Minggu, 11 Desember 2016

TEORI TENTANG KEBENARAN (POSITIVISME LOGIS)

TEORI TENTANG KEBENARAN (POSITIVISME LOGIS)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Ilmu (science) bukan sekedar menjawab "what" melainkan akan menjawab pertanyaan "why" dan "how", misalnya mengapa air mendidih bila dipanaskan, mengapa bumi berputar, mengapa manusia bernapas, dan sebagainya. Pengetahuan hanya dapat menjawab pertanyaan apa sesuatu itu. Tetapi ilmu dapat menjawab mengapa dan bagaimana sesuatu tersebut terjadi.
Sedangkan filsafat adalah suatu ilmu yang kajiannya tidak hanya terbatas pada fakta-fakta saja melainkan sampai jauh diluar fakta sampai batas kemampuan logika manusia. Ilmu mengkaji kebenaran dengan bukti logika atau jalan pikiran manusia.
Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu terdapat taraf peralihan. Dalam taraf peralihan ini maka bidang pengkajian filsafat menjadi lebih sempit, tidak lagi menyeluruh melainkan sektoral. Disini orang tidak lagi mempermasalahkan moral secara keseluruhan melainkan mengaitkannya dengan kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang kemudian berkembang menjadi ilmu ekonomi.
Apakah kriteria kebenaran? Apakah kriteria bahwa suatu pernyataan adalah benar?; Suatu pernyataan adalah benar jika sesuai dengan fakta; A criterion of truth is “correspondence with reality.”; Ini adalah teori korespondensi. Menurut teori ini, “suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut” (Jujun, 1984: 57). Dalam proses pembuktian secara empiris (pengumpulan fakta-fakta) untuk mendukung kebenaran suatu pernyataan
Apakah kriteria kebenaran?: Suatu pernyataan adalah benar jika berhubungan secara logis dengan pernyataan yang lain; Ini adalah teori koherensi. Menurut teori ini, “suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar” (Jujun, 1984: 55). Termasuk ke dalam teori ini adalah kebenaran matematika (mathematical truth) dan logika deduktif (Scruton, 1996: 239)
B.     RUMUSAN MASALAH
Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang, maka penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud teori tentang kebenaran?
2.      Dari mana asal dan gagasan positivisme logis?
3.      Apa yang dimaksud dengan positivisme didalam ilmu pengetahuan?

BAB II
PEMBAHASAN
A.           Teori Tentang Kebenaran
Teori Tentang Kebenaran Beberapa teori telah dilahirkan untuk mencoba mendekati arti dari kebenaran yang dimaksud. Beberapa teori itu adalah:

1).Teori Korespondensi :
"Kebenaran/keadaan benar itu berupa kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh sebuah pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya/faktanya" (L. O. Kattsoff)
Jadi berdasarkan teori korespondensi ini, kebenaran/keadaan benar itu dapat dinilai dengan membandingkan antara preposisi dengan fakta atau kenyataan yang berhubungan dengan preposisi tersebut. Bila diantara keduanya terdapat kesesuaian (korespondence), maka preposisi tersebut dapat dikatakan memenuhi standar kebenaran/keadaan benar.

2). Teori Konsistensi :
"Kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgement) dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta dan realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri " (A.C. awing, The Fundamental Question of Philosophy).
Teori konsistensi melepaskan hubungan antara putusan dengan fakta dan realitas, tetapi mencari kaitan antara satu putusan dengan putusan yang lainnya, yang telah ada lebih dulu dan diakui kebenarannya. Kebenaran menurut teori konsistensi bukan dibuktikan dengan fakta/realitas, tetapi dengan membandingkannya dengan putusan yang telah ada sebelumnya dan dianggap benar. Bila sebuah putusan mengatakan bahwa Mahatma adalah ayah Rajiv, dan putusan kedua mengatakan bahwa Rajiv memiliki anak bernama Sonia, maka sebuah putusan baru yang mengatakan Sonia adalah cucu Mahatma dapat dikatakan benar, dan putusan tersebut adalah sebuah kebenaran.

