PROPAGANDA
Propaganda
adalah cara cuci otak pemerintah persis seperti Hitler dgn ganyang Yahudinya
pemerintah kita mempergunakan Propaganda sebagai cuci otak Komunal. dulu kita
mengenal" ganyang Malaysia" kemudian " ganyang PKI"
sekarang "ganyang PRD" Propaganda ini sangat berbahaya. Bukan saja
menyesatkan tapi bisa membakar emosi orang terhadap dan menimbulkan sikap
brutal terhadap orang yg sudah diberi cap " ganyang".
Banyak orang yang
melupakan sejarah, Bahwa PKI itu dulu adalah partai yang sah. Tetapi berkat
program brain wash pemerintah yg
bernama pelajaran PMP dan penataran P4, maka PKI tak ubahnya seperti hantu yang
menakutkan. Maka coba lihat betapa image terhadap PKI sudah sedemikian jeleknya
sampai anak dan cucu PKI sendiri masih diaanggap berbahaya oleh masyarakat.
Kini giliran PRD pun tiba.Pemerintah dgn susah payah mencoba menghipnotis
masyarakat bahwa PRD itu adalah PKI.Padahal perjuangan PRD itu sebenarnya
perjuangan yang mewakili tuntutan perubahan kita semua.Dan kebanyakan dari
mereka bukan generasi yang lahir pada saat PKI berkuasa. Suatu saat nanti
mungkin semua orang yang ingin bekerja harus melampirkan surat bebas PRD agar
bisa bekerja.
Propaganda
Jerman dgn " Heil Hitler" nya di terjemahkan oleh pemerintah dgn gaya
yg lain." Suharto Bapak Pembangunan". atau " "Suharto
penyambung Lidah rakyat". Propaganda sangat membodohkan kita semua. Satu
Satunya cara untuk melumpuhkan Propaganda adalah dengan Counter Attack.
Cipatakan Counter Propaganda baru seperti" Down with Golkar"
atau"Lengserkan Orde Baru" atau yang lebih radikal " Ganyang
Suharto"
Apakah label komunisme yang dipakai
pemerintah untuk menyapu bersih gerakan prodemokrasi
masih cukup efektif?
* Sederhana saja, kalau kita belajar
dari sejarah dan pelajari teori-teori komunikasi dan propaganda, ada satu
diktum yang menyatakan bahwa informasi atau indoktrinasi yang terus-menerus dijejalkan
tanpa didukung oleh bukti empirik; lama kelamaan akan
membuat orang yang menerima menjadi mual dan muntah. Nah, demikian halnya dengan 'hantu komunisme' yang dipakai pemerintah saat ini. Masyarakat awam sudah kebal dan tidak percaya lagi, apalagi kalangan aktivis pro-demokrasi. Lagipula 'teror' itu saya gunakan istilah ini karena lebih tepat terbukti lebih banyak digunakan untuk membungkam suara-suara kritis dan mengalihkan perhatian dari masalah sosial yang ada. Kalaupun kemudian masyarakat takut akan pelabelan atau stigmatisasi komunis itu lebih karena kekhawatiran mereka akan implikasi tindakan represi dari pemerintah.
membuat orang yang menerima menjadi mual dan muntah. Nah, demikian halnya dengan 'hantu komunisme' yang dipakai pemerintah saat ini. Masyarakat awam sudah kebal dan tidak percaya lagi, apalagi kalangan aktivis pro-demokrasi. Lagipula 'teror' itu saya gunakan istilah ini karena lebih tepat terbukti lebih banyak digunakan untuk membungkam suara-suara kritis dan mengalihkan perhatian dari masalah sosial yang ada. Kalaupun kemudian masyarakat takut akan pelabelan atau stigmatisasi komunis itu lebih karena kekhawatiran mereka akan implikasi tindakan represi dari pemerintah.
Anda percaya kekuatan pro-demokrasi
akan kembali bangkit di masa rezim Soeharto ini?
* Tentu saja kekuatan prodemokrasi
kembali akan bangkit. Selama ada ketidakadilan, penyimpangan sosial, dan
penyalahgunaan kekuasaan; resultantenya selalu muncul aktor-aktor yang menuntut
dan menginginkan reformasi dan demokratisasi. Semangat semacam itu tidak bisa
ditindas dengan kekerasan fisik. Apalagi pergerakan selama ini, meskipun belum
menunjukkan kinerja dan kualitas yang optimal, tapi secara embriotik cukup
prospektif.
Kapan mereka bangkit?
* Kalau ditanya kapan waktunya, sebetulnya
sekarang inipun kelompok-kelompok prodemokrasi tetap melakukan aktivitas
seperti biasa, tapi mengapa tak terlihat dipermukaan? Jawabannya tergantung
pada isyu dan momentumnya apa yang menstimulusnya. Apakah masyarakat juga
optimis terhadap gerakan prodemokrasi?
* Ini bukan persoalan optimis atau pesimis.
Gerak sejarah memperlihatkan bahwa sebuah rejim otoriter pada saatnya akan
mengalami krisis. Krisis itu inheren pada rejim itu sendiri. Secara struktural
rejim otoriter akan mengalami kemandekan karena tidak mampu untuk memperbaiki
atau mereproduksi sistimnya sendiri.
Akan tetapi krisis itu tidak akan
memuncak dan mengarah kepada transisi menuju perubahan, kalau tidak aktor-aktor
yang memfasilitasinya. Nah, di sinilah fungsi gerakan prodemokrasi. Perubahan
akan terjadi sebagai hasil dialektika dari ketegangan struktural dan subyektivitas
aktor pro-demokrasi.
Perselisihan di tingkat elit dan
tekanan internasional, apakah itu juga bisa jadi alasan optimis?
* Fragmentasi di kalangan elit politik/militer
memang sedikit memberi peluang atau keleluasaan ruang gerak kelompok prodemokrasi
melakukan manuver politik, demikian juga tekanan internasional sedikit memberi
perlindungan atau proteksi pada aktor prodemokrasi dari tekanan negara. Namun
menurut hemat saya, faktor yang paling signifikan bagi transisi menuju
demokratisasi di Indonesia adalah pergeseran struktur ekonomi dan gerak,
mobilitas modal. Perubahan di Indonesia kelak merupakan hasil dari konflik kelas
antara pemodal transnasional, pemodal domestik, dengan pemodal yang selama ini
menjalankan praktek rente-kapitalisme.
Mengenai Megawati, masihkah ia
potensial setelah 27 Juli terjadi?
* Megawati tetap menjadi salah satu
figur penting dalam transisi dan demokratisasi di Indonesia. Sekarang saja ia
sudah menjadi simbol harapan rakyat Indonesia akan perbaikan sosial.
Performancenya yang sejuk dan cenderung nonkonfrotatif tampaknya menjadi obat
bagi masyarakat Indonesia yang sakit, karena trauma politik peristiwa 1965.
Walaupun ia belum menunjukkan kapasitas politik intelektual seperti yang diharapkan
oleh kalangan terpelajar kota dan sedikit banyak kepopulerannya juga didukung oleh
kharisma ayahnya, Bung Karno. Namun itu saja, sudah menunjukkan bahwa gerakan
pro-demokrasi tidak bisa mengabaikan Megawati, perlu ada dialog lebih lanjut
dan kerangka kerja yang lebih konkrit dengannya.
Bila sedikit
berefleksi, melihat peristiwa 27 Juli serta dampaknya, pelajaran apa yang bisa
diambil dari kejadian itu? Apakah gerakan pro-demokrasi saat itu overestimate?
* Persoalannya bukanlah gerakan pro-demokrasi
yang terlalu overestimasi atau terlalu percaya diri, tapi itu adalah konsekuensi
dari sebuah pilihan dan keberpihakan. Politik adalah seni mencari kemungkinan.
Lagipula gerakan pro-demokrasi memang mau tak mau harus mendukung Megawati
karena 'kekotoran' yang dilakukan pemerintah untuk menggeser Megawati. Adalah
tindakan amoral dan tak bertanggungjawab apabila kelompok dan individu yang
mengklaim ingin mewujudkan demokrasi di Indonesia,hanya berdiam diri atau pasif
melihat praktek abuses of power. Kalaupun kemudian yang terjadi adalah reaksi
keras dan represi dari pemerintah, yang harus
dilihat bukanlah akibatnya tapi apa sebabnya. Sejauh ini yang dilakukan oleh
PDI di bawah Megawati dan gerakan pro-demokrasi tetap berada dijalur yang konstitusional
dan demokratik. Demonstrasi turun ke jalan dan mimbar bebas adalah prosedur
demokratik yang sah.
Apa yang bisa dipergunakan untuk kembali
mempersatukan, mengkonsolidasikan kekuatan pro-demokrasi saat ini?
* Untuk soal ini, saya kira tak ada
satupun yang bisa dengan jitu menebak isyu apa yang bisa mempersatukan atau
mengkonsolidasi kekuatan pro-demokrasi. Begitu banyak isyu sosial, ekonomi, dan
politik yang problematik dalam masyarakat Indonesia. Yang manapun bisa menjadi
trigger. Persoalannya sekarang kembali kepada aktor-aktor pro-demokrasi itu
sendiri, apakah mereka mampu meningkatkan pengorganisasian diri dengan baik dan
disiplin. Tak hanya beraliansi sekedar karena reaksi terhadap satu kasus saja.
Tapi membangun aliansi yang permanen. Aliansi strategis. Dan yang paling penting
lagi bagaimana kekuatan pro-demokrasi mampu membangkitkan resistensi,
perlawanan rakyat. Meski sekarang masih banyak yang 'tiarap'...
* Seharusnya kita lihat, peristiwa 27
Juli merupakan pendidikan politik yang paling berharga bagi rakyat Indonesia.
Kesadaran politik rakyat jauh lebih baik dari apa yang selama ini kita kira.
Karena secara transparan rakyat melihat dengan jelas bagaimana praktek politik
yang dijalankan pemerintah. Dan, kalau kita mau melihat dengan jernih, boleh dikata
kelompok-kelompok dalam masyarakat tidak banyak terpengaruh peristiwa 27 Juli.
Lihat saja aksi protes buruh atau protes rakyat yang tanahnya mengalami sengketa
tetap muncul. Yang justru aktivitasnya menurun adalah kelompok-kelompok yang
selama ini mengklaim pro-demokrasi. Apa artinya ini? Bagi rakyat yang menjadi
korban 'pembangunan', perubahan adalah suatu hal yang mendesak yang menyangkut
keberlangsungan hidup mereka sehari-hari, sedangkan bagi kelompok-
kelompok pro-demokrasi yang kebanyakan dari mereka masuk kategori kelas menengah, pada dasarnya ada atau tidak perubahan, keberlangsungan hidup mereka sehari-hari masih lebih terjamin
kelompok pro-demokrasi yang kebanyakan dari mereka masuk kategori kelas menengah, pada dasarnya ada atau tidak perubahan, keberlangsungan hidup mereka sehari-hari masih lebih terjamin
Propaganda
Monyong
Oleh : Nirwanto Ki S Hendrowinoto
Peserta pemilu
dengan berbagai ulah habis-habisan unjuk gigi. Mulai dari kampanye di ruang
tertutup sampai di jalan-jalan dan lapangan terbuka mereka buka-bukaan
menyampaikan ‘iklan’ dagang partai agar rakyat simpati dan mencoblosnya. Meski
sebutan era reformasi tapi propaganda di masa sekarang nyaris tidak ada bedanya
dengan model kampanye di zaman Orde Baru. Gayanya, jahitannya, bahannya,
apalagi potongan dan cara-cara bicara untuk meminang massa samimawon. Mereka
masih menjual ‘konflik’ dan bukan program-program nyata memperbaiki nasib
bangsa. Hampir semua partai peserta pemilu masih mengobral ‘janji’ bukan
‘bukti’. Kalaupun ada partai yang melakukan kampanye dengan pendekatan
dialogis, gregetnya nyaris kurang terasa. Boleh dibilang ibarat masakan kurang
bumbu penyedap dan ”gizi”. Perang propaganda untuk masa sekarang, bukan hanya
dengan menjual angin suara saja tetapi juga sudah sampai bicara berapa jumlah
angpao yang harus dibagi-bagikan. Semua ini dilakukan untuk menjaring dan meraih
simpati sebanyak-banyaknya. ltu sebabnya, kampanye melalui media massa dan
media elektronik dianggap sangat menguntungkan dan dapat mempengaruhi massa
begitu cepat. Menariknya secara terbuka partai peserta pemilu bonek (bondo
nekat) menyatakan dirinya sebagai partai yang siap membela dan mensejahterahkan
rakyat. Padahal dagangan kecap nomor satu ini bukan hal yang baru, melainkan
sudah dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Rakyat sudah muak dan bosan dengan
janji-janji palsu, sebab pada prakteknya sejak pemilu pertama di gelar di Tanah
Air hingga sekarang, hasilnya sama saja rakyat nasibnya tetap melarat. Kini
tawaran berbagai merk itu secara kontinyu menyerbu di rumah rakyat melalui
media televisi. Tujuannya tidak lain, partai peserta pemilu ingin mengajak
rujuk nasional. Propaganda ini ternyata cukup efektif bahkan dapat merayap
sampai ke pelosok-pelosok tanah air. Mulai dari kakek-kakek, nenek-nenek serta
anak-anak kecil sudah pandai mengeja pesan, ”Cong Tih” sambit menunjuk ke arah
moncong mulutnya.
Propaganda
Semu; Bagi masyarakat majemuk seperti di Indonesia sekecil apapun informasi
yang sampai ke telinga rakyat sudah dapat dipastikan penyebarannya begitu cepat
dan mudah terprovokasi. Semua ini karena peran media cetak maupun elektronik
yang telah menjadi kebutuhan masyarakat. Baru-baru ini - misalnya penyakit
demam berdarah telah menjadi musibah nasional.Melalui media massa dan
elektronik informasi itu dapatdengan cepat diketahui oleh masyarakat luas.
Begitupun dengan iklan layanan masyarakat agar menjaga lingkungan merupakan
bukti pesan yang sangat jitu dan mujarab. Oleh karenanya dengan begitu
banyaknya partai peserta pemilu mengadu ‘monyong’ di televisi, bukannya
masyarakat bertambah cerdas untuk memilih partai mana yang akan dijadikan
idolanya, tetapi justru kebingungan tujuh keliling mana yang musti dicoblos.
Adu Monyong; Menjual kebohongan merupakan pekerjaan yang tidak terlampau sulit. Seperti yang kita saksikan dipinggiran jalan trotoar, begitu banyak para pedagang yang ‘menyihir’ para konsumennya agar tertarik membeli sebuah produk. Pemasaran dengan kiat mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan cara berbohong, pasti tidak akan langgeng dan menjadi berkah. Begitu juga, kalau partai peserta pemilu dalam kampanye cuma adu monyong menjual ‘kebohongan’ , rakyat pasti akan ngacir kabur. Pengalaman sudah membuktikan.Semestinya dalam setiap penyelenggaraan Pemilu, tatanan kehidupan masyarakat bertambah baik bukannya bertambah sengsara. Tetapi apa yang terjadi? Inilah nasib yang menimpa di tanah air kita, pemilu justru mengundang persoalan baru. Bukannya menuju pada perbaikan nasib bangsa tetapi justru sebaliknya
(Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan
budaya
Propaganda
vs Terorisme
Oleh
HUSIN M. Al-BANJARI
DALAM
bukunya "Weltgeschichte der Spionage" (Sejarah Dunia Spionase, Suedwest
Verlag GmbH & Co. KG, Muenchen, 1988), yang berisi agen, sistem, dan aksi
spionase, seorang ahli sejarah spionase Jerman, Janusz Piekalkiewicz, menutup
uraiannya dengan sebuah prediksi, "Tujuan kegiatan dinas rahasia dalam
bidang spionase militer di masa mendatang adalah pengintaian potensi-potensi
angkatan bersenjata lawan yang diprediksi dalam sepuluh tahun ke depan akan
terjadi penemuan perala tan baru...."
Empat ratus
tahun Sebelum Masehi, ahli strategi perang Cina, Sun Tzu, mengatakan,
"Seratus kemenangan dalam seratus pertempuran bukanlah puncak bersejarah.
Adapun seni paling tinggi adalah menekuk lawan tanpa kontak senjata." Misi
"menaklukkan lawan tanpa kontak senjata" sering identik dengan misi
spionase. Spionaselah yang memegang kunci agar perang dimenangkan dengan mudah,
juga murah. "Wissen ist niemals zu teuer bezahlt" (tahu tidak
pernah bayar mahal), itulah keyakinan Sir Francis Walsingham yang membentuk
badan intelijen Inggris "Secret Service" adab XVI.
Karena kemiripan
dalam sifat kerahasiaannya ("seorang dinas rahasia harus tetap
rahasia." -George C. Marshall), propaganda dan terorisme sama-sama
menggunakan cara-cara atau biasa memanfaatkan jasa, spionase. Bahkan dapat
dikatakan, bahwa propaganda dan terorisme adalah kegiatan spionase itu sendiri.
Rupanya buku
tersebut amat terilhami oleh bayangan "keberlanjutan" perlombaan
senjata selama Perang Dingin; ada gambaran musuh yang nyata, teknologi dan
persenjataan yang nyata, serta rencana penyerangan yang nyata pula. Bayangan
perang "konvensional" seperti itu ternyata meleset, namun tidak
berarti kegiatan pengintaian (mata-mata, spionase), sebagai sebuah alat bantu
untuk menaklukan lawan terserah apa "lawan" didefinisikan berhenti.
Zaman
berubah, seting konfrontasi global berubah. Menutup abad 20 ini Perang Dingin
AS vs Uni Soviet telah berakhir, maka definisi tentang "musuh" pun
perlu dipikirkan ulang, terutama bagi pemenang. Penggelindingan bola politik
tata dunia dari demokrasi ke globalisasi yang dimotori AS, selain dianggap
membawa optimisme bagi kemanusiaan, juga mengandung janin dan melahirkan
sepasang oposisi biner baru; yang teramat serius mengancam jalannya pertumbuhan
peradaban: propaganda vs terorisme. Kesannya, bukan lagi Perang Dingin penuh
intrik dan selubung ketegangan, tetapi semuanya menjadi begitu kontras, vulgar,
dan terbuka. Memang, ada alasan yang cukup mengapa satu negara adidaya
mengambil propaganda perang "panas" ini.
Adalah The New
York Times kian produktif mengusung aktualisasi makna dua kosakata
(propaganda dan terorisme) ini ke hadapan publik. Sudah mafhum, kalau surat
kabar ini menuding Indonesia sebagai salah satu negara sarang teroris. Dalam
edisi 9 Oktober 2001 koran ini mengutip sumber Pentagon bahwa Al-Qaida mengembangkan
organisasinya di tiga negara (Indonesia, Filipina, dan Malaysia) setelah
Afganistan. Lagi, koran ini, edisi 16 Desember 2002, mengutip pejabat senior
Pentagon ihwal perdebatan menyangkut misi propaganda rahasia militer AS di
negara sahabat di Timur Tengah, Asia, dan Eropa. Di antara misi rahasia itu
adalah mendiskreditkan dan meruntuhkan pengaruh masjid dan sekolah Islam,
mendirikan sekolah yang didanai AS, dan mengajarkan Islam ala Amerika. Ini
semua berarti, suatu awal babak baru pertempuran yang lebih vulgar, telah
ditandai.
