka sendiri.    

B. Islam Saintifik

Disiplin perbandingan agama dan sosiologi merupakan dasar dari pemikiran ini, salah-satu tokoh dari pemikiran ini adalah A. Mukti Ali di  IAIN Yogyakarta beliau melontarkan ide tentang perlunya merumuskan penelitian agama yang menggambungkan kekuatan dan kelemahan antara tradisi penelitian ilmu-ilmu sosial dan humanistik. Menurutnya, perlu ada pembaruan metodologi dalam penelitian agama, karena agama tidak hanya harus dilihat sebagai realitas sosial, tetapi juga merupakan ungkapan iman atau batin seseorang. Oleh sebab itu, gejala agama harus dilihat dari pendekatan from within tidak sekedar eksternalistis.

 C. Islam Kritis

 M. Rasjidi melalui sumbangan pemikirannya adalah peranannya yang cukup penting sebagai “korektor” yang kukuh dalam mengawal “keselamatan Islam”. Islam sering diguncang, oleh sebab isu pembaruan atau jika ada kekuatan di luar Islam yang mengancam. Oleh sebab itu, tidak heran jika reaksinya selalu muncul di sepanjang munculnya pembaruan Islam, mulai dari soal Nasution, Mukti Ali, Nurcholish Madjid sampai catatan pemikiran Ahmad Wahib, yang dianggap menyeleweng karena diracuni pandangan-pandangan Barat. Selain itu juga, Rasjidi memberikan reaksi jika ada pihak-pihak dari luar Islam yang dianggap coba mengancam “kepentingan Islam” dalam proses pembentukan bangsa dan negara.

D. Islam Desakralisasi

Beberapa ide dasar sebanding dengan apa yang dikemukakan Soekarno pada tahun 1980-an, yaitu tentang pentingnya masyarakat Islam untuk “memudahkan” pengertian Islam dan menemukan “api Islam”. Golongan ini berpendapat  bahwa interpretasi terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah, dua sumber utama Islam, bisa berbeda dan berubah, sebanding dengan apa yang pernah dilakukan oleh para pembaru dan pemikir muslim, mereka ingin mendorong mendorong masyarakat Islam untuk memikirkan kembali pemahaman dan interpretasi mereka terhadap Islam.

E. Islam Pribumisasi

Dalam konteks pembaruan pemikiran keagamaan muslim di Indonesia, Abdurrahman Wahid muncul dengan gagasannya tentang Islam sebagai faktor komplementer kehidupn sosial-budaya, dan politik Indonesia; dengan “pribumisasi” Islam. Gagasannya yang pertama mengajak komunitas Islam untuk tidak memperlakukan Islam sebagai sebuah ideologi alternatif . Dalam pandagannya, sebagai komponen utama dalam struktur sosial masyarakat Indonesia, Islam hendaknya tidak diletakkan secara berhadap-hadapan dengan komponen-komponen lain.

F. Islam Peradaban

Menurut Fazlur Rahman, watak artifisial, bangunan intelektual ilmiah Islam kalsik yang mengambil konstruksi teoritis sebagai isi utamanya dari gagasan Hellenisme, seperti misalnya al-Ghazali dan Ibn-Taymiyah. Intelektualitas mereka terpenggal, karena perlakuan yang sepotong-potong, ad hoc, dan seringkali sangat ekstrinsik terhadap al-Qur’an. Keadaan ini terus berlanjut hingga masa modern saat ini.

Menurut Rahman ada dua tipe cendikiawan muslim dalam merespons modernitas. Di satu sisi mereka melakukan pengapdosian gagasan-gagasan kunci Barat dan pranata-pranatanya yang dibela mati-matian, dan sebagian lagi diberi pembenaran dengan kutipan al-Qur’an. Sementara kelompok yang lain menolak mentah-mentah modernitas dan mengajukan alternatif apologetis, berdasarkan pemahaman al-Qur’an secara literal.

G. Islam Reaktualisasi

Munawir Sjadzali mengemukakan perlunya pemikir muslim melakukan ijtihad secara jujur, agar Islam terasa reponsif terhadap keperluan-keperluan rill masyarakat. Perhatian Sjadzali lebih banyak difokuskan pada masalah bagaimana memahami syariat Islam dalam konteks keadilan yang empiris, selain itu juga Sjadzali mengajukan sebuah ukuran-ukuran yang tepat untuk memahami ajaran Islam. Percaya akan dinamika dan vitalitas hukum Islam, ia  berpendapat bahwa para pemikir muslim harus berani melakukan proses reaktualisasi ajaran Islam agar artikulasi keislaman kita lebih sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia.

H. Islam Transformatif

Obsesi Islam transformatif adalah memberi kritik terhadap teologi Islam rasional dan Islam peradaban, dari kritik tersebut, mereka pun berusaha membangun suatu  bentuk Islam alternatif. Titik tolak mereka sangat jelas yaitu ingin menganalisis penyebab keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia, dari sudut pandang struktural (faktor eksternal).

Kritik Islam transformatif adalah bahwa keterbelakangan bukan disebabkan oleh faktor-faktor teologis, budaya atau mentalitas, tapi karena ketidakadilan hubungan antara dunia maju dan dunia ketiga, yang berwatak imperialisme. Pada tingkat lokal terjadi hubungan dan cara produksi yang menghisap. Tokoh muslim Indonesia yang menggagas Islam transformatif antara lain Moeslim Abdoerrahman dan Mansur Faqih.

I. Islam Integralis

Islam integralis adalah pandangan para tokoh ilmuwan muslim Indonesia yang menyatakan bahwa terdapat kesesuaian dengan Islam, terutama ayat-ayat al-Qur’an dengan temuan Ilmu pengetahuan kontemporer. Para tokoh Islam integralis ini berpendirian bahwa pandangan mutakhir tentang alam semesta yang memuai telah diisyaratkan dalam al-Qur’an. Tokoh-tokoh yang menonjol dari Islam integralis adalah antara lain Abdul Kahar Muzakkir, Ahmad Baiquni yang menulis Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, Hidajat Nataatmadja, Armahedi Mahzar, Imaduddin Abdul Rahim, Syahirul Alim, dan lain-lain.

J. Islam Substantif

Islam substantif memberikan pemahaman  bahwa pemikiran Islam di Indonesia dalam arti formalisme sudah tidak laku. Pada umumnya, masyarakat lebih memilih Islam substantif, jadi apabila Islam mau berperan dalam segala aspek kehidupan di Indonesia, perannya adalah peran substantif, yaitu mengembangkan pesan-pesan moral dengan tema-tema sentral seperti keadilan dan egalitarianisme, bukan menonjolkan simbol. Pemikiran inilah yang ditawarkan para cendikiawan terkenal yang menekuni sejarah bukan dalam arti belajar konvensional (old history), melainkan lebih pada critical and interpretative history atau dalam istilah yang lebih popular disebut ” sosial history” atau sejarah sosial.

K. Islam Kultural Dinamis-Dialogis

Islam kultural dinamis menawarkan pemikiran tentangbagaimanakah cara yang ‘obyektif’ unutk membaca dan memaknai teks dan tradisi keagamaan? Haruskah modernitas  dinilai oleh tradisi atau, sebaliknya, tradisi yang diukur oleh modernitas?”. Salah satu pemikir Islamkultur dinamis adalah M.Amin Abdullah.

Membaca dan memaknai teks keagamaan pada zaman modern adalah satu di antara sekian problem yang dicoba diangkat oleh tokoh pemikir ini. Di pihak lain, dalam upaya memecahkan problem tersebut, menurut pemikiran tokoh ini, dapat ditemukan pelbagai refleksi dalam membangun teoritisasi atas fenomena gerakan pembaruan pemikiran keislaman yang di dalamnya terjadi tarik-menarik antara dua kutub: modern versus tradisi.

L. Islam Eksklusif

Islam eksklusif merupakan sikap yang memandang bahwa keyakinan, pandangan, pikiran, dan prinsip diri sendirilah yang paling benar semntara keyakinan, pandangan, pikiran, dan prinsip yang dianut oang lain salah, sesat dan harus dijauhi. Baik bersifat ke luar terhadap agama lain maupun ke dalam yaitu dalam Islam sendiri melalui berbagai bidang, baik fiqih, teologi, ataupun tasawuf. Anggapan yang dibangun, bahwa mahzab atau alirannyalah yang paling benar, sedangkan yang lainnya yang paling benar, sedangkan yang lainnya salah dan bahkan dinilai sesat.

M. Islam Inklusif-Pluralis

Islam Inklusif-Pluralis adalah paham keberagaman yang didasarkan pada pandangan bahwa gama-agama lain yang ada di dunia ini sebagai yang mengandung kebenaran dan dapat memberikan manfaat serta keselamatan bagi penganutnya. Di samping itu, ia tidak semata-mata menunjukkan pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, melainkan keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pemikiran Alwi Shihab mengenai pergeseran agama-agama keparadigma inklusif dan respon Islam dalam menghadapinya. Alwi adalah tokoh dan wakil muslim Indonesia yang paling tepat untuk berbicara mengenai soal ini.

N. Islam Humanis

Islam humanis adalah paham keislaman dengan cara melakukan inisiasi, apresiasi, elaborasi, dan pengembangan berbagai kegiatan yang mengarah pada upaya penampilan Islam yang lebih berpihak kepada pemberdayaan manusia dan masyarakat melalui pendekatan keilmuan.

Wacana dan upaya untuk menampilkan Islam humanis yang dikemukakan di atas dapat dilihat dengan fenomena dan orientasi keislaman yang sedang digulirkan oleh civitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Salah-satu indikasi bahwa perguruan Tinggi Islam tertua ini mengusung Islam humanis adalah digulirkannya visi rahmatan lil ‘alamin (kebaikan untuk semua).

O. Islam Liberal

Tokoh-tokoh seperti Ahmad wahib maupun Nurcholish Madjid sudah sejak tahun tujuh puluhan menjadi lokomotif pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Hanya saja kemunculan gagasan atau pemikiran Ulil Abshar Abdallah tampaknya memang bertepatan dengan situasi dalam negeri pada akhir-akhir ini yang belum reda dengan isu-isu global di seputar Islam dan Barat, sehingga seolah-olah pikiran itu keluar dari konspirasi pihak-pihak tertentu untuk menjatuhkan Islam.

Gagasan atau pikiran-pikiran Abdallah sejatinya hanya sekedar contoh dari suara sebagian anak muda cerdas yang jenuh dengan situasi kekinian di mana agama (Islam) tidak mampu lagi ditangkap elan vitalnya oleh masyarakat. Anak-anak muda itu dalam setiap kesempatan senantiasa berpikir bagaimana agar ajaran agama mampu memberikan tuntutan dalam kehidupan yang senantiasa berubah. Bagaimana agama dapat dipahami sedemikian rupa, sehingga ajaran-ajarannya senantiasa memberikan pencerahan kepada masyarakat. Bagaimana doktrin-doktrin Islam dapat diterima dalam alam kehidupan yang sudah sangat berbeda dengan masa di mana Islam pertama kali diturunkan.

P. Islamisasi Ekonomi

Pemikiran ekonomi Islam di Indonesia sejak akhir 1980-an sampai sekarang semakin mengemuka. Sebagai indikator sederhana dapat dibuktikan dengan semakin bertambahnya lembaga-lembaga keuangan yang mengidentifikasikan dirinya sebagai lembaga keuangan yang berdasarkan syari’ah Islam. Indikasi lainnya adalah munculnya lembaga-                                              lembaga pendidikan yang berkonsentrasi pada ekonomi Islam seperti UIN, IAIN, STAIN baik itu negeri maupun swasta.

Tokoh-tokoh yang mempunyai perhatian pada pengembangan pemikiran ekonomi Islam sejak lama, antara lain: A.M. Saifuddin, M. Dawan Rahardjo, Muhammad Syafi’i Antonio, Karnaen Perwataajmadja, Muhammad Akhyar Adnan, Iwan Triyuwono, Adiwarman A. Karim, Suroso Imam Zadjuli, Muhammad, dan lain-lain.

II. Pemikiran Islam Kontemporer Bidang Sosial Politik

Pengantar

Dunia islam mengalami kesulitan dalam menciptakan sintesa yang harmonis antara Islam dan politik, terutama sejak pudarnya kolonialisme Barat pada pertengahan abad XX. Di  Indonesia, hubungan antara Islam dan Negara (politik) tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh kawasan dunia muslim lainnya, seperti Turki, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia, Aljazair, Baghdad dan sebagainya. Di wilayah-wilayah itu, hubungan antara Islam dan negara ditandai dengan ketegangan politik, kalau bukan permusuhan.

Di sisi lain mereka juga menolak cita-cita ideologi dan politik Islam, misalnya, Islam sebagai dasar negara, dan lain sebagainya, sebagaimana yang dipersepsi oleh mereka yang bergabung dengan partai-partai Islam, misalnya Masyumi, Perti, PSII, dan lain-lainnya. Salah satu isu dan perdebatan tentang dasar negara dan penerapan syari’at mengenai penghapusan “tujuh kata” dalam piagam Jakarta yang disusun oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 22 Juni 1945.

Perjuangan  umat Islam Indonesia untuk meraih kemerdekaan ternyata harus pula diikuti dengan kerelaanya untuk tidak memaksakan diri menjadikan syariah Islam sebagai dasar negara. Hal tersebut tercermin dalam keputusan untuk menghilangkan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta. Sikap tersebut terinspirasi dari kaidah fiqih untuk mengedepankan kebaikan bagi khalayak banyak (bangsa Indonesia) dari kepentingan kelompok (Islam): “sesuatu yang tidak dicapai seluruhnya tidak dapat ditinggalkan” dan kemashlahatan umum ditegakkan daripada kepentingan kelompok”.

Masyumi, Pemilu 1955, dan Pendukung Negara Islam

Tujuan jangka panjang didirikannya paartai Masyumi, dalam Anggaran Dasar Masyumi ditegaskan secara jelas, bahwa : “Tujuan partai ialah terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat, dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi (Pimpinan Masyumi Bagian Keuangan, 1995: 6 artikel : 3). Masyumi sebagai satu-satunya partai politik Islam, dalam perkembangan sejarah tahun-tahun berikutnya tidak bertahan lama. Pada bulan Juli 1947, unsur PSSI meninggalkan Masyumi dan menyatakan dirinya kembali kepartai independen. Pada tahun 1952 NU mengikuti jejak PSII meninggalkan Masyumi dan mengubah dirinya dari gerakan sosial-keagamaan menjadi partai politik yang berdiri sendiri.

Tokoh politik yang mendukung negara Islam atau negara berdasarkan Islam, salah-satu tokohnya adalah Muhammad Natsir, natsir mempertegas kembali dan menjelaskan lebih lanjut pendiriannya tentang hubungan Islam dengan negara di Indonesia di mana umat Islam merupakan pemeluk mayoritas. Dalam pidatonya berjudul Islam sebagai dasar negara, Natsir berdalil bahwa untuk dasar negara, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu sekularisme (la diniyah), atau paham agama (din). Pancasila menurut pendapatnya bercorak la diniyah karena itu ia sekuler, tidak mau mengakui wahyu sebagai sumbernya, pancasila adalah hasil penggalian dari masyarakat

III. Pembaruan Pemikiran Politik

A. Teologi Politik

Mengamati diskursus intelektual pemikiran politik Islam Indonesia, khususnya yang menyangkut hubungan antara Islam dan negara, para pendukung gerakan baru ini sampai pada kesimpulan bahwa persoalan yang dihadapi berhubungan erat dengan, kalau tidak malah berakar pada, dasar-dasar keagamaan/teologis (religious/theological) politik Islam. Dalam pendangan mereka, dasar-dasar keagamaan ini yang sebenarnya merupakan produk pemahaman masyarakat Islam atas doktrin agamanya, mempengaruhi dan membentuk pemikiran dan tingkah laku politik Islam.

Di  Yogyakarta tempat HMI didirikan pada 1947, pemburuan keagamaan subur di kalangan tokoh muda Islam seperti Djohan Effendi, Manshur Hamid, Ahmad Wahib, dan M. Dawam Rahardjo. Selain aktif di HMI, mereka adalah peserta tetap kelompok diskusi Limited Group (1967-1971), di bawah asuhan Mukti Ali (Ali, 1981 : vii). Melalui diskusi-diskusi yang intens, baik dalam lingkungan HMI ataupun Limited Group, mereka sampai pada kesimpulan penting yaitu: pertama, dalam pandangan mereka tidak ada bukti jelas bahwa al-Qur’an dan Sunnah mengharuskan muslim untuk mendirikan negara Islam, Kedua, mereka mengakui bahwa Islam memiliki seperangkat nilai-nilai etis tau prinsip-prinsip sosial-politik, ketiga, karena Islam itu bersifat Islam permanen dan universal, penafsiran atas doktrin Islam tidak dapat dibatasi hanya pada tataran formal dan legal, keempat, mereka percaya hanya Allah yang memiliki kebenaran absolut dan pemahaman orang atas doktrin Islam bersifat relatif.

B. Birokrasi

Para pendukung gagasan pembaruan pemikiran politik atau birokrasi, pada umumnya terdiri dari orang-orang yang terlibat dalam pembaruan pemikiran politik atau birokrasi. Mereka percaya, bahwa ketegangan hubungan antara Islam dan negara akan memudar jika para pemikir dan aktivis muslim melibatkan diri dan berpartisipasi dalam proses kehidupan politik dan birokrasi negara.

Namun demikian, kendati titik tekan pemikiran dan aktivismemereka adalah pembaruan politik atau birokrasi, beberapa ide dasar mereka diwarnai oleh nuansa-nuansa teologis-politis yaitu: pertama, kalangan pembaru di bidang politik/birokrasi ini berpendapat bahwa Islam tidak seharusnya diposisikan secara antagonis dalam hubungannya dengan negara, kedua, sepanjang sejarah politik Islam, para pemimpin dan aktivis politik Islam belum dapat membangun sebuah tradisi suatu pemerintahan yang kuat, ketiga, pendekatan ini dinilai efektif untuk mengembalikan harga diri politik komunitas muslim, yang senang diperlakukan sebagai “minoritas” atau “kalangan luar” dalam percaturan dan proses politik di Indonesia.

C. Transformasi Sosial  

Dilihat dari perspektif rekonsiliasi Islam-negara, aliran pemikiran transformasi sosial ini paling kompleks untuk dideskripsikan. kompleksitas itu terletak pada pilihan agenda yang populis dan berorientasi pada masyarakat yaitu nada politiknya mengarah pada terbentuknya yang kuat dalam hubugannya dengan negara.

Pada tahun 1980-an, sikap kritis sebagian pendukungnya nampak dalam referensi mereka untuk melihat kebijakan ekonomi Orde Baru dalam kerangka teori dependensia. Diantara ide-ide dasar mahzab transformasi sosial dengan usaha untuk menciptakan hubungan antara Islam dan negara yang harmonis dan integratif terletak pada beberapa proposisi berikut, pertama, perhatian utama aliran transformasi sosial adalah berkembangnya suatu masyarakat yang egaliter dan emansipatif, kedua, di bawah pemerintahan Orde Baru, negara telah menjadi semakin kuat, tidak seperti masa Orde Lama, dalam masa Orde Baru negara telah mampu melakukan penetrasi ke dalam masyarakat, mengatur hubungan dengan kekuatan-kekuatan sosial politik yang ada, menggunakan dan menyediakan sumber-sumber daya yang ada.

IV. Pemikiran sosial politik tokoh-tokoh umat Islam Indonesia, dapat dikategorikan dalam uraian berikut ini:

A. Neo-Modernisme

Pola pemikiran ini mempunyai asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam pergulatan-pergulatan modernisme, bahkan kalau mungkin, sebagaimana mereka juga cita-citakan, Islam akan menjadi leading-ism (ajaran-ajaran yang memimpin) di masa depan. Tetapi, pengejaran untuk mencapai tujuan itu mesti menghilangkan tradisi keislaman yang telah mapan, hal ini melahirkan postulat (dalil) al-muhafazah ‘ala al-qadim al-salih wa’I-akhz bi’I-jadid al-aslah (memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik).

B. Sosialisme-Demokrasi

Pola pemikiran ini berpendapat bahwa, pada dasarnya misi Islam yang terutama adalah misi keislaman dan kehadiran Islam harus memberikan makna kepada manusia. Untuk mencapai tujuan itu, Islam harus menjadi kekuatan yang mampu memotivasikan secara terus menerus dan mentransformasikan masyarakat dengan berbagai aspeknya. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa transformasi pertama bukanlah aspek teologi Islam, melainkan masyarakat nasional secara keseluruhan dan bukan hanya masyarakat Islam. Adi Sasono dan M. Dawam Rahardjo, dan juga Dr. Kuntowijoyo bisa dimasukkan dalam pola pemikiran ini.

C. Internasionalisme atau Universalisme Islam

Pendukung universalisme Islam berpendapat bahwa, pada dasarnya Islam bersifat universal dan merupakan diktum yang tetap. Dalam konteks nasionalisme, mereka berpendapat bahwa nasionalisme adalah sesuatu yang harus ditegakkan dalam Islam Ajaran-ajarannya sendiri mendorong penganutnya untuk menjadi nasionalitis.

Pada dasarnya, mereka tidak mengenal dikotomi antara nasionalisme dan Islamisme keduanya saling menunjang. Masalahnya terletak pemribumian Islam dan ini bisa menyebabkan fundamental terhadap hakikat Islam yang bersifat universal itu. Pola pemikiran ini, walaupun samar-samar, terlihat dalam pemikiran Jalaludin Rahmat, M. Amin Rais, AM. Syaifuddin, Endang Saefudin, Anshari, dan mungkin di lowa Universty, Amerika Serikat.

D. Modernisme

Pola pemikiran ini lebih menekenkan aspek rasional dan pembaruan pemikiran Islam sesuai dengan kondisi-kondisi modern. Dalam hubungan ini, tradisi pemikiran lampau yang merupakan hasil interpretasi ulama-ulama dan telah terlembagakan secara mapan namun dianggap tidak sesuai dengan modernisme, tidak perlu dipertahankan lagi.

Dengan demikian, ada kesan puritanisme. Meskipun demikian, pendukung pola pemikiran ini tetap melihat secara kritis pemikiran para pendukung modernisme. Ahmad Syafi’i Maarif, walau berguru dengan orang yang sama dengan Nurcholish Madjid misalnya, justru melihat secara kritis pemikiran-pemikiran kaum Masyumi dalam perdebatan-perdebatan di konstituante. Bersama-sama Ahmad Syafi’i Maarif, Djohan Efendi termasuk pendukung pola modernisme ini.

Kesimpulan

Dari reviu ini penulis dapat menarik kesimpulan, munculnya multitafsir, selain dilandasi oleh semangat teologis dan tafsir agama juga sebagai respons terhadap perubahan sosial. Pluralitas pemahaman keagamaan meruapakan sunnatullah yang tidak mungkin terbantahkan dan mustahil pula untuk dilawan dan dihindari. Apa yang bisa dilakukan terhadapnya adalah menghargai, mengakui, dan mensyukuri.

Perkembangan dan masa depan pemikiran dan praktik politk Islam Indonesia pasca Orde Baru akan membawa kepada berbagai implikasi. Khususnya bagi perkembangan diskursus pemikiran dan praktik politik Islam itu sendiri. Untuk itu para pemikir dan aktivis politik Islam perlu mereformalisikan dasar-dasar keagamaan ke dalam bidang politik secara cerdas; mendefinisi ulang cita-cita politik; dan merumuskan kembali strategi perjuangan politik Islam.

Data diambil dari buku Aden Wijdan SZ. Dkk. Agustus Tahun 2007, Pemikiran dan Peradaban Islam, Cetakan I, Saftiria Insania Press dan Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia (PSI UII)

KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU DAN DOSEN

KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU DAN DOSEN

A. PENDAHULUAN
Pasca disahkannya UU No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, profesi guru dan dosen kembali menjadi bahan pertimbangan oleh banyak pihak khususnya bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Mengapa tidak, karena kehadiran undang- undang tersebut manambah wacana baru akan dimantapkannya hak- hak dan kewajiban bagi guru dan dosen. Diantara hak yang paling ditunggu selama ini adalah adanya upaya perbaikan kesejahteraan bagi guru dan dosen, salah satu upaya yang sementara dilaksanakan saat ini dalam rangka implementasi UU Guru dan Dosen adalah pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan sebagaimana telah diatur dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 18 Tahun 2007. Banyak kalangan yang pesimis dengan adanya sertifikasi guru dan dosen ini, khususnya bagi mereka yang sampai saat ini belum memiliki kualifikasi akademik ( S1 atau Diploma empat (D4)) namun tak sedikit yang merasa gembira dan berbahagia terutama bagi mereka yang sudah dinyatakan lulus karena sudah barang tentu setelah dinyatakan lulus, sudah ada jaminan bagi mereka bahwa pemerintah segera akan membayar tunjangan profesi tersebut, sebuah harapan sekaligus tantangan menuju guru profesional. Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan, antara lain menata sarana dan prasarana, mengutak atik kurikulum, meningkatkan kualitas guru melalui peningkatan kualifikasi pendidikan guru, memberikan berbagai diklat atau pelatihan sampai pada meningkatkan tunjangan profesi guru dalam arti meningkatkan kesejahteraan guru. Contoh Kasus DKI Jakarta mulai tahun 2006 setiap guru menerima tunjangan kesejahteraan sebesar dua juta rupiah perbulan selain gaji dan tunjangan lainnya:. Fenomena ini menunjukkan bahwa dari sisi kesejahteraan sudah ada upaya konkrit yang dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi hak guru, apalagi saat ini sertifikasi guru sudah mulai dilaksanakan dalam rangka pemberian tunjangan profesi sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Guru dan Dosen, persoalannya adalah apakah dengan pemberian tunjangan profesi akan melahirkan guru profesional ? jawabannya kembali kepada setiap pribadi guru. 

B. KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU DAN DOSEN
A. Hakekat Kebijakan
Kebijakan pendidikan adalah konsep yang sering kita dengar, kita ucapkan, kita lakukan, tetapi sering kali kita tidak pahami sepenuhnya, oleh karena itu, kita lihat terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kebijakan pendidikan. 
Secara etemologi kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy dalam bahasa inggris. Dalam bahasa latin politia yang berarti Negara, polis disebut dalam bahasa bahasa yunani yang berarti kota dan kata pur dalam bahasa Sanskrit berarti kota serta police dalam bahasa inggris berarti adminisrasi pemerintah. Berdasarkan asal kata ini menghasilkan tiga jenis pengertian yang sekarang ini dikenal dengan politic, policy, polici. Politic berarti seni dan ilmu pemerintah (the art and science of government), sedangkan policy berarti hal-hal mengenai kebijakan pemerintah, sedangkan police berarti hal-hal yang berkenaan dengan pemerintahan adapun kebijakan pendidikan terjemahan dari educational policy. 
Menurut Gamage dan Pang kebijakan adalah yang terdiri dari pernyataan tentang sasaran dan satu atau lebih pedoman yang luas unuk mencapai sasaran tersebut sehingga dapat di capai yang dilaksanakan bersama dan memberikan kerangka kerja bagi pelaksanaan program sedangkan Klien dan Murphy mengatakan kebijakan berarti seperangkat tujuan –tujuan dan prinsip-prinsip serta peraturan –pearaturan yang membimbing sesuatu organisasi kebijakan dengan demikian mencakup keseluruhan petunjuk organisasi. 
Berdasarkan pendapat diatas menunjukkan bahwa kebijakan adalah hasil keputusan manajemen puncak yang dibuat dengan hati-hati yang intinya seperangkat tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip serta peraturan-peraturan yang membimbing sesuatu organisasi dengan demikian kebijakan mencakup keseluruhan petunjuk organisasi.
Oleh karena itu kebijakan secara prakis dapat di fahami sebagai keputusan pemerintah, (as decision of government ) sebagai bentuk pengesahan formal ( as formal authorization ), sebagai program ( as programme ), sebagai keluaran( as output ), sebagai hasil akhir( as outcome )dan sebagai teori atau model ( as a theory or model )serta sebagai proses ( as process ).

B. Hakekat Guru Dan Dosen
Undang-undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen telah mendiskripsikan yang dimaksud guru dalam pasal 1: 1 adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.dan dalam pasal 1 ; 4 dinyatakan Professional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. 
Ada 4 kompetensi yang harus dikuasai guru sebagai pendidik professional, ke 4 kompetensi tersebut adalah : 
1. Kompetensi pedagogik, yanitu meliputi:
Kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik serta pemahaman terhadap peserta didik, dengan indicator esensial: memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif dan kepribadian dan mengidentifikasi bekal-ajar awal peserta didik.
2. Kompetensi professional yaitu :
Kompetensi profesional merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap stuktur dan metodologi keilmuannya.
3. Kompetensi sosial yaitu :
Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, memiliki indikator esensial: berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik. Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan. Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.
4. Kompetensi kepribadian yaitu :
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kepribadian yang mantap dan stabil memiliki indikator esensial: bertindak sesuai dengan norma hukum; bertindak sesuai dengan norma sosial; bangga sebagai guru; dan memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai dengan norma. Kepribadian yang dewasa memiliki indikator esensial: menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja sebagai guru. Kepribadian yang arif memiliki indikator esensial: menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan masyarakat serta menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak Kepribadian yang berwibawa memiliki indikator esensial: memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik dan memiliki perilaku yang disegani. Akhlak mulia dan dapat menjadi teladan memiliki indicator esensial: bertindak sesuai dengan norma religius (iman dan taqwa, jujur, ikhlas, suka menolong), dan memiliki perilaku yang diteladani peserta didik 

1. Hakekat Sertifikasi Guru
Sertifikasi guru adalah sebuah upaya peningkatan mutu guru dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan guru, sehingga diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan. Bentuk peningkatan kesejahteran guru berupa tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok bagi guru yang telah memiliki sertifikat pendidik. 
Perlunya ada sertifikat pendidik bagi guru dan dosen, bukan saja untuk memenuhi persyaratan sebuah profesi yang menuntut adanya kualifikasi minimum dan sertifikasi, juga dimaksudkan agar guru dan dosen dapat diberi tunjangan profesi oleh Negara. Tunjangan profesi itu diperlukan sebagai syarat mutlak sebuah profesi agar penyandang profesi dapat hidup layak dan memadai, apalagi hingga saat ini guru dan dosen masih tergolong kelompok yang berpengahasilan rendah yang harus dibantu meningkatkan kesejahteraan melalui undang- undang. 
Berdasarkan kepentingan tersebut, maka dalam Undang- Undang Guru dan Dosen dengan tegas dirumuskan pada pasal 16, bahwa pemerintah memberikan tunjangan profesi guru yang diangkat oleh pemerintah dan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang memiliki sertifikat pendidik yang besarnya setara dengan satu kali gaji pokok yang diangkat oleh pemerintah pada tingkatan masa kerja dan kualifikasi yang sama. Tunjangan profesi ini dialokasikan dalam APBN dan APBD. Subtansi yang sama bagi dosen diatur dalam pasal 53 UUGD. Dengan demikian maka diskriminasi antara guru dan dosen yang berstatus PNS dan non PNS tidak akan terjadi lagi.
Sertifikasi pendidik bagi guru diatur dalam pasal 11 ayat (2) dan (3) Undang- undang Guru dan Dosen yang menyebutkan bahwa sertifikat pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga pendidikan yang telah terakreditasi yang ditetapkan oleh pemerintah dan dilaksanakan secara transparan, objektif dan akuntabel. Setiap orang yang memiliki sertifikat pendidik itu memiliki kesempatan yang Sama untuk diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu 
Agar sertifikat pendidik dapat diperoleh oleh guru yang berstatus PNS dan Non PNS tanpa banyak hambatan, maka pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran, termasuk untuk meningkatkan kualifikasi akademik Selain tunjangan profesi, bagi guru yang memiliki sertifikat pendidik, dan yang belum tersertifikasi akan disediakan oleh Negara tunjangan fungsional atau tunjangan sejenis kepada guru, baik yang berstatus PNS maupun Non PNS. Tunjangan yang dimaksud ini dialokasikan Dalam APBN dan atau APBD,sehingga tidak ada keraguan bahwa tunjangan ini tidak akan dilaksanakan oleh pemerintah 

2. Portofolio Sertifikasi Guru Dalam Jabatan 
Portofolio adalah bukti fisik ( dokumentasi ) yang menggambarkan pengalaman berkarya, kreasi dan prestasi yang dicapai oleh seorang guru dalam menjalankan tugas profesi dalam interval waktu tertentu. Fungsi portofolio dalaj sertifikasi guru dalam jabatan adalah untuk menilai kompetensi guru dalam menjalankan tugas dan perannya sebagai agen pembelajaran. Portofolio juga berfungsi sebagai: (1) Wahana guru untuk menampilkan dan atau membuktikan unjuk kerjanya yang meliputi produktivitas, kualitas dan relevansi melalui karya- karya utama dan pendukung, (2) Informasi ( buta ) dalam memberikan pertimbangan tingkat kelayakan kompetensi seorang guru bila dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan, (3) Dasar menentukan kelulusan seorang guru yang mengikuti uji sertifikasi (layak mendapatkan sertifikat pendidik atau belum), dan (4) Dasar memberikan rekomendasi bagi peserta yang belum lulus untuk menentukan kegiatan lanjutan sebagai representasi kegiatan pembinaan dann pemberdayaan guru. 
Berdasarkan peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No 18 Tahun 2007 tentang sertifikasi guru dalam jabatan, maka ada sepuluh komponen portofolio yang dijadikan sebagai pedoman dalam meniali aktivitas seorang guru sebagai berikut:
1. Kualifikasi akademik
2. Pendidikan dan pelatihan
3. Pengalaman mengajar
4. Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran
5. Penilaian dari atasan dan pengawas
6. Prestasi akademik
7. Karya pengembangan profesi
8. Keikutsertaan dalam profesi ilmiah
9. Pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan sosial, dan
10. Penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Dimana dijelaskan bahwa kesepuluh kompenen portofolio tersebut diatas adalah sebagai berikut :
a. Kualifikasi akademik, yaitu tingkat pendidikan formal yang telah dicapai sampai dengan guru yang bersangkutan mengikuti sertifikasi, baik pendidikan bergelar (S1, S2, dan S3) maupun pendidikan nongelar (D4 atau Post Graduate diploma ) baik dalam maupun luar negeri. Bukti fisik yang terkait dalam komponen ini dapat berupa ijasah atau sertifikat diploma.
b. Pendidikan dan pelatihan, yaitu pengalaman dalam mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan dalam rangka pengembangan dan atau peningkatan kompetensi dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik pada tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional, maupun internasional. Bukti fisik kompetensi ini dapat berupa sertifikat, piagam, atau surat keterangan dari lembaga penyelenggara diklat.
c. Pengalaman mengajar, Yaitu masa kerja guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan surat tugas dari lembaga yang berwenang ( dapat dari pemerintah, dan atau kelompok masyarakat penyelenggara pendidikan). Bukti fisik dari komponen ini dapat berupa surat keputusan/surat keterangan yang sah dari lembaga yang berwenang.
d. Perencanaan pembelajaran, yaitu persiapan pengelolah pembelajaran yang akan dilaksanakan dalam kelas pada setiap tatap muka. Perencanaan pembelajaran paling tidak memuat perumusan tujuan/kompetensi, pemilihan dan pengorganisasian materi, pemilihan sumber dan media pembelajaran, skenario pembelajaran, dan penilaian hasil belajar. Bukti fisik dari komponen ini berupa dokumen perencanaan pembelajaran ( RP / RPP / SP ) yang diketahui / disahkan oleh atasan.
e. Pelaksanaan pembelajaran, yaitu kegiatan guru dalam mengelola pembelajaran dikelas. Kegiatan ini mencakup kegiatan pra pembelajaran ( pengecekan kesiapan kelas dan aperseri ), kegiatan inti ( penguasaan materi, strategi pembelajaran, pemanfaatan media/sumber belajar, evaluasi, penguasaan bahasa ) dan penutu ( refleksi, rangkuman dan tindak lanjut ). Bukti fisik yang dilampirkan berupa dokumen hsil penilaian kepala sekolah dan atau pengawas tentang pelaksanaan pembelajaran ynag dikelola oleh guru.
f. Penilaian Dari Atasan dan Pengawas, yaitu penilaian atasan terhadap kompetensi kepribadian dan sosial yang meliputi aspek- aspek ketaatan menjalankan ajaran agama, tanggung jawab, kejujuran, kedisiplinan, keteladanan, etos kerja, inovasi dan kreatifitas, kemampuan menerima kritik dan saran, kemampuan berkomunikasi, kemampuan bekerjasama.
g. Prestasi Akademik, yaitu prestasi yang dicapai guru utamanya yang terkait dengan bidang keahlian yang mendapat pengakuan dari lembaga/ paniti penyelenggara, baik tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional, maupun internasional. Komponen ini meliputi lomba dan karya akademik ( juara lomba atau penemuan karya monumental di bidang pendidikan atau non pendidikan ). Bukti fisik yang dilampirkan berupa surat penghargaan, surat keterangan, atau sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga/panitia penyelenggara.
h. Karya Pengembangan Profesi, yaitu suatu karya yang menunjukkan adanya upaya dan hasil pengembangan profesi yang dilakukan oleh guru. Komponen ini meliputi buku yang dipublikasikan pada tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional, artikel yang dimuat dalam media jurnal/ majalah/ surat kabar, menjadi reviwer buku, penulis soal ebtanas/ UN, modul/buku cetak lokal ( kabupaten atau kota) yang minimal mencakup materi pembelajaran satu semester, media/ alat pembelajaran, laporan penelitian dan karya seni. Bukti fisik yang dilampirkan berupa surat keterangan dari pejabat yang berwenang.
i. Keikut Sertaan Dalam Forum Ilmiah, yaitu partisipasi dalam kegiatan ilmiah yang relevan dengan bidang tugasnya pada tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional, internasional baik sebagai pemakalah maupun sebagai peserta, bukti fisik yang dilampirkan dalam komponen ini berupa makalah dan sertifikat/ piagam bagi nara sumber dan sertifikat/ piagam bagi peserta.
j. Pengalaman Organisasi Di Bidang Pendidikan Dan Sosial, yaitu pengalaman guru menjadi pengurus dan bukan hanya sebagai anggota di suatu organisasi pendidikan dan sosial. Pengurus organisasi dibidang pendidikan antara lain pengawas, kepala sekolah, wakil kepala sekolah, ketua jurusan, kepala LAB, kepala bengkel ketua studio, ketua asosiasi guru bidang studi asosiasi profesi dan Pembina kegiatan ekstra kurikuler ( pramuka, KIR, PMR, Mading, dll ). Sedangkan pengurus dibidang social antara lain ketua RW/RT, ketua LMD, dan Pembina kegiatan keagamaan. Bukti fisik yang dilampirkan adalah surat keputusan atau surat keterangan dari pihak yang berwenang.
k. Penghargaan Yang Relevan Dengan Bidang Pendidikan, yaitu penghargaan yang diperoleh karena guru menunjukkan dedikasi yang baik dalam melaksanakan tugas danmemenuhi criteria kuantitatif ( lama waktu, hasil, lokasi/geografi ), kualitatif (komitmen, etos kerja ) dan relevansi ( dalam bidang/ rumpun bidang )baik pada tingkat kepribadian/ kota, provinsi, nasional maupun internasional. Bukti fisik yang dilampirkan berupa foto kopi sertifikat, piagam atau surat keterangan. 
Sepuluh komponen portofolio sertiikat guru dalam jabatan sebagaimana dijelaskan diatas, harus menjadi acuan bagi guru dalam menyusun portofolionya dan sudah dapat dihitung sendiri berapa besar nilai yang diperoleh berdasarkan bukti fisik yang kita miliki dengan mengacu pada rubrik penilaian yang telah ditetapkan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi dan Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2007, dengan demikian bagi guru yang belum mencapai standar minimal angka yang disyaratkan untuk lulus yaitu 850 ( 57 % dari perkiraan skor maksimum ) seharusnya berupaya untuk melakukan aktifitas yang dapat memperoleh nilai seperti yang disyaratken dengan memperhatikan komponen mana yang kurang dan komponen mana yang belum ada nilai sama sekali.
Guru yang memenuhi penilaian portofolio dinyatakan lulus dan mendapat sertifikasi pendidik, sedangkan guru yang tidak lulus dapat (1) melakukan kegiatan untuk melengkapi portofolio agar mencapai nilai lulus, atau (2) mengikuti pendidikan Dan pelatihan profesi guru yang diakhiri dengan evaluasi/ penilaian sesuai persyaratan yang telah ditentukan oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi. Guru yang lulus pendidikan dan pelatihan profesi guru mendapat sertifikat pendidik.

3. Guru Professional
Sesungguhnya paradigma baru pendidikan nasional, telah menempatkan pendidik sebagai tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat. Dalam ketentuan umum UUGD ( pasal 1) pengertian professional diberi rumusan: “Profesional adalah kegiatan atau yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu, serta memerlukan pendidikan profesi”. 
Selanjutnya pasal 7 ayat 1 UU Guru dan Dosen ditetapkan dengan jelas sembilan prinsip professional yaitu guru dan dosen: (a) memiliki bakat, minat dan panggilan jiwa dan idealisme, (b) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia, (c) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan social dengan bidang tugas, (d) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas, (e) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan, (f) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja, (g) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat, (h) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya dan khusus bagi guru harus, (i) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal- hal berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru. 
Pemberdayaan profesi guru atau pemberdayaan profesi dosen dilaksanakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan , tidak diskriminatif dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa dan kode etik organisasi profesi.
Selain itu dalam pasal 1 ayat 1 butir 1 UU Guru dan Dosen ditetapkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah termasuk pendidikan usia dini. Kedudukan guru sebagai tenaga professional diatur lebih rinci pada pasal 2 ayat 1 UUGD disebutkan bahwa guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik. 
Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran dalam meningkatkan mutu pendidikan ( pasal 4 UUGD ) selanjutnya kedudukan guru sebagai tenaga professional bertujuan untuk melaksanakan system pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab ( pasal 6 UUGD ). Patut disadari bahwa kedudukan guru sebagai tenaga profesional dimaksudkan agar guru mempunyai kompetensi ilmu, teknis dan moral dalam menjalankan tugasnya secara bertanggung jawab dengan jaminan kesejahteraan yang memadai untuk memenuhi hak warga Negara memperoleh pendidikan yang bermutu (pasal 5 UU Sisdiknas ) bahkan lebih jauh dari itu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan mecapai tujuan pendidikan nasional 
Perlu ditegaskan bahwa sertifikat merupakan sarana atau instrumen meningkatkan kualitas kompetensi guru supaya menjadi guru yang profesional, untuk sertifikasi guru bukan tujuan melainkan sarana untuk mencapai tujuan yaitu menciptakan guru yang berkualitas, oleh karena itu perlu diwaspadai adanya kecenderungan sebagai orang yang melihat bahwa sertifikasi guru adalah tujuan, sebab kalau ini yang terjadi maka kualitas guru yang diharapkan tidak akan tercapa.

4. Analisa 
Kebijakan sertifikasi yang menuai pro kontra di masyarakat masih berupa perbincangan hangat untuk dibicarakan. Di media massa kebijakan sertifikasi yang dikeluarkan oleh pemerintah menunjukkan adanya berbagai kelemahan dan kecurangan baik dalam konsep maupun teknis pelaksanaannya. Hal ini patut menjadi sorotan kita , karena kebijakan pemerintah dalam hal ini sertifikasi memiliki pengaruh yang sangat besar bagi arah pendidikan negeri ini. Berbagai pihak yang terkait dengan sertifkasi guru ini, mesti memandang kebijakan ini secara komprehensif, artinya kita perlu secara bijak menganalisis secara mendalam dan menyeluruh kebijakan yang satu ini.
Kebijakan sertifikasi seperti yang banyak diberitakan di media, ternyata banyak menimbulkan masalah baru. Dan apabila decermati orientasi materialisme jelas terlihat dalam kebijakan ini. Gaji menjadi sebuah motivasi bagi guru-guru untuk mengikuti uji sertifikasi, karena yang dipikirkan hanyalah gaji dan gaji. Dan kita tahu pemerintah menjanjikan gaji berlipat bagi guru yang telah mendapat sertifikasi yaitu sebesar dua kali gaji pokok. Siapa yang tidak tergoda dengan janji manis pemerintah?
Selain itu kita tahu negara-negara tadi adalah negara maju dari segi ekonomi dan sangat timpang jika disamakan dengan Indonesia. Kebijakan yang sama diterapkan di negeri yang berbeda tentu hasilnya tidak akan sama. Bagaimanapun juga negara-negara tersebut memiliki kemampuan yang lebih dibanding dengan Indonesia, dan kebijakan sertifikasi pun didukung oleh berbagai faktor yang memang memadai. Dari segi dana dan kemampuan negara, tidak bisa diragukan. Sedangkan Indonesia? Masih patut dipertanyakan. Secara teknis kebijakan sertifikasi telah menimbulkan masalah baru di bidang pendidikan. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa kasus kecurangan dalam pembuatan portofolio di sejumlah daerah. Kemudian para asesor atau penguji biasanya adalah dosen. Sedangkan dosen pun terkena UU Guru dan Dosen yang tentu harus telah lulus kualifikasi tersebut, namun dosen pun belum bersertifikat lalu bagaimana dia bisa menguji orang lain? Inilah sebagian masalah yang timbul dari sekian masalah yang ada akibat sertifikasi.
Kalau dilihat lagi secara mendalam, kebijakan ini bukan merupakan solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia serta meningkatkan kesejahteraan guru. Apakah meningkatkan kesejahteraan guru harus dengan selembar kertas yang itu bisa dimanipulasi? Walaupun ada sebagian kalangan yang menyatakan ini adalah angin segar bagi dunia pendidikan kita. Justru sebaliknya, kebijakan ini malah menambah ruwet wajah pendidikan. Kenyataan di lapangan telah berbicara bahwa sertifikasi memiliki berbagai kelemahan. Inilah yang patut disadari pemerintah dan masyarakat secara luas. Pandangan bahwa sertifikasi adalah solusi, nampaknya perlu dikaji ulang dan dipertanyakan.
Dari hal ini jelas sekali bahwa ini adalah salah satu kelemahan sistem pendidikan nasional. Sistem yang ada memang tidak mampu menciptakan kondisi pendidikan yang ideal. Karena sistem yang ada di Indonesia orientasinya hanya materi serta berlandaskan kebebasan. Artinya peranan agama sangat minim dalam arah pendidikan saat ini. Sehingga wajar kebijakan yang diambil pun hanya menambah permasalahan baru bukan menjadi sebuah solusi yang efektif. Sertifikasi akhirnya lebih nampak menjadi solusi parsial dan hanya menguntungkan beberapa pihak, dan tentu pihak yang tetap dirugikan adalah kaum pinggiran (orang kecil) yang setiap waktu tak pernah mendapatkan keadilan. Yang untung hanya orang kaya saja yaitu para kapitalis. Untuk pemebenahan, tentu saja harus dimulai dari sistem pendidikannya yang terkait dengan landasan pendidikan yang ada, kemudian akan menelurkan arah pendidikan yang jelas



C. PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas bahwa keberadaan guru yang berkualitas merupakan syarat mutlak hadirnya sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas, hampir semua bangsa didunia ini selalu mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru yang berkualitas. Beberapa Negara seperti Singapura, Korea Selatan, Jepang dan USA berupaya meningkatkan kualitas guru dengan mengembangkan kebijakan yang langsung mempengaruhi mutu guru dengan melaksanakan sertifikasi guru. Guru yang sudah ada harus mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikasi profesi guru.
Undang-Undang Guru dan Dosen telah ditetapkan dan sudah menjadi suatu kebijakan untuk mewujudkan guru yang profesional dan menetapkan kualifikasi dan sertifikasi sebagai bagian penting dalam menentukan kualitas dan kepentingan guru. Upaya sungguh- sungguh perlu dilaksanakan untuk mewujudkan guru yang profesional, sejahtera dan memiliki kompetensi. Hal ini merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktek pendidikan yang berkualitas sebagai prasyarat untuk mewujudkan kemakmuruan dan kemajuan bangsa Indonesia. 

B. Saran – Saran 
Ditangan masyarakat, keberadaan seorang guru dianggap dan dipandang sebagai orang yang memiliki kemampuan (Pendidikan) yang tinggi. Kejahatan timbul karena adanya niat dan kesempatan, demikian halnya dengan kenakalan anak. Identifikasi dan carilah solusinya sesegera mungkin untuk menutupi celah-celah yang dapat dimanfaatkan anak untuk melaksanakan niat buruknya.
Hendaknya seorang guru harus betul-betul komitmen dalam menjalankan tugasnya, karena berhasil tidaknya pendidikan tergantung pada potensi seorang guru.
Dan selanjutnya untuk perbaikan makalah ini yang tentunya tanpa kritik dan masukan dari pembaca maka makalah ini akan ada tanpa topangan dari tiang-tiang yang kokoh, oleh karena itu kritik dan masukan dari pembaca merupakan hal yang sangat penulis harapan, dan atas kritik dan masukan penulis ucapkan terimakasih.