3). Teori Pragmatis :
"Suatu preposisi adalah benar sepanjang preposisi tersebut berlaku (works), atau memuaskan (satisfied); berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para penganut teori tersebut " (Charles S. Baylin).
Menurut teori pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia” (Jujun, 1984: 58-9). Dalam pendidikan, misalnya di IAIN, prinsip kepraktisan (practicality) telah mempengaruhi jumlah mahasiswa pada masing-masing fakultas. Tarbiyah lebih disukai, karena pasar kerjanya lebih luas daripada fakultas lainnya. Mengenai kebenaran tentang “Adanya Tuhan” atau menjawab pertanyaan “Does God exist ?”, para penganut paham pragmatis tidak mempersoalkan apakah Tuhan memang ada baik dalam ralitas atau idea (whether really or ideally). Yang menjadi perhatian mereka adalah makna praktis atau dalam ungkapan William James “ ….they have a definite meaning for our ptactice. We act as if there were a God” (James, 1982: 51-55). Teori pragmatis meninggalkan semua fakta, realitas maupun putusan/hukum yang telah ada. Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan.
Sedangkan teori kebenaran menurut pandangan positiveme, Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.
Kebenaran menurut pandangan positivisme menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.
Di dalam filsafat, positivisme sangatlah dekat dengan empirisme, yakni paham yang berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi. Artinya, manusia tidak bisa mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak mengalaminya terlebih dahulu secara inderawi. Yang menjadi ciri khas dari positivisme adalah, peran penting metodologi di dalam mencapai pengetahuan. dilihat dari Di dalam positivisme, valid tidaknya suatu pengetahuan validitas metodenya.
Dengan demikian, pengetahuan manusia, dan juga mungkin kebenaran itu sendiri, diganti posisinya oleh metodologi yang berbasiskan data yang juga diklaim obyektif murni dan universal. Dan, satu-satunya metodologi yang diakui oleh para pemikir positivisme adalah metode ilmu- ilmu alam yang mengklaim mampu mencapai obyektifitas murni dan bersifat universal. Metode-metode lain di luar metode ilmu-ilmu alam ini pun dianggap tidak mencukupi.
Jadi, yang dimaksud dengan kebenaran menurut pandangan  positivisme adalah kebenaran yang pernah dialami oleh pancaindera(empiris), yang realistis dan memiliki fakta-fakta yang sebenarnya. Aliran ini tidak meyakini hal-hal yang berhubungan dengan metafisika ataupun gaib yang tidak disertai dengan fakta-fakta yang ada. Aliran ini hanya meyakini paham-paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.
Manusia adalah mahluk berfikir yang dengan itu menjadikan dirinya ada. Prof. Dr. R.F Beerling, seorang sarjana Belanda mengemukakan teorinya tentang manusia bahwa manusia itu adalah mahluk yang suka bertanya. Dengan berfikir, dengan bertanya, manusia menjelajahi pengembaraannya, mulai dari dirinya sendiri kemudian lingkungannya bahkan kemudian sampai pada hal-hal lain yang menyangkut asal mula atau mungkin akhir dari semua yang dilihatnya. Kesemuanya itu telah menempatkan manusia sebagai mahluk yang sedikit berbeda dengan hewan. Sebagaimana Aristoteles, filsuf yunani yang lain, mengemukakan bahwa manusia adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapat, yang berbicara berdasarkan akal pikirannya (the animal that reason). W.E Hacking, dalam bukunya What is Man, menulis bahwa: "tiada cara penyampaian yang meyakinkan mengenai apa yang difikirkan oleh hewan-hewan, namun agaknya aman untuk mengatakan bahwa manusia jauh lebih berfikir dari hewan manapun. Ia menyelenggarakan buku harian, memakai cermin, menulis sejarah......."
William P. Tolley, dalam bukunya Preface To Philosophy A Tex Book, mengemukakan bahwa "our question are endless,......what is a man, what is a nature, what is a justice, what is a god ? Berbeda dengan hewan, manusia sangat concern mengenai asal mulanya, akhirnya, maksud dan tujuannya, makna dan hakikat kenyataan. ....Mungkin saja ia adalah anggota marga satwa, namun ia juga adalah warga dunia idea dan nilai.. .."
Dengan menempatkan manusia sebagai hewan yang berfikir, berintelektual dan berbudaya, maka dapat disadari kemudian bila pada kenyataannya manusialah yang memiliki kemampuan untuk menelusuri keadaan dirinya dan lingkungannya. Manusialah yang membiarkan fikirannya mengembara dan akhirnya bertanya. Berfikir adalah bertanya, bertanya adalah mencari jawaban, mencari jawaban adalah mencari kebenaran; mencari jawaban tentang alam dan Tuhan adalah mencari kebenaran tentang alam dan Tuhan. Dari proses tersebut lahirlah pengetahuan, teknologi, kepercayaan (atau mungkin agama ??) Lalu apakah kebenaran itu ? atau apakah atau keadaan yang bagaimanakah yang dapat disebut benar ?
Sulit untuk mengatakan apakah ketiga teori tentang kebenaran tersebut diatas adalah bertentangan atau saling melengkapi. Namun yang pasti, seharusnya kebenaran tidaklah menjadi klaim salah satu golongan saja. Sebagaimana Harold H. Titus mengatakan "The way of knowledge may be many rather then one ". Proses berfikir tidak boleh berhenti pada satu hal yang kelihatannya sudah pantas untuk diyakini, karena ketika keyakinan akan suatu obyek mulai tumbuh, maka seiring dengan itu proses berfikir tentang obyek tersebutpun akan berhenti. Keyakinan adalah penjara kebebasan berfikir, dan tulisan inipun dibuat agar pembaca terus berfikir.
Marxis, dalam sebuah penjelasannya mengungkapkan "apabila sensasi kita, persepsi kita, konsep dan teori kita bersesuaian dengan realitas obyektif, apabila itu semua mencerminkannya dengan cermat, maka kita katakan semua itu benar; pernyataan, putusan dan teori yang benar kita sebut kebenaran".