Tulisan ini
tidak akan membahas sepak terjang Amrozi, Faruq, Ladin, juga Bush, ataupun
Blair. Juga tidak akan terpancing dengan isi ungkapan karena itu hanyalah
simbol-simbol yang fenomenal, namun membaca ada semacam skenario global sedang
memperhadapkan dua isu politik global agar saling bertubrukan: propaganda vs
terorisme.
Pertanyaannya,
wajarkah alam kita saat ini harus diselimuti oleh dua "hantu zaman"
yang mengerikan ini, sedangkan isu-isu "penyelamatan zaman" seperti
dialog, toleransi, HAM, demokratisasi, dan keberadaban, baru saja gencar
dikhotbahkan? Terkesan ada setting sejarah yang "dipercepat,"
terburu-buru. Dari mana terlihat? Jawabannya rasa-rasanya kasat mata, bahwa
dampak yang ditimbulkan oleh gejala perang baru (terorisme vs propaganda) tak
lagi membutuhkan dialog, pertimbangan HAM, apa itu demokrasi, berapa nyawa
manusia melayang, dll, semuanya itu semacam "sudah terlampaui";
usang; tak penting lagi.
Sederhananya mungkin
begini: Orang besar-kuat, tetapi penakut akan mengambil jalan propaganda, orang
kecil-miskin, tetapi nekat akan menempuh jalan teror. Dua-duanya seimbang dalam
memproduk ketakutan manusia dan kegelisahan peradaban.
Itulah barangkali
strategi khas untuk sebuah setting peperangan yang tidak seimbang. Yang
khas lagi dari keduanya adalah absen dalam dua hal: fairness dan
sportivitas. Duel konvensional amat dihindari dua pihak bertikai ini. Kekuatan
kecil menghadang yang besar, tentu hanya langkah fatal; kekuatan besar
mengeroyok yang kecil, memalukan. Tampaknya kedua belah pihak lebih sepakat
untuk "lempar batu sembunyi tangan".
Namun,
semena-mena mengatakan AS sebagai penakut, rasanya kurang wajar. Lalu, mengapa
AS yang adidaya itu menggelar propaganda? Jawabannya dapat dirujuk dari
filsafat globalisasi itu sendiri. Tata ekonomi baru yang disebut
"globalisasi" yang datang bersamaan dengan filsafat ekonomi-politik
neoliberalisme memandang manusia beserta seluruh aspeknya semata-mata sebagai homo
economicus (manusia ekonomi) dan menetapkannya sebagai satu-satunya model
yang mendasari tindakan dan relasi manusia.
Selain menghendaki
pemerintahan yang ekonomis, dialog yang ekonomis, konsep yang ekonomis, politik
yang ekomonis, ekonomi yang ekonomis, perusahaan yang ekonomis, manusia-manusia
ekonomis, pendek kata segala-galanya ekonomis, AS merancang perang pun harus
yang ekonomis. Oleh karena itu, propagandalah satu-satunya strategi dengan
biaya murah, namun hasilnya mucekil.
Di masa
Perang Dingin, musuh itu riil, hanya aksinya yang abstrak. Uni Soviet itu
nyata, tetapi pertempurannya lebih banyak terjadi di dunia "maya",
ketegangan lebih banyak hanya dalam ilustrasi film. Intrik intelijen,
perlombaan senjata, dan perebutan pengaruh (ideologi) terhadap publik dunia
menjadi ciri dominan. Tidak ada perang konvensional terbuka kapitalis vs
komunis, AS vs Uni Soviet, di masa itu. Itu terjadi karena masing-masing
senantiasa berhitung. Kekuatan militer kedua belah pihak hampir seimbang.
"Peperangan" lebih banyak berkecamuk di urat syaraf.
Kapitalisme
akhirnya memenangkan game ini, tetapi sebenarnya kekalahan Uni Soviet
bukan oleh AS, tetapi oleh negara lain karena tenaga Uni Soviet habis terkuras
setelah Negeri Beruang itu nekat melakukan invasi militer ke Afganistan.
Tinggallah AS juara sendirian, tidak ada lawan. Lalu, ada gravitasi subjektif,
mungkin berlaku ujub atas kebolehannya sendiri, "Persis reaksi koboi
setelah menembak jatuh lawannya: memutar-mutar pistol dan lalu menyarungkannya.
Seekor ayam jantan akan berkokok setelah musuhnya lari" (Kuntowijoyo, Identitas
Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997). Francis Fukuyama segera
"menarikan" pena dengan the end of history-nya, bahwa ujung
Perang Dingin telah sekaligus mengantarkan kepada akhir sejarah dan "bahwa
dunia ditakdirkan semakin mirip dengan Barat" (visi global Hans Kohn dan
Robert Emerson). Benarkah demikian?
Gambarannya sama
sekali jauh berbeda. Dalam wacana strategi: tidak ada lawan, berarti
kemunduran. Untuk maju, suatu bangsa membutuhkan musuh. Bisa berupa bangsa,
kelompok agama, atau sekadar persepsi artifisial, yang karenanya seluruh
gerbong bangsa terpacu menghadapinya. Yang penting di sini adalah, ada satu
simbol yang dianggap sebagai common enemy (musuh bersama). Ketika lawan
riil tidak ada, diciptakanlah lawan dalam bayangan, sebut saja "Perang
Panas" (mengambil analogi terbalik dari Perang Dingin). Suatu sindiran
yang barangkali tak jauh beda dari buku Enemy in The Mirror, karya
Roxanne L. Euben (Princeton University Pres, 1999); berperang melawan persepsi
yang adalah ciptaannya sendiri.
Berbeda dari
Perang Dingin, di masa Perang Panas ini, aksinya riil, tetapi musuhnya yang
abstrak. Produk terorisme sebagaimana juga produk propaganda adalah nyata,
terasa; sekian orang mati, sekian miliar kerugian material, sekian bangunan
luluhlantak, bahkan bisa melenyapkan sebuah negeri dari peta. Akan tetapi,
pelakunya atau sekurangnya "alasannya," masih abstrak. Meski ada di
sana disebutkan nama si Anu atau Si Fulan sebagai pelaku, dalam tataran publik,
tetap saja ragu. Khasnya kerja dunia serbarahasia, seperti propaganda dan
terorisme, adalah memproduk bias persepsi dan mengidap ketidakjelasan inheren;
ada sesuatu yang disembunyikan; sesuatu yang lebih penting dan berharga
ketimbang yang diedit ke permukaan.
Artinya, jangankan
sekadar mengutip "seorang pejabat Pentagon" pernyataan resmi negara
pun belum tentu apa yang sebenarnya. Ini karena, baik propaganda maupun
terorisme, bekerja dengan agendanya sendiri. Sebuah agenda di luar kebiasaan
nalar wajar. Kerahasiaan inilah yang membuat kabur persepsi, publik kehilangan
konteks antara tujuan sebenarnya dan aksi masif destruktif yang tampak.
Itulah model perang
akhir zaman, teramat sungkelit untuk dipahami. Meminjam istilah Jakob
Sumardjo dalam artikel "Puisi Kalekatu" ("PR", 10/12/2002),
perang model ini seperti kalekatu, binatang kecil sejenis laron yang suka
terbang atau meloncat sehingga sulit ditangkap. Juga lamat-lamat ada sedikit
"irisan" dengan pendapat Roxanne L. Euben untuk bidang politik, bahwa
"masalah khusus dari teori politik adalah bagaimana caranya membentuk
suatu masyarakat yang tanpa perlu fondasi transenden yang menunjang."
Suatu bangunan masyarakat politik "pascafondasional" (istilah Euben
sendiri) yang menolak segala fondasi sakral, merasa lebih nyaman dengan hasil
imajinasi.
Ada semacam
tren: orang-orang pascamodern meninggalkan yang fakta dan lebih menyukai yang
imaji. Apakah manusia kini sudah bosan dengan realitas kasat mata? Bahkan orang
sudah membayangkan, perang zaman ini sejatinya adalah perang wacana; adapun
korban jatuh, gedung runtuh, itu hanya fakta semacam "bumbu penyedap"
saja, ornamen pemanis dari sebuah skenario.
Kini, di alam kita,
konsep the clash of civilization-nya Samuel Huntington juga harus
direvisi. Karena hanya benar selama menyangkut hal-hal nonfisik, tidak ada lagi
perang kolosal seperti halnya Perang Salib, yang menghadapkan dua pasukan dalam
kontak bersenjata, Kristen vs Islam, dimulai 1099 M.
Akan
tetapi, apakah makna praktis "terorisme" dan "propaganda"
bagi kita orang awam? Kita pada umumnya meyakini, baik terorisme maupun
propaganda, keduanya adalah jalan yang tidak wajar/normal. Terorisme menerjang
lawan dari belakang secara culas; propaganda mengintimidasi lawan, termasuk
membohongi publiknya sendiri. Kedua cara ini dikutuk baik oleh agama ataupun nurani
kemanusiaan. Hanya orang-orang yang kerdil dan tak berperikemanusiaan sajalah
yang sanggup menjalankan dua strategi ini. Sebuah rivalitas artifisial,
keduanya saling berhadapan dalam aksi-aksi masif menghebohkan tanpa kita tahu
-- dengan yakin -- siapa sebenarnya yang menjadi pelaku.
Pada
dasarnya terorisme adalah sebentuk propaganda juga, sedangkan propaganda bisa
merupakan sebentuk teror. Kini bukan lagi perang ideologi, tetapi perang
persepsi. Suatu aksi biasa bisa diversi teror oleh propaganda, yang bukan
propaganda bisa dibikin propaganda oleh teror. Peran media massa dalam hal ini
amat dominan. Itulah barangkali jawaban mengapa The New York Times berperan
sedemikian rupa.
Sampai kapan perang
ini akan berakhir? Mari kita sama-sama bertanya kepada Ki Dalang.***
Pikiran rakyat,
senin 6 Januari 2003
Penulis adalah
alumni Univ. Braunschweig, Jerman, 1993, kini bekerja di bagian Personel &
Org. Dev. SBU Helikopter, PT Dirgantara Indonesia Bandung.
Rekan-rekan Yth.
Berikut adalah ide2 propaganda yang menekankan agar Pemilu bebas dari okum, cara2, dan pengaruh Orba. Propaganda ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran politik masyarakat akan pentingnya mewujudkan pemerintahan baru yang hanya bisa terwujud melalui Pemilu yang bebas Orba. Jadi, meskipun masih terdapat pro kontra akan kesahihan Pemilu yg dilaksanakan oleh rejim Habibie yg tidak legitimate dan spekulasi keberhasilan pemilu nanti, yang terpenting adalah meningkatkan kesadaran politik masyarakat sehingga bisa mengambil keputusan sendiri harus apa dan bagaimana dalam menyikapi Pemilu nanti.
Bagi rekan2 seperjuangan yang sevisi, dimohon partisipasinya untuk masing-masing mengimplementasikan propaganda tersebut dalam berbagai bentuk yang bisa menyampaikan pesan tersebut ke publik secara luas, khususnya dari lingkungan sehari-hari di kantor, klien, kampus, ataupun rumah tangga.
Mengingat biayanya akan sangat besar jika ditanggung satu pihak, sangat diharapkan masing2 pihak berkontribusi sesuai kemampuannya untuk mencetak/memproduksi sendiri alat propagandanya. Materinya bisa diambil atau dikembangkan dari alternatif2 di bawah ini. Yg penting, ide dasarnya adalah: SAPU BERSIH ORDE BARU, baik itu cara-cara berpikirnya, cara bertindaknya, kemunafikannya, kejahatan politiknya, birokrasinya, ketegaannya menyengsarakan rakyat, sampai oknum dan antek2nya, baik individu maupun organisasi.
Bentuk2 media propaganda tsb al.:
1. Barang cetakan: stiker, spanduk, poster, kaos, badge
2. Banner Ad di internet, signature email anda
3. Iklan di media cetak
dll
Duncan
Hallas 1984
Agitasi dan propaganda
Sumber: What
do we mean by ...?, Socialist Worker Review,
No.68, Sep 1968, hlm.10;Disalin
& diberi tanda baca oleh Einde OCallaghan untuk Marxists
Internet Archive;
Menurut
kamus Oxford, mengagitasi adalah “membangkitkan perhatian (to excite) atau mendorong
(stir it up)”,
sedangkan propaganda adalah sebuah “rencana sistematis atau gerakan bersama
untuk penyebarluasan suatu keyakinan atau doktrin.
Definisi ini bukan
merupakan titik pijak yang buruk. Agitasi memfokuskan diri pada sebuah isu
aktual, berupaya ‘mendorong’ suatu tindakan
terhadap isu tersebut. Propaganda berurusan dengan penjelasan gagasan-gagasan
secara terinci dan lebih sistematis.
Seorang
marxis perintis di Rusia, Plekhanov, menunjukkan sebuah konsekuensi yang
penting dari pembedaan ini. “Seorang propagandis menyajikan banyak gagasan ke
satu atau sedikit orang; seorang agitator menyajikan hanya satu atau sedikit
gagasan, tetapi menyajikannya ke sejumlah besar orang (a mass of people)”.
Seperti semua generalisasi yang seperti itu, pernyataan di atas jangan dipahami
secara sangat harfiah. Propaganda, dalam keadaan yang menguntungkan, bisa
meraih ribuan atau puluhan ribu orang. Dan ‘sejumlah besar orang’ yang dicapai
oleh agitasi jumlahnya sangat tidak tetap. Sekalipun demikian, inti dari
pernyataan Plekhanov itu memiliki landasan yang kuat (sound).
Banyak gagasan ke sedikit orang
Lenin, dalam What
is to be done, mengembangkan gagasan ini:
Seorang propagandis
yang, katakanlah, berurusan dengan persoalan pengangguran, mesti menjelaskan
watak kapitalistis dari krisis, sebab dari tak terhindarkannya krisis dalam
masyarakat modern, kebutuhan untuk mentransformasikan masyarakat ini menjadi
sebuah masyarakat sosialis, dsb. Secara singkat, ia mesti menyajikan “banyak
gagasan”, betul-betul sangat banyak, sehingga gagasan itu akan dipahami sebagai
suatu keseluruhan yang integral oleh (secara komparatif) sedikit orang.
Meskipun demikian, seorang agitator, yang berbicara mengenai persoalan yang
sama, akan mengambil sebagai sebuah ilustrasi, kematian anggota keluarga
seorang buruh karena kelaparan, peningkatan pemelaratan (impoverishment) dsb., dan
penggunaan fakta ini, yang diketahui oleh semua orang, akan mengarahkan
upayanya menjadi penyajian sebuah
gagasan tunggal ke “massa”. Sebagai akibatnya, seorang propagandis
bekerja terutama dengan mamakai bahasa cetak;
seorang agitator dengan memakai bahasa lisan.
Mengenai
pokok pikiran yang terakhir, Lenin keliru, karena ia terlalu berat-sebelah.
Seperti yang ia sendiri nyatakan, sebelum dan sesudah ia menulis pernyataan di
atas, sebuah surat kabar revolusioner bisa dan mesti menjadi agitator yang
paling efektif. Tetapi ini merupakan masalah sekunder. Hal yang penting adalah
bahwa agitasi, apakah secara lisan atau tertulis, tidak berupaya menjelaskan segala sesuatu.
Jadi kita menyatakan, dan mesti menyatakan, bahwa para individu buruh tambang
yang menggunakan pengadilan kapitalis untuk melawan NUM adalah buruh
pengkhianat, bajingan (villains),
dipandang dari segi perjuangan sekarang ini; betul-betul terpisah dari argumen
umum tentang watak negara kapitalis. Tentu kita akan mengajukan argumen, tetapi
kita berupaya ‘membangkitkan perhatian’, ‘mendorong’, ‘membangkitkan rasa tidak
senang dan kemarahan’ terhadap pengadilan di sebanyak mungkin buruh. Ini
mencakup mereka (mayoritas besar) yang belum
menerima gagasan bahwa negara, negara apapun dan pengadilannya, pasti merupakan sebuah
instrumen dari kekuasaan kelas.
Atau ambil sebuah
contoh lain. Lenin berbicara tentang “ketidakadilan yang amat parah” (crying injustice). Namun,
sebagai seorang pengikut Marx yang mendalam, ia betul-betul mengetahui bahwa
tidak ada ‘keadilan’ atau ‘ketidakadilan’ yang terlepas dari kepentingan kelas.
Di sini, ia menunjuk dan berseru pada kontradiksi
antara konsep ‘keadilan’ (‘justice’
or ‘fairness’)
yang dipromosikan oleh para ideolog masyarakat kapitalis dengan realitas yang terekspos
dalam perjalanan perjuangan kelas. Dan hal itu mutlak benar dari sudut pandang agitasi.
Seorang
propagandis, tentu saja, mesti menyelidiki secara lebih mendalam, mesti
meneliti konsep keadilan, perkembangan dan transformasinya melalui berbagai
masyarakat berkelas yang berbeda, isi kelasnya yang tak terhindarkan. Tetapi
hal itu bukan merupakan tujuan utama dari agitasi. Para ‘marxis’ yang tidak
memahami pembedaan ini menjadi korban dari ideologi borjuis, menjadi korban
dari generalisasi yang lepas dari konteks waktu (timeless generalisations), yang mencerminkan
masyarakat berkelas yang diidealisasikan. Yang paling penting, mereka tidak
memahami secara konkrit bagaimana sebenarnya sikap kelas buruh berubah. Mereka
tidak memahami peran pengalaman, sebagai contoh, pengalaman tentang peran
polisi dalam pemogokan para buruh tambang. Mereka tidak memahami perbedaan
antara agitasi dan propaganda.
Kedua hal
itu penting, sangat diperlukan, tetapi keduanya tidak selalu bisa dikerjakan.
Agitasi memerlukan kekuatan yang lebih besar. Tentu saja seorang individu
terkadang bisa mengagitasi sebuah keluhan tertentu
secara efektif, katakanlah, keluhan mengenai kurangnya sabun atau
tissue toilet yang layak di sebuah tempat kerja tertentu, tetapi sebuah agitasi yang luas dengan
sebuah fokus yang umum tidaklah
mungkin tanpa sejumlah besar orang yang ditugaskan dengan pantas untuk
melaksanakannya, tanpa sebuah partai.
Jadi apa
pentingnya pembedaan tersebut sekarang ini? Untuk sebagian besar, para sosialis
di Inggris tidak berbicara ke ribuan atau puluhan ribu orang. Kita sedang
berbicara ke sejumlah kecil orang, biasanya berupaya meyakinkan mereka (to win them) melalui
politik sosialis yang umum, dan bukan melalui agitasi massa. Jadi apa yang kita
usulkan (arguing)
pada dasarnya adalah propaganda.