RENAISSANCE 

RENAISSANCE
(Abad XVI-XVII)

Gerakan Renaissance dan Pengaruhnya di Eropa

Eropa Abad Pertengahan memiliki ciri khusus di mana kekuasaan Gereja berpengaruh sangat dominan dalam menentukan kebijakan-kebijakan negara saat itu. Hal ini lebih lanjut juga mempengaruhi sistem filsafat jaman itu, berikut pula perkembangan ilmu pengetahuan di dalamnya. Ilmu pengetahuan dipandang dan digunakan untuk melegitimasi keyakinan yang didasarkan pada dogma-dogma agama. Filsafat pun demikian. Pendeknya, sebagaimana tradisi skolastik, segala sesuatu harus disesuaikan dengan kepercayaan akan dogma-dogma agama.
Cara pandang modern sebagai lawan dari cara pandang Abad Pertengahan dimulai di Italia dengan gerakan yang disebut Renaissance. Gerakan ini merupakan antitesa bagi corak kesadaran Abad Pertengahan yang ditandai oleh kesatuan, keutuhan, dan totalitas yang koheren dan sistematis yang tampil dalam bentuk metafisika atau ontologi. Lorens Bagus, dalam Kamus Filsafat-nya menyatakan setidak-tidaknya empat manifestasi utama Renaissance, yakni:
1. Gerakan Humanisme yang berusaha tidak saja untuk menerjemahkan sumber-sumber Yunani dan Romawi, tetapi juga mencari nilai atau gaya hidup manusia yang terkandung di dalamnya.
2. Penolakan tradisi Aristotelian Abad Pertengahan. Hal ini diikuti dengan bangkitnya Platonisme.
3. Keterbukaan kepada ilmu-ilmu yang baru mulai terbentuk.
4. Ketidakpuasan dengan kemapanan yang terjadi dalam lapisan agama. Hal ini mengarah kepada Reformasi Protestan.
Sebagai bentuk kesadaran, modernitas dicirikan oleh tiga hal, yaitu: subyektifitas, kritik, dan kemajuan. Hal inilah yang kemudian mendorong lahirnya Renaissance sebagai gerakan yang berusaha mendobrak kejumudan kreatifitas berpikir manusia di bawah otoritas gereja saat itu.
Apa yang dikehendaki oleh Renaissance adalah hal-hal baru sebagai kritik terus-menerus terhadap nalar teosentrisme yang melulu dipelihara pada abad pertengahan. Dari situ kemudian lahirlah berbagai macam bidang keilmuan yang dipisahkan dari pengaruh agama dan dogma, dengan sepenuhnya didasarkan pada kekuatan subyektif akal-budi manusia (antroposentrisme).
Renaissance, meskipun bukan gerakan populer dan hanya dimotori oleh segelintir intelektual dan seniman “liberal”, gerakan ini mempengaruhi banyak hal dalam peradaban Eropa. Seni, sains, filsafat, dan –lebih dari itu- pola hidup Eropa, secara revolusioner bergerak menjauh dari style Abad Tengah yang puritan menjadi liberal. “Cogito ergo sum” yang dibawa Descartes menjadi pondasi yang sangat mendukung hal itu.
Secara ringkas dapat diketahui beberapa perubahan yang sangat signifikan terjadi di Eropa yang dalam hal ini berkenaan dengan pengaruh Renaissance, yakni di bidang sains (berikut juga seni), paradigma sosial, politik, serta ekonomi.
Ada cukup alasan yang menjadi dasar bagi pertentangan antara otoritas gereja dengan kepentingan sains. Salah satu alasan yang kiranya paling mendasar adalah bahwa dalam kenyataannya, sains, sebagai sesuatu yang relatif, seringkali bertolak belakang dengan apa yang diajarkan dan dianjurkan oleh gereja. Maka logislah jika selama gereja berkuasa ruang bebas bagi sains menjadi sempit.
Pembebasan dari otoritas gereja mendorong terbentuknya cara berpikir yang sama sekali berbeda dengan dogma Abad Pertengahan. Otoritas gereja menyatakan ketentuan-ketentuannya sebagai kepastian absolut dan tidak bisa diubah selamanya. Objektifitas semacam ini tentu menjadi ruang sempit bagi kebebasan akal manusia untuk berkreasi. Pada Renaissance, otoritas gereja yang absolut itu diluluh-lantakkan sedemikian rupa oleh sains yang pernyataan-pernyataannya dibuat secara tentatif berdasarkan kemungkinan (relatif) dan dianggap bisa dimodifikasi.
Renaissance merupakan masa kebangkitan bagi sains. Gerakan ini mendorong tumbuhnya kebiasaan untuk menghargai aktifitas intelektual sebagai sebuah kerja sosial yang sulit, penuh tantangan dan menyenangkan, bukan meditasi menyendiri yang bertujuan memelihara ortodoksi predeterministik. Pada masa itulah tokoh-tokoh saintis banyak sekali muncul di Eropa. Di antara mereka kita kenal beberapa yang dapat dikatakan terbesar dan paling berpengaruh. Copernicus, Kepler, Galileo dan Newton adalah tokoh besar yang pengaruhnya sangat menentukan bagi perkembangan sains selanjutnya. Selain itu, berbagai macam penemuan mulai dari teleskop, mikroskop, mesin cetak, kompas, mesiu, dan sebagainya, merupakan hasil dari perkembangan sains dan ilmu pengetahuan yang luar biasa pada abad itu.
Kecenderungan baru pada masyarakat Eropa ini juga memacu perkembangan dunia seni secara revolusioner. Kebebasan berekspresi demikian menggebu-gebu mengalahkan segala tabu yang pada Abad Pertengahan menghegemoni perkembangan pemikiran manusia. Dalam hal ini Renaissance, lebih jauh dari pada membebaskan, juga membuat Eropa mengalami euforia. Seni untuk seni, sebagaimana sains untuk sains, adalah slogan yang sangat mengakar pada kesadaran banyak seniman Eropa Abad Renaissance. Michaelangelo dan Leonardo Da Vinci adalah dua di antara para jenius yang dibesarkan dalam ruang euforia itu.
Selanjutnya, apa yang juga menjadi dampak langsung dari Renaissance adalah berubahnya atmosfir sosial-politik di daratan Eropa. Hal ini terjelaskan dengan menguatnya negara-negara yang menggantikan gereja sebagai otoritas politik yang mengontrol kebudayaan. Ini merupakan awal bagi demokrasi, dalam pengertiannya sebagai paradigma sosial yang modern, yang menjadi sebuah kekuatan politik penting menggantikan monarki absolut.
Bentuk pemerintahan demokratis yang muncul sebagai paradigma baru tersebut kemudian pada perkembangannya diikuti dengan munculnya bentuk kebudayaan baru, yakni kebudayaan liberal. Model ekonomi feodalistik yang diganti dengan model kapitalistik adalah suatu pengejawantahan, sekaligus konsekuensi logis, dari paradigma liberal yang berlaku, yang memiliki pondasi kuat berupa individualisme dan, tentu saja, humanisme. Lantas, tidak hanya sampai di sini, dialektika yang berlangsung dalam situasi ini pun mendorong sekularisasi, yaitu pemisahan kekuasaan politis dari agama.

Hubungan dengan perkembangan Dunia Timur
Hal yang sangat mendasar yang harus kita ketahui dari zaman Renaisance dan kemudian berlanjut dengan invasi besar-besaran “Bangsa Barat” ke Dunia Timur adalah :
1. Ditemukannya Mesin cetak oleh Jihann Gutenberg pada abad ke-15. Mesin cetak ini yang semulanya dibuat untuk tujuan yang sepenuhnya berwatak gospel yaitu untuk mempermudah penyebarluasan Injil kepada seluruh keluarga di eropa, ternyata telah memberi jalan bagi perluasan ide-ide yang lain. Sebelum di temukannya mesin yang sanggup mencetak secara massal, semua buku di cetak dengan tekhnik “litograf” (mencetak diatas batu berukir), atau ditulis tangan. Penemuan mesin cetak ini merupakan pendobrak awal terhadap rintangan utama yan gmenghalangi berkembangnya pengetahuan dan ide-ide baru selama ini. Dan Bombardemen ide-ide dan gagasan baru ini di dukung oleh dua temuan berikutnya.
2. Penemuan Senjata api, dengan alat ini kemudian bangsa barat mulai mengimplementasikan “kehendak untuk berkuasa” nya terhadap bangsa-bangsa lemah, seperti yang kita ketahui tadi bahwa dengan di temukannya mesin cetak semua ide-ide baru muncul, dan inilah kiranya juga yang di sebut oleh Fredrich Engels dengan revolusi industri, dan sejarah kelas seperti yang di analisis oleh Karl Marx akhirnya terwujud, ada kelas yang berkuasa ada yang tidak. Ketika bahan baku untuk penyediaan Industri-industri menurun akibat banyak nya permintaan, “bangsa Barat’ kemudian mulai melakukan perjalanan-perjalanan ke daerah-daerah “baru” untuk mencari bahan baku itu.
3. Kompas (alat penunjuk arah0 menjadi bagian penting yang tidak bisa di nafikan dalam melakukan perjalanan-perjalanan mencari “dunia baru’ tersebut, banyak deretan nama yang ikut tercatat sebagai petualang-petulang penakluk bangsa bangsa baru itu, Colombus, Marco polo, Alfonso d’alburqueque, dll (walaupun dalam sejarah islam kita telah mengenal Ibn Khaldun yang sudah terlebih dahulu melakukan perjalanan dengna kompas ini sebenarnya)

Dengan ketiga alat tersebut dimulailah sejarah baru kehiduan bangsa-bangsa “baru” yang ditemukan tadi. Mesin Cetak untuk penyebaran gagasan baru, Senjata untuk melakukan penkalukan-penaklukan¸ Kompas untuk melakukan perjalanan-perjalann jauh ke daerah-daerah “baru” itu.
Kemudian ini disebut sebagai zaman Kolonialisme awal, dengan modus “perdaganan” dan mencari bahan-bahan baku untuk Industri di Barat yang mengalami kemajuan pesat setelah terkungkung lebih 4 abad, maka praktek kolonialisme mulai terbangun, dengan kecanggihan (pada waktu itu) yang dimiliki oleh armada-armada Portugis, Inggris, Spanyol, Belanda, dll mereka dengan mudah memikat penduduk lokal daerah-daerah Timur.
Timur ketika Renaisance.
Memang harus kita akui bahwa pada masa-masa terjadinya pendobrakan-pendobrakan di segala bidang akibat kungkungan agama di Barat, justru di dunia timur memulai abad “gelapnya” di tambah dengan kekalahan Islam yang pada waktu itu menjadi Ikon untuk “timur” di Perang Salib , dan mulainya dogmatisasi agama menyebar di kalangan umat Islam, Ibn Rusyd, Alkindi, Ibn Sina, dll dihabisi oleh Al-Ghazali dengan “Kerancuan Filsafatnya” yang kemudian menjadikan Pintu Ijtihad ‘tertutup” sehingga penemuan-penemuan baru baik di bidan lmu-ilmu terapan, maupun non terapan, menjadi mandeg dan tidak berkembang. Negara-negara timur jauh, pada masa-masa renaisance di Barat, pada waktu itu masih tertinggal jauh, bangsa jepang ketika melihat kapal Alfonso d Alburque-que datang langsung tercengang dan terheran-heran, Peradaban Lembah sungai kuning di Cina, Sungai Hindus di India, dan peradaban masyarakat di Indonesia ( dulu Nusantara dengan adanya kerajanan majapahit dan Sriwiajya) sibuk dengna urusan perang-perangan dengan rakyat sendiri, struktur masyarakat Feodal yang saat itu masih kuat bercokol menjadikan raja mempunyai otoritas dalam menentukan sesuatu seperti Tuhan (persis seperti Gereja sebelum Renaisance di barat).
Struktur masyaraakt feodal seperti itu justru memudahkan penakluk-penakluk dari barat menjaklankan tujuannya, aku datang, aku lihat, aku menang benar-benar dengan sukses di wujudkan, hanya dengan memegang Stick Holder masyarakat yang feodal itu (raja) urusan penaklukan sangat gampang sekali.
Strukturasi ini yang terus berlanjut sehingga melahirkan ada bangsa yang terjajah dan yang dijajah .


Kesimpulan

Dari uraian di atas mengenai sejarah Renaissance berikut pengaruh gerakan itu di Eropa, kita dapat menyimpulkan beberapa hal, antara lain :
1. Renaissance timbul sebagai reaksi kritis terhadap pola pemikiran sekaligus dogma religius yang berkembang pada Abad Pertengahan, yang meletakkan otoritas keagamaan (gereja) di atas otoritas rasio humanistik.
2. Renaissance dilandaskan atas dasar humanisme liberal yang menjadi ciri khas bagi corak kesadaran modern. Rasionalisme Cartesian besar pengaruhnya dalam hal ini.
3. Semangat humanisme-liberalisme itu mempengaruhi banyak hal dalam kehidupan bangsa-bangsa Eropa. Dalam hal sains, runtuhnya dominasi dan otoritas gereja memacu secara signifikan perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam kekuasaan politik, runtuhnya dominasai gereja melahirkan bentuk negara nasional yang sekuler. Dari sini paradigma monarki absolut digantikan dengan demokrasi. Demikian pula dalam hal ekonomi, sistem feodalistik digantikan dengan kapitalistik.
4. Penemuan mesin cetak, senjata api, dan kompas menandai renaisance di Barat akan segera menjadi raksasa besar yang akan menaklukkan bangsa-bangsa lain, ide-ide baru yang melahirkan modus produksi baru di barat ikut berimbas ke timur karena timur menjadi sebuah hal yang menarik ketika dilihat dari persfektif kolonialisme.

Itulah beberapa hal penting yang dapat diketahui dan dipelajari dari Renaissance. Lebih lanjut, Renaissance telah memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap perkemabngan Perdanan dan sejarah Manusia, tidak hanya kepada Eropa, melainkan lebih luas kepada seluruh dunia. Liberalisme, modernisme, individualisme, dan banyak lagi yang kita ketahui (bahkan mungkin kita ikuti) adalah apa yang telah dimulai sejak Renaissance. Namun demikian, bukan berarti semua itu sempurna tanpa kritik. Sejarah adalah dialektika; dan kritik adalah salah satu hal terbesar yang menjalankannya.
Memang harus kita akui relasi wacana dengan dominasi kekuasaan sangat erat, kita terkadang dipaksa untuk mengetahui informasi yang mungkin tidak “benar” sebagai contoh, dalam Buku-buku dan rujukan-rujukan baku, kita bisa melihat bagaimana “barat” seolah-olah merekalah yang memulai sejarah peradaban manusia ini, padahal secara obyektif kita juga tidak bisa menafikan sumbangsih dari peradaban Timur terhadap Renaisance.
Terlepas dari konflik masa lalu itu, menurut kami harus ada sikap yang harus kita ambil untuk merespon keadaan rill yang nyata di depan kita saat ini, mengambil keseluruhan pemikiran itu, atau mengambil dengan catatan-catatan, atau bahkan menolak sama sekali, tentu dengan pertimbangan dan analisis yang tajam sehingga menghasilkan informasi yang akurat, sehingga dialog yang diinginkan akan tercapai untuk kemajuan peradaban manusia selanjutnya.
Selebihnya, berkenaan dengan materi pembahasan kali ini, diakui masih terdapat banyak kekurangan di sana-sini. Kekurangan yang kami sadari cukup penting, selain data-data yang mendukung dalam kaitannya dengan Renaissance, juga pemetaan historis terhadap posisi dan peran gerakan Renaissance yang sangat mungkin berkenaan dan memiliki pengaruh besar bagi perkembangan orientalisme atau pun oksidentalisme, yang merupakan bidikan pokok mata kuliah ini. Oleh karenanya, sumbangsih berupa ide, gagasan, data dan tentu saja diskusi yang hangat akan sangat diharapkan demi semakin baik dan luasnya wawasan pengetahuan kita bersama. __



Daftar Rujukan

Russel, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat (terj: Sigit Jatmiko, dkk), Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2002

Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia, Jakarta: 2004
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta:2002

Sinor, Denis (ed). The Cambridge History of Early Inner Asia. Cambridge University Press. Cambridge.1990

Mackie,J.A.C. Sejarah Pembangunan Ekonomi Dalam Dunia Modern. jilid II. Terjemahan Soekardinah CS, Jakarta. PT Pembangunan, 1989

Mazover,Mark. Dark Continent: Europe’s Twentieth Century. Penguin Books. Middlesex.1999.

http://erlanmuliadi.blogspot.co.id/2011/01/renaissance.html

PENILAIAN ACUAN NORMA (PAN) DAN PENILAIAN ACUAN PATOKAN (PAP) PENDAHULUAN

PENILAIAN ACUAN NORMA (PAN) DAN PENILAIAN ACUAN PATOKAN (PAP)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seringkali pengembang intruksional termasuk pengajar menyusun tes setelah proses instruksional berakhir. Ia menyusunnya dalam waktu yang singkat berdasarkan isi pelajaran yang telah diajarkan dan masih segar dalam ingatannya. Keadaan yang seperti itu sangat memungkinkan tidak berfungsinya tujuan intruksional yang telah dirumuskannya. Tes yang disusunnya mungkin konsisten dengan isi pelajaran, tetapi tidak konsisten dengan perilaku yang seharusnya diukur.
Tes yang seharusnya disusun adalah tes yang mengatur tingkat pencapaian mahasiswa terhadap perilaku yang terdapat dalam tujuan intruksional. Tes tersebut mungkin tidak dapat mengukur penguasaan mahasiswa terhadap seluruh uraian pengajar dalam proses intruksional, sebab apa yang diberikan pengajar selama proses tersebut belum tentu seluruhnya relevan dengan tujuan intruksional. Isi pelajaran bukanlah kriteria untuk mengukur keberhasilan proses pelaksanaan intruksional.
Sebagaimana ditunjukkan sebelumnya suatu tes hasil belajar dapat dipakai untuk menyatakan :
Deretan kedudukan mahasiswa yang relatif, atau
Memberikan suatu gambaran tentang tugas-tugas yang dapat atau belum dapat dilakukan oleh mahasiswa.
Hasil tes jenis pertama secara relatif menunjukkan deretan kedudukan setiap mahasiswadi antara mahasiswa lain. Metode menafsirkan hasil tes seperti ini disebut tafsiran yang mengacu kepada sebuah norma.
Hasil tes jenis kedua dinyatakan dengan jenis-jenis pengetahuan dan ketrampilan yang dapat diperlihatkan oleh setiap mahasiswa. Metode penafsiran seperti ini disebut mengacu kepada sebuah patokan.
Untuk mengetahui pencapaian hasil belajar siswa dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menggunakan tes-tes dengan standar-standar tertentu sesuai dengan perkembangannya. Maka dari itu bagi seorang pendidik harus mengetahui bagaimana cara atu teknik-teknik yang baik untuk mengevaluasi anak didiknya, sejauhmana pencapaian siswa dalam menguasai materi yang disampaikan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis sampaikan, maka penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut:
Apakah pengertian dari Penilaian Acuan Norma (PAN) dan Penilaian Acuan Patokan (PAP)
Persamaan dan perbedaanPAN dan PAP
Kekurangan dan kelebihan PAN dan PAP
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Dalam setiap kegiatan tentunya ada tujuan yang hendak dicapai oleh pelakunya, begitu pula dengan penulisan makalah ini penulis hendak mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut:
Mengetahui teknik-teknik yang tepat untuk memberikan pemeriksaan, penskoran dan penilaian.
Mampu membandingkan teknik-teknik yang ada dan menyesuaikannya dengan situasi dan kondisi perkembangan dunia pendidikan.
Mengetahui perbedaan, kelemahan dan kelebihan dari tiap teknik.
Mengetahui langkah-langkah yang harus dilakukan sebelum memperolah dan meberikan nilai.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Penilaian Acuan Norma
Ada beberapa pendapat tentang pengertian Penilaian Acuan Norma, yaitu:
Acuan norma merupakan elemen pilihan yang memeberikan daftar dokumen normatif yang diacu dalam standar sehingga acuan tersebut tidak terpisahkan dalam penerapan standar. Data dokumen normatif yang diacu dalam standar yang sangat diperlukan dalam penerapan standar.
Pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai dilakukan dengan mengacu pada norma atau kelompok. Cara ini dikenal sebagai penilaian acuan norma (PAN).
PAN adalah Nilai sekelompok peserta didik (siswa) dalam suatu proses pembelajaran didasarkan pada tingkat penguasaan di kelompok itu. Artinya pemberian nilai mengacu pada perolehan nilai di kelompok itu.
Penilaian Acuan Norma (PAN) yaitu dengan cara membandingkan nilai seorang siswa dengan nilai kelompoknya. Jadi dalam hal ini prestasi seluruh siswa dalam kelas / kelompok dipakai sebagai dasar penilaian.
Dari beberapa pengertian ini dapat disimpulkan bahwa Penilaian Acuan Norma adalah penilaian yang dilakukan dengan mengacu pada norma kelmpok; nilai-nilai yang diperoleh siswa diperbandingkan dengan nilai-nilai siswa yang lain yang termasuk di dalam kelompok itu.
B. Penilaian Acuan Norma (PAN)
Penilaian acuan norma (PAN) merupakan pendekatan klasik, karena tampilan pencapaian hasil belajar siswa pada suatu tes dibandingkan dengan penampilan siswa lain yang mengikuti tes yang sama. Pengukuran ini digunakan sebagai metode pengukuran yang menggunakan prinsip belajar kompetitif. Menurut prinsip pengukuran norma, tes baku pencapaian diadministrasi dan penampilan baku normative dikalkulasi untuk kelompok-kelompok pengambil tes yang bervariasi. Skor yang dihasilkan siswa dalam tes yang sama dibandingkan dengan hasil populasi atau hasil keseluruhan yang telah dibakukan. Guru kelas kemudian mengikuti asas yang sama, mengukur pencapaian hasil belajar siswa, dengan tepat membandingkan terhadap siswa lain dalam tes yang sama. Seperti evaluasi empiris, guru melakukan pengukuran, mengadministrasi tes, menghitung skor, merangking skor, dari tes yang tertinggi sampai yang terendah, menentukan skor rerata menentukan simpang baku dan variannya .
Berikut ini beberapa ciri dari Penilaian Acuan Normatif :
Penilaian Acuan Normatif digunakan untuk menentukan status setiap peserta didik terhadap kemampuan peserta didik lainnya. Artinya, Penilaian Acuan Normatif digunakan apabila kita ingin mengetahui kemampuan peserta didik di dalam komunitasnya seperti di kelas, sekolah, dan lain sebagainya.
Penilaian Acuan Normatif menggunakan kriteria yang bersifat “relative”. Artinya, selalu berubah-ubah disesuaikan dengan kondisi dan atau kebutuhan pada waktu tersebut.
Nilai hasil dari Penilaian Acuan Normatif tidak mencerminkan tingkat kemampuan dan penguasaan siswa tentang materi pengajaran yang diteskan, tetapi hanya menunjuk kedudukan peserta didik (peringkatnya) dalam komunitasnya (kelompoknya).
Penilaian Acuan Normatif memiliki kecendrungan untuk menggunakan rentangan tingkat penguasaan seseorang terhadap kelompoknya, mulai dari yang sangat istimewa sampai dengan yang mengalami kesulitan yang serius.
Penilaian Acuan Normatif memberikan skor yang menggambarkan penguasaan kelompok.
C. Penilaian Acuan Patokan (PAP)
Penilaian acuan patokan (PAP) biasanya disebut juga criterion evaluation merupakan pengukuran yang menggunakan acuan yang berbeda. Dalam pengukuran ini siswa dikomperasikan dengan kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam tujuan instruksional, bukan dengan penampilan siswa yang lain. Keberhasilan dalam prosedur acuan patokan tegantung pada penguasaaan materi atas kriteria yang telah dijabarkan dalam item-item pertanyaan guna mendukung tujuan instruksional .
Dengan PAP setiap individu dapat diketahui apa yang telah dan belum dikuasainya. Bimbingan individual untuk meningkatkan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran dapat dirancang, demikian pula untuk memantapkan apa yang telah dikuasainya dapat dikembangkan. Guru dan setiap peserta didik (siswa) mendapat manfaat dari adanya PAP.
Melalui PAP berkembang upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan melaksanakan tes awal (pre test) dan tes akhir (post test). Perbedaan hasil tes akhir dengan test awal merupakan petunjuk tentang kualitas proses pembelajaran.
Pembelajaran yang menuntut pencapaian kompetensi tertentu sebagaimana diharapkan dan termuat pada kurikulum saat ini, PAP merupakan cara pandang yang harus diterapkan.
PAP juga dapat digunakan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya kurang terkontrolnya penguasaan materi, terdapat siswa yang diuntungkan atau dirugikan, dan tidak dipenuhinya nilai-nilai kelompok berdistribusi normal. PAP ini menggunakan prinsip belajar tuntas (mastery learning).
D. Persamaan dan Perbedaan Penilaian Acuan Norma (PAN) dan Penilaian Acuan Patokan (PAP)
Penilaian Acuan Norma dan Penilaian Acuan Patokan mempunyai beberapa persamaan sebagai berikut:
Penilaian acuan norma dan acuan patokan memerlukan adanya tujuan evaluasi spesifik sebagai penentuan fokus item yang diperlukan. Tujuan tersebut termasuk tujuan intruksional umum dan tujuan intruksional khusus
Kedua pengukuran memerlukan sample yang relevan, digunakan sebagai subjek yang hendak dijadikan sasaran evaluasi. Sample yang diukur mempresentasikan populasi siwa yang hendak menjadi target akhir pengambilan keputusan.
Untuk mandapatkan informasi yang diinginkan tenyang siswa, kedua pengukuran sama-sama nenerlukan item-item yang disusun dalam satu tes dengan menggunakan aturan dasar penulisan instrument.
Keduanya mempersyaratkan perumusan secara spesifik perilaku yang akan diukur.
Keduanya menggunakan macam tes yang sama seperti tes subjektif, tes karangan, tes penampilan atau keterampilan.
Keduanya dinilai kualitasnya dari segi validitas dan reliabilitasnya.
Keduanya digunakan ke dalam pendidikan walaupun untuk maksud yang berbeda.
Perbedaan kedua penilaian adalah sebagai berikut:
Penilaian acuan norma biasanya mengukur sejumlah besar perilaku khusus dengan sedikit butir tes untuk setiap perilaku. Penilaian acuan patokan biasanya mengukur perilaku khusus dalam jumlah yang terbatas dengan banyak butir tes untuk setiap perilaku.
Penilaian acuan norma menekankan perbedaan di antara peserta tes dari segi tingkat pencapaian belajar secara relatif. Penilaian acuan patokan menekankan penjelasan tentang apa perilaku yang dapat dan yang tidak dapat dilakukan oleh setiap peserta tes.
Penilaian acuan norma lebih mementingkan butir-butir tes yang mempunyai tingkat kesulitan sedang dan biasanya membuang tes yang terlalu mudah dan terlalu sulit. Penilaian acuan patokan mementingkan butir-butir tes yang relevan dengan perilaku yang akan diukur tanpa perduli dengan tingkat kesulitannya.
Penilaian acuan norma digunakan terutama untuk survey. Penilaian acuan patokan digunakan terutama untuk penguasaan.
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian-uraian singkat yang telah penulis sampaikan, maka penulis dapat memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Penilaian acuan patokan adalah penilaian yang mengacu kepada tujuan instruksional atau untuk mengukur tingkat penguasaan peserta didik terhadap perilaku yang terdapat dalam tujuan instruksional khusus tersebut. Penilaian acuan norma adalah penilaian yang mengacu kepada norma untuk menentukan kedudukan atau posisi seorang peserta didik di antara kelompoknya.
Persamaan penilaian acuan norma dan acuan patokan antara lain adalah keduanya mempersyaratkan perumusan secara spesifik perilaku yang diukur, disusun dari sampel butir-butir tes yang relevan dan representatif, keduanya dinilai kualitasnya dari segi validitas dan reliabilitas dan digunakan ke dalam pendidikan walaupun untuk maksud yang berbeda.
Adapun perbedaan dari kedua penilaian tersebut antara lain:
a)      Penilaian acuan norma biasanya mengukur sejumlah besar perilaku khusus dengan sedikit butir tes untuk setiap perilaku. Penilaian acuan patokan biasanya mengukur perilaku khusus dalam jumlah yang terbatas dengan banyak butir tes untuk setiap perilaku.
b)      Penilaian acuan norma menekankan perbedaan di antara peserta tes dari segi tingkat pencapaian belajar secara relatif. Penilaian acuan patokan menekankan penjelasan tentang apa perilaku yang dapat dan yang tidak dapat dilakukan oleh setiap peserta tes.
c)      Penilaian acuan norma lebih mementingkan butir-butir tes yang mempunyai tingkat kesulitan sedang dan biasanya membuang tes yang terlalu mudah dan terlalu sulit. Penilaian acuan patokan mementingkan butir-butir tes yang relevan dengan perilaku yang akan diukur tanpa perduli dengan tingkat kesulitannya.
d)      Penilaian acuan norma digunakan terutama untuk survey. Penilaian acuan patokan digunakan terutama untuk penguasaan.
B. Saran
Dalam hal ini penulis mencoba memberikan saran dari uraian di atas :
Pendidik sebaiknya mengetahui berbagai macam teknik dalam pengolahan dan pengonversian hasil evaluasi dengan memanfaatkan metode penilaian acuan norma dan acuan patokan.
Pendidik mampu menangani peserta didiknya dalam proses pembelajaran
DAFTAR PUSTAKA
Sukardi. E, dan Maramis. W. F. Penilaian Keberhasilan Belajar,Jakarta: Erlangga:University Press,1986.
Bistok Sirait. Menyusun Tes Hasil Belajar. Semarang Press, 1985.
Atwi Suparman, Desain Instruksional, Jakarta: PAU ,1997.
http://nandangfkip.blogspot.com/2008/07/penilaian-pan-dan-pap_2459.html