1.       Agama
Apakah agama dapat dikatakan sebuah kebenaran ? Ataukah agama adalah suatu bentuk terakhir yang bisa diwujudkan manusia atas kegagalannya mendefinisikan sesuatu?
Golongan atheis menuduhkan pernyataan yang kedua bagi agama- agama. Sementara disisi lain, kebenaran agamapun masih menjadi klaim dan rebutan masing-masing pemeluknya. Masih sering terdengar ungkapan kesombongan dari pemeluk suatu agama bahwa agamanya adalah yang terbaik dan paling benar, yang ia sendiri lupa bahwa seharusnya kebenaran tersebut hanyalah menjadi milik Tuhan yang ia puja. Bahkan ada kesengajaan secara sistemik mengajarkan kepada pemeluknya tentang perbedaan agama-agama. Ada yang disebut agama langit (samawi) dan ada agama bumi. Agama samawi adalah agama yang diwahyukan oleh Tuhan (tentu saja dengan penjelasan lebih lanjut bahwa satu-satunya agama samawi adalah agama yang mereka anut). Sedangkan agama bumi adalah agama yang dilahirkan oleh cita-karsa atau kebudayaan manusia.....dan menjadi sangat memprihatinkan ketika faham tersebut akhirnya menghegemoni pemeluknya sampai menghilangkan sisi logika yang seharusnya menjadi ciri khas setiap manusia. Inilah yang penulis maksud diatas, keyakianan adalah penjara kebebasan fikiran sebagai sesuatu hal yang berbahaya.
Bila kemudian kita mencoba menoleh pada berbagai teori kebenaran  diatas, hal manakah yang bisa disebut kebenaran ? Sulit mencari menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat digolongkan sebagai ilmiah.

B.     Asal Dan Gagasan Positivisme Logis
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.
Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.
1.       Kritik
Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori tentang makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal positif (misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan.
Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku berjudul Logik der Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, namun untuk membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada jaman itu tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai ilmiah, namun jika suatu saat nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan
dapat digolongkan sebagai ilmiah.