Tetapi di sinilah kebingungan muncul. Karena terdapat lebih dari satu jenis
propaganda. Ada sebuah pembedaan antara propaganda abstrak dan jenis propaganda yang diharapkan
dapat mengarah ke suatu aktivitas, yaitu propaganda yang konkrit atau
realistik.
Propaganda
abstrak memunculkan gagasan yang secara formal benar, tetapi tidak terkait
dengan perjuangan atau dengan tingkat kesadaran yang ada di antara mereka yang
menjadi sasaran dari penyebaran gagasan itu. Sebagai contoh, menyatakan bahwa
di bawah sosialisme sistem upah akan dihapuskan adalah mutlak benar,
menempatkan usulan yang seperti itu kepada para buruh sekarang ini bukanlah
agitasi, melainkan propaganda dalam bentuk yang paling abstrak. Begitu pula,
usulan terus-menerus (constant
demand) untuk sebuah pemogokan umum, terlepas dari apakah prospek
untuk melakukannya bersifat riil dalam situasi yang sekarang, mengarah tidak ke
agitasi, melainkan ke penarikan diri (abstaining)
dari perjuangan yang riil di sini dan sekarang.
Di sisi
lain, propaganda realistis berpijak dari asumsi bahwa kelompok-kelompok
sosialis yang kecil tidak dapat secara meyakinkan mempengaruhi
kelompok-kelompok buruh yang besar sekarang ini di hampir setiap keadaan.
Tetapi hal itu juga mengasumsikan bahwa terdapat argumen tentang isu-isu
spesifik, yang dapat dicoba untuk dibangun oleh para sosialis. Jadi seorang
propagandis realistis di sebuah pabrik tidak akan mengusulkan penghapusan
sistem upah. Ia (laki-laki atau perempuan) akan
mengusulkan serangkaian tuntutan yang diharapkan dapat mengarahkan
perjuangan ke kemenangan, dan sudah tentu melebihi kemenangan kecil (tokens) yang diberikan
oleh bikorasi serikat buruh. Jadi mereka akan mengusulkan, misalnya,
peningkatan ongkos rata-rata setiap produk (a
flat rate increase), pemogokan mati-matian dengan tuntutan penuh (the full claim, all out...strike) dan bukan
pemogokan yang selektif, dsb.
Menyeimbangkan agitasi dengan propaganda secara benar (Getting the balance right)
Semua ini
bukanlah agitasi dalam arti yang dibicarakan oleh Lenin, hal itu adalah satu
atau dua orang sosialis yang memunculkan serangkaian gagasan tentang bagaimana
untuk menang. Tetapi hal itu juga bukan propaganda abstrak karena hal itu
terkait dengan sebuah perjuangan yang riil dan karenanya bisa terkait dengan
minoritas buruh yang cukup besar di suatu wilayah. Ini berarti bahwa propaganda
realistis dapat membangun hubungan (strike
a chord) dengan sekelompok orang yang jauh lebih besar daripada
mereka yang sepenuhnya terbuka untuk gagasan-gagasan sosialis. Bahwa sekarang
ini hanya sekelompok orang yang sangat kecil yang akan terbuka untuk semua
gagasan-gagasan sosialisme. Kelompok yang lebih besar tidak akan seperti itu,
tetapi masih bisa menerima banyak propaganda dari kaum sosialis untuk tidak
mempercayai para pejabat, untuk mengorganisir di lapisan bawah (the rank and file) dan
sebagainya.
Pentingnya
pembedaan ini ada dua (twofold).
Para sosialis yang mempercayai bahwa mereka harus melakukan propaganda di
kelompok-kelompok diskusi mereka yang kecil, dan mengagitasi di tempat kerja
mereka, sangat mungkin menaksir terlalu tinggi (overestimate) pengaruh mereka di sejumlah besar buruh dan
dengan demikian kehilangan kesempatan untuk membangun basis di sekitar sejumlah
kecil pendukung. Mereka yang percaya bahwa mereka hanya harus melakukan
propaganda abstrak dalam diskusi-diskusi mereka dengan para sosialis yang lain
dan di tempat kerja mereka bisa mengambil sikap menarik diri ketika perjuangan
yang riil benar-benar meletus.
Dengan melakukan
propaganda realistis pada sebuah periode di mana agitasi massa secara umum
tidak mungkin, kaum sosialis akan jauh lebih mungkin untuk dapat menghindari
kedua jebakan tersebut.
Game dan Propaganda
Barat
Kita hidup di sebuah
zaman yang dipenuhi oleh segala jenis propaganda, yang bahkan telah memasuki
alat permainan sehari-hari. Tetapi propaganda pada dunia saat ini lebih banyak
didasari oleh unsur politik dan dirancang untuk mendukung program yang
dijalankan oleh negara-negara seperti Amerika Serikat. Game atau permainan
komputer, play station dsb yang merupakan topik pembahasan dalam pertemuan kita
kali ini, merupakan alat permainan yang telah berubah menjadi sarana
propaganda. Karena itu bisa kita katakan bahwa fungsi permainan ini telah jauh
dari sekadar sebagai alat penghibur dan pengasah otak.
Semua orang tahu apa yang dimaksudkan
dengan permainan komputer, tetapi hanya sebagian kecil yang dapat memahami apa
sebenarnya yang tersembunyi di permainan ini. Karena itu, betapa mudah alat ini
mempengaruhi para penggunanya. Dalam pembahasan kali ini, kami akan membawa
anda untuk meninjau beberapa permainan komputer dan menyinggung sifat ambisius
perang Amerika dan pengembangan kekerasan yang terdapat dalam permainan ini.
Presiden Amerika,
George W Bush pada tanggal 6 Februari 2003 sebelum menyerang Irak berkata
kepada Saddam, “The game is over“ atau permainan telah usai. Jacques Chirac dengan
lebih jeli mengatakan, “It is not a game, It is not over” artinya ini bukan lah
permainan, dan belum berakhir. Sementara itu, seorang Jenderal Tentera Amerika
saat menjelaskan teknik perang dipergunakan di Irak banyak mengambil istilah
yang ada pada game Pac Man. Pengguanaan istilah-istilah seperti ini dinikmati
oleh para pengguna game, sebab istilah-istilah tersebut sudah tidak lagi
dipakai pada permainan semata tetapi juga telah menjadi bagian dari kehidupan
nyata.
Tetapi di balik itu
sebenarnya ada masalah besar yang layak diperhatikan. Dengan menggunakan
istilah-istilah seperti itu, para politisi dan kalangan militer AS berusaha
mengesankan kepada dunia bahwa perang bukan sebuah fenomena yang buruk. Sebab
dalam game, perang tidak mengakibatkan seorangpun terbunuh bahkan tidak ada
setetes darahpun yang tercecer. Sementara mereka yang terlibat di medan perang
tidak memiliki hubungan keluarga dengan siapapun. Tetapi apakah itu semua sama
dengan perang yang terjadi di alam nyata?
Pada dekade terakhir, game dengan
tema perang telah berkembang secara luas dengan adanya unsur politik yang
mengarahkan. Game dengan judul Badai Padang Pasir adalah salah satu contohnya.
Lakon yang ditayangkan dalam permainan ini adalah tentera Amerika atau Inggeris
yang bertugas membebaskan Irak dari cengkaman diktator. Musuh utama mereka
dalam permainan ini jelas seorang Irak.
Ketika permainan ini
dipasarkan pada 13 September 2002 di Eropa, tidak ada sedikitpun suara
penentangan. Game diperjualbelikan secara bebas. Hanya mereka yang berusia
bawah 16 tahun tidak dianjurkan menggunakannya. Padahal serangan militer
Amerika dan Inggeris ke Irak baru terjadi enam bulan setelah itu. Tidak
diragukan lagi permainan ini dirancang untuk membuat penggunanya berada pada
posisi pembela pola baru dunia.
Game dengan judul Kembali ke Istana
Welfan Ashtain dirancang lebih rumit dan teliti. Dalam game ini, pemain
menempati posisi tentera Amerika dalam perang dunia kedua. Dia menyelundup
masuk ke istana-istana atau gedung tentara Nazi. Lambang Nazi dapat ditemukan
dengan mudah pada game ini. Pada mulanya orang berfikir bahwa permainan ini
mengandungi unsur propaganda untuk ideologi nasionalisme sosialis atau nazisme.
Protes pertama atas game ini muncul tahun 1992 saat stiker Nazi mewarnai cover game
ini. Padahal tujuan sebenarnya dari game lebih dari itu. Sama seperti permainan
Taufan Sahara, permainan ini juga berusaha mengesankan pasukan Amerika sebagai
malaikat penyelamat.
Kelanjutan dari
propaganda ini adalah game-game yang dirancang oleh pihak militer Amerika
Serikat yang dapat didownload secara percuma dari internet. Permainan ini
bernama “Tentara Amerika” dan pertama kali dipasarkan tanggal 4 Februari 2002
bersamaan dengan peringatan hari kemerdekaan Amerika Serikat. Dalam permainan
ditampilkan seorang tentara Amerika yang dengan berani maju ke medan perang dan
menghancurkan apa saja yang ada di hadapannya. Permainan ini ditujukan untuk
menarik minat generasi muda agar menyukai pekerjaan yang berbau militer.
Uniknya, untuk bermain, kita mesti mendaftar di situs internet angkatan
bersenjata Amerika Serikat. Mereka yang telah melalui periode latihan militer,
akan memiliki peluang besar untuk melewati berbagai tahap permainan ini.
Pada tanggal 13
hingga 16 May 2003 festival pameran permainan komputer yang kedua berlangsung
di Los Angeles. Dalam pameran ini sebagian besar perancang game yang ikut
memberikan pandangan mengenai perkembangan mendatang permainan komputer adalah
perwira militer. Transformasi mendatang ini mencakup masalah kendaraan jenis
baru, misi baru, dan kehadiran orang sipil dalam permainan baru. Singkatnya,
pameran ini berusaha mengesankan ketertautan dunia nyata dengan alam permainan.
Pameran yang berlangsung selama tiga hari ini diakhiri dengan pameran dua
kenderaan baru militer.
Sejak dimulainya
invasi Amerika dan Inggris di Irak pada 20 November 2003, perusahaan Sony
menempelkan tanda Shock and Awe atau kejutan dan kekaguman, pada barang-barang
produksinya. Mungkin saja tujuan di balik itu adalah untuk merancang sebuah
permainan dengan nama yang sama. Tetapi gelombang protes telah memaksa Sony
untuk menyingkirkan niatnya. Meski demikian, perusahaan yang menguasai pasar
permainan komputer ini tetap merancang permainan dengan tema perang Irak.
Permainan ini merupakan lanjutan kepada permainan Taufan Sahara dan diberi nama
Kembali ke Baghdad. Rata-rata usia mereka yang menggunakan permainan komputer
adalah 20 tahun. Media ini mempunyai peminat di seluruh dunia terutama
anak-anak muda, dan bukan terbatas pada anak-anak. Seperti apa yang telah kami
jelaskan, banyak sekali kebijakan expansionis negara-negara adidaya semisal
Amerika Serikat dipropagandakan lewat permainan seperti ini. Maka sudah menjadi
tanggungjawab para ahli hari ini untuk tidak memandang permainan komputer ini
sebagai permainan yang aman dan hanya memiliki nilai hiburan semata. Adalah
jelas bahwa ketidakpedulian dalam hal ini menyebabkan senjata propaganda ini
semakin berbahaya dan meninggalkan dampak negatif yang lebih besar.
18.07.2004
Propaganda?
"Wah, ente sekarang jadi agen propaganda nih?"
Propaganda! Sudah lama saya tak mendengar kata-kata ini
sampai seorang teman lama, entah bercanda entah serius, tiba-tiba menggunakan
kata ini ketika tahu saya bekerja di sebuah radio siaran internasional.
"Ah,
kayak ente nggak aja..", itu saja jawaban saya padanya. Maklum
ia juga kerja di salah satu lembaga internasional yang salah satunya bergerak
di bidang training atau bahasa kerennya 'pemberdayaan' untuk radio-radio di
Indonesia. "Gue sih
nyari duit aje, bos..!", balasnya sambil 'nyengir'.
Pembicaraan soal propaganda berakhir prematur sementara saya terus saja
terganggu dengan istilah ini. Apa yang salah dengan propaganda?"
Propaganda: Sebuah proses
penyebaran doktrin atau informasi yang merefleksikan pandangan atau kepentingan
dari mereka yang menyebarkannya. Ini penjelasan versi dictionary.com.
Sementara menurut ensiklopedi Brittanica, istilah propaganda sendiri mulai
dikenal dari hasil karya Congregatio de Propaganda Fide', sebuah organisasi
yang didirikan oleh sejumlah Kardinal Katolik Roma di tahun 1622 untuk
menjalankan penyebaran misi ajaran mereka di negara-negara non kristen. Jadi
bagi beberapa kalangan, propaganda ini terkait dengan misi keagamaan.
'Terimakasih' kepada Adolf Hitler, istilah ini kemudian
mendapat konotasi negatif. Di bab 6 dari bukunya "Mein Kampf", Hitler
menuliskan perlunya propaganda untuk mempersuasi pihak lain, untuk menggerakan
massa. Saking percayanya, Hitler sampai menunjuk seorang menteri khusus untuk
urusan propaganda ini. Namanya Joseph Goebbels. Jabatannya: Menteri Urusan
Propaganda dan Pencerahan Nasional. (kata pencerahan ini menarik karena
mengingatkan saya pada salah satu departemen yang dulu ada di Indonesia yang
tugasnya juga melakukan pencerahan alias penerangan.. hehe)
Tugas utamanya Goebbels dan Departemennya ada dua:
Pertama, memastikan tak ada orang di Jerman yang punya akses
kepada hal-hal yang bisa merusak kepentingan atau misi Nazi. Kedua, memastikan
bahwa misi dan pola pandang Nazi berhasil disebarkan dengan cara yang se
persuasif mungkin.
Untuk menjamin kelancaran tugasnya itu, Goebbels di bantu
oleh SS dan Gestapo yang tak lain adalah satuan polisi yang paling ditakuti di
jaman Nazi. Namanya polisi, tugasnya pasti sudah jelas lah. Selain dengan SS
dan Gestapo, Goebbels juga dibantu oleh sosok orang yang bernama Albert Speer
yang kemudian dikenal sebagai salah satu penjahat perang paling kejam dari masa
Nazi. Speers ini yang konon ditugaskan melakukan penyebaran ajaran Nazi kepada
masyarakat.
Ah, ini yang mungkin membuat saya merasa 'terganggu' dengan
istilah propaganda karena mengingatkan saya pada jaman-jaman Hitler dan juga
jaman-jaman orde baru dimana kegiatan ini memang sangat kental mewarnai
kehidupan masyarakat. Jadi 'kangen' Pak Harmoko juga.. :-)
Tapi kembalilah pada artian
dasar dari propaganda (dan buang jauh bayangan Hitler atau mungkin Pak
Harmoko), maka kita akan menemukan kenyataan bahwa sebetulnya setiap hari kita
dikelilingi oleh praktek propaganda. Media adalah salah satu yang menjalankan
praktek ini. Sekali lagi buang jauh-jauh muka 'Jojon' ala Jerman di benak anda,
dan anda akan menyadari itu.
Saya termasuk orang yang tidak terlalu percaya pada konsep
media bebas, apalagi kalau sudah di embel-embeli dengan kata "yang
bertanggung jawab". Setiap hari, setiap saat kita melakukan propaganda
terhadap hal-hal yang kita percayai, dan ingin agar orang lain juga
mempercayai. Ia bisa berupa nilai-nilai politik, nilai agama, etika sampai ke
hal sehari-hari seperti memilih sabun cuci mana yang lebih bisa mencuci
sendiri, atau shampoo mana yang bisa membuat rambut anda melayang-layang dengan
indahnya ditiup angin. Semua sibuk berpropaganda. Yang membedakan hanyalah pada
cara mereka mengemasnya. Sebut satu media saja yang tidak melakukan propaganda,
dan saya akan merubah semua apa yang saya percayai.
Jadi kembali pada pertanyaan awal saya, "Apa yang salah
dengan propaganda?"
Kalau dikaitkan dengan apa yang dilakukan Hitler, mungkin
wajar saja saya terganggu. Tapi kalau dikaitkan dengan sebuah proses penyebaran
informasi yang merefleksikan suatu pandangan tertentu dari si penyebar
informasi, rasanya sah-sah saja. Saya selalu percaya bahwa di dunia ini sudah
terlalu banyak orang yang selalu berusaha untuk membuat orang percaya pada apa
yang ia percayai, karena seringkali ia sendiri tidak percaya diri dengan apa
yang dipercayainya sampai kemudian ada yang ikut percaya pada apa yang
dipercayanya. Bingung? Coba ulang kalimat terakhir tadi..
Jadi kenapa mesti terganggu dengan istilah propaganda?
Mungkin karena sudah terlalu lama kita terjebak dalam istilah-istilah yang kita
buat sendiri.
Atau mungkin akan lebih aman mengutip kata-kata teman saya di
awal tadi: "Gue sih
nyari duit aje, bos..!".
Ah, jangan ah...!!
Singapura, 14 Oktober 2003
Propaganda
media massa
Dikirim oleh: Ahmad_Dika pada Rabu,
18 Desember, 2002 - 09:39 PM WIB
Menurut teori perang Sun Tzu,
memenangkan sebuah perang tanpa mengerahkan armada militer adalah kemenangan
yang terbaik. Kemenangan ini dapat diraih apabila musuh dapat ditundukkan
pemikirannya. Tunduknya pemikiran akan menyebabkan tunduknya seorang manusia
kepada manusia lain yang mampu mengubah pemikirannya. Di sini propaganda memainkan
peranan yang sangat penting Menurut Karl Marx,"kejahatan yang terus
menerus dipropagandakan sebagai kebaikan lambat laun akan diterima masyarakat
sebagai kebaikan itu sendiri." Sekali lagi yang dituntut di sini adalah
kepandaian dan kontinuitas propaganda sehingga terjadi pergeseran nilai dalam
masyarakat. Nilai-nilai social memang bersifat fleksibel, tergantung dari pola
pikir masyarakat pengusung nilai. Apabila pola pikir masyarakat berubah,
otomatis nilai masyarakat akan berubah pula.
Pada era 1930-1950,
Barat masih mengusung nilai-nilai religius Kristiani dengan cukup kental. Namun
hanya dalam tempo sepuluh tahun saja, sekitar periode 1960-an, Barat mengalami
revolusi budaya dan seks yang luar biasa sebagai imbas dari propaganda
kebebasan. Kalau pada era 30-50 berjemur di pantai bertelanjang dada adalah terlarang,
maka kini perempuan-perempuan Barat bebas memanggang tubuhnya di pantai-pantai
dengan dada terbuka, bahkan tanpa busana.