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM

DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

Oleh: Jaenullah



Pendahuluan
Menurut Nourouzzaman Shiddiqie dalam Samsul Munir Amin, mengatakan bahwa sejarah berjalan dari masa lalu, ke masa kini, dan melanjutkan perjalanannya ke masa depan. Dalam perjalanan sesuatu unit sejarah selalu mengalami pasang naik dan pasang surut dalam interval yang berbeda-beda. Di samping itu, mempelajari sejarah yang sudah berjalan cukup panjang akan mengalami kesulitan-kesulitan jika dibagi ke dalam beberapa babakan di mana setiap babakan merupakan satu komponen yang mempunyai ciri-ciri khusus dan merupakan satu kebulatan untuk satu jangka waktu. Rangkaian inilah yang dinamakan periodesasi sejarah[1]

            Sejarah mencatat kondisi kebesaran Islam berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, di mana pada waktu itu dunia Islam menjadi kiblat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia.[2] Sejarah merupakan catatan peristiwa yang terjadi di masa lampau. Dengan belajar sejarah, dalam hal ini sejarah kebudayaan atau peradaban Islam berarti mengenal kembali segala peristiwa yang terjadi dan dialami umat Islam baik berupa perkembangan, kemajuan maupun kemundurannya. Kajiannya berarti menyangkut peristiwa-peristiwa dan kejadian yang terjadi pada masa lalu (everything in the past), baik menyangkut dimensi sosial, politik, pemerintah, ekonomi, seni budaya maupun agama.[3]

Sejak awal perkembangannya, Islam tumbuh dalam pergumulan dengan pemikiran dan peradaban umat manusia yang dilewatinya dan karena terlibat dalam proses dialektika yang di dalamnya terjadi pengambilan dan pemberian. Dari kebudayaan Arab, Islam telah mengambil dan lebih tepatnya dikatakan memelihara dan mengembangkan beberapa hal seperti sistem moral, tata pergaulan dan hukum keluarga, serta sistem politik pun diambil dari kebudayaan Arab. Sebaliknya, Islam memberikan kemungkinan bagi sastra Arab untuk berkembang mengatasi perkembangannya pada masa sebelumnya Al-Qur’an dan al-Sunnah memberikan perubahan yang nyata bagi bangsa Arab dan bangsa-bangsa yang memeluk Islam pandangan dunia, tujuan hidup, peribadatan dan sebagainya yang kemudian merupakan bagian utama dari pemikiran dan peradaban Islam. Itu semua didukung oleh kreativitas umat Islam sendiri yang memang diberi ruang yang luas untuk bergerak[4]

Dengan demikian dalam perspektif sejarah, perkembangan pemikiran dan peradaban Islam mulai pada zaman Nabi Muhammad Saw dan Para Sahabat, terkhusus pada zaman Khalifah empat atau yang lebih terkenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin, Islam berkembang dengan pesat di mana hampir 2/3 bumi yang kita huni ini hampir dipegang dan dikendalikan oleh Islam. Perkembangan Islam pada zaman inilah merupakan titik tolak perubahan peradaban ke arah yang lebih maju. Dinamika Islam tetap eksis dalam bentangan sejarah peradaban manusia. Secara garis besarnya, sejarah pemikiran dan peradaban Islam dapat dibagi ke dalam tiga periode besar, yaitu periode klasik (650-1250), periode pertengahan (1250-1800), dan periode modern (1800-sekarang). Periodisasi ini mendeskripsikan perjalanan panjang dialektika intelektual muslim, yang memberikan interpretasi wahyu dalam konteks ruang dan waktu. Hasil tradisi intelektual dan epistemologi menjadi alur peradaban Islam sepanjang sejarah.

Menyadari hal di atas, bidang kajian pemikiran dan peradaban Islam dalam perspektif sejarah merupakan suatu bidang kajian yang menarik untuk dipelajari. Untuk itu sebagai kerangka awal dalam makalah ini dicoba dibahas tentang pengertian perkembangan pemikiran dan peradaban Islam dalam perspektif sejarah, perkembangan pemikiran Islam dalam perspektif sejarah, dan perkembangan peradaban Islam dalam perspektif sejarah.

Pembahasan
Pengertian Perkembangan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “perkembangan” adalah perihal berkembang. Selanjutnya, kata “berkembang” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ini berarti mekar terbuka; terbentang; menjadi besar, luas, menjadi banyak, memuai, serta menjadi bertambah sempurna dalam hal kepribadian, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya.[5] Dengan demikian, kata “berkembang” tidak saja meliputi aspek yang berarti abstrak seperti pikiran dan pengetahuan, tetapi juga meliputi aspek yang bersifat konkret (perhatikan kata-kata yang dicetak miring di atas).

Dalam Dictionary of Psychology (1972) dan The Penguin Dictionary of Psychology (1988), arti perkembangan pada prinsipnya adalah tahapan-tahapan perubahan yang progresif yang terjadi dalam rentang kehidupan manusia dan organisme lainnya, tanpa membedakan aspek-aspek yang terdapat dalam diri organisme-organisme tersebut. Perkembangan mengandung makna adanya pemunculan sifat-sifat yang baru, yang berbeda dari sebelumnya, mengandung arti bahwa perkembangan merupakan peubahan sifat indiviu menuju kesempurnaan yang merupakan penyempurnaan dari sifat-sifat sebelumnya.[6]

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perekembangan adalah proses atau tahapan pertumbuhan ke arah yang lebih maju baik meliputi kepribadian, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya.

Pengertian Pemikiran Islam
Secara etimologi pemikiran dari kata dasar “pikir” yang berarti proses, cara, atau perbuatan memikir, yaitu menggunakan akal budi untuk memutuskan suatu persoalan dengan mempertimbangkan segala sesuatu secara bijaksana. Pemikiran juga bisa diartikan sebagai upaya cerdas dan proses kerja akal dan kalbu untuk melihat fenomena dan berusaha mencari penyelesaiannya secara bijaksana[7]

Pendapat lain pemikiran berasal dari bahasa Melayu asal dari kata “fikir”. Ditambah dengan imbuhan pe dan an serta ditukar huruf kepada m sehingga menjadi ‘pemikiran’. Kata perbuatannya adalah berfikir (thinking). Bahasa Inggrisnya pula ialah think (thougt). Perkataan berfikir kini digunakan secara meluas. Dasar perkataan fikir berasal dari perkataan Arab ‘fakkara’, ‘yufakkiru’, ‘tafkiran’.  Sebahagian ahli bahasa mengatakannya daripada wazan ‘dharaba’ yaitu ‘fakara’, ‘fakiru’, ‘fakran’ atau ‘fikran’. Jelasnya perkataan fikir berasal daripada perkataan ‘al-fikr’. Dalam al-Quran, perkataan fikir tidak disebut dalam bentuk kata nama. Tegasnya dalam al-Quran, perkataan fikir disebut dalam bentuk fi’il madhi (perbuatan yang telah lepas) dan mudhari’ (perbuatan yang sedang dilakukan), sighah mukhatab dan ghaib (kata ganti diri kedua dan ketiga). Misalnya fakkara dan tatafakkarun.[8]

Dengan demikian kata pemikiran berasal dari bahasa Melayu yaitu, kata “Fikir” kemudian menjadi “berfikir” dan akhirnya menjadi “pemikiran”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “pikir”artinya akal budi; ingatan; angan-angan, sedangkan pemikiran adalah cara atau hasil berpikir.[9] Sementara itu, menurut M. Abdul Karim kata “pikir” berasal dari Bahasa Arab “fakkara” yakni amal ‘aqla fiihi, wa rattaba ba’dha ma ya’lamu, liyahshila ila al-majhul artinya mempergunakan daya akal terhadap sesuatu, mengatur sebagian yang sudah diketahui.[10] Lebih lanjut M. Abdul Karim mengatakan bahwa pemikiran dalam pengertian yang tersebar di kalangan ilmuwan atau cendikiawan dibagi dua golongan besar. Pertama, pemikiran secara eksoteris, yaitu pemikiran yang diarahkan ke dunia luar (diluar dirinya) atau istilah falsafi pemikiran dari mikrokosmos ke arah makrokosmos secara mendalam, bebas, dan teliti tanpa terikat pada ajaran-ajaran ataupun dogma dengan tujuan untuk memperoleh keyakinan yang nyata-nyata tentang obyek yang menjadi pemikiran. Kedua, pemikiran secara esoteris, yaitu pemikiran yang ditujukan ke arah bagian terdalam dalam dirinya. Dalam istilah falsafi dikenal sebutan pemikiran dari mikrokosmos terhadap esensi dirinya.[11]

Sedangkan kata Islam secara etimologi berasal dari bahasa Arab, didefinisikan dari “salima” yang berarti selamat dari bahaya atau aslama yang berarti yang lebih selamat, aman. Adapun Islam dalam bentuk noun atau kata benda berarti ketundukan, kepatuhan, agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw.[12]

Dari kata “aslama” tersebut yang berarti “memelihara dalam keadaan yang selamat sentosa”. Dan juga berarti “menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat”. Kata aslama itulah yang menjadi kata pokok dalam “Islam”. Mengandung segala arti yang ada dalam arti pokoknya. Sesungguhnya Islam itu adalah agama sepanjang sejarah kehidupan manusia, agama yang diseru oleh Nabi dan Rasul yang pernah di utus oleh Allah Swt kepada bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok manusia.[13]

Dr. Muhammad Husain Abdullah dalam kitab Dirasât fil fikri al Islami mendefinisikan pemikiran Islam sebagai berikut: Pemikiran Islam adalah upaya menilai fakta dari sudut pandang Islam. Dengan demikian, pemikiran Islam mengandung tiga hal, yakni fakta (al-waqi’), hukum (justifikasi); dan keterkaitan fakta dengan hukum. [14]

Sementara itu, menurut M. Abdul Karim, pemikiran Islam ialah kegiatan manusia dalam mencari hubungan sebab akibat ataupun asal mula dari suatu materi ataupun esensi serta renungan terhadap suatu wujud, baik materinya maupun esensinya, sehingga dapat diungkapkan hubungan sebab dan akibat dari suatu materi ataupun esensi, asal mula kejadiannya serta substansi dari wujud atau eksistensi sesuatu yang menjadi objek pemikiran. Dan apabila dikaitkan dengan Islam, maka berarti bahwa kegiatan pemikiran tersbut dituntun oleh bimbingan diyakini datangnya dari Maha Pencipta kepada Nabi Muhammad Saw berupa bimbingan naluri, bimbingan inderawi, bimbingan akal, dan bimbingan agama yang tergabung dlam ajaran, kelembagaan, pranata sosial, dan ritual.[15]

Lebih lanjut M. Abdul Karim, mengatakan selama pemikiran yang diupayakan setiap pemikir muslim, dalam bidang apa pun (theologi, ibadah, politik, etika, filsafat, mistik, ekonomi, dll), berada dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Sunnah Nabi, maka pemikiran tersebut dapat disebut pemikiran Islam.[16]

Dengan demikian pemikiran Islam adalah pemikiran yang berjiwa Islam, yakni pemikiran yang berlandaskan al-Quran dan al-Hadis. Al-Quran merupakan kitab suci umat Islam yang diturunkan melalui wahyu Allah kepada Nabi Muhammad Saw, sedangkan Hadis adalah sabda, perbuatan, dan ketetapan (takrir) Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh sahabat untuk menjelaskan dan menentukan hukum Islam.

Pengertian Peradaban Islam
Peradaban ialah suatu aktivitas lahir yang biasanya dipakai untuk menyebutkan bagian atau unsur-unsur kebudayaan yang bersifat halus, maju dan indah seperti kesenian, ilmu pengetahuan, sopan-santun, dsb. Istilah peradaban juga dipergunakan untuk menyebutkan suatu kebudayaan yang memiliki sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, dsb. Saat ini pengertian yang umum dipakai adalah peradaban merupakan bagian dari kebudayaan yang bertujuan memudahkan dan mensejahterakan hidup.[17]

Secara harfiah peradaban Islam itu terjemahan dari bahasa Arab al-khadlarah al-Islamiyah, atau al-madaniyah al Islamiyah[18] atau al-tsaqofah al Islamiyah, yang sering juga diterjemahkan dengan kebudayaan Islam. Dalam bahasa Inggris ini disebut culture, adapula yang menyebutnya civilization. Di Indonesia, Arab dan Barat masih banyak yang mensinonimkan antara peradaban dengan kebudayaan.

Di sisi yang lain, akar kata madana lahir kata benda tamaddun yang secara literal berarti peradaban (civilization) yang berarti juga kota berlandaskan kebudayaan (city base culture) atau kebudayaan kota (cultural of the city). Di kalangan penulis Arab, sendiri. Perkataan tamaddun digunakan-kalau tidak salah-untuk pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku Tarikh al-Tamaddun al-Islami (Sejarah Peradaban Islam), terbit tahun 1902-1906. Sejak itu perkataan tamaddun digunakan secara luas dikalangan umat Islam.[19]

Di Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang yang mensinonimkan dua kata “kebudayaan” dan “peradaban”. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan manifestasi-manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi dan moral, maka peradaban terrefleksi dalam politik, ekonomi, dan teknologi.[20] Kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Dengan demikian kebudayaan Islam kebudayaan masyarakat yang menganut agama Islam. Menurut Koentjaraningrat dalam Badri Yatim, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud.

Wujud Ideal, yaitu wujud kebudayaan  sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan dan lain-lain.
Wujud Kelakuan, yaitu wujud  kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
Wujud Benda, yaitu wujud kebudayaan  sebagai benda-benda hasil karya. Sedangkan istilah peradaban biasanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur darikebudayaan yang halus dan indah.[21]
Dalam definisi peradaban yang di maksud disini yakni Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw yang telah membawa bangsa Arab yang semula terbelakang, bodoh, tidak terkenal, dan diabaikan oleh bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa yang maju, dan cepat mengembangkan dunia, membina satu kebudayaan dan peradaban yang sangat penting artinya dalam sejarah manusia hingga sekarang.

Dengan demikian landasan peradaban Islam adalah kebudayaan Islam terutama wujud idealnya, sementara landasan kebudayaan Islam adalah agama. Jadi Islam, tidak seperti masyarakat yang menganut agama bumi (non samawi). Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia, maka agama Islam adalah wahyu dari Tuhan.[22]

Sejalan dengan pemikiran di atas, Al-Razi menekankan bahwa peradaban Islam adalah sejauh mana membina hubungan sosial, dan dalam hal ini sikap terbaik adalah menjaga kehormatan diri dan menuruti sunnah nabi. Persahabatan sesama manusia harus dibina berdasarkan kepentingan Allah sehingga peradaban Islam merupakan bagian dari kebudayaan yang memudahkan dan menyejahterakan hidup manusia di dunia dan akhirat.[23]

Dengan merujuk pada narasi di atas, maka dapat dikonsepsikan bahwa peradaban Islam adalah gambaran produk aktivitas kehidupan umat Islam pada masa lampau yang benar-benar terjadi dalam aspek politik, ekonomi, dan teknologi yang bersumberkan pada nilai-nilai ajaran Islam.

Pengertian Perspektif
            Kata perspektif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: (1) cara melukiskan suatu benda pada permukaan yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi. (2) pandangan, sudut pandang.[24]

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perspektif adalah cara melukiskan benda pada permukaan datar sebagaimana yang terlihat, dan sudut pandangan atau dengan kata lain perspektif adalah memandang sesuatu hal berdasarkan cara-cara tertentu, dan cara-cara tersebut berhubungan dengan asumsi dasar yang menjadi dasarinya, unsur-unsur pembentuknya dan ruang lingkup apa yang dipandangnya.

Pengertian Sejarah
Kata sejarah dalam bahasa Arab disebut tarikh dan sirah atau dalam bahasa Inggris disebut history. Dari segi bahasa al-tarikh berarti ketentuan atau waktu, sedang ilmu tarikh, yaitu ilmu yang membahas penyebutan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian, masa atau tempat terjadinya peristiwa dan sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut.[25] Sedangkan secara istilah al-Tarikh berarti sejumlah keadaan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau dan benar-benar terjadi pada diri individu atau masyarakat sebagaimana benar-benar terjadi pada kenyataan-kenyataan alam dan manusia.[26]

Dengan demikian dari sisi epistimologis sejarah yang dalam bahasa arabnya disebut tarikh, mengandung arti ketentuan masa atau waktu. Ada pula sebagian orang yang mengajukan pendapat bahwa sejarah sepadan dengan kata syajarah yang berarti pohon (kehidupan), riwayat, atau kisah, tarikh, ataupun history dalam bahasa Inggris. Dengan demikian sejarah berarti gambaran masa lalu tentang aktivitas kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang disusun berdasarkan fakta dan interpretasi terhadap obyek peristiwa masa lampau , yang kemudian itu disebut sejarah kebudayaan.[27]

Sedangkan secara terminologi sejarah diartikan sebagai sejumlah keadaan dan peristiwa yang terjadi dimasa lampau dan yang benar-benar terjadi pada individu dan masyarakat. Adapun inti pokok dari persoalan sejarah pada dasarnya selalu berhubungan dengan pengalaman-pengalaman penting yang menyangkut perkembangan keseluruhan keadaan masyarakat. Untuk itu sejarah bukanlah peristiwa-peristiwa itu sendiri melainkan tafsiran-tafsiran dari peristiwa, dan pengertian mengenai hubungan-hubungan nyata dan tidak nyata yang menjadi seluruh bagian serta memberikan dinamisme dalam waktu dan tempat tertentu.[28]

Dalam pengertian lain, sejarah adalah catatan berbagai peristiwa yang terjadi pada masa lampau (events in the past).[29] Dalam pengertian lain yang lebih seksama sejarah adalah kisah dan peristiwa masa lampau umat manusia.[30]

Beberapa definisi sejarah yang dikemukakan di atas lebih melihat bangunan sejarah dalam sisi luarnya, yakni bahwa sejarah dalam sisi luarnya tidak lebih dari rekaman peristiwa rekaman peristiwa ata kejadian masa lampau pada diri individu dan masyarakat, baik dalam aspek politik, sosial, ekonomi, maupun budaya dan agama, dan sebagainya. Menurut Ibnu Khaldun (1332-1406) bahwa dalam melihat bangunan sejarah tidak hanya dari sisi luarnya tetapi yang lebih penting lagi adalah sisi dalamnya. Bila ditilik dari sisi dalamnya, maka sejarah adalah suatu penalaran kritis dan usaha yang cermat untuk mencari kebenaran; suatu penjelasan yang cerdas tentang sebab-sebab dan asal usul segala sesuatu; sesuatu pengetahuan yang mendalam tentang bagaimana dan mengapa peristiwa-peristiwa itu terjadi, oleh karena itu sejarah berakar dalam filsafat, dan ia pantas dipandang menjadi bagian dari filsafat itu.[31]

Berdasarkan uraian teori di atas, dapatlah disimpulkan bahwa sejarah merupakan catatan dari berbagai peristiwa yang terjadi di masa lampau. Sejarah mencakup perjalanan hidup manusia dalam mengisi perkembangan dunia dari masa ke masa.

Hubungan Pemikiran dan Peradaban Islam
Baik pemikiran Islam maupun peradaban Islam berlandaskan pada al-Qur’an dan al-Hadits. Keduanya pada awalnya tumbuh dan berkembang pada masa dan tempat yang sama. Pemikiran dan ajaran-ajaran Islam pada periode awal adalah pemikiran Islam murni, pemikiran yang bersumber dari wahyu dan sabda Rasulullah SAW, pemikiran yang mencoba untuk memberikan pencerahan pada pemikiran dan peradaban Jahilliyah. Peradaban Islam tumbuh bersamaan dengan kenabian Muhammad, berada dalam kelompok yang terbatas kerabat, keluarga, dan pengikut Muhammad Saw.