C.      Positivisme Di Dalam Ilmu Pengetahuan
Buku Mikhael Dua ini tampaknya lebih mau menanggapi isu pertama, yakni suatu refleksi terhadap logika internal ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, seluruh buku ini bisa dilihat sebagai pembongkaran internal analitis terhadap paradigma posivitisme yang, terutama di Indonesia, tampaknya masih melekat di dalam asumsi dasar para ilmuwan kita.
Apa itu positivisme? Di dalam filsafat, positivisme sangatlah dekat dengan empirisme, yakni paham yang berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi. Artinya, manusia tidak bisa mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak mengalaminya terlebih dahulu secara inderawi.
Yang menjadi ciri khas dari positivisme adalah, peran penting metodologi di dalam mencapai pengetahuan. Di dalam positivisme, valid tidaknya suatu pengetahuan dilihat dari validitas metodenya.
Dengan demikian, pengetahuan manusia, dan juga mungkin kebenaran itu sendiri, diganti posisinya oleh metodologi yang berbasiskan data yang juga diklaim obyektif murni dan universal. Dan, satu-satunya metodologi yang diakui oleh para pemikir positivisme adalah metode ilmu- ilmu alam yang mengklaim mampu mencapai obyektifitas murni dan bersifat universal. Metode-metode lain di luar metode ilmu-ilmu alam ini pun dianggap tidak memadai.
1.       Kritik Terhadap Positivisme
Yang juga dikritik oleh Mikhael Dua adalah suatu aliran filsafat yang disebut sebagai positivisme logis, atau juga disebut sebagai positivisme modern, yakni suatu aliran pemikiran yang berpendapat bahwa “tugas utama filsafat adalah berpikir secara positivistis dan memandang tugasnya untuk membangun suatu analisis logis atas pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan empiris” (hal. 31).
Di dalam seluruh pemaparannya, Mikhael Dua tampak selalu ‘bertegangan’ dengan paradigma positivisme ini, baik secara jelas maupun secara implisit. Dengan menggunakan berbagai teori di dalam filsafat ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan para pemikir, seperti Karl Popper dengan teori falsifikasinya (hal. 51-80), Hempel (hal. 83-105), Thomas Kuhn (hal. 109-137), dan beberapa pemikir lainnya, Mikhael Dua tampak menabuh genderang perang terhadap positivisme!
Lalu, apa implikasi dari refleksi ini bagi kehidupan manusia secara keseluruhan? Setidaknya, ada dua. Yang pertama, kritik terhadap positivisme logis maupun positivisme klasik hendak menyelamatkan manusia dari reduksi pengetahuan tentang dunianya ke dalam data-data empiris dan analisis-analisis logis semata, sekaligus memberi ruang untuk pengetahuan yang secara dialektis mampu mencakup keseluruhan (hal. 226).
Yang kedua, refleksi yang dilakukan Mikhael Dua ini juga dapat membantu kita untuk menempatkan kembali ilmu pengetahuan di dalam totalitas kehidupan manusia yang pada hakekatnya bersifat dialektis. “Tidak ada sebuah teori”, demikian tulisnya, “yang berdiri sendiri tanpa dilihat dalam kerangka dialektis tersebut… dengan teori-teori yang lain.” (hal. 240)
Bagaimanapun, ilmu pengetahuan adalah bagian dari totalitas kehidupan manusia, dan oleh karenanya juga tidak luput dari cacat-cacat yang pada akhirnya bisa menghancurkan manusia itu sendiri. Refleksi metodologis terhadap ilmu pengetahuan sangatlah perlu, sehingga kita bisa secara kritis menanggapi berbagai isu –isu yang tentang ilmu pengetahuan yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat, mulai dari validitas suatu teori ilmiah, sampai dampak ilmu pengetahuan bagi totalitas kehidupan manusia.


BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
Kebenaran menurut pandangan positivisme adalah dikatakan benar apabila sesuai kenyataan, dan ada fakta pendukungnya serta bersifat empirisme. Didalam filsafat, positivisme sangatlah dekat dengan empirisme, yakni paham yang berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi. Artinya, manusia tidak bisa mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak mengalaminya terlebih dahulu secara inderawi.
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.
B.            Saran
Penyusun menyadari dalam segala hal bahwa yang namanya manusia tidak pernah luput dari khilaf dan salah. Oleh karena itu, kami dari penyusun sadar bahwa penyusunan tulisan ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga kami sangat mengharapkan saran ataupun kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan tulisan ini.     


DAFTAR PUSTAKA

Suriasumantri, Junjun S. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:  Pustaka Sinar Harapan

http//www.wikipedia.com. 2011

http://www.scribd.com/doc/15892016/Makalah-FILSAFAT-ILMU-Filsafat-Ilmu

Jumat, 04 November 2016

Pengertian Seminar, Sarasehan, Simposium, Diskusi PAnel, Kongres, Muktamar dan Loka karya

Pengertian Seminar, Sarasehan, Simposium, Diskusi PAnel, Kongres, Muktamar dan Loka karya

1.      Seminar adalah sebuah pertemuan khusus yang memiliki teknis dan akademis yang tujuannya untuk melakukan studi menyeluruh tentang suatu topik tertentu dengan pemecahan suatu permasalahan yang memerlukan interaksi di antara para pesertaseminar yang dibantu oleh seorang guru besar ataupun cendikiawan.

2.      Sarasehan adalah bentuk pertemuan yang dihadiri oleh sekelompok undangan tertentu untuk membicarakan suatu permasalahan dengan cara yang tidak resmi dan suasana yang rileks.

3.      Simposium adalah serangkaian pidato pendek di depan pengunjung dengan seorang pemimpin (moderator).

4.      Diskusi Panel merupakan salah satu bentuk diskusiyang sudah direncanakan tentang suatu topik di depan para pengunjung. Diskusi panel oelh 3 – 6 orang yang dianggap ahli yang dipimpin oleh seorang moderator.

5.      Kongres adalah kumpulan orang, terutama untuk tujuan politik.

6.      Muktamar adalah pertemuan para wakil organisasi untuk berunding atau bertukar pendapat mengenai suatu masalah yg di hadapi bersama

7.      Loka Karya adalah suatu acara di mana beberapa orang berkumpul untuk memecahkan masalah tertentu dan mencari solusinya.