Propaganda yang
mengenai sasaran, akan mengubah pola pikir masyarakat yang pada akhirnya mampu
merubah seluruh tatanan nilai yang ada. Propaganda dapat juga berupa
pembentukan opini dan stigmatisasi (memberikan cap/julukan tertentu pada suatu
kelompok/individu tertentu). Secara gambling dapat dikatakan, seorang jahat
yang pandai mempropagandakan dirinya sebagai manusia baik, akan mendapatkan
penilaian baik dari masyarakat apabila propagandanya dilakukan secara kontinu
dan mengena sasaran.
Dalam hal stigmatisasi, bisa dijelaskan sebagai berikut; si A adalah orang baik dan si B adalah si jahat yang amat pandai berpropaganda dan menguasai jalur informasi. Karena benci pada si A, si B terus menerus mencekoki masyarakat dengan propaganda bahwa si A adalah penjahat. Karena dilakukan secara terus-menerus dan sistematis, lambat laun A yang baik akan menjadi jahat di mata masyarakat. Di sini, informasi disebarkan untuk menciptakan opini yang diyakini sebagai fakta, dan bukan menyebarkan fakta sebagai informasi. Begitu hebatnya akibat propaganda sehingga bukan saja mampu mengubah pola pikir dan system social, tapi juga mendefinisikan the good one and the bad one. Pada masa sekarang, media massa (suratkabar, tabloid, majalah, televisi, radio, internet) adalah corong propaganda yang paling ampuh. Seiring makin mengglobalnya komunikasi dan makin dekatnya jarak antar manusia, maka propaganda pun kian meningkat. Sehingga tercipta idiom yang menguasai jalur informasi, akan menguasai dunia.
Pada hakikatnya, media massa berfungsi sebagai penyampai fakta dari suatu peristiwa kepada masyarakat luas. Namun dalam kapasitasnya, media massa telah pula menjadi corong propaganda secara halus maupun kasar. Pada masa sekarang ini, sebagai akibat dari propaganda pembentukan opini, kita bisa melihat terjungkirnya nilai-nilai social yang pernah ada. Yang benar menjadi salah, dan yang salah menjadi benar.
Dalam hal stigmatisasi, bisa dijelaskan sebagai berikut; si A adalah orang baik dan si B adalah si jahat yang amat pandai berpropaganda dan menguasai jalur informasi. Karena benci pada si A, si B terus menerus mencekoki masyarakat dengan propaganda bahwa si A adalah penjahat. Karena dilakukan secara terus-menerus dan sistematis, lambat laun A yang baik akan menjadi jahat di mata masyarakat. Di sini, informasi disebarkan untuk menciptakan opini yang diyakini sebagai fakta, dan bukan menyebarkan fakta sebagai informasi. Begitu hebatnya akibat propaganda sehingga bukan saja mampu mengubah pola pikir dan system social, tapi juga mendefinisikan the good one and the bad one. Pada masa sekarang, media massa (suratkabar, tabloid, majalah, televisi, radio, internet) adalah corong propaganda yang paling ampuh. Seiring makin mengglobalnya komunikasi dan makin dekatnya jarak antar manusia, maka propaganda pun kian meningkat. Sehingga tercipta idiom yang menguasai jalur informasi, akan menguasai dunia.
Pada hakikatnya, media massa berfungsi sebagai penyampai fakta dari suatu peristiwa kepada masyarakat luas. Namun dalam kapasitasnya, media massa telah pula menjadi corong propaganda secara halus maupun kasar. Pada masa sekarang ini, sebagai akibat dari propaganda pembentukan opini, kita bisa melihat terjungkirnya nilai-nilai social yang pernah ada. Yang benar menjadi salah, dan yang salah menjadi benar.
Di Palestina, sebuah
terorisme negara tengah berlangsung, yang dilakukan oleh Israel atas Palestina.
Israel menjajah Palestina, Palestina membalas dan media massa justru menulis
Palestina adalah teroris dengan aksi bom syahidnya. Media massa telah
menyembunyikan fakta, dan melakukan kecurangan informasi demi kepentingan
tertentu. Kejadian lain, WTC runtuh, dan tanpa bukti konkrit Amerika Serikat
menyerbu Afghanistan dengan alas an Afghan adalah tempat persembunyian Usamah
bin Ladin yang diduga dalang keruntuhan WTC. Media massa di Indonesia banyak
menurunkan artikel tentang masalah ini, dan rata-rata Usamah berada dalam
posisi dipojokkan.
Jika merunut teori
perang Sun Tzu bahwa propaganda dan penggantian pemikiran dilakukan untuk
memenangkan perang tanpa berlaga langsung di medan peperangan, maka sebuah
pertanyaan patut diajukan diantara gencarnya pembentukan opini media massa:
apakah media massa sedang dalam kondisi perang ? apakah media massa bermaksud
menundukkan pemikiran suatu kaum agar mengikuti kaum yang menyokong media massa
bersangkutan ? Jika hal ini benar, maka tentunya akan tercipatnya
individu-individu yang menjadi korban pembentukan opini. Individu yang
membebek. Apabila hal ini terjadi, maka media massa bukanlah media informasi,
melainkan media indoktrinasi.
Pada akhirnya
subjektivitas adalah bagian tak terpisahkan dari media massa. Sebuah media
massa yang jujur memaparkan fakta adalah angin segar dalam kehidupan yang kian
penuh tipu muslihat ini. Bagi Umat Islam sendiri, Allah sudah memberikan petunjuk
untuk selalu meneliti dan berwaspada terhadap berita-berita yang bersumber dari
orang kafir.
Wallahu a'lam bishowab.
Wallahu a'lam bishowab.
Media Indonesia, rabu 24 juni 2004
Perang Urat Saraf
dalam Kampanye

Tjipta Lesmana, Pengajar Sekolah Staf dan Komando
TNI, Bandung
PERANG urat saraf (psychological warfare) adalah
pemanfaatan secara terencana propaganda dan tindakan lain yang bertujuan pokok
untuk mempengaruhi pendapat, emosi, sikap dan perilaku lawan, kelompok netral
maupun sahabat dalam rangka mencapai sasaran dan tujuan nasional.
Perang
urat saraf (PUS) tidak semata-mata dibutuhkan tatkala peperangan berlangsung,
namun dalam masa damai pun PUS memainkan peran penting, khususnya dalam
hubungan internasional. Dalam perkembangan selanjutnya, PUS diakui sangat besar
perannya dalam bidang apa saja yang mengandung elemen kompetisi, perlombaan
atau persaingan.
Lalu,
propaganda itu sendiri apa? Propaganda tidak lain adalah diseminasi informasi
secara sistematis dan terus-menerus yang ditujukan, terutama, kepada pihak
lawan dalam upaya mengubah pandangan, sikap dan emosi lawan mereka terhadap
diri kita. Harold Lasswell (1977:48), seorang pakar komunikasi politik Amerika,
mengemukakan bahwa propaganda dalam pelaksanaannya tidak menggunakan kekerasan
atau tekanan-tekanan ekonomi, melainkan by manipulation of attitudes and
opinions through social suggestion. Selanjutnya, Lasswell memberikan
pandangannya bahwa masyarakat modern yang kita kenal sekarang miskin
solidaritas sosial, dan miskin perekat sosial seperti yang kita kenal pada
masyarakat primitif. Nah, propaganda adalah mesin politik yang kalau
dilancarkan secara tepat sasaran mampu welding millions into one amalgamated
mass of hate and will and hope.
***
Dalam
kampanye pemilihan presiden saat ini, propaganda sangat dimanfaatkan oleh
hampir semua (tim sukses) capres/cawapres. Satu sama lain saling tohok. Maklum,
di dalam tim sukses capres/cawapres terdapat sejumlah mantan pejabat tinggi
intelijen TNI; bahkan termasuk mereka yang pernah menjabat Kepala BIA atau
Wakil Kepala BIA. Dan semua orang harus mengakui bahwa intelijen TNI, khususnya
Angkatan Darat, termasuk sangat piawai dalam mempermainkan perang urat saraf
dan propaganda, sebab intelijen dan propaganda adalah dua kegiatan yang saling
mengisi dan saling bergantungan dalam operasinya.
Ketika
capres PDIP, Megawati, tiba-tiba digoyang oleh isu perempuan tidak boleh jadi
pemimpin bangsa, that is psychological warfare. Tujuannya untuk menggoyahkan
sikap kelompok Muslim; minimal agar mereka berpikir 10 kali sebelum memutuskan
untuk mencoblos Mega/Hazyim Muzadi pada 4 Juli nanti. Sementara itu, Wiranto
pun terus digoyang oleh berbagai isu: dari mulai masalah HAM sampai soal
Pamswakarsa dan VCD AFI.
SBY
juga digoyang oleh propaganda yang secara sistematis dilancarkan oleh
lawan-lawannya. Di kalangan minoritas (Kristen dan keturunan) beredar luas isu
bahwa SBY anti-Kristen dan hendak melaksanakan Syariat Islam. Ironisnya, di
kalangan muslim radikal pun beredar isu bahwa SBY anti-Syariat Islam. Kalau ia
terpilih sebagai presiden, ia akan menangkapi para aktivis Syariat Islam.
Dalam
teori, dikenal propaganda hitam dan putih. Berbeda dengan propaganda putih,
propaganda hitam tidak menampakkan identitas sumber informasi. Tetapi, barang
siapa memiliki kemampuan analisis yang kritis, sumber informasi ini sebenarnya
tidak bisa ditebak juga. Di luar black and white propaganda, sebetulnya
masih ada satu bentuk propaganda yang lebih bahaya lagi, yaitu clandestine
propaganda. Propaganda ini dilancarkan di bawah tanah, sangat rahasia, hanya
beberapa gelintir operator yang mengetahui operasinya. Bentuk propaganda ini
dikatakan jahat, sebab para operatornya mempunyai satu tekad dalam menjalankan
misinya yaitu “menggorok lawan” tanpa belas kasihan sedikit pun. Kerahasiaan
dijaga sedemikian rupa, sehingga big-boss pun adakalanya tidak tahu
kalau anak buah yang melancarkannya.
Selain
itu, pengungkapan kembali kasus 27 Juli 1996 yang terkesan mendadak dan 'tanpa
petir, tanpa kilat' boleh jadi bagian dari propaganda yang dilancarkan oleh
lawan politik SBY. Kita sama-sama ketahui bahwa pihak kepolisian sudah lama
mendapatkan bukti-bukti di lapangan mengenai kasus 27 Juli. Ketika Rusdihardjo
diangkat sebagai Kapolri pada awal tahun 2000, dia berjanji akan menuntaskan
kasus ini dalam tempo tiga bulan. Dan Jenderal Polisi Rusdihardjo bukan sekadar
obral janji. Ia dan aparatnya betul-betul bekerja keras untuk mengungkap
misteri ini.
Pada
awal 2002, bukti-bukti yang dimiliki Polri sebetulnya sudah cukup lengkap.
Tetapi, invincible hands tidak memungkinkan Polri menegakkan keadilan
secara benar-benar adil. Yang diseret ke pengadilan – sejak tahun 2002 --
hanyalah para pelaku kelas 'keroco'. Tidak ada satu pun mantan petinggi TNI dan
Polri yang diajukan ke pengadilan. Dan pimpinan Polri selalu mengelak setiap
kali ditanya oleh pers bagaimana hasil pemeriksaan instansinya terhadap para
petinggi TNI dan Polri yang diduga terlibat.
Tapi,
tanggal 7 Juni 2004, Kapolri tiba-tiba, 'ya', tiba-tiba sekali! memerintahkan
Bareskrim untuk membuka kembali kasus ini. Letjen TNI Sutiyoso, Mayjen Zaky
Anwar Makarim dan beberapa jenderal lain dinyatakan sebagai tersangka.
Sandiwara apa yang sedang dipergelarkan? Bukankah di penghujung 2002 PDIP mati-matian
mendukung Sutiyoso untuk dipilih kembali sebagai Gubernur DKI? Bukankah
Megawati selaku Ketua Umum DPP PDIP ketika itu sampai memecat Ketua DPD PDIP
Jakarta, karena sikapnya yang berani menentang pencalonan kembali Sutiyoso?
Jika
pelimpahan kasus 27 Juli merupakan bagian dari clandestine propaganda
untuk menghadang SBY dari pencalonan presiden, saya kira perancang skenario itu
adalah orang-orang yang tidak paham ilmu propaganda. Dalam textbooks
diajarkan bahwa propaganda tidak bisa berangkat dari kebohongan. Pesan yang
ditembakkan oleh propaganda harus faktual, atau semifaktual. Namun, kita tidak
bisa memproklamasikan diri secara terbuka, karena pertimbangan tertentu. Jika
isi propaganda hanya kebohongan semata, hasilnya pasti backfire alias
memukul sendiri! Apalagi jika isi propaganda yang penuh kebohongan itu
dilemparkan di ladang yang tidak kondusif. Kepercayaan rendah masyarakat
terhadap pemerintah Megawati saat ini merupakan satu indikator ladang tidak
kondusif yang dimaksud.
***
Yang
tidak kalah menarik dari pemanfaatan propaganda dalam kampanye pemilihan
presiden adalah indikasi bahwa Amien Rais bersih dari tohokan propaganda. Yang
ramai diterpa segala macam propaganda sejauh ini hanya terbatas pada tiga
capres, yaitu Megawati, SBY, dan Wiranto. Kenapa demikian?
Pertama,
tiga capres ini memang yang paling diunggulkan masyarakat luas. Tiga capres
ini, diam-diam, juga saling mengintip, menganggap lawan sebagai saingan
beratnya. Menurut Kwik Kian Gie, SBY dianggap lawan terberat Mega. Begitu juga
menurut Tim Sukses SBY: Megawati saingan terberatnya. Tetapi, baik Mega maupun
SBY sama-sama tidak meremehkan Wiranto mengingat mesin politik Golkar yang
sudah mengakar di daerah-daerah. Karena tiga calon ini saling mengintip dan
saling berseberangan, wajar jika ada anggota tim sukses mereka yang overakting;
dalam arti melakukan tindakan-tindakan (termasuk propaganda) yang tidak
proporsional.
Kedua,
jika tiga capres ini kills each other, yang diuntungkan pasti Amien
Rais. Orang-orang Amien kini pun tertawa dan gembira melihat tiga lawannya itu
saling 'berantem'. Bisa jadi, orang-orang Amien diam-diam memanfaatkan black
propaganda yang berseliweran untuk keuntungan bosnya. Katakan, mereka
meninggikan atau memprovokasi intensitas propaganda hitam itu, sehingga tanpa
disadari, pertikaian antara Mega, SBY dan Wiranto pun berlangsung semakin
sengit.
Maka, Tim Sukses Megawati, SBY atau
Wiranto jangan sembarang bermain-main dengan perang urat saraf atau propaganda
dalam kampanye pemilihan presiden, sebelum Anda memahami betul ilmu itu.
Salah-salah Anda akan menangguk hasil yang backfire
PROPAGANDA AMERIKA
ABAD 21: TEKNIK LAMA UNTUK MUSUH BARU
Media Kerja
Budaya
Ignatius
Haryanto
Akhir
Februari 2002 lalu dunia banyak dikejutkan dengan rencana Amerika untuk mendirikan
kantor Office of Strategic Influence (OSI), sebuah lembaga yang direncanakan
berdiri di bawah Pentagon, sebagai suatu kantor yang bertujuan untuk melakukan
perang disinformasi kepada negara-negara luar yang tidak mendukung usaha-usaha
AS dalam perang melawan teroris.
Ide
mendirikan Kantor urusan Pengaruh Strategis ini awalnya dikemukakan untuk
merespon kepentingan Amerika yang merasa bahwa perang mereka melawan teroris
tidak banyak mendapat dukungan di negara-negara Asia, Timur Tengah dan bahkan
di Eropa Barat sekalipun. Oleh karena itu diusulkan pembentukan kantor ini yang
dimaksudkan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mendukung perang. Bentuk
dukungan ini tidak hanya dalam bentuk menyebarkan sejumlah selebaran ataupun
lewat pesan-pesan televisi, tapi juga dengan mempergunakan item-item
pemberitaan media massa, dan juga internet. Kalau perlu item pemberitaan bisa
saja dalam bentuk disinformasi kepada negara-negara yang dianggap lawan
Amerika.
Untuk
pembentukan kantor ini, Pentagon awalnya terlihat sangat serius, karena mereka
mengontrak Rendon Group, sebuah kantor konsultan di Washington yang dipimpin
oleh John W. Rendon, bekas manajer kampanye presiden Jimmy Carter, dan menunjuk
Brig Jend. Simon P. Worden sebagai Direkturnya. Rendon Group ini dikenal ketika
masa Perang Teluk berhasil melakukan kerja propaganda untuk kepentingan
keluarga kerajaan Kuwait dengan menunjukkan kekejaman Irak dalam serangan ke
Kuwait. Untuk kantor baru ini tadinya direncanakan akan dikeluarkan uang
sekitar US$10 milyar sebagai awal. Dana ini diambil dari dana darurat yang
dimiliki Pentagon dan direstui oleh kalangan Kongres bulan Oktober tahun lalu.
Usaha
menyebarkan propaganda tersebut tentu tak bisa dilepaskan dari strategi besar
AS untuk menguasai dunia. Untuk itu baik juga membaca lagi apa yang pernah
ditulis oleh ahli politik klasik Amerika, Harold Laswell, bapak ilmu propaganda
yang pada 1933 menulis bahwa pengelolaan masalah sosial dan politik yang baik
seringkali tergantung pada koordinasi yang rapi antara penggunaan propaganda
dan penggunaan paksaan, penggunaan jalan kekerasan atau damai, iming-iming
ekonomi, negosiasi diplomatis dan teknik-teknik lainnya.
Ketertutupan
dan Pengekangan di Amerika Paska Tragedi September 2001
Pembentukan OSI yang kemudian batal itu hanyalah satu dari sekian kejadian yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir di negeri adidaya, Amerika Serikat. Dari dalam negeri sendiri, ada banyak protes yang dilancarkan sejumlah kalangan untuk memprotes perilaku arogan Amerika terhadap dunia, dan menganggap bahwa wilayah perang Amerika adalah seluruh dunia. Untuk itu pemerintah Amerika bisa saja menganggap seluruh dunia menjadi musuhnya, kecuali kalau negara-negara tersebut terang-terangan mengatakan bahwa mereka menyokong tindakan Amerika. Dari kalangan seniman, intelektual, dan jurnalis, ada banyak kritik diungkapkan lewat berbagai pameran kesenian, opini di media massa dan ruang-ruang kuliah. Namun sebagian besar dari kritik ini mendapatkan reaksi yang tak kurang kerasnya dari pemerintah yang sedang blingsatan mencari musuh-musuhnya. Dennis J. Kucinich, seorang anggota Kongres dari Distrik Ohio, mengritik terbuka perilaku Amerika yang anti demokrasi itu. Ia mempertanyakan tindakan Amerika ini dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam Konstitusi Amerika. “Bagaimana kita bisa menerima perlakuan yang melanggar amandemen pertama dan hak untuk bicara bebas, hak untuk berkumpul secara damai?” Dalam surat terbukanya ia pun menyatakan, “Kita tak bisa membenarkan pengupingan dan pengecekan fasilitas internet tanpa perintah dari pengadilan. Kita tak bisa membenarkan pemeriksaan tanpa disertai surat perintah. Kita tak bisa menerima begitu saja kekuasaan kepada Jaksa Agung untuk menentukan kelompok-kelompok yang ia anggap sebagai kelompok teroris lokal. Kita tak bisa menerima begitu saja keleluasaan FBI untuk mengakses seluruh data yang kita miliki hingga data yang menyangkut soal data kesehatan dan data keuangan seseorang.”