Pemikiran yang tumbuh dalam kelompok Islam awal adalah common-sense yang dipandu oleh wahyu Illahi dan sunah nabi. Konsep pemikiran awal yang tumbuh adalah pelurusan kembali theologi tauhid yang telah disimpangkan oleh keturunan Ibrahim AS/Ismail AS sehingga menjadi bias dengan menyembah barhala. Pemikiran berikutnya adalah pemikiran tentang keadilan dan persamaan dalam Islam. Pemikiran Islam tentang derajat yang sama di mata Tuhan dan perlunya keadilan terhadap sesama manusia telah menumbuhkan peradaban baru yang anti perbudakan dan penghargaan terhadap perempuan. Islam melalui pemikiran telah melakukan antitesis terhadap peradaban sebelumnya, yakni peradaban jahilliyah, dengan mereposisi budak dan perempuan dalam tatanan sosial baru.

Hubungan pemikiran dan peradaban Islam juga ditandai dengan transfer pemikiran Islam ke dalam peradaban lain, sehingga terjadi proses asimilasi dan akulturasi budaya (peradaban). Nilai-nilai Islam seperti sistem kekuasaan yang adil dan demokratis menjadi diskursus dalam sistem pemerintahan di Arab pada masa Awal pertumbuhan Islam. Di dalam struktur klan/kabilah terdapat suku-suku atau qaum terdapat pemimpin yang harus/mutlak dipatuhi. Pemimpin kaum memiliki hak yang besar. Suku Quraisy mengembangkan sistem pemerintahan oligarki atau suatu pemerintahan oleh kelompok tententu yang terdiri dari beberapa orang saja. Pemikiran Islam tidak mengubah sistem sosial yang sudah berlaku, tetapi memberikan nilai keislaman ke dalam sistem yang telah mapan.

Pemikiran memproduksi diskursus (wacana), yang dipahami sebagai penjelasan, pendefinisian, pengklasifikasian, dan pemikiran tentang orang, pengetahuan, dan sistem-sistem abstrak pengetahuan. Diskursus dapat melahirkan peradaban, sebab diskursus datang dari orang yang memiliki kekuasaan dan memiliki pemikiran kreatif.

Perkembangan Pemikiran Islam dalam Perspektif Sejarah
Periode Perkembangan Pemikiran Islam
Pada zaman Nabi Muhammad saw, pemikiran Islam masih murni karena mendasar pada Rasulullah saw. Pada periode ini tidak ada perselisihan pendapat dalam dasar-dasar ataupun kaidah-kaidah teologis. Pemikiran ini kemudian disebarkan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya. Pemikiran pada fase ini masih murni, hal ini dikarenakan pemikiran Islam tersebut hanya bersumber pada al-Qur’an dan Rasulullah, pemikiran Islam fase ini disandarkan pada kemurnian akhlak Rasulullah dan utamanya wahyu. Jadi tidak ada pertentangan, karena di setiap persoalan langsung diajukan atau diserahkan kepada Rasulullah Saw. Sehingga Nabi Muhammad Saw menjadi sentral ilmu pengetahuan.

Setelah Nabi Muhammad saw wafat, periode ini perkembangan pemikiran Teologi dalam Islam dapat dibagi dalam 4 periode: (1) Khulafa al-Rasyidin sebelum Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan juga belum terjadi perbedaan pendapat dalam teologi Islam, hal ini disebabkan oleh praktek teologi Islam langsung didasarkan pada al-Qur’an dan Hadis tanpa pentakwilan atas nash-nashnya. (2) Khalifah ‘Utsman terjadi perpecahan politik dalam tubuh umat Islam, sehingga berdampak pada penafsiran A-Qur’an dan Hadits menurut selera masing-masing golongan, bahkan sebagian melakukan pemalsuan terhadap Hadits untuk mendukung keberadaan dan kebenaran kelompok tertentu. (3) Bani Umayah perluasan wilayah Islam membawa konsekwensi penyerapan tradisi-tradisi non-Islam dalam budaya dan peradaban Islam. Berbagai aliran yang muncul pada masa akhir Khulafa al-Rasyidin semakin memuncak. Pada masa ini segolongan umat Islam telah berbeda pendapat tentang qadar dan istiÅ£a‘ah. Aliran-aliran yang muncul dalam periode ini antara lain: Qadariyah, Jabariah, Khawarij, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan Mu’tazilah. (4) Bani ‘Abbas terjadi usaha-usaha ilmiah yang antara lain adalah penterjemahan filsafat Yunani kedalam bahasa Arab.

            Dari peta perkembangan, pemikiran Islam lahir di antara dua kebudayaan yang mengembangkan dua pola pemikiran berbeda, yaitu Yunani dan Persia, karena Islam turun dari Hijaz, yang secara geografis terletak diantara kedua kebudayaan tersebut. Kedua kebudayaan tersebut memberikan corak baru bagi pemikiran Islam. Pemikiran Islam menghimpun atau menggabungkan dua pola pemikiran (Yunani dan Persia) menjadi satu kesatuan. Dalam prakteknya Nabi Muhammad Saw menyebarkan agama Islam, dihadapkan pada dua sikap dari kedua umat yang berbeda arah pemikirannya. Di satu pihak berhadapan dengan pemikiran yang dikembangkan oelah orang Yahudi, yang memiliki kecenderungan pola pemikiran rasional, dan dipihak lain berhadapan dengan pemikiran orang Kristiani, yang arah pemikirannya lebih banyak pada pola pemikiran kontemplatif. [32]

            Secara historis, perkembangan pemikiran Islam dapat diklasifikasikan secara detail dan dijelaskan bahwa segera setelah wafatnya Nabi Muhammad, kebutuhan mendesak yang dirasakan adalah bagaimana memelihara dan menyebarluaskan naskah al-Qur’an yang mendapatkan prioritas utama dari Nabi Muhammad sendiri selama hayatnya. Perkembangan Islam ke negara-negara selain Arab yang memiliki peradaban dan budaya sendiri, menyebabkan bangsa Arab menghadapi tantangan-tantangan baru dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip ajaran agama mereka terhadap persoalan-persoalan hidup sehari-hari. Hal ini mendorong perkembangan ilmu fikih (hukum) yang paling penting pada saat itu. Ilmu ini memerlukan ilmu pengetahuan tentang al-Quran dan Sunnah dan juga memerlukan intelejensi untuk memberikan suatu ketetapan hukum berdasarkan ajaran-ajaran pokok dan jiwa Islam. Dalam kenyataannya, semenjak dahulu umat Islam sendiri menyadari betapa pentingnya fikih tersebut dalam semua hal yang berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari.

Harun Nasution menyimpulkan bahwa periode perkembangan pemikiran Islam dalam sejarah bisa dikelompokkan ke dalam tiga masa, yaitu; 1) masa klasik, antara tahun 650-1250 M, 2) masa pertengahan, antara tahun 1250-1800 M, 3) masa modern, sejak tahun 1800 M sampai sekarang.[33]

Pemikiran Islam Pada Masa Periode Klasik (650-1250 M)
Di zaman inilah daerah Islam meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan melalui Persia sampai ke India di Timur. Daerah-daerah itu tunduk kepada kekuasaan Khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di Damaskus dan terakhir di Baghdad.

Periode klasik ini dimulai dengan periode peletakan pondasi peradaban oleh Nabi Muhammad saw yang kemudian diteruskan oleh khulafaur rasyidin dan dikembangkan era daulah (dinasti) Bani Umayyah. Dalam mendeskripsikan sejarah penyebaran Islam periode khilafah awal, maka analisis weberian dianggap cukup relevan. Max Weber menekankan bahwa faktor ide atau gagasan atau pemikiran merupakan faktor yang sangat menentukan adanya perubahan sosial.[34]      Dalam konteks ini, ide-ide yang terkandung dalam al-Qur’an mempengaruhi struktur sosial kemasyarakatan dan membentuk struktur baru. Kehadiran Nabi Muhammad dengan nilai-nilai baru telah mempengaruhi struktur sosial masa itu hingga dewasa ini. Bahkan, tatanan dunia secara keseluruhan tidak dapat dilepaskan dari gagasan-gagasan yang terinspirasi dari al-Qur’an yang dibawa Nabi. Ide-ide atau gagasan pemikiran itu tentunya baru terlihat memiliki arti sosial jika sudah diwujudkan dalam berbagai pergumulan dan perubahan budaya. Dari proses inilah, kemudian peradaban Islam muncul sebagai peradaban baru dalam kancah dunia internasional. Kehadiran Nabi membawa perubahan dalam tatanan sosial masyarakat Arab. Ide dan gagasan Nabi yang tersurat dalam al-Qur’an menjadi inspirasi untuk menuju tatanan kehidupan yang lebih mapan dan beradab. Pengaruh nilai dan moralitas al-Qur’an yang dibawa Nabi termanifestasi dalam sejarah dan peradaban Islam. Sejak mendapatkan wahyu langit dalam ‘uzlah (pengasingan) di gua Hira’ tahun 610 M., Muhammad mulai berbicara atas nama Allah swt. dan memproklamirkan Islam sebagai agama Tauhid untuk kemaslahatan umat manusia dan rahmat bagi alam semesta. Sejak inilah Nabi mulai membentuk sebuah komunitas masyarakat keagamaan dalam ikatan semangat tauhid. Muhammad mulai mendapatkan perlawanan dan tantangan keras dari masyarakat paganisme di Mekkah dan dianggapnya sebagai orang yang terserang penyakit syaraf, gila dan sebagainya. Muhammad dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah suku Quraisy Mekkah, tetapi reformasi teologi, reformasi kultural, dan reformasi sosial yang dibawanya berdasarkan wahyu Allah, dianggap memiliki peran penting dalam membangun tatanan sosial-politik dan tradisi kaum Quraisy.[35]

Komunitas tauhid yang dibangun awalnya hanya terdiri dari segelintir orang yang kemudian disebut dengan generasi muslim awal (al-sabiqun a;-awwalun). Generasi muslim awal ini didominasi oleh kalangan muda. Hal ini secara historis-empiris menunjukkan bahwa ajaran yang dibawa Nabi bersifat reformatif dan counter terhadap tradisi yang stagnan sehingga diikuti oleh kalangan muda. Dalam paradigma sejarah peradaban dan politik, kalangan muda sering diartikan sebagai representasi kalangan kritis, dinamis, dan anti status quo.     Selain itu, hijrah Nabi dan umat Islam yang masih berjumlah sedikit dari Mekkah ke Madinah juga memberikan kontribusi penting dalam proses pembentukan peradaban. Hijrah berdampak positif bagi perkembangan kegiatan intelektual umat Islam. Mereka lebih leluasa untuk mengembangkan pengetahuannya sebagaimana yang memang ditekankan oleh Nabi dalam berbagai hadisnya. Ekspansi yang dilakukan oleh pemegang estafet pemerintahan selanjutnya Khulafa’ Al-Rasyidin, Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah secara garis besar memiliki peranan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Menurut Ibnu Khaldun, pertumbuhan dan perkembangan ilmu yang amat terkait erat dengan luasnya wilayah dan beragamnya budaya maupun ilmu yang ada di daerah-daerah yang dikuasai Islam.[36] Secara pasti, ekspansi Islam menyebabkan terjadinya kontak antara Islam dengan kebudayaan Barat, atau tegasnya dengan kebudayaan Yunani Klasik yang terdapat di Mesir, Suria, Mesopotamia dan Persia.[37]

Pada era klasik ini metode berfikir rasional, ilmiah dan filosofis berkembang dengan pesat. Sentuhan estetika dan filsafat telah menghantarkan peradaban Islam pada puncak kejayaan. Ulama’-ulama’ mujtahid bermunculan, begitu juga para ilmuwan muslim telah menghasilkan karya-karya seni, filsafat dan ilmu pengetahuan secara mengagumkan.[38]

Di masa Bani Abbas inilah perhatian kepada ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani memuncak terutama di zaman Harun Al-Rasyid (785-809 M) dan Al-Ma’mun (813-833 M). Buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat didatangkan dari Bizantium dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kegiatan penterjemahan buku-buku ini berjalan kira-kira satu abad. Bait Al-Hikmah, yang didirikan Al-Ma’mun, bukan hanya merupakan pusat penterjemahan tetapi juga akademi yang mempunyai perpustakaan. Di antara cabang-cabang ilmu pengetahuan yang diutamakan dalam Bait Al-Hikmah ialah ilmu kedokteran, matematika, optika, geografi, fisika, astronomi, dan sejarah di samping filsafat.[39] Maka kemudian muncul beberapa ilmuwan muslim terkenal dan menjadi kebanggaan dunia Islam seperti; Al-Fazari (Abad VII) sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun Astronomi (alat yang dahulu dipakai untuk mengukur tinggi bintang-bintang dan sebagainya; Al-Fargani (di Eropa dikenal dengan sebutan Al-Fragnus) adalah pengarang ringkasan tentang ilmu astronomi; Dalam bidang optika, Abu Ali Al-Hasan Ibn Al-Haytham (Abad X) terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata yang mengirim cahaya kepada benda yang dilihat. Menurutnya, bendalah yang mengirim cahaya ke mata dan karena menerima cahaya itu, mata bisa melihat benda yang bersangkutan. Dalam bidang Kimia, Jabir ibn Hayyan (w. 813 M) dikenal sebagai bapak Kimia. Abu Bakar Zakaria Al-Razi (w. 925 M) adalah pengarang buku besar tentang kimia yang baru dijumpai di abad XX dan juga penemu di bidang ilmu kedokteran dan farmasi. Di zaman ini pula lahir ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ibn Hambal dalam bidang hukum; Imam Asy’ari, Imam Al-Maturidi, pemuka-pemuka Mu’tazilah seperti Wasil Ibn ‘Ata’, Abu Al- Huzail, Al-Nazzam, dan Al-Zuba’i dalam bidang teologi; Dzunnun Al-Mishri, Abu Yazid Al-Bustami dan Al- Hallaj dalam mistisisme atau tasawwuf; Al- Kindi, Al- Farabi, Ibn Sina dan Ibnu Miskawih .

Pemikiran Islam Pada Masa Periode Pertengahan (1250-1800 M)
Pada masa pertengahan, yakni antara tahun 1250-1800 M adalah fase kemunduran dari intelektual umat Islam, karena filsafat mulai dijauhkan dari umat Islam, sehingga ada kecenderungan akal dipertentangkan dengan wahyu, iman dengan ilmu, dunia dengan akhirat. Di zaman ini, desentralisasi dan disintegrasi bertambah meningkat yang berakibat pada hilangnya khilafah secara formil. Islam tidak lagi mempunyai khalifah yang diakui oleh semua umat sebagai lambang persatuan dan ini berlaku sampai kerajaan Usmani mengangkat khalifah baru di Istanbul di abad ke-16.[40]

Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah dan demikian juga antara Arab dan Persia bertambah nyata. Dunia Islam terbagi dua, bagian Arab yang terdiri atas Arabia, Irak, Suria, Palestina, Mesir, dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusat; dan bagian Persia yang terdiri atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusat. Kebudayaan Persia mengambil bentuk internasional dan dengan demikian mendesak lapangan kebudayaan Arab. Di samping itu, pengaruh tarekat-tarekat bertambah mendalam dan bertambah meluas di dunia Islam. Pendapat yang ditimbulkan di zaman disintegrasi bahwa pintu ijtihad telah tertutup diterima secara umum di zaman ini. Perhatian pada ilmu-ilmu pengetahuan sedikit sekali. Tetapi sebaliknya, Islam mendapat pemeluk-pemeluk baru di daerah-daerah yang selama ini belum pernah dimasuki Islam.[41] Pada periode pertengahan ini, terdapat masa tiga kerajaan Besar (1500-1800 M). Tiga kerajaan besar yang dimaksud adalah kerajaan Usmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Tahun 1500-1700 M dianggap sebagai fase kemajuan II dalam sejarah peradaban Islam.[42] Literatur dalam bahasa Turki di zaman inilah mulai muncul. Di masa-masa sebelumnya, pengarang-pengarang Turki menulis dalam bahasa Persia. Di zaman Sultan Salim I dan Sultan Sulaiman dikenal dua pengarang; Fuzuli dan Baki, yang kemudian disusul di abad ke-18 oleh Nedim dan Syeikh Ghalib. Dalam bidang arsitek, sultan-sultan mendirikan istana-istana, masjid-masjid, benteng-benteng dan sebagainya. Di India, bahasa Urdu juga meningkat menjadi bahasa literatur dan menggantikan bahasa Persia yang sebelumnya dipakai di kalangan istana sultan-sultan di Delhi. Para penulis besar pertama dalam bahasa ini adalah Mazhar, Sauda, Dard, dan Mir (abad 18). Sayangnya, perhatian terhadap ilmu pengetahuan sangat kurang sekali dibandingkan dengan masa-masa kejayaan Islam I. Kemajuan Islam II ini lebih ditekankan pada kemajuan dalam aspek politik.[43]

Tahun 1700-1800 M disebut sebagai fase kemunduran II kerajaan Islam. Pada tahun-tahun ini kondisi kekuatan militer dan politik umat Islam menurun. Di bidang ekonomi, juga terpuruk akibat hilangnya monopoli dagang antara Timur dan Barat. Ilmu pengetahuan di dunia Islam mengalami stagnasi. Tarekat-tarekat diliputi oleh suasana khurafat dan supertisi. Umat Islam dipengaruhi oleh sikap fatalistis, sehingga dunia Islam dalam keadaan mundur dan statis. Sementara, pada masa itu Barat mengalami kebangkitan. Penetrasi Barat, yang kekuatannya bertambah besar, ke dunia Islam yang didudukinya kian lama bertambah mendalam. Akhirnya, di tahun 1978 M, Napoleon menduduki Mesir, sebagai salah satu pusat Islam yang terpenting. Jatuhnya pusat Islam ini ke tangan Barat, menginsafkan dunia Islam akan kelemahannya dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban yang lebih tinggi dari peradaban Islam.[44]

Pemikiran Islam pada Masa Periode Modern (1800 M – dan seterusnya)
Periode Modern (1800 M – dan seterusnya) merupakan zaman kebangkitan umat Islam. Jatuhnya Mesir ke tangan Barat mengilhami kebangkitan. Raja-raja dan pemuka-pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. Pada era ini, sebagaimana diungkapkan Al-Faruqi, kondisi umat Islam sangat tidak menggembirakan sekalipun dalam kuantitas besar umat Islam berdomisili di tanah yang subur dengan sumber daya alam yang melimpah.[45]Bangsa Eropa melakukan hegemoni ekonomi atas bangsa-bangsa Timur dan Islam. Dan bahkan pada abad 19, Eropa secara terang-terangan menjadikan dirinya sebagai imperialisme dunia karena telah didukung oleh kekuatan politik, kekuasaan dan militer.

Pada periode ini, muncul banyak para pemikir Islam yang handal. Mereka menjadi pioner pembaharuan dalam Islam. Ajaran Islam dirasionalisasikan dan difahami dalam konteks ke-kini-an dan kemodernan. Islam difahami tidak hanya difahami dari sudut pandang lokal, tetapi juga dalam perspektif universal dan kontekstual. Sejarah mencatat munculnya para pemikir Islam di dunia Arab, seperti di Arab, Mesir, dan Turki. Demikian juga di India dan Pakistan. Tidak ketinggalan di Indonesia dan dunia Islam lainnya.

Sejarah juga mencatat, para pemikir dan tokoh pembaharuan Islam yang sangat popular. Pemikiran dan ide pembaharuannya terus dipelajari. Bahkan pengaruhnya dapat dirasakan sampai sekarang. Di dunia Arab, dikenal tokoh Muhammad bin Abdul Wahab, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Mustafa Kemal Attaturk, Hassan Hanafi, Muhammad Syahrur, Abdul halim Mahmud, dan sebagainya. Di India dan Pakistan, dikenal tokoh pembaharu seperti Muhammad Iqbal, Ali Jinah, Kalam Azad, Ahmad Khan, Jamaluddin al-Afghani, dan lain-lain. Demikian juga yang terjadi di Indonesia. Tokoh pembaharuan yang cukup popular, dapat disebutkan di antaranya: Harun Nasution, Nurcholis Madjid, Munawir Sadjali, Abdurrahman Wahid, Amin Rais, dan sebagainya.

Secara garis besar, gerakan pembaharuan pemikiran di dunia Islam, dapat dipahami dalam empat model gerakan sebagai berikut:

Gerakan Wahabiyah atau Salafiyah.
Pelopornya adalah Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787) di Jazirah Arabia. Tumbuh dan lebih berkembang di Hijaz sebagai jantung umat Islam sedunia, ketika itu. Gerakan ini dipandang sebagai gerakan puritanisme Islam. Gerakan yang hampir serupa tumbuh di India yang dipelopori oleh Syah Waliyullah dan Syekh Ahmad Sihrin di India[46]. Menurut Harun Nasution[47], Muhammad bin Abdul Wahab bukan hanya seorang teoris yang sangat memahami ajaran Islam, tetapi ia dipandang sebagai seorang pemimpin yang dengan aktif dan progresif berusaha menyebarkan dan mewujudkan pemikirannya. Sedangkan Syah Waliyullah dan Syekh Ahmad Sihrin dipandang sebagai tokoh yang menentang sufisme secara sangat tajam.

Gerakan-gerakan ini muncul bukan karena pengaruh Barat, tetapi sebagai reaksi terhadap faham Tauhid Islam (Aqidah) yang telah dirusak oleh hadirnya ajaran-ajaran yang menyimpang, seperti mempercayai keramat, merajalelanya bid’ah, khurafat, dan tahayul serta kemusyrikan. Untuk melepaskan umat islam dari kesesatan ini, tokoh ini berpendapat bahwa umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya (asli), yakni Islam yang dianut oleh Nabi saw, sahabat, tabi’in sampai abad ke-3 Hijriyah. Sumber ajaran islam hanyalah al-Quran dan al-Hadits. Untuk memahami ajaran yang terkandung dalam dua sumber tersebut, maka dipergunakan ijtihad. Oleh karena itu, pintu ijtihad belum tertutup, bahkan harus tetap dibuka;

Dalam pandangan Amien Rais[48], gerakan Wahabiyah sering dianggap terlalu revolusioner oleh karena gagasan-gagasan yang disampaikannya terlalu radikal menurut ukuran zamannya. Sekalipun dipengaruhi oleh pikiran reformatif Ibnu Taimiyyah, gerakan Wahabiyah tidak sepenuhnya merupakan duplikat fikiran-fikiran Ibnu Taimiyyah. Terdapat beberapa perbedaan mendasar. Pertama, jika Ibnu Taimiyyah menyerang sufisme, maka serangannya tidak frontal. Sedangkan gerakan Wahabiyah menyerang sufisme tanpa ampun, sekalipun harus diakui bahwa berkat jasa kaum Wahabiyah-lah pembabatan bid’ah, khurafat, tahayul yang merajalela di dunia Islam pada masa lalu berhasil secara mengesankan. Kedua, sikap agak kaku terhadap rasionalisme, Ibnu Taimiyyah juga melakukan kritik terhadap rasionalisme, tetapi kritik itu tidak berakibat memojokan penalaran rasional terhadap usaha perbaikan terhadap berbagai dimensi kehidupan kaum muslimin. Barangkali kelemahan kaum Wahabi adalah semangat agak anti terhadap rasionalismenya, sehingga semboyan ijtihad yang dikumandangkannya tidak begitu efektif, berhubung tidak diberikannya tempat secara wajar bagi intelektualisme. Akan tetapi harus kita catat, adanya pengaruh positif bagi masyarakat muslim di dunia, terutama prinsip egalitarianisme yang diserukan gerakan ini.[49] (Amien Rais, dalam John Donohue, 1995 : xii).