Jumat, 07 Oktober 2016

Pengertian istihsan...

Cahaya Ilahi Menghidupkan warisan leluhur,Khusus d Tanah Bone (Arung Palakka).  ▼ Senin, 23 Maret 2015 mekalah pengertian istihsan KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa melimpahkan rahmat dan ridho-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah mata kuliah Ushul Fiqh yang berjudul “Istihsan”. Shalawat serta salam tetap tercurah kepada Nabi besar Muhammad SAW. Yang mana beliau telah memberikan kita petunjuk kepada jalan yang benar. Tak lupa, kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu selaku Dosen kami dalam pembelajaran mata kuliah Ushul Fiqh, juga kepada semua teman-teman yang telah memberikan dukungan kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari jika dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, dengan hati yang terbuka kritik serta saran yang konstruktif guna kesempurnaan makalah ini. Demikian makalah ini kami susun, apabila ada kata-kata yang kurang berkenan dan banyak terdapat kekurangan, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Dan hanya kepada Allah-lah kita berlindung dan mengharapkan taufiq serta hidayahnya. Amin Ya Rabbal Almin.... Wallahul Muwafieq ilaa Aqwamith Thorieq Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Watampone, 17 Oktober 2014 Penyusun DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI ii BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang Masalah 1 B. Rumusan Masalah 2 C. Tujuan Penulisan 2 D. Manfaat Penulisan 2 BAB II PEMBAHASAN 3 A. Pengertian Istihsan 3 B. Pembagian Istihsan 6 C. Pro Kontra di Sekitar Kehujjahan Istihsan 14 BAB III PENUTUP 19 A. Simpulan 19 B. Saran 20 DAFTAR PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ushul fiqh menduduki posisi sentral dalam studi keislaman. Lebih dari itu, juga merupakan metodologi terpenting yang ditemukan oleh dunia pemikiran Islam, dan belum terbukti dimiliki umat lain. Sebenarnya ilmu ini tidak hanya menjadi metodologi baku bagi hukum Islam saja, tetapi juga bagi seluruh intelektual Islam. Namun, sejarah pemikiran Islam telah mempersempit wilayah kerjanya hanya dalam wilayah pemikiran hukum saja. Ushul fiqh pada dasarnya merupakan bidang ilmu yang berlandaskan pada nalar bayani, yang menjadikan teks sebagai sumber memperoleh pengetahuan (otoritas teks); dan teks dimaksud, utamanya ialah Al-quran dan hadis. Oleh karena itu, secara epistemologi, yang dikaji dalam ilmufiqh ialah petunjuk (dalalah) yang ada dalam teks wahyu, baik petunjuk secara tekstual (dalalat al-nass) yang membahas relasi antara lafal dan makna, maupun petunjuk yang ada dibalik teks (dalalat ma’qulal-nass)yang membahas relasi al-asl (teks) dan al-far’ (yang tidak tertulis dalam teks), yang didasarkan adanya kesamaan ma’qul al-nass (“illah). Para ahli Ushul fiqh membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari’at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kdang untuk menetapkan hukum dengan mempergunakan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk “Hukum Fiqh” supaya dapat diamalkan dengan mudah. Di samping empat dalil syara’ yang disepakati di kalangan jumhur ulama, terdapat pula dalil-dalil lain yang penggunaannya sebagai dalil tidak disepakati seluruh ulama ushul fiqh, antara lain: Istihsan, mashlahah al-mursalah, urf, istishhab, syar’u man qablana, qaul ash-shahabi, dan sadd adz-dzari’ah. Namun demikian, sesuai dengan latar belakang masalah diatas, maka kami hanya terfokus membahas Istihsan; pengertian istihsan, pembagian istihsan, dan pro kontrak di sekitar kehujjahan istihsan. B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian Istihsan? 2. Ada berapa pembagian Istihsan? 3. Bagaimana pro kontra di sekitar kehujjahan Istihsan? C. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui pengertian Istihsan. 2. Untuk mengetahui pembagian Istihsan. 3. Untuk mengetahui pro kontra di sekitar kehujjahan Istihsan. D. Manfaat Penulisan Dengan makalah ini wawasan kita tentang Istihsan bertambah serta dapat dijadikan sebagai bahan ajar tambahan dalam proses perkuliahan ushul fiqh. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Istihsan Dari segi etimologi, istihsan berarti menilai sesuatu sebagai baik. Ia juga berarti sesuatu yang digemari dan disenagi manusia, walaupun dipandang buruk orang lain. Secara terminologis istihsan adalah berpalingnya sang mujtahid dari tuntutan qiya jaliy kepada qiyas khafiy berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional atau berpalingnya sang mujtahid dari tuntutan hukm kully kepada tuntutan hukum juz’iy berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional. Yang dimaksud dengan qiyas jaliy ialah qiyas yang jelas ‘illatnya, tetapi pengaruhnya dalam mencapai tujuan syariat lemah; ia sering diungkapkan dengan nama qiyas. Sedangkan qiyas khafiy adalah qiyas yang samar ‘illatnya, tetapi pengaruhnya dalam mencapai tujuan syariat kuat. Adapaun hukm kulliy adalah kaidah hukum yang bersifat universal dan berdaya laku umum, sedang hukm juz’iy adalah kaidah hukum yang bersifat partikular dan berdaya laku spesifik. Sedangkan menurut istilah ushul fiqh, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama: a. Menurut al-Bazdawi: اَلْعُدُوْلُ عَنْ مُوْجِبِ قِيَاسٍ إِلَى قِيَاسٍ أَقْوَى مِنْهُ أَوْ هُوَ تَخْصِيْصُ قِيَاسٍ بِدَلِيْلِ أَقْوَى مِنْهُ. Beralih dari konsekuensi suatu qiyas kepada model qiyas lain yang lebih kuat dari qiyas yang pertama. b. Menurut al-Karakhi, sebagaimana dikutip oleh al-Bukhari: أَنْ يَعْدِلَ الإِنْسَانُ عَنْ أَنْ يَحْكُمْ فِيْ اْلمَسْأَلَةِ بِمِثْلِ مَا حَكَمَ بِهِ فِيْ نَظَاءِرِهَا إِلَي خِلَافِهِ لِوَجْهِ أَقْوَى يَقْتَضِي اْلعُدُوْلَ عَنْ اْلأَوَّلِ. Seorang mujtahid beralih dari hukum suatu masalah yang sama hukumnya berdasarkan metode qiyas, kepada hukum lain yang berbeda, karena ada faktor yang lebih kuat yang menuntut adanya pengalihan tersebut dari hukum yang pertama. c. Menurut Imam Malik: اَلْعَمَلُ بِأَقْوَى الدَّلِيْلَيْنِ، أَوِ اْلأَخْذُ بِمِصْلَحَةِ جُزْ نِيَّةٍ فِيْ مُقَا بِلَةِ دَلِيْلٍ كُلَّيِّ. Menerapkan yang terkuat di antara dua dalil, atau menggunakan prinsip kemaslahatan yang bersifat parsial dalam posisi yang bertentangan dengan dalil yang bersifat umum. d. Wahbah as-Zuhaili merumuskan dua definisi yaitu, Pertama, تَرْجِيْحُ قِيَاسٍ خَفِيِّ عَلَى قِيَاسٍ جَلِيِّ بِنَاءَ عَلَى دَلِيْلٍ. Lebih menggunggulkan qiyas khafi daripada qiyas jali berdsarkan alasan tertentu. Kedua: إِسْتِثْنَاءُ مَسْأَلَةِ جُزْ نِيَّةٍ مِنْ أَصْلٍ كُلِّيِّ أَوْ قَضِيَّةِ عَامِّةٍ بِنَاءَ عَلَى دَلِيْلٍ خَا صِّ يَقْتَضِي ذَلِكَ. Mengecualikan hukum kasus tertentu dari prinsip hukum atau premis yang bersifat umum, berdasarkan alasan tertentu yang menuntut berlakunya pengecualian tersebut. e. Menurut Abdul Wahab Khallaf, istihsan ialah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali kepada tuntutan qiyas khafi, atau dari hukum kully kepada hukum istitsnai berdasarkan dalil. f. Menurut Imam Malik mendefenisikan istihsan dengan beramal dengan salah satu dari dua yang paling kuat atau mengambil maslahah juz’iyah dalam berhadapan dengan dalil kulli. B. Pembagian Istihsan Berdasarkan proses perpindahannya, istihsan dibagi dua, yaitu: a. Istihsan Qiyasi Istihsan qiyasi adalah mendahulukan qiyas khafi dari qiyas jali karena ada alasan yang dibenarkan syara’. Atau Istihsan qiyasi ialah, suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi, karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut. Alasan kuat yang dimaksudkan di sini adalah kemaslahatan. Tiga contoh di bawah ini akan dapat lebih mendekatkan pemahaman kita kepada pengertian istihsan qiyasi. Contoh pertama: apabila sesorang mewakafkan sebidang tanah pertanian untuk kepentingan umum, maka berdasarkan istihsan, yang diwakafkan itu termasuk hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu, dan bentuk-bentuk lainnya yang berkaitan dengan tanah tersebut. Apabilah ketentuan wakaf ditetapkan berdasarkan qiyas jali kepada transaksi jual beli, maka hak-hak tersebut tidak ikut beralih kepada penerima wakaf. Sebab dalam jual beli, yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Akan tetapi, karena