Pembentukan OSI yang kemudian batal itu hanyalah satu dari sekian kejadian yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir di negeri adidaya, Amerika Serikat. Dari dalam negeri sendiri, ada banyak protes yang dilancarkan sejumlah kalangan untuk memprotes perilaku arogan Amerika terhadap dunia, dan menganggap bahwa wilayah perang Amerika adalah seluruh dunia. Untuk itu pemerintah Amerika bisa saja menganggap seluruh dunia menjadi musuhnya, kecuali kalau negara-negara tersebut terang-terangan mengatakan bahwa mereka menyokong tindakan Amerika. Dari kalangan seniman, intelektual, dan jurnalis, ada banyak kritik diungkapkan lewat berbagai pameran kesenian, opini di media massa dan ruang-ruang kuliah. Namun sebagian besar dari kritik ini mendapatkan reaksi yang tak kurang kerasnya dari pemerintah yang sedang blingsatan mencari musuh-musuhnya. Dennis J. Kucinich, seorang anggota Kongres dari Distrik Ohio, mengritik terbuka perilaku Amerika yang anti demokrasi itu. Ia mempertanyakan tindakan Amerika ini dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam Konstitusi Amerika. “Bagaimana kita bisa menerima perlakuan yang melanggar amandemen pertama dan hak untuk bicara bebas, hak untuk berkumpul secara damai?” Dalam surat terbukanya ia pun menyatakan, “Kita tak bisa membenarkan pengupingan dan pengecekan fasilitas internet tanpa perintah dari pengadilan. Kita tak bisa membenarkan pemeriksaan tanpa disertai surat perintah. Kita tak bisa menerima begitu saja kekuasaan kepada Jaksa Agung untuk menentukan kelompok-kelompok yang ia anggap sebagai kelompok teroris lokal. Kita tak bisa menerima begitu saja keleluasaan FBI untuk mengakses seluruh data yang kita miliki hingga data yang menyangkut soal data kesehatan dan data keuangan seseorang.”
Ungkapan ini
menjadikan situasinya lebih jelas. Ada ketakutan tersendiri di kalangan masyarakat
Amerika atas perilaku pemerintah dan aparat militer yang menjadikan seluruh
dunia termasuk kampung halamannya sendiri sebagai wilayah perang. Dan rejim
yang seperti ini, menjadi sangat sensitif dengan suara-suara yang berlainan
dengan suara yang dipompakan terus menerus dalam media massa yang oligopolis
tersebut. (lihat wawancara GuerrilaNews.com dengan Christopher Simpson, seorang
profesor dan pengajar dari American University, di Washington DC) Ketika perang
di Afganistan dimulai, raja media Rupert Murdoch, dengan sadar mengatakan bahwa
grup media miliknya akan sangat memperhatikan kepentingan pemerintah dan tidak
akan menyudutkan posisi pemerintah. Sebagian aktivitas di industri perfilman
Hollywood pun sempat berhenti karena para produser acara memaksa untuk
menyeleksi kembali berbagai tayangan yang dikhawatirkan bisa memunculkan
sentimen anti-Amerika.
Matthew
Rothschild, seorang editor dari majalah The Progressive menulis bahwa
masa yang dialami Amerika sekarang mengingatkan pada situasi Amerika di
1950-an, masa yang disebut sebagai McCarthyism. McCarthy adalah nama seorang
anggota parlemen Amerika yang memompakan semangat anti komunis di Amerika pada
masa perang dingin. Menurut Rothschild dalam artikel yang diterbitkan The
Progressive bulan Februari 2002 itu, kata “Terorisme” itu sama nilainya dengan
kata “Komunisme” pada 1950-an. Setiap orang di Amerika menjadi sangat ngeri
kalau ia dituduh ada kaitan dengan “Terorisme”, sementara tindakan
menakut-nakuti itu adalah terorisme yang sesungguhnya. Sejumlah pameran seni
dikuntit oleh anggota FBI atau Dinas Rahasia, para aktivis anti perang juga
digeledah rumahnya, untuk dicari “barang-barang anti Amerika”-nya, bisa poster
yang mengolok-olok presiden Bush, himbauan anti perang, poster yang mempertanyakan
kematian anak-anak karena kekurangan gizi di Afganistan dan matinya penduduk
sipil di wilayah ‘musuh’ tersebut. Sejumlah jurnalis dicopot dari pekerjaannya
sebagai wartawan karena menuliskan kolom atau editorial yang “tidak sesuai
dengan suasana yang dirasakan masyarakat Amerika kebanyakan”. Profesor yang
kritis di universitas pun dihimbau untuk tidak memberikan kuliah atau bahkan
diberhentikan.
Jackie
Anderson misalnya, adalah seorang wartawan dari koran Sun Advocate di
Price, Utah, mengalami nasib tak baik ini. Ia sudah bekerja selama tiga tahun
di koran itu dan ketika terjadi pemboman gedung WTC ia sempat menulis kolom
yang isinya “Perang bukanlah satu-satunya solusi yang kita miliki saat ini.
Mencari keadilan adalah aksi yang bisa dilakukan, namun Mencari Kedamaian pun
adalah aksi yang bisa dilakukan.” Seminggu setelah kolomnya beredar, ia
diberhentikan oleh editornya yang cuma bisa berkata “Bukan itu arah yang hendak
diambil koran ini.”
Beberapa
koran malah sempat menurunkan tulisan besar-besar yang meminta maaf atas
‘kelancangan’ salah satu staf mereka ketika menurunkan tulisan yang “tidak
sesuai dengan suasana umum masyarakat di Amerika”.
Dalam
suasana seperti ini, baik pemerintah Amerika maupun media massa seakan
mengglorifikasi kehendak untuk berperang. Padahal perang melawan siapa, mengapa
dan berapa lama perang akan dilangsungkan, tak pernah dijawab dengan jelas.
Perang melawan terorisme, sebagaimana diklaim pemerintah Amerika Serikat,
kemudian menjadi semacam keleluasaan Amerika untuk bisa masuk ke berbagai
wilayah negara, sambil menakut-nakuti suatu wilayah akan diserang atau diberi
perhatian khusus. Yang terjadi kemudian pemerintah AS gemar sekali menuduh
suatu negara sebagai pendukung terorisme dan mengancam untuk segera
menggerakkan pasukan ke wilayah tersebut.
Peperangan
yang tak jelas musuhnya ini kemudian jadi makin meluas dan meluas. Tak banyak
orang yang berani mempertanyakan kebijakan Amerika ini, selain karena memang
media massa besar di Amerika telah membuat banyak orang terbuai dalam permainan
perang-perangan ini. Berbulan-bulan stasiun televisi CNN, milik AOL-Time Warner
Group (grup media paling besar di dunia), menurunkan pemberitaan yang selalu di
bawah tajuk “US Under Attack”. Jika sebagian orang masih memelihara kewarasan otaknya,
maka tajuk berita macam itu memuakkan dan bisa bikin muntah.
Jelas benar
bahwa media massa yang oligopolis, yang memiliki asset yang demikian besar, tak
bisa menjaga kekritisannya atas rejim yang sedang sensitif ini. Dan kita
mengambil logika yang sederhana saja: suatu perusahaan media tak mungkin bisa
menjadi sedemikian besar jika tak memperoleh proteksi ekonomi dan politik dari
kelompok-kelompok kekuasaan yang ada, baik dari pemerintahan sipil dan militer,
penguasa politik ataupun ekonomi. Dan semakin membesarnya sebuah grup media,
maka mereka akan semakin menyimpan konflik kepentingan yang sangat tinggi,
karena penguasa politik dan ekonomi tertinggi adalah sobat-sobatnya. Mana
mungkin sobat-sobat ini, apakah itu perusahaan multinasional yang jadi
pengiklan grup media ini, ataukah penguasa politik yang setuju melindungi grup
media tersebut akan diperlakukan secara kritis?
Teknik lama
untuk musuh baru
Kalau
melihat praktek yang dilakukan Amerika dalam peperangan melawan Afganistan,
kemudian juga apa yang sedang dilakukan terhadap Irak demi menjatuhkan Saddam
Husein, kiranya hal ini tak bisa dilepaskan dari strategi yang memang sudah ada
dalam perencanaan badan-badan intelejen Amerika, bahwa selain perang fisik
dilangsungkan untuk menjatuhkan musuh-musuh Amerika, perang dalam bentuk
kata-kata, dalam bentuk informasi, juga dilakukan untuk mendukung perang
sesungguhnya.
Teknik
propaganda semacam ini pun jelas dilakukan oleh Amerika dan para pendukungnya
untuk menggulingkan sejumlah pemerintahan di dunia, misalnya pemerintahan
Sukarno, pemerintahan Allende di Chile, dan lain-lain.
Semakin
banyak bukti yang bisa ditunjukkan tentang keterlibatan Amerika dalam
penjatuhan Sukarno pada 1965, terutama ketika Amerika memberikan bantuan
peralatan telekomunikasi kepada Angkatan Darat untuk memudahkan usaha
memberantas kelompok komunis kala itu. Dan di Jakarta sendiri menjelang
kejatuhan Sukarno diketahui ada sebuah pemancar radio yang sangat besar
kekuatannya, yang menyiarkan propaganda-propaganda untuk menjelek-jelekkan
Sukarno. Bukti soal bantuan telekomunikasi tersebut bisa dilihat pada
arsip-arsip yang telah dideklasifikasi dari CIA untuk laporan tentang Indonesia
pada 1965.
Belum lagi
jika kita pelajari apa saja langkah yang dilakukan Amerika dalam perang melawan
Afganistan beberapa waktu yang lalu. Di awal peperangan yang terjadi sejak
Oktober 2001, Amerika mendrop berbagai paket makanan kepada penduduk sipil
Afganistan sembari menyelipkan berbagai pamflet yang menjelekkan pemerintahan
Taliban di Afganistan. Lepas dari kita setuju atau tidak pemerintahan Taliban
menjalankan kekuasaannya, di situ tampak sekali bagaimana langkah-langkah
perang kata-kata atau propaganda dijalankan bersamaan dengan perang dalam arti
yang sesungguhnya.
Mengapa
demikian? Karena menurut Harold Laswell ongkos kegiatan propaganda lebih murah
daripada perang yang sebenarnya, dan terkadang bisa mendapatkan hasil yang
lebih efektif daripada menggelar perang yang sesungguhnya. Kita juga ingat
bagaimana Amerika dalam perang dengan Afganistan pun menyiapkan suatu radio
khusus yang disiarkan dalam bahasa Pashtun bahasa kelompok mayoritas di negeri
tersebut untuk mendukung kejatuhan pemerintahan Taliban. Jadi hal tentang
propaganda yang dilakukan oleh Amerika, bukanlah sesuatu yang baru, namun
merupakan teknik standar yang diterapkan oleh Amerika ke berbagai negara yang
dianggap musuhnya. Demikian pula yang terjadi ketika Amerika melakukan invasi
ke Vietnam pada dekade 1960-an. Propaganda lewat radio setempat pun jadi salah
satu bagian dari strategi operasi perang Amerika.
Propaganda
sendiri merupakan kemampuan membentuk persepsi tertentu kepada orang lain.
Sebenarnya istilah propaganda itu sendiri adalah sesuatu yang netral, karena
kata itu berarti mempromosikan suatu ide. Tapi dalam perkembangannya istilah
ini menjadi cenderung negatif, karena di dalamnya ada unsur-unsur paksaan baik
itu kasar maupun halus, untuk meyakinkan suatu ide tertentu. Apalagi kalau
propaganda itu dilakukan oleh pihak Negara dengan bantuan kalangan intelektual
yang mengabdi padanya. Noam Chomsky mengungkapkan hal ini dalam salah satu
papernya pada 1991, yang kemudian dimuat dalam Alternative Press Review (“Media
Control”, Musim Gugur tahun 1993) “Propaganda Negara, jika didukung oleh
kalangan terdidik, akan menghasilkan dampak yang sangat besar”.
Sebenarnya
bukan hanya propaganda negara yang berbahaya, tapi juga propaganda yang
dilakukan oleh kalangan industriawan, karena kalangan industriawan ini
menggunakan perusahaan-perusahaan hubungan masyarakat (Public Relations) untuk
memompa citranya kepada media massa, dan dari tahun ke tahun, jumlah uang yang
berputar dalam bisnis pencitraan ini makin lama makin naik. Bayangkan saja
bahwa kantor OSI yang batal dibuat Amerika, pertama sekali menggamit kalangan
profesional dari industri kehumasan ini untuk membantu pemulihan citra Amerika
di negara-negara Muslim.
Pada masa
perang dingin, yang mulai sejak akhir perang dunia II hingga 1960-an,
sebenarnya propaganda ini pun banyak dilakukan oleh Amerika, dan terutama karena
Amerika didukung dengan banyaknya sarjana ilmu Komunikasi yang terlibat dalam
proyek-proyek rahasia badan intelejen untuk memperbesar pengaruh Amerika di
dunia, dan terutama kepada negara-negara yang dianggap berpotensi untuk menjadi
musuh atau penentang Amerika.
Institusi
seperti CIA pada 1950-an sangat terlibat dalam pembentukan kelembagaan akademis
serta dukungan dana atas kegiatan ini, terutama dalam pendirian CENIS (Center
for International Studies) di MIT. Salah satu tema utama yang diteliti oleh
para sarjana yang tergabung dalam CENIS ini adalah tema tentang ‘pertumbuhan
ekonomi’ dan juga ‘modernisasi’ di negara dunia ketiga. Di antara para sarjana
yang tergabung dalam CENIS di antaranya adalah Daniel Lerner, Ithiel de Sola
Pool, lalu juga ada nama-nama lain seperti Harold Lasswell, Paul Lazarfeld,
Edward Shils, sebagai anggota komitenya. Daniel Lerner dikenal dengan bukunya The
Passing of Traditional Society, sementara Pool, Lazarfeld, dikenal sebagai
ahli-ahli ilmu komunikasi, dan Lasswell dikenal sebagai bapaknya propaganda di
Amerika dan Shills adalah jurubicara utama dari Proyek Kebebasan Budaya yang
didukung oleh CIA dan juga Kongres Amerika.
Dalam
perkembangannya CENIS juga melakukan studi atas sejumlah wilayah geografis yang
dianggap oleh kalangan intelejen Amerika sebagai ‘agigator’ seperti misalnya di
Indonesia, di Chili, Puerto Rico, Perancis, Italia, Cuba dan lain-lain.
Sejumlah laporan yang diproduksi oleh sarjana-sarjana CENIS menyebutkan bahwa
perubahan sosial di negara-negara berkembang terutama adalah menata
permasalahan untuk kepentingan Amerika, dimana di dalamnya termasuk masalah
urbanisasi, industrialisasi, sekularisasi dan juga komunikasi. Semua masalah
tadi dianggap bisa diukur dan dipergunakan untuk mempertahankan kepentingan
Amerika.
Jika membaca
buku yang ditulis Noam Chomsky dan Edward S. Herman, 23 tahun yang lalu (The
Washington Connection and Third World Fascism: The Political Economy of Human
Rights: volume I, Spokesman, 1979), maka tesis utama dari buku itu tetap
relevan sampai sekarang bahwa Amerika dalam menjalankan politik luar negerinya
selain menggunakan kebijakan global, dan pembangunan institusi di sejumlah
wilayah, juga menggunakan pula taktik “brainwashing under freedom” (mencuci
otak dengan berdalih soal kebebasan). Taktik ini direncanakan oleh kelompok
politik di pusat kekuasaan, bekerjasama dengan para intelektualnya dan juga
juru bicara media massanya, untuk merekonstruksi dan menggeser perspektif
sejarah dan interpretasi atas peristiwa-peristiwa aktual yang sesuai dengan
kepentingan mereka. Semua taktik ini dikerjakan dengan cara yang sangat
luarbiasa impresif.
Banyak sudah
yang menjadi korban dari perang-perang Amerika ini, mulai dari Pakistan,
Burundi, negara-negara Amerika Latin termasuk di dalamnya menumbangkan rejim
demokratis di Chili, Salvador Allende Timor Timur, Indonesia, Thailand,
Filipina, Republik Dominika dan juga Vietnam.
Propaganda
Jalan Terus
Kembali ke
masa kini, kepentingan Amerika akan terus dijaga dengan pencitraan yang mereka
lakukan dalam menyelubungi kepentingan-kepentingan mereka di berbagai tempat.
USA Today edisi 28 Februari 2002, menulis bahwa George Bush mengatakan bahwa
Amerika masih harus bekerja keras untuk memperbaiki citra mereka di
negara-negara Muslim. Bush mengungkapkan hal itu sebagai respon dari hasil
survey yang dilakukan oleh lembaga polling Gallup yang menyebutkan bahwa di
sembilan negara Muslim, 53% responden berpendapat bahwa mereka tak menyukai
negara Amerika, dan 58% responden yang sama juga mengatakan bahwa mereka tak
menyukai sosok presiden Amerika saat ini, George W. Bush. Gallup melakukan
survey atas hampir 10.000 responden di Pakistan, Iran, Indonesia, Turki,
Libanon, Maroko, Kuwait, Jordan dan Arab Saudi. Sementara itu Bush sendiri
tetap mendukung pembentukan radio alternatif guna menggulingkan pemimpin Irak,
Saddam Husein, karena Saddam dicurigai memiliki jaringan dengan para teroris.
Jadi walau kantor OSI urung didirikan, namun nyatanya, kegiatan propaganda
terus dilakukan tanpa kelembagaan OSI sekalipun. Ada atau tak ada institusi,
maka propaganda dan infiltrasi terus dilakukan Amerika. Tentu saja untuk
memperkukuh posisinya sebagai satu-satunya negara adidaya di dunia, dan juga
negara yang menjadi ‘polisi dunia’.