Gerakan Pembaharuan (Modernisme)
Gerakan ini dirintis dan dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-1897). Kemudian diikuti dan dikembangkan oleh Muhammad Abduh (1849-1905) dan dilanjutkan oleh muridnya, Rasyid Ridla (1865-1935). Gerakan ini tumbuh dan berkembang di Mesir, ketika itu (bahkan sampai sekarang) menjadi pusat intelektualisme Islam. Gerakan ini –sesuai dengan namanya- berusaha mengadopsi kemajuan Barat dan menyesuaikannya (adaptasi) dengan peri-kehidupan umat Islam. Gerakan ini menolak selalu bersandar pada kejayaan Islam masa lalu dan lebih memilih hikmah-hikmah yang dapat diambil dari masa itu, kemudian menghidupkannya kembali di tengah-tengah kaum Muslimin. Hal ini bisa diwujudkan dalam pemikiran politik, social, budaya, agama, dan sebagainya. Secara langsung maupun tidak langsung, hasil pemikirannya disebarkan melalui berbagai tulisan, terutama dalam majalah dan ceramah-ceramah di berbagai tempat dan waktu. Ide-ide atau pemikiran dasarnya adalah sebagai berikut : 1) Kembali kepada sumber dasar ajaran Islam yang sebenarnya, yaitu al-Quran dan al-Hadits; 2) Pintu ijtihad tetap terbuka. Ijtihad perlu dilakukan untuk memahami sumber ajaran Islam (al-Quran dan al-Hadits) yang disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan zaman (interpretasi baru); 3) Akal (rasio) adalah alat untuk melakukan ijtihad. Menggunakan rasio (akal) dan penalaran menjadi sangat penting dan memiliki posisi yang sangat tinggi; 4) Percaya kepada hukum alam (sunnatullah). Hukum alam tidak bertentangan dengan Islam yang sebenarnya. Oleh karena itu ilmu pengetahuan modern yang berdasarkan hukum alam, dan Islam yang sebenarnya berdasarkan wahyu adalah dua hal yang tidak bertentangan. Ilmu pengetahuan modern, idealnya sesuai dengan islam. Saat ini yang mengalami kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi adalah Barat. Maka untuk mencapai kemajuan seperti yang diraih di masa lampau (yang sekarang telah hilang dan dimiliki Barat), umat Islam harus kembali dan mempelajari serta menguasai ilmu pengetahuan; 5) Percaya kepada kebebasan berkehendak dan bertindak (free-will and free-act) seperti faham Qadariyah.[50]

Westernisme
Westernisme diartikan sebagai faham ke-Barat-Baratan atau “berkiblat” ke Barat. Faham ini mengajak umat Islam untuk menerima dan mengadopsi pengetahuan Barat dan semua yang berasal dari Barat. Gerakan ini tumbuh dan berkembang di India, salah satu pusat politik Islam (tempat kerajaan Mughal yang besar itu). Gerakan ini dipelopori oleh Sir Ahmad Khan (1817-1989). Ia mendirikan Universitas Aligarh untuk mengembangkan dan menyebarkan ide-idenya. Ide-ide dasarnya sebenarnya memiliki kesamaan dengan ide-ide dasar yang disampaikan oleh Muhammad Abduh. Hanya saja Ahmad Khan melihat bahwa umat Islam India mengalami kemunduran karena tidak mengikuti perkembangan zaman. Islam pernah mengalami kemajuan yang luar biasa pada masa klasik, tetapi peradaban dan kemajuan itu telah hilang. Saat ini yang mengalami kemajuan adalah Barat. Oleh karena itu menurutnya, umat Islam India akan mengalami kemajuan jika bukan hanya mempelajari dengan Barat, tetapi sebaiknya bekerja sama dengan Barat (Inggris). Dasar kekuatan Barat adalah ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Untuk mengalami kemajuan, maka umat Islam harus mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Jalan yang harus ditempuh adalah memperkuat hubungan dengan Barat (Inggris) dan mengambil berbagai aspek kemajuan dan ketinggian yang ada di Barat.[51]

Sekularisme
Sekularisme tumbuh dan berkembang di Turki sebagai pusat politik islam bekas wilayah Daulah Usmaniyyah (Turki-Usmani). Pelopornya adalah Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938). Mustafa Kemal, sebenarnya adalah seorang Nasionalis pengagum Barat. Ia menginginkan Islam mengalami kemajuan. Oleh karena itu, menurutnya perlu diadakan pembaharuan dalam agama untuk disesuaikan dengan bumi Turki. Menurutnya, Islam adalah agama rasional dan sangat diperlukan dalam kehidupan manusia. Tetapi agama rasional itu telah dirusak oleh para ulama. Ajaran Islam memerlukan sekularisasi. Usaha sekularisasinya berpusat pada upaya menghilangkan ulama dari kekuasaan Negara dan politik. Yang difahami sebagai ulama adalah orang atau komunitas yang menguasai syariat dan ajaran Islam serta menentukan masalah sosial, ekonomi, hukum, politik, dan pendidikan.

Menurut Attaturk, negara harus dipisahkan dari agama. Inilah esensi dari sekularisasi. Dengan pandangan Mustafa Kemal Attaturk tersebut, ia berpendapat bahwa al-Quran perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, adzan dan khutbah menggunakan bahasa Turki. Madrasah yang sudah ketinggalan zaman ditutup, digantikan oleh fakultas “Ilahiyah” yang mendidik imam shalat, khatib-khatib, dan mengembangkan berbagai pembaharuan yang diperlukan. Pendidikan agama dan bahasa Arab dihilangkan dari sekolah-sekolah. Nama-nama orang Turki harus mengikuti nama-nama orang Eropa. Hukum syariat tentang perkawinan diganti oleh hukum Barat (Swiss). Wanita mempunyai hak cerai yang sama dengan kaum pria. Diandalkan hukum-hukum baru, seperti hukum dagang, hukum pidana, hukum perdata, dan lain-lain yang diambil dari hukum-hukum Barat.[52]

Sementara itu menurut M. Ja’far Nashir, perkembangan pemikiran dalam Islam, dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu : (1) Pemikiran Ahl Fiqh, (2) Pemikiran Teologi Islam, (3) Pemikiran Filsafat Islam., dan (4) Pemikiran Islam Indonesia. Mencermati perkembangan pemikiran Islam modern, menurut M. Ja’far Nashir, setidaknya ada empat trend besar yang dominan, yaitu:

1) Islam Tekstual

Corak pemikirannya masih bersifat fundamental, Tekstualis, dan Skeptis. Dalam hal ini antara Islam dengan Modernitas masih dipertentangkan belum ada titik temu dan modernitas belum bisa menyatu dengan Islam.

2) Islam Revivalisme

Pemikir Islam Revivalism sudah mengkombinasikan antara Islam dengan Modernitas walau masih sedikit, dan masih dikuatkan nilai-nilai Ke-Islamanya.

3) Islam Modern

Corak pemikiran dari tokoh Islam modern sudah memasukkan lebih banyak modernitas kedalam nilai-nilai Islam. Sehingga pemikirannya sudah dapat dikatakan liberal walaupun masih ada kendali Fundamentalisnya (Ke-Islamannya). Tokohnya antara lain Nurcholis Madji, Abdurrahman Wahid, dan lain-lain.

4) Islam Neo-Modernis

Dalam hal ini tokoh pemikir Islam, pemikirannya sudah mengarah kepada Liberalis, Kontektual, dan Substantive. Salah satu tokoh Pemikir Islam Neo-Modernis adalah Ulil Absor Abdala. Dalam hal ini antara Islam dengan modernitas sudah tidak ada pemisahnya, artinya sudah menyatu.[53]

Dengan demikian uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gerakan pemikiran era modern terdapat empat corak pemikiran, yaitu corak pemikiran tekstual, revivalisme, modern dan neo-modernis.

Wujud Pemikiran Islam
Pemikiran Ilmu Kalam/Teologi
Perkembangan pemikiran Teologi dalam Islam dapat dibagi dalam 5 periode, yakni periode Rasulullah saw., Khulafa al-Rasyidin, Bani Umayyah, Bani ‘Abbas, dan periode sesudah Bani ‘Abbas. Pada masa Rasulullah saw. pemikiran teologi dalam Islam merupakan pemikiran yang murni karena mendasarkan hanya pada Rasulullah saw, Pada periode ini tidak ada perselisihan pendapat dalam dasar-dasar ataupun kaidah-kaidah teologis.

Pada masa Khulafa al-Rasyidin sebelum Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan juga belum terjadi perbedaan pendapat dalam teologi Islam, hal ini disebabkan oleh praktek teologi Islam langsung didasarkan pada Alqur’an dan Hadis tanpa pentakwilan atas nash- nashnya. Pada masa Khalifah ‘Utsman terjadi perpecahan politik dalam tubuh umat Islam, sehingga berdampak pada penafsiran Alqur’an dan Hadis menurut selera masing- masing golongan, bahkan sebagian melakukan pemalsuan terhadap Hadis untuk mendukung keberadaan dan kebenaran kelompok tertentu.

Pada masa Bani Umayah perluasan wilayah Islam membawa konsekwensi penyerapan tradisi-tradisi non Islam dalam budaya dan peradaban Islam. Berbagai aliran yang muncul pada masa akhir Khulafa al-Rasyidin semakin memuncak. Pada masa ini segolongan umat Islam telah berbeda pendapat tentang qadar danisti ţâ‘ah. Aliran-aliran yang muncul dalam periode ini antara lain:

1) Qadariyah

            Ma’bad al-Juhaniy, Ghailân al-Dimasyqiy, dan al-Ja‘ad Ibn Dirham dikenal sebagai tokoh awal dari aliran Qadariyah. Salah satu pemikiran mereka yang sangat kontroversial pada masa itu adalah bahwa Alqur’an adalah makhluk serta kehidupan manusia dibentuk oleh manusia itu sendiri dan terlepas dari ketentuan Tuhan.

2) Jabariah

Jaham ibn Åžafwân  yang merupakan tokoh awal dari aliran ini. Di antara ciri-ciri ajaran Jabariyah adalah :

Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap
perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya
Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.
Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)
Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.
Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaan-
Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surge
Bahwa Alqur’an adalah makhluk dan bukan kalamullah.
3) Khawarij

Aliran ini muncul dipenghujung abad pertama Hijriah dan dikenal dengan pemikirannya yang menyatakan bahwa orang yang mengerjakan dosa besar adalah kafir. Berbagai pemikiran mereka yang lain adalah:

Segala perbuatan hamba mengikut kehendak Allah semata-mata.
Menolak ijtihad dan berpegang dengan zahir al-Quran.
Menolak taklif sebelum diutus Rasul.
Menolak adanya azab kubur.
Menolak sistim kekhalifahan bagi umat Islam karena tidak diperlukan
Harus membunuh kanak-kanak dan wanita pihak yang menyalahi mereka.
Pelaku dosa besar adalah kafir dan kekal dalam neraka.
Tidak sah menikah dengan orang yang tidak mengkafirkan ‘Utsman dan ‘Ali r.a.
Semua orang yang menyalahi mereka adalah kafir atau musyrik.
Orang yang tidak berhijrah kepada mereka adalah musyrik.
Wajib menguji kesetiaan orang yang berhijrah kepada mereka dengan cara menyuruh orang itu membunuh tawanan. Jika tidak sanggup bermakna munafiq dan mereka akan membunuhnya.
Anak-anak orang yang menyalahi mereka kekal dalam Neraka.
Menganggap negeri orang yang menyalahi mereka sebagai negeri kafir.
Menggugurkan hukum rajam ke atas penzina yang sudah beristeri.
Memotong tangan pencuri sampai ke bahu.
Wajib salat dan puasa atas perempuan haid.
Wajib qada salat atas perempuan haid sebagaimana qada puasa.
Mendakwa ayat 204 surah al-Baqarah khusus untuk Ali r.a.
Mendakwa ayat 207 surah al-Baqarah sebagai khusus untuk ‘Abd ar-Rahman Ibn Muljim (pembunuh Ali r.a.).
Penyokong mereka tidak akan masuk neraka Jahannam, jika berdosa mereka akan diazab dengan azab selain neraka Jahannam.
Sebahagian mereka menggugurkan hukum hudud bagi peminum arak, dan sebagian yang lain pula mengenakan hukuman yang sangat berat.
Melakukan dosa kecil secara berterusan adalah suatu kesyirikan bagi yang tidak menyokong mereka, tetapi bagi para penyokong mereka ia tidak pula dianggap syirik meskipun melakukan dosa besar.
Mengharuskan at-taqiyyah.
Harus menikah dengan anak perempuan cucu lelaki (cicit) dan anak perempuan anak saudara lelaki.
Sifat munafik itu hanya khusus bagi golongan yang disebutkan dalam al-Quran.
4) Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Aliran ini dipelopori oleh Hasan al-Basri dengan pemikiran bahwa orang yang mengerjakan dosa besar hanya digolongkan dan masih dinyatakan sebagai orang mukmin. Ciri ahlus sunnah wal jama’ah. Ahlus Sunnah adalah mereka yang berpegang teguh dengan tali Allah yang kokoh. Mereka adalah teladan yang shalih yang memberikan petunjuk kepada kebenaran dan bimbingan ke jalan yang lurus.

5) Mu’tazilah.

Dipelopori oleh Washil bin Atha’. Mu’tazilah mempunyai asas dan landasan yang disebut dengan al-Uşûl al-Khamsah (lima landasan pokok), yaitu:

Al-Tauhid, yakni mengingkari dan meniadakan sifat-sifat Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah menetapkan untuk masing- masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah.
Al-‘Adl (keadilan), yakni keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah.
Al-Wa’du wa al-Wa’id, yakni wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al- wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam al-jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalamal- nâr, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
Manzil bain al-Manzilatain (suatu keadaan di antara dua keadaan), yakni keimanan itu satu dan tidak bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa besar (walaupun di bawah syirik) maka telah keluar dari keimanan, namun tidak kafir (di dunia). Sehingga ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan (antara keimanan dan kekafiran).
Amar Ma’ruf Nahi Munkar, yakni wajibnya memberontak terhadap pemerintah (muslim) yang zalim.[54]
Pemikiran Tasawuf
Keistimewaan tasawuf sebagai salah satu institusi Islam adalah penekanan pada aspek psikis spiritual dan cara hidupnya yang lebih mengutamakan aspek psikomotor dan efeksi, lebih mengutamakan pengagungan Tuhan dan membebaskan diri dari egoisme. Secara umum tasawuf dibagi atas tiga bagian besar: tasawuf akhlak, tasawuf amali, dan tasawuf falsafi. Kita mengenal ada banyak tokoh tasawuf. Pada masa pembentukannya, yakni dalam abad I Hijriah muncul Hasan Basri (w. 110 H) dengan ajarah khauf-nya. Kemudian pada akhir abad I Hijriah, Hasan Basri diikuti oleh Rabi’ah al Adawiyah (w. 185) seorang sufi wanita yang terkenal dengan ajaran cintanya (hub al-ilah), Abu Yazid al-Busthami (261 H), Ibn Arabi, al-Ghazali, dan lain sebagainya. Tasawuf juga memunculkan sekte-sekte, yang kemudian dikenal dengan istilah tarekat. Di antara tokoh-tokoh tarekat yang terkenal antara lain Abd. Qadir al- Jailani (471-561 H), Syihabu al-Din Umar Ibn Abdillah al-Suhraardi (539-631 H), Abu Hasal Al-Syadzili (592-656 H), Ahmad Al-Badawi (596-675), dan Muhammad Ibn Bahau Al-Din al-Uwaisi al Bukhary (717-791 H).

Pemikiran Fiqh
Perkembangan fiqh dimulai sejak zaman Rasulullah saw masih hidup, pada masa ini tidak ada masalah yang berarti dimana hal tersebur dikarenakan Nabi saw langsung menjasi pembuat fiqh dan melakukan ijtihad sendiri. Pada masa Sahabat perkembangan fiqh terbagi menjadi dua, yaitu : kelompok alh an-Nash (seperti abuu huraurah & Anas), dan ahl al-Rayi (seperti Umar bin Khattab as). Setelah berakhirnya kepemimpinan Ali bin Abi tholib perkembangan fiqh dinamakan Fiqh Tabi’in, yang mana pada masa ini fiqh terbagi menjadi dua kelompok, yaitu : Ahl an-Nash (para Fuqoha’ al-Saba’ah / Madinah), dan Ahl al-Ra’yi (Fuqoha’ al-Shittah / Kuffah). Lebih lanjut berikut perkembangan fiqh serta corak yang mempengaruhinya :

1) Manhaj al-Fikr Fikih Ahl al-Madinah

Corak pemikiran banyak dipengaruhi oleh kebuadayaan syiria dan kekuasaan Umayyah. Tokoh-tokohnya antara lain : al-Awza’i. Sedang sifat pemikiran fikiq ahl al-madinah adalah thesa atau dalam arti bahwa fikih ahl al-madinah masih murni yang bersumberkan dari Al-Qur’an dan Hadits.

2) Manhaj al-Fikr Fikih Asy-Syafi’i

Corak pemikirannya lebih banyak dipengaruhi (didominasi) al-Qur’an dan As-Sunnah. Toko-tokohnya antara lain : Asy-Syafi’i, Ibn Hambali, dan Malik Ibn Abbas / Dawud Ibn Khalaf (keduanya cenderung juga kepemikiran Fikih al-Madinah). Sedang sifat pemikiran fikiq Asy-Syafi’i adalah anti-thesa. Ini berarti juga bahwa pemikiran ahl asy-Syafi’i sudah mengarah pada penggabungan antara fikih ahl al-madinah (murni) dengan fikih ahl al-Iraq (yang sudah menggunakan rasional).

3) Manhaj al-Fikr Fikih Ahl al-Iraq

Corak Pemikiran yang digunakan adalah dengan menggunakan analogi dan dipengaruhi oleh kekuasaan Abbasyiyah. Tokoh-tokohnya antara lain : Abu Hanifah, Asy-Syaibani (cendrung juga ke pemikiran As-Syafi’i). Sedang sifat pemikiran fikiq ahl al-Iraq adalah sinthesa. Pemikiran ahl al-Iraq sudah mengarah kepada penggunaan akal secara berlebihan walau tidak mengenyampingkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Pemikiran Filsafat Islam
Ada beberapa tokoh aliran dalam filsafat Islam, di antaranya sebagai berikuti:

1) Pemikiran Filsafat Al-Ghazali / 1050-1111 M

Pokok pemikiran dari al-Ghozali dimuat dalam kitabnya Tahafutut al-Falasifah adalah tentang (kerancuan berfilsafat) di mana al-Ghazali menyerang para filosof-filosof Islam berkenaan dengan kerancuan berfikir mereka. Tiga di antaranya, menutur al-Ghazali menyebabkan mereka telah kufur, yaitu tentang : Qadimnya Alam, Pengetahuan Tuhan, dan Kebangkitan jasmani.

2) Pemikiran Filsafat Ibn Rusyd 520 H/1134 M

            Teori kebenaran ganda salah satu pemikiran Ibn Rusyd adalah ia membela para filosof dan pemikiran mereka dan mendudukkan masalah-masalah tersebut pada porsinya dari seranga al-Ghazali.Untuk itu ia menulis sanggahan berjudul Tahafut al-Tahafut. Dalam buku ini Ibn Rusyd menjelaskan bahwa sebenarnya al-Ghazalilah yang kacau dalam berfikirnya.

Pemikiran Filsafat Suhrawardi / 1158-1191 M
Pokok pemikiran Suhrawardi adalah tentang teori emanasi, ia berpendapat bahwa sumber dari segala sesuatu adalah Nuur An-Nuur (Al-Haq) yaitu Tuhan itu sendiri. Yang kemudian memancar menjadi Nuur al-Awwal, kemudian memancar lagi mejadi Nuur kedua, dan seterusnya hingga yang paling bawah (Nur yang semakin tipis) memancar menjadi Alam (karena semakin gelap suatu benda maka ia semakin padat). Pendapatnya yang kedua adalah bahwa sumber dari Ilmu dan atau kebenaran adalah Allah, alam dan Wahyu bisa dijadikan sebagai perantara (ilmu) oleh manusia untuk mengetahui keberadaan Allah. Sehingga keduanya, antara Alam dan Wahyu adalah sama-sama sebagai ilmu.

d) Al-Kindi (806-873 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah: Relevansi agama dan filsafat, fisika dan metafisika (hakekat Tuhan bukti adanya Tuhan dan sifat-sifatNya), Roh (Jiwa), dan Kenabian.

e) Abu Bakar Ar-Razi (865-925 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : Akal dan agama (penolakan terhadap kenabian dan wahyu), prinsip lima yang abadi, dan hubungan jiwa dan materi.

f) Al-Farabi (870-950 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : kesatuan filsafat, metafisika (hakekat Tuhan), teori emanasi, teori edea, Utopia jiwa (akal), dan teori kenabian.

g) Ibnu Maskawih (932-1020 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : filsafat akhlaq, dam filsafat jiwa.

h) Ibnu Shina (980-1036 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : fisika dan metafisika, filsafat emanasi, filsafat jiwa (akal), dan teori kenabian.

I) Ibnu Bajjah (1082-1138 M)
Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : metafisika, teori pengetahuan, filsafat akhlaq, dan Tadbir al-mutawahhid (mengatur hidup secara sendiri).

j) Ibnu Taufal (1082-1138 M)
Pemikiran filsafatnya berkisar tentang masalah: percikan filsafat, dan kisah hay bin yaqadhan.

Perkembangan Peradaban Islam dalam Perspektif Sejarah
1. Perkembangan Peradaban Islam pada Masa Rasulullah
Bangsa  Arab sebelum Islam biasanya disebut Arab Jahiliyah, bangsa yang belum berperadapan, bodoh, tidak mengenal aksara. Sebutan itu tidak perlu menyebabkan kita berkesimpulan bahwa tidak seorang pun dari penduduk Jazirah Arab[55] yang mampu membaca dan menulis, karena beberapa orang sahabat Nabi Muhammad Saw diketahui sudah mampu membaca dan menulis sebelum mereka masuk Islam. Baca tulis waktu itu belum menjadi tradisi, tidak dinilai sebagai sesuatu yang penting, tidak pula menjadi ukuran kepandaian dan kecendikiawannya.Nabi Muhammad Saw dilahirkan pada tanggal 20 April 571 M. Ketetapan ini sebagaimana dikemukakan oleh berbagai sumber berita Arab, yakni pada tahun yang dikenal dengan sebutan tahun Gajah.[56] Beliau lahir dari keluarga miskin secara materi namun berdarah ningrat dan terhormat. Ayahnya bernama Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab. Dikisahkan, bahwa anak-anak Hasyim ini adalah keluarga yang berkedudukan sebagai penyedia dan pemberi air minum bagi para jamaah haji yang dikenal dengan sebutan Siqayah Al Hajj.[57]Sedangkan ibunda Nabi Muhammad Saw adalah Aminah binti Wahab, adalah keturunan Bani Zuhrah. Kemudian, nasab atau silsilah ayah dan ibunda Nabi bertemu pada Kilab ibn Murrah. Pada waktu lahir Nabi Muhammad Saw dalam keadaan yatim karena ayahnya Abdullah meninggal dunia tiga bulan setelah dia menikahi Aminah. Nabi Muhammad kemudian diserahkan kepada ibu pengasuh, Halimah Sa’diyyah. Dalam asuhannyalah Nabi Muhammad Saw dibesarkan sampai usia empat tahun. Setelah kurang lebih dua tahun berada dalam asuhan ibu kandungnya. Ketika usia enam tahun Nabi Muhammad Saw menjadi yatim piatu.

Hadirnya Nabi Muhammad, sedikit demi sedikit merubah budaya-budaya yang tidak memanusiakan manusia dalam artian budaya yang mengarah pada keburukan menjadi budaya-budaya yang mengarah kepada kebaikan dalam payung Islam. Budaya-budaya yang mengarah kebaikan yang dibawa Nabi Muhammad pada akhirnya menghasilkan peradaban yang luar biasa pada zamannya. Yang mana muara dari peradaban itu semua ialah Islam. Peradaban Islam pada masa Rasulullah Saw yang paling dasyat dan fenomenal adalah perubahan sosial. Suatu perubahan yang mendasar dari masa kebobrokan moral menuju moralitas manusia yang beradab. Peradaban pada masa Rasulullah Saw dilandasi dengan asas-asa yang diciptakan sendiri oleh Rasulullah Saw di bawah bimbingan wahyu yaitu Islam. Di antaranya adalah sebagai berikut:

Pembangunan Masjid Quba’
            Ketika Rasulullah dan para sahabat hijrah menuju Madinah, orang-orang Anshar yang tak lain adalah kaum Aus dan Khazraj menanti dengan antusias kedatangan Rasulullah Saw. Tatkala Rasulullah Saw tiba, mereka keluar rumah dan menyambutnya dengan penuh suka cita. Rasulullah Saw berhenti di Quba’ selama lima hari. Di Quba’ inilah Rasulullah SAW mendirikan masjid yang kemudian dikenal dengan sebutan masjid Quba’. Ini adalah masjid pertama yang dibangun setelah masa kenabian.

Pembangunan Masjid Nabawi
            Dikisahkan bahwa unta tunggangan Rasulullah Saw berhenti di suatu tempat. Maka Rasulullah Saw memerintahkan agar di tempat itu dibangun sebuah masjid. Rasulullah ikut serta dalam pembangunan masjid tersebut. Beliau mengangkat dan memindahkan batu-batu masjid itu dengan tangannya sendiri. Saat itu kiblat dihadapkan ke Baitul Maqdis.

Tegaknya Keadilan
Misi Rasulullah Saw yang utama ialah memperbaiki moral dan masyarakat dan menegakkan sebuah sistem kemasyarakatan berlandaskan keadilan yang jauh dari penindasan. Nabi ingin menciptakan suatu masyarakat yang penuh keadilan dan penuh kasih sayang. Ketika Nabi ingin mendirikan masyarakat seperti itu beliau berhadapan dengan musuh-musuh keadilan dan musuh-musuh kasih sayang. Oleh karena itu, keterlibatan Nabi dalam politik hanyalah sejauh menentang ketidak adilan dan kezaliman.