alasan kemaslahatan, maka hak-hak tersebut ikut berpindah kepada penerima wakaf, yaitu dengan cara meng-qiyas-kan wakaf itu kepada transaksi sewa-menyewa. Dalam transaksi sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik hak kepada penyewa. ‘illah yang sama ditemukan dalam hal wakaf, meskipun bentuk ‘illah tersebut bersifat khafi (tersembunyi). Yang prnting pada wakaf ialah agar barang yang diwakafkan itu dapat dimanfaatkan. Tanah pertanian baru dapat dimanfaatkan secara baik jika di dalamnya terdapat pengairan yang baik. Hak manfaat yang menjadi tujuan wakaf tidak tercapai, jika transaksi wakaf tanah pertanian tersebut di-qiyas-kan kepada jual beli, melalui qiyas jali. Sebab, pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik, bukan hak manfaat. Karena itulah transaksi wakaf di-qiyas-kan kepada transaksi sewa-menyewa. Di mana tujuannya sama dengan wakaf, yaitu hak manfaat. Pengalihan hukum dari yang berdasarkan qiyas jali tersebut karena ada alasan yang kuat yaitu tujuan kemaslahatan wakaf untuk memanfaatkan tanah pertanian. Contoh kedua: jika penjual dan pembeli berselisih tentang harga sebelum serah terima barang dilakukan, berdasarkan istihsan mereka berdua dapat disumpah, padahal menurut qiyas, penjual tidak disumpah, tetapi menghadirkan bukti. Contoh ketiga: berdasarkan istihsan qiyasi, yang dilandasi oleh qiyas khafi, air sisa minuman burung buas, adalah suci dan halal diminum, seperti: sisa minuman burung gagak atau burung elang. Padahal, berdasarkan qiyas jali, sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung buas adalah najis dan haram diminum, karena sisa minuman tersebut telah bercampur dengan air liurnya, yaitu dengan meng-qiyas-kan kepada dagingnya. Sebagaimana diketahui, binatang buas itu minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Akan tetapi, paruh burung buas berbeda dengan mulut binatang buas yang tidak langsung bertemu dengan dagingnya. Mulut binatang buas terdiri atas daging yang haram dimakan, sedang paruh burung buas merupakan tulang atau zat tanduk. Sedangkan tulang atau zat tanduk tidak najis. Ketika burung buas minum, daging dan air liurnya tidak secara langsung bertemu dengan air, karena dipisahkan oleh paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk itu. Oleh karena itu, air sisa minuman burung buas tidak najis dan halal diminum. Perbedaan hukum antara air sisa minuman burung buas dengan air sisa minuman binatang bias ni ditetapkan berdasarkan istihsan qiyasi, yaitu mengalihkan ketentuan hukum dari hukum yang berdasarkan qiyas jali (najis dan haram), kepada hukum yang berdasarkan qiyas khafi (suci dan halal), karena adanya alasan yang kuat untuk itu, yaitu kemaslahatan. b. Istihsan Istitsna’i Istihsan istitsna’i ialah, qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu yang bersifat khusus. Atau mengecualikan hukum juz’i dari hukum kully dengan dalil. Misalnya, menurut hukum kully, jual beli barang yang ma’dum itu dilarang, karena mengandung gharar, tetapi berdasarkan istihsan diperbolehkan melalui akad salam. Berdasarkan sandarannya, istihsan dibagi menjadi enam, yaitu: a. Istihsan bi an- Nashsh Istihsan bi an-nashsh ialah, pengalihan hukum dari ketentuan yang umum kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada nashsh yang mengecualikannya, baik nashsh tersebut Alquran maupun sunnah. Atau adanya ayat atau hadits tentang hukum suatu kasus berbeda dengan ketentuan kaidah umum. Contoh istihsan istitsnai berdasarkan nashsh Al-quran ialah, berlakunya ketentuan wasiat setelah sesorang wafat, padahal menurut ketentuan umum, ketika orang telah wafat, ia tidak berhak lagi terhadap hartanya, karena telah beralih kepada ahli warisnya. Nyatanya, ketentuan umum tersebut dikecualikan oleh Al-quran, antara lain surah an-Nisa: 12: مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوْصِيْنَ بِهَآ أَوْدَيْنٍ. Sesudah dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya atau sesudah dibayar utangnya. Contoh istihsan istitsnai yang berdasarkan sunnah ialah, tidak batalnya puasa orang yang makan atau minum