Untuk
mengimbangi peran dominan Amerika macam begini, maka peran dari media massa
yang independen pun menjadi penting. Media yang besar, cenderung terkooptasi
dengan pertentangan kepentingan dengan para petinggi militer Amerika, dan
mereka relatif tidak kritis atau cenderung melakukan sensor diri agar mereka
tidak terjebak dalam situasi yang tidak mengenakkan bagi sobat-sobat mereka
tersebut. Peran media yang independen ini menjadi penting karena karena desakan
bertubi-tubi dari media massa itu pulalah, maka Donald H. Rumsfeld, Menteri
Pertahanan Amerika tersebut membatalkan ide pembentukan OSI tersebut. Katanya
“Keberadaan kantor OSI dibatalkan karena pendapat yang berbeda di kalangan
media, baik berupa editorial hingga karikatur mengolok-olok kantor itu sehingga
membuatnya jadi tidak akan efektif. Konsep tentang kantor ini sudah dirusak
sedemikian rupa sehingga kantor ini kalaupun didirikan tidak akan bisa
berlangsung dengan efektif.”
Bahan
Bacaan:
Christopher
Simpson, Science of Coercion: Communication Research and Psycological
Warfare 1945-1960, Oxford University Press, 1994
A.C. Manulang, Menguak Tabu Intelejen: Teror, Motif dan Rezim, Jakarta: Panta Rhei a1, 2001
Noam Chomsky & Edward S. Herman, The Washington Connection and Third World Fascism: The Political Economy of Human Rights: Vol. I, Spokesman, 1979
Matthew Rothschild, “The New McCarthyism”, The Progressive February 2002
Ruth Conniff, “The Word from Washington: Patriot Games”, The Progressive February 2002
Noam Chomsky, “Media Control”, ringkasan dari Alternative Press Review Fall, 1993
Wawancara Stephen Marshall dengan Christopher Simpson, dalam Guerrilanews.com “The Science of Coercion”
A.C. Manulang, Menguak Tabu Intelejen: Teror, Motif dan Rezim, Jakarta: Panta Rhei a1, 2001
Noam Chomsky & Edward S. Herman, The Washington Connection and Third World Fascism: The Political Economy of Human Rights: Vol. I, Spokesman, 1979
Matthew Rothschild, “The New McCarthyism”, The Progressive February 2002
Ruth Conniff, “The Word from Washington: Patriot Games”, The Progressive February 2002
Noam Chomsky, “Media Control”, ringkasan dari Alternative Press Review Fall, 1993
Wawancara Stephen Marshall dengan Christopher Simpson, dalam Guerrilanews.com “The Science of Coercion”
IGNATIUS HARYANTO adalah
jurnalis, dan wakil direktur Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) di
Jakarta
Korban Perang Mikrofon 21 Hari
KEDUA pria
berseragam tentara ini, menjelaskan dan melayani tanya jawab wartawan,
masing-masing dengan gaya dan versinya. Sahaf yang berkacamata, beberapa jam
sebelum "terjungkalnya" patung Saddam Hussein, menjelaskan tegas
betapa Irak akan menang dan mengusir tentara gabungan. Sebaliknya Brooke dengan
dingin, menegaskan kalau tentara AS dan Inggris juga pasti akan menang. Dua
versi informasi yang berbeda juntrungannya, namun keduanya mirip ... sama-sama
merasa menang!
Di palagan bermesiu
darah dan nyawa, dua orang mewakili "kepentingan" bangsa-bangsa
dunia, berupaya tampil sehebat mungkin agar menarik puja dan puji pihaknya.
Kata-kata kalimatnya, kalau perlu, menggunakan kata keras dan kalimat kasar,
supaya pemirsa tayangannya melampiaskan kepuasanan sambil manggut-manggut, atau
geleng-geleng kepala.
APA yang tertayang
gambarnya dan terlontar bunyi ucapannya, sungguh terbayang di mata dan
terngiang di telinga. Gambar-gambar yang menusuk ke hati, kata-kata yang
melekat di benak, semua itu bagian dari taktik dan strateginya propaganda. Baik
kubu Irak maupun geng tentara AS cs.
Materi propaganda
itu, memang dibuat dan dirancang dengan kesadaran penuh, baik materi sajiannya
maupun nada pengucapan dan ilustrasinya. Propaganda memang suatu upaya yang
ditata sedemikian rupa, untuk mempengaruhi dan memanipulasi sesuatu keputusan,
kegiatan, ataupun keyakinan dari sejumlah masyarakat agar terarah ke suatu
tujuan khusus yang berupa isu dan opini.
Baik Brooke dan
terutama Sahaf, memang sengaja "dipasang" badannya agar menemui
wartawan dan ber-acting, sambil mengeluarkan informasi penting perihal
kedudukan dan keberadaan pihaknya, dalam pertikaian bersenjata bom maut dan
peluru tajam. Seharusnya, kedua "informan" ini sudah merencanakan dan
mengatur persiapan, baik materi data dan informasinya, juga beberapa persiapan
kalimat untuk menangkis pertanyaan maut wartawan perang.
Layaknya sebuah
propaganda, isi atau kandungan informasinya harus benar-benar
"berbahasa" umum, serta dapat diterima masyarakat kebanyakan. Apabila
propaganda itu menampilkan propagandisnya, sang "corong" ini
betul-betul harus disetel dan dilatih, kalau perlu disutradarai agar
penampilannya enak dilihat, infonya enak didengar, juga gampang dimengerti.
Artinya propagandis
itu, memang orang pilihan dengan syaraf kuat dan berani berkata benar, meski
harus tabah meski berkata "bohong" juga. Yang penting, tukang
propaganda itu benar-benar harus setel yakin, apa yang diucapkan dan dijelaskan
itu, sebisa mungkin meyakinkan dan menyedot perhatian pendengarnya sehingga
emosi dan perasaannya akan terpengaruh, meski bisa positif bisa pula negatif.
Sebab dalam suatu
propaganda, peranan "corongnya" itu mutlak penting. Hanya dengan
kata-kata dan kalau perlu disertai bukti, si propagandis itu harus berupaya
memanipulasi agar sekelompok publik, dapat dipengaruhi dan diyakinkan kalau
ide, produk atau seseorang yang ditokohkannya itu, sesungguhnya akan memberikan
sesuatu kebaikan atau kelebihan, dibanding dengan lawan isunya.
Kalau membanding
Sahaf dan Brooke, sebagai dua propagandis yang pernah ngetop, Sahaf yang tampil
lebih matang dan selalu berbahasa Arab dan Inggris, sempat memukau dan amat
menarik empati pemirsa, meski kosakatanya kadang terdengar kurang diplomatis.
Sedangkan Brooke yang bergaya serdadu, serta bicaranya amat teknis meski sopan,
namun kering tanpa tawa dan canda.
Lepas dari siapa
kalahkan siapa, kedua juru bicara ini seharusnya dipersiapkan dan mempersiapkan
dirinya. Mengingat kedua pihak berseteru itu, masing menyebut "musuh"
terhadap lawan aksinya, tentunya pihak-pihak itu sudah tahu "siapa
bagaimana apa" sang musuh itu.
Irak dan AS,
kebetulan pernah berseteru dalam Perang Teluk sekitar 12 tahun lalu (17
Januari-28 Februari 1991), masing-masing pasti sudah paham siapa itu si
"Amerikiya" yang musuh, siapa pula sang "Iraqi" yang enemy
itu.
BAGAIMANA strategi
dan perencanaan "perang propaganda" ini, tentunya bagi dua kubu
militer itu amatlah "RHS" alias rahasia. Meski kedua pihak itu
memiliki lembaga atau institusinya, namun sejauh ini belum pernah mengedarkan
pers rilis, seraya memaparkan apa saja yang mereka ketahui perihal musuhnya.
Di dunia telaah
ilmu-ilmu sosial, ada buku klasik menarik yang mengungkapkan, betapa di saat
Perang Dunia II yang mencabut puluhan ribu nyawa, semua pihak yang terlibat
selain mempersiapkan "mata-mata" yang intelijen, juga memberdayakan
"otak-otak" yang peneliti. Orang-orang akademi ini, dilibatkan penuh
untuk menelaah dan memperhatikan penuh segala perilaku informasi, termasuk
macam-macam propaganda yang ada.
Salah satu contoh klasik
dan legendaris, tentunya kasus Ruth Benedict. Sebagai ahli antropologi budaya
yang tertarik pada sejarah, tradisi, dan karakter bangsa Jepang, Benedict pada
bulan Juli 1944 ditugaskan pemerintah AS, untuk bekerja penuh di Kantor
Penerangan Perang, menjadi "mata-mata" dari jarak jauh melalui telaah
disiplin ilmunya. Antropolog perempuan itu, ditugaskan mempelajari bangsa
Jepang yang musuh besarnya AS di Perang Dunia II (1939-1945).
Jepang sebagai
bangsa besar Asia, dianggap memiliki perbedaan kebiasaan dalam bertindak dan
berpikir. Amerika yang sudah berperang habis-habisan itu, menemui kesulitan
tidak enteng.
Meski di saat itu,
Jepang sudah membuka dirinya selama 75 tahun, bangsa luar lainnya tetap tidak
bisa mengerti, apalagi mendalami watak bangsa kulit kuning itu. Di pertengahan
abad XX lalu, memang sudah banyak buku mengulas Jepang, namun sepertinya tetap
ada kalimat tambahan dengan awal kata "tetapi juga". Misalnya tulisan
perihal bertapa orang Jepang itu amatlah ramah-tamah, namun ada tambahan "tetapi
juga ... kasar dan menekan".
AS belajar dari
pengalaman Rusia ketika berperang melawan Jepang pada tahun 1905. "Tsar
memerangi suatu bangsa yang sepenuhnya dipersenjatai dan terlatih, akan tetapi
tidak tergolong dalam tradisi Barat... Inilah yang membuat perang tersebut
suatu masalah tentang watak musuh. Kita harus mengerti tingkah laku mereka
untuk bisa memenangkannya," begitu kalimat pembuka Benedict dalam buku
legendarisnya The Chrysanthemum and the Sword (cetakan ke-30, 1979).
Di Amerika Serikat
orang percaya perang melawan Jepang akan berlangsung tiga tahun, atau mungkin
10 tahun lagi. Sementara di Jepang, mereka siap berperang terus meski
berlangsung seratus tahun lagi, begitu tulis Benedict. "Kemenangan Amerika
di pulau-pulau Pasifik, itu masih sejauh ribuan mil dari Jepang... Rakyat
Jepang senantiasa menganggap dirinya masih pemenang," tulis Benedict.
SELAIN mewawancarai
dan mengamati perilaku kaum nisei, kaum warga negara AS keturunan Jepang
kelahiran Amerika, Kantor Penerangan Perang AS juga mempelajari kampanye
propaganda Jepang di negerinya sendiri. Antara lain, propaganda Jepang
menyebutkan hal paling berharga dari manusia, hanyalah jiwa.
Materi hanyalah
pelengkapnya. "Untuk menandingi baja AS, kita harus melawan dengan daging
kita!"
Benedict pun
menjelaskan contoh sebuah buku. "Bacalah ini dan perang sudah
dimenangkan!" Begitu kalimat cetak tebal buku sakti itu. Penerbang Jepang
pun yang membaca indoktrinasi kitab perang itu, kontan rela dan berani
menabrakkan pesawat kecilnya, langsung ke kapal perang AS yang besar-besar.
Keberanian pilot dari satuan Kamikaze itu, memang ampuh menghantam musuhnya
macam "angin dewata" atau kamikaze.
Sementara itu, radio
Dai Nippon tetap mengumandangkan seruan, pengompor semangat, dan pendorong niat
untuk bekerja, bersatu, dan bertekad mengalahkan musuhnya. Tiap pagi, bangsa
Jepang ikut taisho alias senam pemanas badan. "Semakin kita kurang
makanan, semakin kita harus meningkatkan kekuatan fisik kita dengan cara lain.
Ayo kita senam!" Begitu kampanye propagandanya.
Pemujaan rakyat
Jepang terhadap Sang Kaisar pun, tidak kenal kata alpa. Bukan cuma tentara
diwajibkan membungkuk tiga kali ke arah timur, sambil berseru
"banzai". Tapi segala pemberian, anugerah ataupun sekadar persenan
rokok dari atasan untuk tentaranya, sang komandan selalu bilang "ini dari
Kaisar".
Kesetiaan diri
terhadap bangsa, negara, dan kaisar selalu dihubungkan dengan sikap bushido dan
pandangan luhur terhadap keadilan, keberanian, kebaikan hati, kesopanan,
kehormatan, kesetiaan, dan pengendalian diri. Bahkan sampai ketegasan membunuh
diri ber-seppuku atau harakiri.
"Bangsa Jepang
berkadar amat ekstrem. Bersifat tidak agresif sekaligus amat agresif,
militeristis dan estetis, kasar dan sopan, kaku dan mudah bergaul, setia dan
berkhianat, pemberani dan pengecut, konservatif dan terbuka ... Apa yang akan
dilakukan bangsa Jepang? Apakah penyerahan mungkin terjadi tanpa invasi? ...
Haruskah mengebom Istana Kaisar?"
Pendek cerita,
Perang Dunia II pun usai dengan segala konsekuensinya. Kisah sekelumit kilas
balik PD II tadi, cuma untuk mengingatkan kembali, betapa demi suatu
"kemenangan", manusia mau berupaya apa saja. Termasuk meneliti apa
saja kehebatan dan kelemahan sang lawan.
Kembali ke soal
"Perang 21 Hari" AS-Inggris vs Irak, tentunya kedua pihak sudah
mempelajari kedigjayaan dan keloyoan lawannya. Juga kedua pihak itu, tahu betul
cara berpropaganda dan berperang dengan mikrofon.
Negara berseteru
itu, boleh dikata sudah sukses menarik perhatian hampir seluruh warga dunia.
Malah mereka boleh dikata nyaris berhasil, memprovokasi sebagian besar manusia
bumi untuk memihak ke sana dan ke sini. Jadi selama "Perang 21 Hari"
lalu, nyaris pula berjatuhan banyak korban, gara-gara "perang
mikrofon". Kompas, 13 April 2003
IV. TENTANG PROPAGANDA DAN AGITASI
20. Tugas kita yang
paling utama sebelum meletusnya pemberontakan revolusioner secara terbuka
adalah melancarkan propaganda dan agitasi revolusioner. Namun, selama ini
pekerjaan tersebut masih dilakukan dengan cara‑cara lama. Hal ini pun hanya
terbatas pada pidato‑pidato dalam rapat‑rapat massa, tanpa memperhatikan isi
revolusioner dari pidato‑pidato tersebut dan dalam bahan‑bahan tulisan
politiknya.
Propaganda dan
agitasi Komunis harus berakar di benak kaum proletar. Ia harus lahir dari
kehidupan aktual kaum buruh, kepentingan‑kepentingan dan aspirasi mereka dan,
di atas segala-galanya, dari perjuangan bersama yang dilancarkan oleh mereka.
Aspek yang
terpenting dari propaganda Komunis adalah isi dan wataknya yang revolusioner.
Oleh karena itu, slogan‑slogan dan seluruh sikap politik Komunis, dalam
menanggapi satu atau berbagai persoalan dalam situasi kongkrit yang ada, harus
mendapatkan perhatian dan pengkajian secara khusus. Partai‑partai Komunis tidak
akan pernah bisa menyatakan sikapnya secara tepat jika para propaganda dan
agitator profesionalnya serta para anggota partai tidak mendapatkan pendidikan
politik secara menyeluruh dan terus menerus.
21. Bentuk‑bentuk
pokok propaganda Komunis adalah sebagai berikut:
- Propaganda orang ke orang secara lisan;
Keterlibatan Komunis dalam serikat buruh dan gerakan politik kelas buruh
lainnya; serta
Propaganda melalui Roran Partai maupun
pendistribusian bahan‑bahan bacaan lainnya
Seluruh anggota partai, baik legal maupun
illegal, harus terlibat secara reguler dalam salah satu dan atau bentuk‑bentuk
propaganda lainnya.
Propaganda dari
orang ke orang terutama harus berbentuk agitasi dari rumah ke rumah secara
sistematik. Untuk itu harus dibentuk group‑group khusus. Di wilayah-wilayah
tertentu, dimana organisasi lokal‑partai memiliki cukup pengaruh, setiap rumah
harus didatangi. Di kota-kota besar, agitasi jalanan yang diorganisasi secara
khusus dengan menggunakan poster dan selebaran seringkali memberikan hasil yang
baik. Sementara itu, di pabrik-pabrik dan di kantor-kantor, sel-sel maupun
fraksi-fraksi harus menjalankan propaganda dari orang ke orang yang digabungkan
dengan pendistribusian bahan bacaan.
Di samping itu, jika
di suatu negeri terdapat bangsa‑bangsa minoritas maka partai harus mencurahkan
perhatiannya secara khusus dalam hal pekerjaan agitasi propaganda di kalangan
kelas buruhnya. Tentu saja agitasi propaganda ini harus dilakukan dengan
menggunakan bahasa‑bahasa bangsa minoritas. Untuk menjalankan kerja tersebut
harus didirikan organ‑organ partai khusus.
22.
Di negeri‑negeri kapitalis dimana sebagian besar kaum proletariatnya belum
memiliki kesadaran revolusioner, harus dicarikan metode kerja agitasi
propaganda secara lebih efektif. Propaganda harus disesuaikan dengan tingkat kesadaran
buruh yang belum revolusioner namun yang sudah mulai teradikalisir, dan juga
harus dilakukan upaya-upaya untuk semakin mendekatkan mereka ke gerakan
revolusioner. Dalam situasi apapun, propaganda dan slogan Komunis harus mampu
meneguhkan aspirasi yang masih ragu dan masih belum mencerminkan kesadaran
kelas, yakni aspirasi yang masih dipengaruhi oleh ideologi borjuis namun yang
sudah mencerminkan watak revolusioner, yang berkembang di kalangan kelas buruh
dalam rangka melawan tradisi borjuis.
Pada saat yang sama
juga, Propaganda Komunis harus melebihi tuntutan‑tuntutan maupun harapan massa
proletar yang masih terbatas dan samar‑samar. Berdasar tuntutan dan harapan
inilah kita bisa membangun dan mengembangkan pengaruh kita serta mendorong kaum
proletar untuk memahami dan bersimpati terhadap Komunisme.
23. Agitasi Komunis
di kalangan massa proletar harus dijalankan sedemikian rupa sehingga kaum
militan proletar akhirnya bisa mengetahui bahwa hanya organisasi Komunis lah
yang berani dan berpandangan jauh ke depan. Dengan demikian mereka akan
mengakuinya sebagai pimpinan gerakan buruh yang loyal dan enerjik.
Untuk meraih
pengakuan ini maka kaum Komunis harus terlibat dalam seluruh perjuangan
sehari‑hari dan dalam seluruh gerakan kelas buruh, serta membela kaum buruh dalam
setiap perlawanannya terhadap kaum kapitalis, khususnya ketika mereka sedang
memperjuangkan pengurangan jam kerja, kenaikan upah, perbaikan kondisi kerja
dan sebagainya. Kaum Komunis harus melakukan pengkajian secara mendalam terhadap
kondisi kehidupan sehari‑hari kaum buruh; mereka harus membantu buruh untuk
memahami problem‑problem yang mereka hadapi; membantu mereka dalam merumuskan
tuntutan-tuntutannya secara praktis dan jelas; menggalang kesetiakawanan kelas
dan meningkatkan wawasan mereka terhadap kepentingan dan tujuan bersama mereka
sebagai anggota kelas di suatu negeri, sebagai bagian dari laskar proletariat
internasional.