Persaudaraan antara Kaum Muhajirin dan Anshar
Rasulullah Saw mempersaudarakan di antara kaum muslimin. Mereka kemudian membagikan rumah yang mereka miliki, bahkan juga istri-istri dan harta mereka. Persaudaraan ini terjadi lebih kuat dari pada hanya persaudaraan yang berdasarkan keturunan. Dengan persaudaraan ini, Rasulullah SAW telah menciptakan sebuah kesatuan yang berdasarkan agama sebagai pengganti dari persatuan yang berdasarkan kabilah.

Kesepakatan untuk Saling Membantu antara Kaum Muslimin dan Non-Muslimin
Di Madinah ada tiga golongan manusia. Kaum muslimin, orang-orang Arab, serta kaum Non-Muslimin dan orang-orang Yahudi (Bani Nadhir, Bani Quraizhah, dan Bani Qainuqa’). Rasulullah Saw melakukan satu kesepakatan dengan mereka untuk terjadinya sebuah keamanan dan kedamaian. Juga untuk melahirkan sebuah suasana saling membantu dan toleransi di antara golongan tersebut.

Terbangunnya Umat Yang Berideologi Islam
Selain mereformasi keadilan, Rasulullah Saw juga mengubah masyarakat dari sistem sosial yang berdasarkan kesukaan, kekeluargaan, dan kelompok menjadi komunitas yang berdasarkan ideologi Islam: dari perasaan kekabilahan ke sebuah sistem yang berdasarkan pada ikatan keislaman atau ukhuwwah islamiyyah. Nabi mengubah masyarakat yang diikat oleh kesetiaan kepada kelompok menjadi masyarakat yang setia kepada Islam: dari kehidupan yang berdasarkan semangat suku dan fanatisme kelompok kepada kehidupan yang didasarkan pada persaudaraan Islam.

Peletakan Asas-asas Politik, Ekonomi, dan Sosial
Islam adalah agama dan sudah sepantasnya jika di dalam negara diletakkan dasar-dasar Islam. Rasulullah Swt dengan segala usahanya telah membentuk  kota Madinah dalam sebuah kehidupan yang mulia dan penuh dengan nilai-nilai utama. Terjadi sebuah persaudaraan yang jujur dan kokoh, ada solidaritas yang erat di antara anggota masyarakatnya. Dengan demikian, berarti bahwa inilah masyarakat Islam pertama yang dibangun Rasulullah Saw dengan asas-asasnya yang abadi.

Perkembangan Peradaban Islam pada Khulafaur Rasyidin
Nabi Muhammad Saw. Tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan total persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukanya. Tidak lama setelah beliau wafat, dan belum lagi jenazah beliau di makamkan, para sejumlah tokoh muhajirin dan anshar berkumpul dibalai kota sa’idah, kota Madinah. guna merundingkan siapa yang akan menjadi pemimpin pemerintahan untuk menggantikan beliau. Dengan semangat ukhuwah yang tinggi, akhirnya Abu Bakar ash shiddiq lah yang terpilih untuk menjadi pemimpin menggantikan rasulullah Saw.[58]

Sepeninggal rasulullah, empat orang pengganti beliau adalah pemimpin yang adil dan benar. Mereka menyelamatkan dan mengembangkan dasar- dasar tradisi dari sang guru agung bagi kemajuan islam dan ummatnya. Oleh karena itu, gelar khulafaur rasyidin yang mendapat bimbingan di jalan lurus diberikan kepada mereka. Para khalifah Khulafaur Rasyidin adalah Abu Bakar al-Shiddiq berkuasa selama kurang lebih dua tahun, yakni dari tahun 632-634 M dilanjutkan oleh Umar bin Khattab yang berkuasa selama 10 tahun, yakni dari tahun 634-644 M diteruskan oleh Usman bin Affan yang berkuasa selama 12 tahun, yaitu tahun 644-656 M dan Ali bin Abi Thalib yang berkuasa selama kurang lebih lima tahun, yaitu dari tahun 656-661 M. Dengan demikian, masa kekhalifahan Khulafaur Rasyidin berlangsung selama 29 tahun.[59] Kemajuan-kemajuan peradaban Islam yang dicapai pada masa Khulafaur Rasyidin antara lain:

Ekspansi atau perluasan daulat Islamiyah yang meliputi Irak, Suriah, Damaskus, Bizantium, Mesir, Persia, dan Palestina.
Meredam berbagai pemberontakan dari orang-orang murtad
Pengumpulan dan penulisan al-Qur’an
Penentuan kalender Islam yang bertolak dari masa hijrah Rasulullah Saw dan berdasarkan pada hitungan tanggal berdasarkan peredaran bulan (qomariyah)
Menetapkan administrasi perpajakan, pengaturan upah, dan sebagainya.[60]
Di samping itu, kemajuan lain dalam perkembangan peradaban Islam pada masa Khulafaur Rasyidin ini, di antaranya sebagai berikut:

Setelah Rasul wafat muncul sistem pemerintahan Islam yang disebut dengan Khalifah.Sistem pemilihan khalifah, yaitu: Abu Bakar dipilih melalui musyawarah, Umar ibn Khattab, melalui wasiat dari Abu Bakar, Usman ibn Affan, melalui musyawarah enam orang sahabat untuk memilih, dan Ali ibn Abi Thalib, dibaiat langsung oleh masyarakat Islam.
Selain perluasan wilayah, Umar ibn Khattab, juga melakukan perbaikan pada system administrasi pemerintahan menjadi delapan wilayah propinsi, diatur dan ditertibkan system pembayaran gaji dan pajak tanah, pengadilan didirikan untuk memisahkan lembaga yudikatif dengan eksekutif, membangun system keamanan dengan dibentuk jawatan keamanan (kepolisian), dibentuk jawatan pekerjaan umum, mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan menentukan tahun hijrah. Pada masa khalifah Usman, membangun bendungan untuk menjaga arus banjir, pengaturan pembagian air ke kota-kota, membangun jembatan-jembatan, mesjid-mesjid, termasuk memperluas mesjid Nabi di Madinah, namun karya monumental Ustman yang lain yang dipersembahkan kepada umat Islam ialah penyusunan kitab suci al-Qur’an. Pada masa Ali ibn Abi Thalib, secara politik dan pemikiran muncul tiga golongan, yaitu: golongan Muawiyah, golongan Syi’ah (pengikut) Ali, dan golongan
Perkembangan Peradaban Islam pada Masa Bani Umayyah
Nama dinasti Umayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin Abd Syams bin Abdu Manaf. Ia adalah seorang tokoh penting ditengah Quraisy pada masa jahiliah. Ia dan pamannya Hasyim bin Abdu Manaf selalu bertarung dalam memperebutkan kekuasaan dan kekudukan.[61] Selanjutnya, para khalifah besar dari dinasti bani Umayyah adalah Muawiyah Ibn Abi Sufyan (661-680 M), Abd al-Malik Ibn Marwan (685-705 M), al-Walid Ibn Abd. Al-Malik (705-715 M), Umar Ibn al-Aziz (717-720 M), dan Hisyam Ibn Abd al-Malik (724-743 M).[62] Adapun kemajuan peradaban Islam yang dicapai pada dinasti bani Umayyah ini antara lain:

Ekspansi atau perluasan wilayah yang antara lain menguasai Tunis, Khurasan, Afghanistan, kabul, Ibu kota Bizantium, Balk, Bukhara, Khawarizm, India (Balukistan, Sind, Punjab, dan Multan), al-Jazair dan Maroko, Spanyol, (Toledo, Seville, Malaga, Elvira, dan Cordova), Perancis (Bordeao, Poitiers, dan Tours, pulau-pulau yang terdapat di laut tengah, Majorca, Corsia, Sardinia, Creta, Rhodes, Cyprus, dan sebagian dari Sicilia jatuh ke tangan Islam di zaman bani Umayyah.
Kemajuan bidang administrasi dan bahasa, yakni bahasa Yunani dan Pahlawi ke bahasa Arab
Kemajuan dalam bidang ilmu agama Islam. Dinasti bani Umayyah juga memiliki perhatian yang besar terhadap pengembangan ilmu agama Islam, seperti tafsir, hadits, fikih, dan ilmu kalam. Pada zaman inilah timbul beberapa nama seperti Hasan al-Basri, Ibn Shihab al-Zuhri, dan Washil Ibn ‘Ata yang merupakan pakar dalam ilmu kalam
Kemajuan dalam bidang administrasi keuangan.
Kemajuan dalam bidang kebudayaan dan peradaban Islam. Pada zaman bani Umayyah ini telah dibangun beberapa masjid di luar semenanjung Arabia. Katedral St. John di Damaskus misalnya diubah menjadi masjid.
Sementara itu, menurut Philip K. Hitti warisan peradaban Islam masa Dinasti Umayyah di antaranya:

Kehidupan intelektual di Bashrah dan Kufah
Perkembangan gerakan keagamaan
Tradisi Literer pada periode Umayyah
Perkembangan lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan
Perkembangan arsitetur
Perkembangan seni rupa dan musik[63]
Perkembangan Peradaban Islam pada Masa Bani Abbasiyah
Pemerintahan Dinasti Abbasiyah dinisbatkan kepada al-Abbas paman Rasulullah Saw, sementara khalifah pertama dari pemerintahan ini adalah Abdullah Ash-Shaffah bin Muhammad bin Ali Bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib.[64] Selanjutnya para Khalifah bani Abbas yang terkenal antara lain Abu al-Abbas (750-754 M), al-Mansur (754-775 M), al-Mahdi (775-785 M), Harun al-Rasyid (785-809 M), al-Makmun, 813-833 M), al-Mu’tasim (833-842 M), al-Wathiq (842-847 M), al-Mutawakkil (847-861 M), dan al-Musta’sim (1242-1258 M).[65] Sejarah mencatat, bahwa di zaman bani Abbasiyah ini, Islam mencapai puncak kejayaan, di antara kemajuan peradaban Islam tersebut sebagai berikut:

Kemajuan dalam bidang administrasi pemerintahan.
Kemajuan dalam bidang ekonomi.
Kemajuan dalam bidang kesehatan, di zaman Harun al-Rasyid didirikan rumah sakit, menyelenggarakan pendidikan dokter, dan farmasi.
Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahun. Di zaman khalifah al-Makmun perhatian terhadap pembangunan dan pengembangan di bidang ilmu pengetahuan mengalami peningkatan. Upaya ini dilakukan dengan menerjemahkan buku-buku kebudayaan Yunani dengan cara menggaji para penerjemah dari penganut agama lain. Untuk kegiatan ilmiah ini, khalifah al-Makmun mendirikan Bait al-Hikmah. Di antara cabang-cabang ilmu pengetahuan yang diutamakan di Bait al-Hikmah adalah ilmu kedokteran, astronomi, matematika, optika, geografi, fisika, astronomi, sejarah, filsafat, dan agama. Ahli dalam bidang kedokteran, antara lain Ibn Sina (980-1037 M); bidang astronomi, antara lain al-Fazari (abad VIII); bidang optika, antara lain Abu Ali al-Hasan Ibn al-Haytham (abad X); bidang kimia, antara lain Jabir Ibn al-Hayyam (Bapak Kimia) dan Abu Bakar Zakaria al-Razi (865-925 M); bidang fisika, antara lain Abu Raihan Muhammad al-Baituni (973-1048 M); bidang geografi, antara lain Abu al-Hasan Ali al-Mas’ud; bidang filsafat antara lain al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Selanjutnya dalam bidang agama terdapat nama Bukhari dan Muslim seorang ahli hadits (abad IX), dalam bidang fiqh terdapat nama-nama antara lain: Malik bin Anas, Abu Hanifah, al-Syafi’i dan Ahmad Ibn Hambal; bidang tafsir, terdapat nama al-Tabari (839-923 M); bidang sejarah, terdapat nama Ibn Hisyam (abad VIII) dan Ibn Sa’ad (abad IX); bidang ilmu kalam terdapat nama antara lain Washil Ibn ‘Atha, Ibn Huzail, al-Allaf dari kalangan Mu’tazilah dan Abu al-Hasan al-Asy’ari dan al-Maturidi (abad IX dab X) dari kalangan ahl al-Sunnah; dalam bidang tasawwuf terdapat nama Zunnun al-Misri, Abu Yazid al-Bustami, dan Husan Ibn al-Mansur al-Hallaj; bidang sastra, antara lain Abu al-Farraj al-Isfahani dengan bukunya al-Aghani.[66]
Kemajuan dalam bidang pendidikan. Pada zaman ini antara lain didirikan Bait al-Hikmah di Baghdad dan al-Azhar di Kairo yang hingga kini masih harum namanya sebagai universitas Islam yang terkemukan dan tertua usianya diseluruh dunia.
Kemajuan bidang peradaban dan kebudayaan. Di zaman Harun al-Rasyid misalnya didirikan pemandian-pemandian umum, berbagai gedung-gedung, masjid, istana raja, jembatan, irigasi, pertambangan, industri logam, kerajinan, perhiasan, lukisan yang indah, dan lain sebagainya.
Perkembangan Peradaban Islam di Andalusia
            Islam pertama kali masuk ke Spanyol pada tahun 711 M melalui jalur Afrika Utara. Spanyol sebelum kedatangan Islam dikenal dengan nama Iberia/ Asbania, kemudian disebut Andalusia, ketika negeri subur itu dikuasai bangsa Vandal. Dari perkataan Vandal inilah orang Arab menyebutnya Andalusia. Benua Afrika, terutama Afrika utara merupakan daerah yang penting dalam kaitannya dengan Andalusia dan juga penyebaran Islam di Eropa. Ia merupakan pintu gerbang utama masuknya Islam ke wilayah yang selama berabad-abad lamanya di bawah kekuasaan Kristiani. Sebelum kedatangan umat Islam, daerah Iberia merupakan kerajaan Hispania yang dikuasai oleh orang Kristen Visigoth. Dalam proses penaklukan Spanyol ini terdapat tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa yaitu Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad, dan Musa ibn Nushair.[67]

Gubernur Afrika Utara saat itu – Musa bin Nushair – meminta izin kepada Khafilah Walid bin Abdul Malik untuk melakukan penyerbuan ke Spanyol, dan usul tersebut disetujui oleh khalifah.[68] Maka pada tahun 91 H / 710 M, dikirimlah tim ekspedisi beranggotakan 500 personil pasukan yang dipimpin oleh Tharif bin Malik. Tim ekspedisi tersebut tidak menemukan perlawanan yang berarti sehingga Tharif bin Malik dan pasukannya kembali dengan kemenangan dan rampasan perang.[69]

Sukses ini mendorong Musa bin Nushair untuk mengirim pasukan dengan jumlah yang lebih besar. Maka pada tahun 92 H / 711 M dikirimlah 7000 personil pasukan di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad. Pasukan ini menyeberangi selat yang memisahkan antara Afrika Utara dan Spanyol dengan kapal-kapal yang dipinjamkan oleh Julian dan berhenti di sebuah tempat bernama Jazirah al-Khadra, yang kemudian dikenal dengan nama Jabal Thariq (Gibratal). Disanalah Thariq bin Ziyad mempersiapkan rencana dan siasat untuk menaklukkan Spanyol.[70]

Kedatangan pasukan Islam disambut oleh Roderik, raja Visigoth dengan 100.000 tentara. Thariq meminta tambahan bantuan 5000 pasukan kepada Musa bin Nushair. Kekuatan tampak tidak seimbang, namun dengan semangat jihad yang tinggi dari pasukan Islam, pasukan Roderik dapat dikalahkan, bahkan Roderik pun tewas dalam pertempuran. Hal ini sehingga melemahkan semangat orang-orang Spanyol dan memudahkan Thariq untuk menaklukkan mereka. Thariq terus maju dan dapat menaklukkan kota Cordoba, Granada dan Toledo yang merupakan ibukota Visigoth.[71]

Terkesan oleh kemenangan yang dicapai Thariq, Musa bin Nushair pun ikut ambil bagian untuk menaklukkan Spanyol. Dengan memimpin pasukan dengan jumlah besar, Musa bin Nushair menyeberangi selat menuju Carmona yang memiliki benteng kuat. Kota tersebut dapat ditaklukkan, selanjutnya Musa dapat menaklukkan Sevilla dan akhirnya bertemu dengan Thariq di Toledo. Pasukan mereka menuju ke utara dan dapat menaklukkan kota Zaragosa, Barcelona, Aragon dan Castilia, kemudian menuju ke Timur laut sampai ke pegunungan Pyrenia. Penaklukan mereka terhenti karena Khalifah Walid bin Abdul Malik memanggil mereka kembali ke Damaskus.[72]

Secara umum kesuksesan pasukan Islam memiliki semangat juang yang tinggi dan dipimpin oleh panglima yang handal dalam strategi dan siasat perang. Disamping sikap toleran yang diperlihatkan pasukan Islam mendatangkan simpati dari bangsa Spanyol yang ketika itu mayoritas beragama Yahudi. Berbeda dengan pasukan Spanyol yang kebanyakan adalah tawanan dan budak yang dipaksa untuk berperang, sehingga mereka berperang tanpa semangat.

Adapun kemajuan perkembangan peradaban Islam di Andalusia antara lain adalah sebagai berikut:

a. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Filsafat.
            Ketika Islam berjaya di Andalusia, ilmu pengetahuan dan filsafat mengalami perkembangan yang cukup pesat. Ketika Islam lahir, sebagai agama pemersatu dan agama peradaban, bangsa Yunani sedang tenggelam dalam kekuasaan pemerintah yang kejam, sedang dunia Islam mulai menyingsingkan fajar kebebasan, terutama bagi berkembangnya ilmu pengetahuan. Minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan oleh penguasa Muslim ketika itu, sehingga para ilmuwan dan filsof kenamaan banyak lahir di dunia Islam, seperti Ibnu Hazm dengan karyanya al-Milal wa al-Nihal, Abu bakr Muhamad Ibnu Al-Asyik (wafat 1138) yang dikenal Ibnu Bajah, Abu Bakar Ibnu Thufael (wafat 1185) yang dikenal dengan bukunya yang berjudul “Hay bin Yaqdzan”, Ibnu Rusyd (1126 – 1198 M) yang dikenal dengan sebutan Averous, karyanya antara lain Tuhafut al-Tuhafut.

Bidang Geografi dan Sains.
            Ilmuwan di bidang geografi lahirlah nama Ibnu Jubair, seorang pengarang buku berjudul “Perlawatan ke negeri-negeri Islam”, Abu Hamid Al-Hazim dan Abu Ubaid Al-Bakry. Di bidang sains muncullah nama-nama yang ahli di bidang kedokteran, musik, matematika, astronomi, kimia, dan lain-lainnya misalnya Wafid Al-Bakhmi, Khalaf Al-Zahrawi, sebagai ahli di bidang kedokteran dan ilmu fa’al. Abu Qasim al-Zanrawi seorang dokter bedah yang mengarang buku Al-Tasrif setebal 30 jilid, Ibnu Khatimah ahli penyakit Malaria, Abbas Ibnu Farnas ahli Kimia dan Astronomi, ia adalah seorang ilmuwan pertama yang menemukan cara membuat kaca dari batu.

Bidang Sejarah dan Sosiologi
            Ilmu sejarah dan sosiologi juga berkembang pesat di Andalusia semasa pemerintahan Islam. Ahli sejarah dan sosiologi yang menjadi peletak dasar teori-teori sejarah dan sosiologi banyak bermunculan pada masa ini. Mereka antara lain; Ibnu Hazm dengan karyanya Jamharah al-Ahsab dan Rasail fi Fadl Ahlal Andalus, Ibnu Batutah (1304 – 1374) seorang sejarawan yangpernah berkunjung ke Indonesia dan Asia Tenggara, Ibnu Jubair dari Valencia (1145 – 1228 M) seorang ahli sejarah dan geografi yang menulis sejarah negeri-negeri muslim Mediterania dan Cicilia, Ibnu Khaldun dari Tunis, seorang ahli filsafat sejarah yang terkenal dengan bukunya Mukaddimah.

Bidang Agama dan Hukum Islam
            Bidang ilmu-ilmu Islam juga turut berkembang pesat di Andalusia, yang pada akhirnya melahirkan tokoh-tokoh yang berkompeten di bidang ini, antara lain Ibnu Rusyd yang terkenal dengan karyanya; Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayah al-Mukhtashid, dan Ibnu Hazm yang terkenal dengan karyanya; Al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam, dan sebagainya.

Bidang Musik dan Kesenian
            Tokoh yang terkenal pada masa ini di bidang musik dan seni suara adalah Al-hasan bin Nafi’ yang dijuluki Zaryab, ia adalah seorang seniman yang terkenal di zamannya.

Bidang Bahasa dan Sastra
            Di bidang bahasa dan sastra, bahas Arab merupakan bahasa administrasi bagi pemerintahan Islam Spanyol. Hal itu dapat diterima oleh orang-orang Islam dan muslim di negeri itu termasuk penduduk asli. Di antara tokoh yang terkenal pada masa itu adalah Ibn Malik pengarang kitab “Alfiyah”, Ibn Khuru, Ibn Al-Haj, dan sebagainya, sedangkan tokoh sastranya antara lain Ibn Abdi Rabah dengan bukunya Al-Iqd al-Farid, Ibn Basam dengan bukunya Al-Dzakirah fi Miahasin al-Jazirah, dan Al-Fath Ibn al-Haqan dengan karangannya Al-Qalaid.

Bidang Pembangunan Fisik
            Pemerintahan Islam di Andalusia juga mengembangkan dan membangun beberapa lembaga berikut sarana dan prasarananya, misalnya membangun tropong bintang di Cordova, membangun pasar dan jembatan, melakukan upaya pengendalian banjir dan penyimpanan air hujan, membangun sistem irigasi hidrolik dengan menggunakan roda air (water wheel), memperkenalkan tanaman padi dan jeruk, dan mendirikan pabrik-pabrik tekstil, kulit, logam, dan lainnya.[73]



Pengaruh Peradaban Islam Spanyol terhadap perkembangan Peradaban Eropa
Spanyol merupakan tempat paling utama bagi Eropa untuk menyerap peradaban Islam, baik dalm bentuk hubungan politik, sosial, maupun perekonomian, dan peradaban antar negara. Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol berada di bawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangganya eropa, terutama dalam pemikiran dan sains di samping bangunan fisik.

Tokoh Spanyol Islam yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran Eropa adalah Ibnu Rusyd, yang terkenal di Eropa dengan Averros (1120-1198 M). Averros dikenal sebagai orang yang melepaskan belenggu taklid dan menganjurkan kebebasan berpikir.[74]

Dari gerakan Averroeisme inilah di Eropa kemudian lahir reformasi pada abad ke-16 M dan Rasionalisme pada abad ke-17 M. Pengaruh-pengaruh peradaban Islam berawal dari banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di berbagai universitas Islam di Spanyol, seperti Universitas Cordova, Sevilla, Malaga, Granada, dan Samalanca. Selama belajar di Spanyol, mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuan muslim. Pusat penerjemahan buku adalah di Toledo. Setelah pulang ke negerinya, mereka mendirikan sekolah dan universitas yang sama. Universitas pertama di Eropa adalah Universitas Paris yang didirikan pada tahun 1231 M, tiga puluh tahun setelah wafatnya Ibnu Rusyd. Di akhir zaman pertengahan Eropa, baru berdiri 18 buah universitas. Di dalam universitas-universitas tersebut ilmu yang mereka peroleh dari universitas Islam diajarkan, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti, dan filsafat. Pemikiran filsafat yang paling banyak dipelajari adalah pemikiran Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd.[75]

Sementara itu, Abdullah Salim dalam Samsul Munir Amin mengklasifikasikan masuknya Peradaban Islam ke tanah Eropa dengan melalui berbagai jalur. Jalur-jalur tersebut adalah melalui Perang Salib, Negeri Sicilia, dan Spanyol (Andalusia).[76]

Perang Salib.
Selama perang Salib ini telah mengakibatkan terjadinya tukar menukar pengaruh budaya di antara mereka, atau lebih tepatnya penerimaan orang-orang Eropa atas corak-corak kebudayaan Islam. Penyebaran budaya ini tidak di ragukan lagi dengan ditopang oleh keterampilan dan ketangguhan orang-orang Arab dalam bidang perdagangan.  Di seluruh wilayah yang tunduk di bawah pemerintahan Islam, tidak hanya terdapat kebudayaan Islam saja yang relatif homogen melainkan juga barang-barang yang dihasilkan kaum muslim tersebar jauh melampaui batas-batas wilayah Islam.