Hanya
melalui kerja sehari‑hari di basis massa serta dengan komitmen yang teguh dan
penuh berpartisipasi dalam seluruh perjuangan proletariat, maka sebuah partai
dapat menjadi partai Komunis dalam maknanya yang sejati. Hanya dengan
cara‑cara inilah maka Partai Komunis bisa membedakan dirinya dengan partal‑partai
Sosialis, yang kebanyakan aktivitasnya hanyalah melakukan propaganda abstrak,
yang banyak‑banyak merekrut anggota kesana kemari hanya berbicara tentang
reformasi dan segala "kemungkinan" untuk berjuang melalui parlemen.
Keterlibatan seluruh anggota Partai Komunis secara sadar dan teguh dalam
perjuangan serta perlawanan sehari‑hari kelas terhisap terhadap kelas penghisap
merupakan prasyarat yang teramat penting bukan hanya bagi perebutan kekuasaan,
namun yang lebih penting lagi, untuk mewujudkan kediktatoran proletariat. Hanya
dengan memimpin massa pekerja dalam perjuangan sehari‑hari melawan serangan
kapitalisme lah maka Partai Komunis mampu menjadi pelopor kelas pekerja.
Dengan demikian partai belajar dari praktek untuk memimpin kaum proletar guna
mempersiapkan penggulingan akhir terhadap kaum borjuasi.
24. Untuk bisa terlibat
dalam gerakan buruh, kaum Komunis harus dikerahkan/dimobilisir dengan kekuatan
penuh, utamanya pada saat terjadi pemogokan maupun perjuangan‑perjuangan massal
lainnya yang dilakukan kaum buruh.
Adalah sebuah kesalahan
besar jika kaum Komunis mengecam tingkat perjuangan buruh yang masih
menuntut perbaikan kondisi kerja. Sama besarnya dengan kesalahan di atas jika
partai kemudian bersikap pasif dengan dalih bahwa kita hanya setia kepada
program Komunis untuk melancarkan pemberontakan revolusioner bersenjata sebagai
tujuan akhirnya. Betapapun terbatas dan sederhananya tuntutan yang hendak
diajukan kaum buruh, jangan sampai kaum Komunis mencari dalih untuk tidak
melibatkan diri dalam perjuangan tersebut. Aktivitas agitasi kita jangan sampai
menimbulkan kesan bahwa kita, kaum Komunis, hanya mau membantu pemogokan yang
menguntungkannya atau hanya menyepakati aksi‑aksi yang besar saja. Sebaliknya,
kaum Komunis harus selalu berupaya meraih nama baik sebagai pejuang yang
berani dan efektif di kalangan massa yang tengah berjuang.
25. Sel‑sel (fraksi‑fraksi)
Komunis yang bekerja dalam gerakan serikat buruh seringkali tidak mampu
mengakomodasi tuntutan-tuntutan sederhana yang mendesak. Adalah mudah, namun
sama sekali tidak menguntungkan, untuk selalu menceramahi kaum buruh
dengan prinsip‑prinsip umum Komunisme, untuk kemudian menolak segala
bentuk sindikalisme, justru ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang
kongkrit. Praktek‑praktek demikian hanya akan menguntungkan Amsterdam Internasional
Kuning[1][1].
Sebaliknya, aksi‑aksi
Komunis harus selalu dituntun oleh kajian‑kajian yang mendalam terhadap semua
aspek persoalan tersebut. Sebagai contoh, dari pada melakukan serangan secara
teoritik terhadap seluruh kesepakatan tentang pengupahan, justru yang
harus kita lakukan adalah memerangi seluruh kesepakatan pengupahan yang
disetujui oleh para pimpinan Amsterdam. Segala sesuatu yang bisa meredam
militansi kaum proletar harus kita kecam dan lawan mati‑matian; dan sebagaimana
sudah kita ketahui bersama, kaum kapitalis dan kacung‑kacung Amsterdamnya
mencoba memanfaatkan kesepakatan pengupahan tersebut untuk membelenggu
militansi kaum buruh yang militan. Akan tetapi, sebagaimana sudah menjadi
keharusan kita, kaum Komunis dapat membelejeti kaum kapitalis secara efektif
justru dengan mengajukan kesepakatan-kesepakatan upah yang tidak akan
membelenggu militansi kaum buruh.
Sikap yang sama juga harus kita ambil dalam menghadapi
persoalan tunjangan bagi pengangguran, kesehatan, dana‑dana pemogokan serta tunjangan‑tunjangan
lainnya yang diberikan oleh serikat‑serikat buruh. Dana pemogokan maupun
dana tunjangan ini sendiri akan banyak memberikan manfaat. Adalah tidak tepat
untuk menentang pengumpulan‑pengumpulan dana semacam ini. Yang kita tentang
bukanlah metode perjuangan yang menyertakan pengumpulan dana pemogokan dan
tunjangan, melainkan kita menentang setiap cara dan pemanfaatan penggunaan dana‑dana
tersebut oleh para pimpinan Amsterdam. Karena apa yang dilakukan mereka pada
hakekatnya bertentangan dengan kepentingan revolusioner kaum buruh.
Sebagai contoh bisa
ditunjukkan disini, yakni berkaitan dengan dana tunjangan kesehatan bagi kaum
buruh yang sedang sakit. Kaum Komunis dapat menuntut penghapusan sistem
sumbangan wajib untuk pengeluaran dana tersebut, untuk itu kita juga harus
menentang semua persyaratan yang membatasi sistem sumbangan secara sukarela.
Jika masih ada sejumlah buruh yang ingin tetap mempertahankan sistem sumbangan
wajib bagi dana kesehatan maka kita tidak bisa begitu saja melarang mereka
untuk melakukannya, karena hal yang demikian ini justru akan membingungkan kaum
buruh. Yang pertama‑tama harus kita lakukan adalah membebaskan mereka dari
konsepsi tunjangan ala borjuis kecil yang masih melekat pada diri mereka. Cara
yang paling efektif adalah dengan melancarkan propaganda dari orang ke
orang.
26. Dalam perjuangan
kita menentang serikat‑serikat buruh maupun partai‑partai buruh yang didominasi
kaum sosial‑demokrat dan borjuis kecil, kita tidak bisa menggunakan cara‑cara
persuasi. Perjuangan menentang mereka justru harus kita lakukan dengan sepenuh
tenaga. Hal tersebut akan berhasil kita lakukan jika kita bisa meyakinkan para
pengikut mereka, yakni dengan cara membelejeti para pimpinan yang telah
mengkhianati sosialisme dan yang telah menjatuhkan diri mereka ke dalam jebakan
kapitalisme. Oleh karena itu begitu muncul kesempatan, kita harus menggiring
para pimpinan itu untuk membuka kedok mereka; baru setelah itu kita bisa
melancarkan serangan gencar ke arah mereka.
Bagi kita adalah tidak
cukup untuk sekedar mencap para pimpinan Amsterdam tersebut dengan cap
"kuning." Justru kekuningan mereka ini harus dibuktikan dengan contoh‑contoh
praktis secara terus menerus, seperti aktivitas mereka di serikat‑serikat buruh
, di Biro Perburuhan Internasional Liga Bangsa‑Bangsa, di kementerian‑kementerian
dan pemerintahan borjuasi, pidato‑pidato khianat yang mereka sampaikan dalam
sidang‑sidang parlemen maupun dalam konferensi‑konferensi, sikap-sikap politik
yang mereka tunjukkan dalam ratusan artikel tulisannya di koran‑koran.
Akhirnya, yang terutama kita harus blejeti adalah kebimbangan dan keengganan
yang mereka tunjukkan ketika mempersiapkan atau melancarkan kampanye‑kampanye
kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja yang paling wajar sekalipun. Semua
hal diatas menyediakan kesempatan bagi kaum Komunis untuk membelejeti mereka
setiap hari, baik itu dalam pidato‑pidato maupun dalam resolusi‑resolusi kita,
yang secara jelas, ringkas dan tegas membongkar aktivitas khianat dan sayap
kanan dari para pimpinan Amsterdam. Pembuktian‑pembuktian inilah yang membuat
mereka layak dijuluki sebagai pimpinan‑pimpinan "kuning."
Sel‑sel dan fraksi‑fraksi
kita harus melancarkan perjuangan praktisnya dengan cara yang sistematik. Kaum
Komunis jangan sampai dikalahkan oleh birokrat rendahan serikat buruh yang
seringkali dengan maksud‑maksud baik namun yang karena tidak cukup kekuatan
untuk mempraktekannya, berlindung di balik anggaran dasar (statuta),
resolusi‑resolusi kongres serikat buruh maupun arahan‑arahan kerja dari
pengurus pusatnya. Para birokrat rendahan serikat buruh ini sering memanfaatkan
hal‑hal di atas sebagai dalih untuk tidak mendorong perjuangan agar lebih maju
lagi. Sebaliknya, kaum Komunis harus selalu menuntut mereka untuk memberikan
pemecahan terhadap persoalan yang ada, dan yang lebih penting adalah kita harus
menunjukkan apa yang sudah kaum Komunis kerjakan untuk menghilangkan hambatan‑hambatan
tadi. Baru setelah itu kita menanyakan kepada para pejabat rendahan dan anggota
serikat buruh tadi tentang kesediaan mereka untuk diajak serta memecahkan
persoalan dan memerangi hambatan‑hambatan ini secara terbuka.
27. Sebelumnya,
fraksi‑fraksi harus secara seksama mempersiapkan keterlibatan Komunis dalam
konferensi‑konferensi dan pertemuan‑pertemuan yang diselenggarakan oleh
organisasi-organisasi serikat buruh. Sebagai contoh, kaum Komunis harus
merancang secara rinci usulan‑usulan yang akan diajukannya, memilih pembicara
dan mencalonkan orang untuk pemilihan kepengurusan yang diambil dari kawan‑kawan
yang cakap, berpengalaman dan enerjik. Melalui fraksi‑fraksinya,
organisasi-organisasi Komunis harus melakukan persiapan seksama untuk
menghadapi seluruh pertemuan kaum buruh, pertemuan‑pertemuan pemilihan,
demonstrasi‑demonstrasi dan acara‑acara politik lain yang diselenggarakan oleh
organisasi‑organisasi saingan. Jika kaum Komunis menyelenggarakan pertemuan‑pertemuan
buruh mereka sendiri, mereka harus mengatur sejumlah besar group agitator yang
akan disebarkan di tengah‑tengah massa, baik itu dalam tahap persiapan maupun
selama pelaksanaan pertemuan, yang akhirnya memungkinkan group‑group tersebut
terlibat dalam menyusun rencana aksi selanjutnya. Hanya dengan cara inilah
hasil propaganda yang memuaskan dapat kita peroleh.
28. Kaum Komunis
harus selalu mempelajari bagaimana cara menarik kaum buruh yang belum
terorganisasi dan yang belum sadar politik ke dalam wilayah pengaruh
partai. Sel‑sel dan fraksi-fraksi kita harus mendekati kaum buruh ini untuk
bergabung dengan serikat‑serikat buruh maupun untuk membaca koran partai kita.
Organisasi‑organisasi yang lain juga harus kita gunakan untuk menyebarkan
pengaruh kita, seperti: koperasi‑koperasi konsumsi, organisasi‑organisasi
veteran dan korban perang, badan‑badan pendidikan, kelompok‑kelompok studi,
klub‑klub olah raga dan kelompok‑kelompok teater. Jika sebuah partai Komunis
harus bekerja dengan cara‑cara illegal, para anggota partai dapat mengambil
inisiatif untuk membangun organisasi‑organisasi buruh semacam tadi ‑termasuk
organisasi‑organisasi simpatisan‑ yang ada di luar partai, namun kesemuanya ini
harus atas kesepakatan dan arahan kerja dari organ‑organ pimpinan partai.
Organisasi-organisasi pemuda dan perempuan Komunis juga dapat
menyelenggarakan kursus‑kursus, sekolah‑sekolah malam, festival dan acara‑acara
piknik di hari libur, dan bermacam kegiatan yang bisa menarik perhatian rakyat
pekerja, yang sebelumnya tidak akrab dengan politik Partai Komunis. Untuk
kemudian kita akan menghubungkan orang‑orang ini ke dalam organisasi‑organisasi
serta melibatkan mereka dalam pekerjaan‑pekerjaan partai, seperti penyebaran
selebaran, mengedarkan koran Partai dan semacamnya. Hanya dengan keterlibatan
dalam gerakan secara menyeluruh ini maka kaum buruh akan lebih mudah mengatasi
sikap-sikap borjuis kecil mereka.
29. Untuk bisa
menarik barisan semi‑proletar dari kalangan rakyat pekerja agar berpihak
kepada proletariat revolusioner, kaum Komunis harus menggunakan konflik yang
terjadi antara mereka dengan tuan‑tuan tanah besar, kaum kapitalis dan negara
kapitalis. Dengan demikian kita bisa menghilangkan kecurigaan kelas‑kelas
perantara ini terhadap revolusi proletar. Tentu saja ini akan memakan waktu
panjang. Barisan semi‑proletar akan semakin yakin dengan gerakan Komunis jika
partai bisa memenangkan simpati mereka dalam memperjuangkan kebutuhan mereka
sehari‑hari, memberikan bantuan cuma‑cuma dan memberikan saran ketika mereka
menghadapi kesulitan‑kesulitan dan sebagainya. Dan pada saat bersamaan kaum
Komunis mendorong mereka untuk bergabung dalam perkumpulan‑perkumpulan khusus
sehingga mereka dapat memperoleh pendidikan lebih lanjut. Dengan tindakan‑tindakan
tersebut mereka akan menaruh kepercayaan terhadap gerakan Komunis. Kaum Komunis
jangan sampai mengendorkan upayanya untuk membersihkan pengaruh organisasi
maupun orang‑orang yang anti Komunis di kalangan petani miskin, pekerja‑pekerja
industri rumah tangga maupun elemen‑elemen semi‑proletariat lainnya. Kaum
Komunis harus membuka kedok musuh‑musuh rakyat ini sebagai penghisap yang
mewakili kejahatan sistem kapitalisme. Propaganda dan agitasi Komunis harus
dilancarkan pada setiap konflik yang terjadi sehari‑hari, yaitu konflik antara
angan‑angan demokrasi borjuis kecil mereka dengan kenyataan praktek birokrasi
negara dengan menggunakan bahasan yang mudah dipahami oleh mereka.
Organisasi-organisasi
lokal di wilayah pedesaan harus membagi pekerjaan di kalangan anggotanya untuk
melancarkan agitasi dari rumah ke rumah. Hanya dengan cara ini, setiap
perkampungan, perkebunan maupun masing-masing rumah di wilayah yang bersangkutan
dapat kita sentuh.
30. Sementara itu metode-metode
propaganda di kalangan prajurit angkatan darat dan angkatan laut negara
kapitalis harus disesuaikan dengan kekhususan kondisi di masing‑masing negara.
Agitasi anti‑militerisme yang berwatak pasifis adalah membahayakan.
Secara prinsipil kaum proletar menentang semua organisasi militer negara
borjuis dan kelas borjuasi, kaum proletar pun akan melawan pengaruh mereka
secara konsisten. Namun institusi‑institusi ini (angkatan darat, klub‑klub
menembak, organisasi‑organisasi pertahanan sipil dan semacamnya) dapat
dimanfaatkan untuk melakukan latihan kemiliteran bagi kaum buruh dalam
mempersiapkan perjuangan revolusioner. Artinya, agitasi yang intensif tidak
dilancarkan untuk menentang prinsip‑prinsip latihan kemiliteran bagi pemuda
maupun buruh, namun untuk melawan rejim militer dan kekuasaan para perwira yang
sewenang‑wenang. Oleh karena itu setiap kesempatan untuk mendapatkan senjata
bagi kaum buruh harus bisa dimanfaatkan sebaik‑baiknya demi keuntungan
revolusi. Jajaran agitasi propaganda harus mengamati setiap pertentangan kelas
yang ada antara para perwira, yang memperoleh fasilitas baik, dengan kalangan
prajurit rendahan, yang menerima perlakuan buruk serta kondisi sosial yang
celaka. Agitasi harus dilancarkan di kalangan prajurit sehingga mereka dapat
secara jelas melihat bahwa masa depan mereka sangat tergantung pada perjuangan
kelas yang terhisap. Di tengah‑tengah gejolak revolusioner, kita juga harus
melancarkan agitasi untuk mendorong adanya pemilihan‑pemilihan perwira secara
demokratik dan pembentukan Soviet‑Soviet (Dewan‑Dewan) Perwakilan Prajurit. Jika
ini berhasil dilakukan maka ia akan bisa menghancurkan dasar-dasar kekuasaan
kelas borjuasi. Agitasi‑agitasi secara seksama dan dengan sekuat tenaga harus
dilakukan untuk menentang pasukan khusus dan gerombolan‑gerombolan sipilnya
yang dikerahkan borjuasi dalam perang kelas. Kaum Komunis harus memilih saat
yang tepat untuk meruntuhkan moral serta mendorong perpecahan di jajaran
pasukan mereka. Jika di kalangan tentara, biasanya di kalangan korps perwira,
terdapat banyak orang yang berbeda asal-usul kelas sosialnya dengan rakyat,
maka harus dilakukan pembelejetan, dengan demikian akan membuat mereka semakin
terkucil. Dan jika dalam pasukan mereka terdapat orang‑orang yang berasal‑usul‑kelas
yang sama dengan rakyat, maka mereka juga harus dibelejeti, dengan demikian
akan timbul kebencian yang meluas di kalangan rakyat terhadap tindakan khianat
mereka. Tindakan pembelejetan ini diharapkan akan meruntuhkan disiplin militer
orang‑orang tadi
B. KISAH TENTANG BAGAIMANA MARTINOV MEMPERDALAM PLEKHANOV
“Alangkah banyaknya orang sosial-demokrat sebangsa Lomonosov yang muncul
di kalangan kita di waktu belakangan ini!” ujar seorang kawan pada suatu hari,
dan yang dimaksudkannya ialah kecenderungan yang mengagumkan dari banyak orang
di antara yang condong pada ekonomisme “dengan akal sendiri” pasti sampai pada
kebenaran-kebenaran besar (misalnya, bahwa perjuangan ekonomi mendorong kaum
buruh memikirkan ketiadaan hak bagi mereka), dan dengan demikian menganggap
sepi, dengan sikap yang sangat menghina dari orang-orang zenial alamiah, segala
yang sudah dihasilkan oleh perkembangan pikiran revolusioner dan perkembangan
gerakan revolusioner yang terdahulu. Martinov-Lomonosov adalah justru seorang
zenial alamiah semacam itu. Lihatlah artikelnya “Soal-Soal Terdekat” maka orang
akan melihat bagaimana Martinov dengan akal sendiri mendekati apa
yang sudah lama dikatakan oleh Akselrod (yang tentu saja sepatah kata pun tidak
disebut-sebut oleh si Lomonosov kita); bagaimana, misalnya, dia mulai mengerti
bahwa kita tidak dapat menganggap sepi oposisi dari berbagai lapisan borjuasi (Raboceye
Dyelo No.9, hlm. 61, 62, 71; bandingkan ini dengan Jawaban
redaksi Raboceye Dyelo kepada Akselrod,hlm. 22, 23, 24), dll.
Tetapi sayang, dia hanya “mendekati” dan baru “mulai”, tidak lebih dari itu,
karena dia bagaimanapun juga belum begitu mengerti ide-ide Akselrod, sehingga
dia masih bicara tentang “perjuangan ekonomi melawan kaum majikan dan
pemerintah”. Selama tiga tahun (1898-1901) Raboceye Dyelo telah
berusaha keras untuk memahami Akselrod, tetapi—tetapi bagaimanapun tidak
memahaminya! Barangkali hal ini terjadi juga karena sosial-demokrasi, “seperti
umat manusia”, selalu mengajukan untuk dirinya sendiri hanya tugas-tugas yang
dapat dilaksanakan?
Tetapi orang-orang
sebangsa Lomonosov itu menonjol tidak hanya karena ketidaktahuan mereka
mengenai banyak hal (ini baru setengah celaka!), tetapi juga karena
ketidaksedaran mereka akan kepicikan pengetahuan mereka. Nah, ini sudah celaka
yang sesungguhnya: dan celaka inilah yang mendorong mereka tanpa
berpanjang-panjang mulai “memperdalam” Plekhanov.
“Telah banyak waktu berlalu”, cerita Martinov-Lomonosov, “sejak
Plekhanov menulis buku ini” (Tugas-Tugas Kaum Sosialis Dalam Perjuangan
Melawan Bahaya Kelaparan di Rusia). “Kaum sosial-demokrat yang selama
sepuluh tahun memimpin perjuangan ekonomi klas buruh…..belum berhasil
memberikan dasar terori yang luas bagi taktik Partai. Soal ini sekarang sudah
menjadi matang dan jika kita ingin memberikan dasar teori itu, kita tentu saja
harus banyak memperdalam prinsip-prinsip taktik yang pernah dikembangkan oleh
Plekhanov…… Definisi kita sekarang tentang perbedaan antara
propaganda dengan agitasi harus berbeda dari definisi Plekhanov”. (Martinov baru saja mengutip kata-kata Plekhanov: “Seorang propagandis
mengemukakan banyak ide kepada satu atau beberapa orang; seorang agitator hanya
mengemukakan satu atau beberapa ide, tetapi dia mengemukakannya kepada sejumlah
besar orang”). “Dengan propaganda kita artikan penjelasan secara
revolusioner tentang seluruh sistem
sekarang atau manifestasi-manifestasinya sebagian-sebagian, tak peduli apakah
ia dilakukan dalam bentuk yang dapat dipahami oleh orang-seorang atau oleh massa luas. Dengan
agitasi, dalam arti kata setepatnya” (sic!), “kita artikan menyerukan kepada massa supaya melakukan
aksi-aksi konkrit tertentu, memudahkan campur-tangan revolusioner secara
langsung dari proletariat dalam kehidupan sosial”.
Kita ucapkan selamat kepada sosial-demokrasi Rusia—dan internasional—atas
terminologi Martinov yang baru ini yang lebih tepat dan lebih mendalam. Selama
ini kami berpendapat (bersama-sama dengan Plekhanov dan dengan semua pemimpin
gerakan buruh internasional) bahwa seorang propagandis jika dia membahas
misalnya, soal penganggurang itu juga harus menerangkan sifat kapitalis dari
krisis, menunjukkan sebab-sebab mengapa krisis-krisis itu tak terhindarkan
dalam msyarakat dewasa ini, melukiskan perlunya mengubah masyarakat ini menjadi
masyarakat sosialis, dsbnya. Pendek kata, dia harus mengemukakan “banyak ide”,
begitu banyak sehingga semua ide itu secara keseluruhan sekaligus akan
dimengerti hanya oleh (relatif) beberapa orang saja. Akan tetapi seorang
agitator yang berbicara tentang soal itu juga, akan mengambil sebagai contoh
yang paling menyolok dan paling luas diketahui oleh para pendengarnya,
misalnya, kematian karena kelaparan keluarga seorang penganggur, semakin
meningkatnya kemelaratan, dsb, dan dengan menggunakan kematian ini, yang
diketahui oleh semua orang tak ada kecualinya, akanmengarahkan segenap usahanya
pada pengemukaan satu ide kepada “massa”, yaitu ide tentang
kegilaan kontradiksi antara meningkatnya kekayaan dan meningkatnya kemiskinan;
dia akan berusaha keras untuk membangkitkan ketidakpuasan dan
kemarahan di kalangan massa terhadap ketidakadilan yang menyolok mata itu, dan
menyerahkan penjelasan yang lebih lengkap tentang kontradiksi itu kepada
propagandis. Karena itu, propagandis terutama bekerja dengan kata tercetak;
agitator dengan kata hidup. Dari propagandis dituntut sifat-sifat
yang berbeda dengan yang dituntut dari agitator. Kautsky dan Lafargue,
misalnya, kita namakan propagandis; Bebel dan Guesde kita namakan agitator.
Mengkhususkan bidang ketiga atau fungsi ketiga aktivitas praktis, dan
memasukkan ke dalam fungsi ini “seruan kepada massa supaya melakukan aksi-aksi
konkrit tertentu”, adalah omong-kosong besar, karena “seruan”, sebagai satu
tindakan, atau sudah sewajarnya dan tak terelakkan melengkapi karya teori,
brosur propaganda dan pidato agitasi, atau merupakan fungsi pelaksana
semata-mata. Ambillah, misalnya, perjuangan yang sekarang sedang dilakukan oleh
kaum sosial-demokrat Jerman menentang pajak padi-padian. Para ahli teori
menulis karya-karya rise tentang politik cukai dan “menyerukan”, misalnya,
supaya orang berjuang untuk perjanjian-perjanjian dagang dan untuk kebebasan
berdagang. Propagandis melakukan hal itu juga dalam majalah, dan
agitator dalam pidato-pidato di muka umum. Pada saat sekarang, “aksi-aksi konkrit” massa mengambil bentuk
penandatanganan petisi-petisi kepada Reichstag menentang penaikan pajak
padi-padian. Seruan untuk aksi ini secara tak langsung berasal dari para ahli
teori, propagandis dan agitator, dan secara langsung berasal dari kaum buruh
yang mengedarkan surat-surat petisi itu ke pabrik-pabrik dan rumah-rumah
perseorangan mengumpulkan tanda-tangan. Menurut “terminologi Martinov”, kautsky
dan Bebel kedua-duanya adalah propagandis, sedang mereka yang mengumpulkan tanda-tangan
adalah agitaor; tidakkah demikian?
Contoh Jerman itu mengingatkan saya pada kata Jerman “Verballhornung” yang
kalau diterjemahkan secara hurufiah berarti “pem-Ballhorn-an”. Johann Ballhorn,
seorang penerbit di Leipzig pada abad ke 16, menerbitkan buku bacaan anak-anak
dimana, sebagaimana kebiasaannya, dimuat lukisan ayam jantan; tetapi gambar ini
bukannya melukiskan seekor ayam jantan biasa yang berjalu, melainkan
melukiskannya tanpa jalu tetapi dengan dua butir telur terletak di dekatnya. Pada
sampul buku ini dicetaknya tulisan tambahan “Cetakan yang telah
diperbaiki oleh Johann Ballhorn”. Sejak waktu itu orang-orang Jerman
menamakan setiap “perbaikan” yang sesungguhnya memperburuk, sebagai
“pem-Ballhorn-an”. Dan orang mau tak mau mesti teringat pada Ballhorn apabila
orang melihat bagaimana orang-orang sebangsa Martinov itu mencoba “memperdalam”
Plekhanov.
Mengapa
Lomonosov kita itu “menciptakan” kekusutan ini? Untuk menggambarkan bagaimana Iskra
“mencurahkan perhatian hanya pada satu segi dari persoalan, seperti yang telah
dilakukan oleh Plekhanov lima belas tahun yang lalu” (hlm. 39). “Menurut Iskra,
tugas-tugas propaganda mendesak ke latar belakang tugas-tugas agitasi,
sekurang-kurangnya untuk waktu sekarang” (hlm. 52). Jika dalil yang terakhir
ini kita terjemahkan dari bahasa Martinov ke dalam bahasa manusia biasa (karena
manusia belum berhasil memahami terminologi yang baru diciptakan itu), maka
akan kita peroleh yang berikut: Menurut Iskra, tugas-tugas
propaganda politik politik dan agitasi politik mendesak ke latar belakang tugas
“mengajukan tuntutan-tuntutan konkrit kepada pemerintah untuk tindakan-tindakan
legislatif dan administrasi” yang “menjanjikan hasil-hasil tertentu yang nyata
berwujud” (atau tuntutan-tuntutan untuk refrom-reform sosial, yaitu jika kita
sekali lagi saja diperkenankan menggunakan terminologi lama dri manusia lama
yang belum mencapai tingkat Martinov). Kami sarankan supaya pembaca
membandingkan tesis ini dengan tirade (semburan kata-kata—Red. IP)
berikut ini:
“Yang juga mengherankan kita dalam program-program ini” (program-program
kaum sosial-demokrat revolusioner) “ialah senantiasa ditonjolkannya
keunggulan-keunggulan aktivitas kaum buruh dalam parlemen (yang tidak ada di
Rusia), meskipun kaum sosial-demokrat itu tidak mau tahu sama-sekali (berkat
nihilisme revolusioner mereka) akan arti penting kaum buruh ikut serta dalam
sidang-sidang legislatif tuan pabrik mengenai urusan-urusan pabrik (yang ada di
Rusia)……atau sekurang-kurangnya arti penting kaum buruh ikut serta dalam
badan-badan kota-praja”……..
Penulis tirade ini menyatakan dengan sedikit lebih berterus-terang, jelas
dan blak-blakan ide itu juga yang telah di dapat oleh Martinov-Lomonosov dengan
akal sendiri. Penulis ini ialah R. M. dalam lampiran Khusus Rabacaya Misl
(hlm. 15).
Jumat,
26 Oktober 2001
Memahami Makna dan
Seluk Beluk Propaganda
Judul: Komunikasi Propaganda,
Penulis: Nurudin, Penerbit: Remaja Rosdakarya Bandung, Cetakan Pertama,
Juli 2001, Tebal: (viii + 155) halaman.
PROPAGANDA sebetulnya sering
kita bicarakan, karena propaganda memang tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Ia
menjadi bagian dari alat atau teknik berkomunikasi dan dijadikan sebagai salah
satu metode dalam komunikasi.
Sejalan dengan
tingkat perkembangan teknologi komunikasi yang kian pesat, maka metode
komunikasi pun mengalami perkembangan yang pesat pula. Namun semua itu,
mempunyai aksentuasi sama yakni komunikator menyampaikan pesan, ide, dan
gagasan, kepada pihak lain (komunikan). Hanya model yang digunakannya
berbeda-beda.
Bila dirinci secara
lebih konkret, metode komunikasi dalam dunia kontemporer saat ini yang
merupakan pengembangan dari komunikasi verbal dan nonverbal meliputi banyak
bidang, antara lain jurnalistik, hubungan masyarakat, periklanan, pameran/
eksposisi, propaganda, dan publikasi. Berdasarkan metode dalam komunikasi
seperti tersebut tadi, semakin jelas kiranya, bahwa propaganda menjadi salah
satu metode dalam komunikasi.
Tentunya, karena
propaganda menjadi bagian dari kegiatan komunikasi, maka metode, media,
karakteristik unsur komunikasi (komunikator, pesan, media, komunikan) dan pola
yang digunakan, sama dengan model-model komunikasi lain. Oleh karena itu, unsur
komunikasi secara umum juga berlaku bagi propaganda.
***
BAHASAN singkat di
atas merupakan sekelumit dari buku tentang propaganda dan relevansinya dengan
bidang komunikasi. Buku Komunikasi Propaganda ini berusaha menghadirkan
konsepsi integral dan komprehensif mengenai propaganda, yang belakangan ini
mengalami peyoratif (pemburukan) makna.
Oleh karena itu,
buku ini mencoba menggali permasalahan dasar, sejarah, dampak, berbagai kasus
propaganda di Indonesia dan sekaligus antisipasinya jika berdampak negatif,
dengan counter propaganda. Itu artinya, kita tidak perlu apriori pada
propaganda, demikian juga tetap harus waspada terhadap dampak buruk yang bisa
ditimbulkan.
Pertama-tama buku
ini membawa pembaca pada sebuah pemahaman bahwa propaganda itu bisa diibaratkan
sebuh ilmu. Tentunya, ilmu itu akan membutuhkan hasil positif jika melekat pada
orang yang mempunyai kepribadian baik. Namun, propaganda akan menghasilkan
kejelekan dan menimbulkan kesengsaraan manakala melekat pada orang yang tidak
baik.
Hal tersebut dapat
dibuktikan oleh sejarah antara lain bagaimana Napoleon Bonaparte menggunakan
propaganda politik untuk memenangkan perang. Serta tak terkecuali seorang Adolf
Hitler yang menggunakan propaganda untuk memusuhi suatu ras dan memenangkan
perang dengan meluaskan jurang pemisah antara negara lain sehingga terjadi
perpecahan. Jadi propaganda akan berimplikasi baik atau buruk sangat tergantung
pada komunikatornya.
Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya bahwa sekarang ini propaganda mengalami peyoratif
makna yang cukup signifikan, maka buku karya alumnus Jurusan Ilmu Komunikasi
FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta ini menjelaskan bahwa yang membuat
propaganda mengalami pemutarbalikan fakta, disalahgunakan untuk tidak hanya
menyebut mengalami makna peyoratif, adalah disebabkan hal-hal sebagai
berikut.
Pertama, propaganda
mengalami sisi negatif jika telah digunakan dalam bidang-bidang sekuler.
Kedua, propaganda akan
mengalami makna negatif sangat tergantung pada peran pemimpin yang menggunakan
propaganda tersebut.
Ketiga, propaganda berkait
erat dengan situasi dan kondisi masyarakatnya.
Keempat, propaganda dalam
perkembangannya hanya digunakan oleh pihak-pihak tertentu yang tak bertanggung
jawab dalam mengejar ambisinya.
Pada bab selanjutnya
buku ini mengetengahkan bagaimana teknik melakukan propaganda. Ada beberapa
teknik yang bisa digunakan dalam melancarkan propaganda. Efektif tidaknya dan
pilihan mana yang digunakan, sangat bergantung pada kondisi komunikan,
kemampuan komunikator (propagandis), lingkungan sosial politik dan budaya
masyarakatnya.
Dalam buku itu
disebutkan, beberapa teknik propaganda dan uraiannya. Sedangkan media yang
dapat digunakan dalam kegiatan propaganda, disebutkan: media massa, buku, film,
dan selebaran.
***
PENULIS buku itu
kemudian membawa pembaca pada paradigma secara utuh, dan diberi uraian tentang
implementasi propaganda politik pada masa tiga Presiden Indonesia yang pernah
menjabat yaitu Soeharto, BJ Habibie, dan Abdurrahman Wahid.
Di era Soeharto atau
yang lebih dikenal masa Orde Baru, propaganda politik yang pernah dilakukan
antara lain; (1) propaganda menampilkan citra baik kepribadian pemimpin, (2)
propaganda pembangunan ekonomi, (3) propaganda dengan organisasi berbasis
militer, (4) propaganda sakralisasi Pancasila dan UUD 1945, (5) propaganda
penertiban politik dan asas tunggal, dan (6) propaganda dengan politisasi
agama.
Pada era BJ Habibie
propaganda yang sering diserukannya adalah tentang demokratisasi. Selain itu
juga propaganda moral altruisme bangsa dan propaganda pseudo
demokrasi.
Untuk era
Abdulrrahman Wahid (Gus Dur) yang selama memimpin bangsa ini sangat dipenuhi
pro-kontra di masyarakat, dinamika propaganda Gus Dur yang khas dan layak
disimak dalam buku ini adalah propaganda menggunakan language politic,
mempropagandakan fiqh politik, propaganda "kesejahteraan dan
demokrasi sama-sama penting", propaganda Ketetapan (Tap) MPRS No
XXV/MPRS/1966, propaganda negara tanpa "tentara", propaganda politik
memaafkan, dan terakhir propaganda demokrasi dengan teologi inklusivisme.
Jika propaganda
berdampak negatif dan kita tak ingin propaganda seperti itu berkembang di
masyarakat, maka tentu saja harus dilawan. Usaha melawan propaganda inilah yang
dinamakan counter propaganda. Khusus pembahasan masalah counter
propaganda dapat disimak pada bab akhir dari buku karya Nurudin ini.
Dalam counter
propaganda, propagandis memberikan kebenaran ide dan gagasan yang sudah
melenceng, memberikan fakta-fakta empirik beserta dampak positif yang
dimungkinkan terjadi. Counter propaganda harus dilakukan terus-menerus
agar tertanam kuat di benak komunikan. Atau kalau sudah tertanam kuat
keburukan, propaganda bisa sedikit banyak mempengaruhi pola pikirnya. Jika
komunikan jadi bimbang mempertimbangkan kembali keyakinannya-setelah sebelumnya
mempercayai dan berperilaku jelek mengikuti propaganda terdahulu-itu artinya counter
propaganda bisa dikatakan setengah berhasil (hlm 125).
Kayaknya Nurudin
ingin membuat pembaca lebih memahami apa yang diuraikannya, maka pada bagian
ini pula ia memberikan beberapa contoh kasus counter propaganda. Kenapa
hal ini dilakukan? Sebab, berbagai kasus itu menolak atau menunjukkan tentang
ketimpangan propaganda yang dilakukan pihak lain (pemerintah) dan memberikan
esensi dasar obyektivitasnya.
Ini bukan berarti
kasus itu seratus persen benar. Hanya ada beberapa indikasi mengembalikan sesuatu
pada posisi semula yang tak lain dan bukan mempunyai esensi counter
propaganda.
Secara keseluruhan
buku ini bisa dijadikan pegangan untuk memfungsikan propaganda secara lebih
baik, beretika, sebagai propagandis yang bermoral.
***
DENGAN membahami makna
dan seluk beluk propaganda, kita akan mudah mengerti atau menangkap sesuatu
yang ditawarkan oleh siapa pun. Misal membaca iklan, mendengarkan promosi
barang jualan atau gagasan, dan sebagainya. Pendeknya, kalau kita menguasai
masalah propaganda, tak akan mudah tergiur atau terperosok ke hal-hal yang
tidak kita inginkan (Kompas)
Salira81.com