Melalui Negeri Sicilia
Kita mengetahui, bahwa bangsa Arab menaklukan Sisilia di masa akhir dinasti Aghalibah yang berdiri di Afrika (Sekarang Tunisia dan Al-Jazair) di era Abbasiah, yaitu dipertengahan abad 3 hijriah atau 10 Masehi, dan paska Romawi menyerang daerah-daerah Islam. Ketika datang bangsa Fatimiah dan membangun kekuasaannya di Barat, mereka juga menguasai Sisilia bagian dari dinasti Aghalibah serta menguasai Selatan Italia sampai Roma. Penguasaan bangsa Arab terhadap daerah-daerah Italia menyebabkan peradaban Islam menjadi luas, daerah-daerah seperti Palermo, Messine, Siracusaa, Bari selanjutnya menjadi pusat peradaban Islam di Italia. Sampa dunia Kristen Latin daerah ini merasakan pengaruh Muslim melalui Sisilia.

Melalui Spanyol (Andalusia)
Sebagian besar pengaruh kebudayaan Islam atas Eropa terjadi akibat pendudukan kaum muslimin di Spanyol dan Sisilia. Selama delapan abad lamanya Bangsa Arab menempati daerah ini, Karenanya peradaban Islam menyebar di pusat-pusat tempat yang berbeda. Seperti: di Kordova, Sevilla, Granada, Toledo.

Penduduk Andalusia (Spanyol) mayoritas menganut ajaran masehi, yang kemudian terpecah dengan datangnya peradaban Arab, Bahkan mereka ganti bahasa mereka dengan berbicara dengan bahasa Arab. Mereka mengenal istilah Mozabarabes, di mana kata ini yang dalam bahasa Arab disebut mutha’rib. Untuk itu pula para pendeta Nasrani melakukan terjemahan Injil ke dalam bahasa Arab. Sejak pertama kali Islam menginjakkan kaki di Spanyol sebagaimana disebutkan dalam paragrap sebelumnya hingga kerajaan Islam berakhir di sana. Islam memainkan peranan yang sangat besar selama hampir 8 abad. Dari Spanyol lah peradaban Islam pindah ke Eropa.

Perkembangan Peradaban Islam di Indonesia
Fase Sebelum Kemerdekaan
            Islam datang di Indonesia dengan membawa peradaban baru yang memiliki corak keislaman secara khusus. Beberapa bentuk peradaban Islam mewarnai kehidupan dan pemikiran masyarakat Islam di Indonesia. Peradaban Islam yang dibawa para mubaligh Islam dari Arab dikulturasikan dengan tradisi dan budaya setempat. Akulturasi antara peradaban Islam dan masyarakat setempat menjadi terpadu yang membawa dampak positif bagi perkembangan budaya Islam di Indonesia. Di antara peradaban Islam di Indonesia antara lain sebagai berikut:

1) Sistem Birokrasi Keagamaan

Keberadaan ulama sebagai penasihat raja, terutama dalam bidang keagamaan terdapat pada kerajaan-kerajaan Islam. di Demak misalnya, penasihat Raden Fatah, raja pertama Demak adalah para wali. Terutama Sunan Ampel dan Sunan Kali Jaga. Bahkan di samping berperan sebagai guru agama dan mubaligh, Sunan Gunung Jati juga berperan sebagai kepala pemerintahan.

2) Peran Ulama dan Karya-Karyanya

Penyebaran dan pertumbuhan kebudayaan Islam di Indonesia terletak di pundak para ulama. Ada dua cara yang dilakukan para ulama dalam pengembangan ilmu-ilmu keagamaan, yaitu: membentuk kader-kader ulama dan menyebarkan karya-karya ke berbagai tempat yang jauh. Penyebaran dan pertumbuhan kebudayaan Islam di Indonesia terletak di pundak para ulama. Ada dua cara yang dilakukan para ulama dalam pengembangan ilmu-ilmu keagamaan, yaitu: membentuk kader-kader ulama dan menyebarkan karya-karya ke berbagai tempat yang jauh. Para tokoh ulama pertama di Indonesia adalah Hamzah Fansuri, seorang tokoh sufi terkemuka yang berasal dari Fansur Sumatera Utara. Karyanya yang terkenal berjudul Asarul Arifin fi Bayan ila Suluk wa At-Tauhid.

3) Corak Bangunan Arsitek

Oleh karena perbedaan latar belakang budaya, arsitektur bangunan Islam di Indonesia berbeda dengan yang terdapat di dunia Islam lainnya. Hasil-hasil seni bangunan pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia antara lain Masjid Kuno Demak, Masjid Agung Ciptarasa Kesepuhan di Cirebon, Masjid Agung Banten, Masjid Baiturrahman di Aceh, Masjis Ampel Surabaya, dan di darerah-daerah lain. [77]

b.Fase Setelah Kemerdekaan

Departemen Agama
Setelah kemerdekaan Indonesia, para pemimpin rakyat Indonesia sepakat menerapkan bentuk Republik dalam pemerintahan Indonesia. Dan berdasarkan pada asas pancasila dan UUD 1945. Dalam pancasila ditemukan kesamaan dengan ajaran Syariat Islam dalam Al-Qur’an sebagai sumber hukum utama umat Islam. Dalam struktur pemerintahan Republik Indoesia dibentuk departemen Agama yang dulu bernama kementrian agama. Pembentukan Kementrian Agama ini tidak lepas dari keputusan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dalam sidangnya pada tanggal 25-26 Agustus 1945 yang membahas agar dalam Indonesia yang merdeka ini soal-soal keagamaan digarap oleh suatu kementrian tersendiri, tidak lagi bagian tanggung jawab kementrian Pendidikan. Kementrian Agama resmi berdiri 3 Januari 1946 dengan Menteri Agama pertama M. Rasyidi yang diangkat pada 12 Maret 1946.

Pendidikan
Setelah berdirinya Departemen Agama, persoalan pendidikan mulai mendapat perhatian lebih serius. Badan pekerja komite nasional pusat dalam bulan desember 1945 menganjurkan agar pendidikan madrasah diteruskan. Kurikulum 1975 tercipta setelah melalui perjuangan pihak pengemban madrasah, untuk berusaha menyamakan status dan derajat madrasah yang dikelola oleh departemen agama dengan status dan derajat pendidikan lain yang dikelola oleh departemen pendidikan dan kebudayaan. Berkenaan dengan perguruan tinggi Islam kaum mukmin di Indonesia sejak awal sudah berfikir untuk membangunnya. Mahmud yunus membuka Islamic College pertama tanggal 9 desember 1940 di padang yang terdiri dari Fakultas Syari’ah dan Fakultas Pendidikan dan Bahasa Arab. Tujuannya adalah untuk mendidik Ulama. Pada tahun 1958 pemerintah terdorong untuk mendirikan Madrasah Negeri dengan ketentuan kurikulum 30% pelajaran agama, 70% pelajaran umum. Sistem penyelenggaraan sama dengan sekolah umum menggunakan tingkatan sebagai berikut:

Madrasah Ibtidaiyyah Negeri (MIN) setingkat SD, lama belajar 6 tahun.
Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) setingkat SMP, lama belajar 3 tahun.
Madrasah Aliyah Negeri (MAN) setingkat SMA, lama belajar 3 tahun.
Hukum Islam
Lembaga Islam yang sangat penting yang juga ditangani oleh Departemen Agama adalah Hukum atau Syari’at. Pengadilan Islam di Indonesia membatasi dirinya pada soal-soal hukum muamalat yang bersifat pribadi. Hukum muamalat terbatas pada persoalan nikah, cerai dan rujuk, hukum waris (faraidh), wakaf, hibah, dan baitul mal. Setelah Indonesia merdeka jumlah pengadilan agama bertambah, tetapi administrasinya tidak segera dapat diperbaiki. Para hakim Islam nampak ketat dan kaku karena hanya berpegang pada madzhab Syafi’i. Sementara itu, belum ada kitab undang-undang yang seragam yang dapat dijadikan pegangan para hakim dan pengadilan Agama di dominasi oleh golongan tradisionalis. Karena itulah, sekolah Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) dan Fakultas Syari’ah di perguruan-perguruan tinggi didirikan.

Haji
Setelah kemerdekaan, pada tahun 1970-an, banyak para pejabat tinggi pemerintah, termasuk mentri yang tidak ketinggalan berangkat ke tanah suci. Bahkan dari kalangan merekalah amir al-hajj (pemimpin jama’ah haji) Indonesia ditunjuk. Sejak zaman penjajahan belanda, umat Islam Indonesia ingin mempunyai kapal laut untuk dipergunakan dalam penyelenggaraan perjalanan haji. Iuran dikumpulkan, saham diedarkan, tetapi selama zaman jajahan keinginan ini tidak terwujud. Setelah Indonesia merdeka, usaha ini dilanjutkan. Pada tahun 1950 sebuah yayasan, yaitu perjalanan haji Indonesia, didirikan di Jakarta. Pemerintah memberikan kekuasaan kepada yayasan itu untuk menyelenggarakan perjalanan haji.

Majelis Ulama Indonesia
Cara yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menyelenggarakan administrasi Islam ialah mendirikan Majelis Ulama. Suatu program pemerintah, apalagi yang berkenaan dengan agama, hanya bisa berhasil dengan baik. Pertama kali Majelis Ulama didirikan pada masa pemerintahan Soekarno. Majelis ini pertama-tama berdiri di daerah-daerah karena diperlukan untuk menjalin keamanan. Di Jawa Barat berdiri pada tanggal 12 juli 1958, diketahui oleh seorang panglima militer. Setelah keamanan sudah pulih dari pemberontakan DI-TII tahun 1961 Majelis Ulama ini bergerak dalam kegiatan-kegiatan diluar persoalan keamanan, seperti Da’wah dan Pendidikan. [78]



Kesimpulan
Berdasarkan beberapa pembahasan di atas, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut:

Pertama, pemikiran Islam pada zaman Nabi Muhammad Saw, masih murni karena mendasar pada Rasulullah Saw. Pada periode ini tidak ada perselisihan pendapat dalam dasar-dasar ataupun kaidah-kaidah teologis. Pemikiran ini kemudian disebarkan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya. Pemikiran pada fase ini masih murni, hal ini dikarenakan pemikiran Islam tersebut hanya bersumber pada al-Qur’an dan Rasulullah, pemikiran Islam fase ini disandarkan pada kemurnian akhlak Rasulullah dan utamanya wahyu.

Kedua, hubungan pemikiran Islam dan Peradaban Islam pada masa awal pertumbuhan Islam mengalami interaksi timbal-balik dan saling mendukung dalam memajukan Islam

Ketiga, pengembangan pemikiran dan peradaban Islam dalam sejarahnya pernah mengalami distorsi pemaknaan sehingga hubungan keduanya mengalami hambatan dan berjalan tidak harmonis. Peradaban Islam mengalami hambatan perkembangan khususnya pada masa pertengahan sebagai akibat tidak berkembangnya ilmu pengetahuan di kalangan pemikir Islam, dan peradaban ditandai dengan peperangan dan pemusnahan sesama negara Islam karena pertentangan pemikiran dan dominasi kekuasaan dalam alam pikir penguasa.

Keempat, sejarah perkembangan pemikiran dan peradaban Islam baik masa klasik, pertengahan dan modern, mempunyai pengaruh amat besar pada peradaban-peradaban sesudahnya. Kemajuan pemikiran dan peradaban Islam pada masing-masing wilayah dan dinasti pada umumnya karena dipengaruhi kecintaan pemerintah ataupun pengikutnya pada ilmu pengetahuan.

Kelima, sejarah perkembangan peradaban Islam pada masa Rasulullah Saw yang paling dasyat dan fenomenal adalah perubahan sosial. Suatu perubahan yang mendasar dari masa kebobrokan moral menuju moralitas manusia yang beradab. Peradaban pada masa Rasulullah SAW dilandasi dengan asas-asa yang diciptakan sendiri oleh Rasulullah SAW di bawah bimbingan wahyu yaitu Islam. Islam sangat berperan penting dalam menciptakan peradaban yang luar biasa yang tercipta pada masa zaman Nabi Muhammad dan aktor penting di balik itu semua tidak lain ialah Nabi Muhammad sendiri. Nabi Muhammad tidak hanya sebagai Nabi melaikan ia juga memerankan sebagai pengajar, pendidik, pemimpin, pemimpin militer, politikus, reformis, dan lain-lain.

Keempat, perkembangan pemikiran dan peradaban Islam dalam perspektif sejarah adalah sebuah gambaran dan keadaan aktifitas yang dilakukan manusia pada masa lampau yang bersumber dan berpedoman kepada ajaran Islam yaitu Al Qur’an dan Hadits. Sejarah perkembangan pemikiran dan peradaban Islam yang mempunyai berbagai macam pengertian lain di antaranya, (1) sejarah pemikiran dan peradaban Islam merupakan kemajuan dan tingkat kecerdasan akal yang dihasilkan dalam satu periode nabi Muhammad Saw sampai perkembangan kekuasaan Islam sekarang.  (2) sejarah pemikiran dan peradaban Islam merupakan hasil-hasil yang dicapai oleh umat islam dalam lapangan pemikiran, kesustraan, ilmu pengetahuan, kesenian, dan lain-lain.

       Kelima, peradaban Islam berkembang di Andalusia Spanyol dan membawa dampak pengaruh bagi peradaban Eropa. Spanyol merupakan tempat paling utama dan jembatan emas bagi Eropa dalam menyerap peradaban Islam dan hasil-hasil kebudayaan Islam, baik dalam bentuk hubungan politik, social, perekonomian, maupun peradaban antarnegara. Orang-orang eropa menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol berada dibawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangga Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains. Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini banyak berhutang budi kepada khazanah ilmu pengetahan Islam yang berkembang di periode klasik.

Ke enam, peradaban Islam juga berkembang di Indonesia yang muncul baik sebelum dan sesudah kemerdekaan, sebelum kemerdekaan ditandai dengan berdirinya sistem birokrasi keagamaan yang ada masa kerajaan-kerajaan Islam, peran ulama dan karya-karyanya, dan corak bangunan arsitektur. Adapun setelah kemerdekaan ditandai berdirinya Departemen Agama, lembaga pendidikan Islam, lembaga hukum Islam, pelayanan haji, dan MUI.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Yusri Abdul Ghani, Historiografi Islam; dari Klasik hingga Modern, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004.

Abdurrahman, Dudung, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos, 1999.

Al-Buthy, Muhammad Sa’id Ramadhan, Sirah Nabawiyah Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW, Jakarta: Robbani Press, 2010.

Al-Faruqi, Ismail Raj’i, Tauhid, terjemahan Rahmani Astuti, Bandung: Pustaka, 1982.

Al-Khaththath, Muhammad, dalam www. hatulislam. wordpress. com/2007/01/29/ mengadopsi-pemikiran-islam/, Penulis, diakses 1 Januari 2014.

Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010.

Bakri, Syamsul, Peta Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011.

Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.

Hasan, Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2006.

Hitti, Philip K, History Of Arabs, terjemah R Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002.

http://atiqallahhubbuddin.blogspot.com/2011/01/12.html diakses pada tanggal 01 Januari 2014

http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/25/definisi-perkembangan-302556.html diakses tanggal 1 Januari 2014

Ibn Khaldun, Abdur Rahman, Muqaddimah Ibn Khaldun, Beirut: Dar Al-Kotoob Al-Ilmiyyah, t.t.

Ibrahim Hasan, Hasan, Tarikh al-Islam as-Siyasi wa Ats-Tsaqafi wa al-Ijtima’i, Kairo: Maktabah an-Nadhhah al-Misriyah, 1979.

Karim, M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.

______________, Islam Nusantara, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.

Khaldun, Ibnu, al-Muqaddimah, Mesir: Musthara Muhammad, t.t.

Ma’luf, Louis, al-Munjid fi al Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar al-Masyriq, 1986.

Machasin, Pemikiran dan Peradaban Islam, Makalah disampaikan pada acara diskusi “Riset dan Review Kurikulum Pendidikan Keagamaan”, Diselenggarakan Pusat Studi Islam Universitas Islam Inonesia, pada tanggal 28 Oktober 2003,Yogyakarta

Majdid Wahab, Kamil al-Muhandis, Mu’jam al-Mushthalahat al-Arabiyah fi al-Lughah wa al-Adab, Beirut: Maktabah Lubbani, 1984.

Mansur, Peradaban Islam dan Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004.

Munawir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif,1997.

Nashir, M. Ja’far, Sejarah Pemikiran Islam dalam http://uinjkt-pmlng-rddk.blogspot.com/2009/03/sejarah-pemikiran-islam.html diakses tanggal 1 Januari 2014

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1994

______________, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Nata, Abudin, Studi Islam Komprehensif, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.

Poerwadarminto,WJS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2006.

Quthub, Sayyid, Konsepsi Sejarah dalam Islam, Terjemahan Tarikhuna fi dzou’il al Islam, penerjemah Nabhan Husein, Jakarta: Pedoman ilmu Jaya, 1992

Rais, Amien dalam John J. Donohue, Islam dan Pembaharuan : Ensiklopedi Masalah-Masalah, terjemahan. Jakarta: Raja Grafindo Press, 1995.

Schroeeder, Ralph, Max Weber and The Sociology of Culture, London: Sage, 1992

Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2005

Susanto, A, Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah, 2009.

Syalabi, Ahmad, Sejarah Kebudayaan Islam 2, Jakarta: Pustaka al-Husna, 2003.

_____________, Tarikh al Islamiyah al hadzarah al islamiyah, (Kairo: …….., 1978.

Syukur, Amin, Pengantar Study Islam, Semarang: CV. Bima Sejati, 2000.

Tim Penyusun Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005.

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiah II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011.

___________, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005

                [1]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 15

[2]Mansur, Peradaban Islam dan Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004), h. 7

[3]Ibid., h. 1

                [4]Machasin, Pemikiran dan Peradaban Islam, Makalah disampaikan pada acara diskusi “Riset dan Review Kurikulum Pendidikan Keagamaan”, Diselenggarakan Pusat Studi Islam Universitas Islam Inonesia, pada tanggal 28 Oktober 2003,Yogyakarta, h.1.

                [5]Tim Penyusun Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 447

                [6]http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/25/definisi-perkembangan-302556.html diakses tanggal 1 Januari 2014

                [7]A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009) h. 3

                [8]http://atiqallahhubbuddin.blogspot.com/2011/01/12.html diakses pada tanggal 01 Januari 2014

[9]WJS. Poerwadarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2006), h. 628.

[10]M. Abdul. Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), h. 40

[11]Ibid., h 38

                [12]Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif,1997), hh. 656-656

                [13]Amin Syukur, Pengantar Study Islam., ( Semarang: CV. Bima Sejati, 2000), hh. 27 – 28

                [14]Lihat www. hatulislam. wordpress. com/2007/01/29/mengadopsi-pemikiran-islam/, Penulis Muhammad al-Khaththath, diakses 1 Januari 2014

                [15]M. Abdul Karim, Islam Nusantara, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), h. 38.

                [16]M. Abdul. Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, h. 38

                [17]Ibid., h. 35

                [18]Ahmad Syalaby, Tarikh al Islamiyah al hadzarah al islamiyah, (Kairo: …….., 1978), cet. 4, h. 10

                [19]Yusri Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Islam; dari Klasik hingga Modern, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004), hh. VII – IX

                [20]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 1

                [21]Ibid.

                [22]Ibid., h. 3

                [23]M. Abdul. Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, h.36

                [24]Tim Penyusun Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 647

                [25]Louis Ma’luf, al-Munjid fi al Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), h. 8

                [26]Kamil al-Muhandis Majdid Wahab, Mu’jam al-Mushthalahat al-Arabiyah fi al-Lughah wa al-Adab, (Beirut: Maktabah Lubbani, 1984), h. 84

                [27]Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos, 1999), hh. 2-3

                [28]Sayyid Quthub, Konsepsi Sejarah dalam Islam, Terjemahan Tarikhuna fi dzou’il al Islam, penerjemah Nabhan Husein, (Jakarta: Pedoman ilmu Jaya, 1992), hh. 40-55.

                [29]Mansur, Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 1

                [30]Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, h, 1

                [31]Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah, (Mesir: Musthara Muhammad, t.t), h. 4

                [32]M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, h. 40.

                [33]Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Lihat pula: Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1994), h. 112.

                [34]Ralph Schroeeder, Max Weber and The Sociology of Culture (London: Sage, 1992), h. 150-151.

                [35] Syamsul Bakri, Peta Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011), hh.19-20
                [36]Abdur Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (Beirut: Dar Al-Kotoob Al-Ilmiyyah, t.t.), hh. 344-345.

                [37]Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, h. 71.

                [38]Syamsul Bakri, Peta Sejarah Peradaban Islam, h. 11.

                [39]Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, h. 70.

                [40]Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, h. 82.

                [41]Ibid., h. 83.

                [42]Ibid., h. 84.

                [43]Ibid., hh. 85-86.

                [44]Ibid., hh. 87-88.

                [45] Ismail Raj’i Al-Faruqi, Tauhid, terjemahan Rahmani Astuti (Bandung: Pustaka, 1982), h. vii.

[46]Amien Rais dalam John J. Donohue, Islam dan Pembaharuan : Ensiklopedi Masalah-Masalah, terjemahan (Jakarta: Raja Grafindo Press, 1995), h. x.

                      [47]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 25.

                [48]Amien Rais dalam John J. Donohue, Islam dan Pembaharuan…

                [49]Ibid., h. xii.

                [50]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam., h. 66.

                [51]Ibid., h. 167.

                [52]Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2005), h. 306.

                [53]M. Ja’far Nashir, sejarah Pemikiran Islam dalam http://uinjkt-pmlng-rddk.blogspot.com/2009/03/sejarah-pemikiran-islam.html diakses tanggal 1 Januari 2014

                [54]http://kumpulanmakalahkuliah.blogspot.com/2013/09/sejarah-perkembangan-pemikiran-islam.html
                [55]Sebagian besar daerah Jazirah adalah padang pasir sahara yang terletak di tengah dan memiliki keadaan dan sifat yang berbeda-beda, karena itu ia bisa dibagi menjadi tiga bagian , pertam. Sahara Langit memanjang 140 mil dari utara ke selatan dan 180 mil dari timur ke barat, disebut juga Sahara Nufud. Oase dan mata air jarang, tiupan angin seringkali menimbulkan kabut debu yang mengakibatkan daerah ini sukar ditempuh. Kedua, Sahara Selatan yang membentang menyambung Sahara Langit ke arah timur sampai selatan Persia. Hampir seluruhnya merupakan dataran keras, tandus dan pasir bergelombang. Daerah ini juga disebut dengan al-Rub’ al-Khali (bagian sepi). Ketiga. Sahara Harrat, suatu daerah yang terdiri dari tanah liat yang berbatu hitam bagaikan terbakar. Gugusan batu-batu hitam itu menyebar diseluruh Sahara ini, seluruhnya mencapai 29 buah. Lihat: : Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiah II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h.10.

                [56]Nabi Muhammad SAW dilahirkan pada tahun Gajah, yakni tahun saat Abraham al-Asyram berusaha menyerang Makkah dan mnghancurkan Ka’bah. Allah lalu menggagalkannya dengan mukjizat yang mengagumkan, sebagaimana diceritakan di dalam al-Quran. Menurut riwayat yang paling kuat, kelahiran Nabi Muhammad SAW jatuh pada hari senin malam, 12 Rabi’ul Awwal. Lihat: Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, Sirah Nabawiyah Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW, (Jakarta: Robbani Press, 2010), h. 31.

                [57]Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006) h.137.

                [58]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, hh. 91-93

                [59]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), hh. 35-49

                [60]Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 340

                [61]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, h. 118

                [62]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hh. 42-43

                [63]Philip K. Hitti, History Of Arabs, terjemah R Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002), hh. 300-337

                [64]Ash-Shafah artinya penumpah darah. Menurut Prof.Dr. Hamka Abu Abbas Ash-Shafah dikenal sebagai orang yang masyhur karena kedermawanannya, kuat ingatannya, keras hati, tetapi sangat besar dendamnya kepada Bani Umayyah, sehingga dengan tidak mengenal belas kasihan dibunuhnya keturunan-keturunan Bani Umayyah itu. Lihat Prof.Dr. Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h. 102

                [65]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hh. 49-60.

                [66]Ibid, hh. 49-60

                [67]Ibid., h. 88

                [68]Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam 2, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 2003), h.128

                [69]Ibid.

                [70]Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam as-Siyasi wa Ats-Tsaqafi wa al-Ijtima’i, (Kairo: Maktabah an-Nadhhah al-Misriyah, 1979), h. 319

                [71]Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam 2, h. 130

                [72]Ibid., hh.130-31
                [73]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hh. 101-104

                [74]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, h. 177

                [75]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam., h. 109

                [76]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, h. 180

                [77]Ibid., hh. 408-417

                [78]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hh. 306-320

https://jejen79.wordpress.com/2014/11/24/perkembangan-pemikiran-dan-peradaban-islam-dalam-perspektif-sejarah/