karena lupa, padahal menurut ketentuan umum, makan dan minum membatalkan puasa. Nyatanya ketentuan umum tersebut dikecualikan berdasarkan hadis: عَنْ أَبِي هَرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمِ مَنْ نَسِيَوَهُوَ صَاءِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ. Dari Abu Hurairah ra, katanya, Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang lupa sedang ia berpuasa, kemudian ia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah sedang memberi makan dan minum kepadanya”. b. Istihsan bi al-Ijma’ Istihsan bi al-ijma ialah meninggalkan qiyas dalam suatu masalah berdasarkan ijma’ yang menetapkan hukum berbeda dengan hukum yang ditunjuk oleh qiyas. Atau istihsan bi al-ijma’ ialah, pengalihan hukum dari ketentuan umum kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada ketentuan ijma’ yang mengecualikannya. Sebagai contoh, boleh melakukan transaksi istitsna (seseorang bertransaksi dengan pengarajin untuk dibuatkan barang dengan harga tertentu), padahal menurut ketentuan umum jual beli, dilarang melakukan transaksi terhadap barang yang belum ada. Rasulullah saw bersabda: لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ. Jangan jual belikan sesuatu yang belum ada padamu. Berdasarkan hadits di atas, seharusnya transaksi tersebut batal, karena ketika transaksi berlangsung, objek transaksinya belum ada. Akan tetapi, trasanksi istitsna’ tersebut boleh dilakukan, karena sejak dahulu praktik tersebut terus berlangsung, tanpa ada larangan dari seorang ulama pun. Sikap ulama tersebut dipandang sebagai ijma’ demi memelihara kebutuhan masyarakat, dan menghindarkan kesulitan yang akan timbul jika transaksi tersebut dilarang. c. Istihsan bi al-‘Urf Istihsan bi al-‘urf ialah istihsan berdasarkan kebiasan yang berlaku umum. Atau pengecualian hukum dari prinsip syariah yang umum, berdasarkan kebiasaan yang berlaku. Contoh istihsan bi al-‘urf ialah, menurut kententuan umum, menetapkan ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu secara pukul rata, tanpa membedakan jauh atau dekatnya jarak tempuh, adalah terlarang. Sebab transaksi upah mengupah harus berdasarkan kejelasan pada objek upah yang dibayar. Akan tetapi, melalui istihsan, transaksi tersebut dibolehkan berdasarkan kebiasaan yang berlaku, demi menjaga jangan timbul kesulitan masyarakat, dan terpeliharanya kebutuhan mereka terhadap transaksi tersebut. Contoh lainnya, sewa permandian dengan harga tertentu dengan tanpa pembatasan air yang digunakan serta lamanya waktu yang dihabiskan. Menurut qiyas hal ini tidak dibolehkan, sebab menurut qiyas obyek akad ijarah itu harus jelas sehingga tidak menimbulkan perselisihan. Namun menurut istihsan hal itu dibolehkan lantaran kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat tidak menuntur jumlah air yang digunakandan waktu yang digunakan. d. Istihsan bi ad-Dharurah Istihsan bi ad-dharurah ialah, ada keadaan-keadaan darurat yang menyebabkan seorang mujtahid tidak memberlakukan kaidah umum atau qiyas. Atau Istihsan bi ad- dharurah ialah suatu keadaan darurat yang mendorong mujtahid untuk mengecualikan ketentuan qiyas yang berlaku umum kepada ketentuan lain yang memenuhi kebutuhan mengatasi keadaan darurat. Sebagai contoh, menghukumkan sucinya air sumur atau kolam air yang kejatuhan najis dengan cara menguras airnya. Menurut ketentuan umum, tidak mungkin mensucikan air sumur atau kolam hanya dengan mengurasnya. Sebab, ketika air sedang dikuras, mata air akan terus mengeluarkan air kemudian akan bercampur dengan air yang bernajis. Demikian juga dengan alat pengurasnya (timba atau mesin pompa air); ketika bekerja, air yang bernajis akan mengotori alat tersebut, sehingga air akan tetap bernajis. Akan tetapi, demi kebutuhan menghadapi keadaan darurat, berdasarkan istihsan, air sumur atau kolam dipandang suci setelah dikuras. e. Istihsan bi al-Mashlahah al-Mursalah Istihsan bi al-mushlahah al-mursalah ialah, mengecualikan ketentuan hukum yang berlaku umum berdasarkan kemaslahatan, dengan memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prinsip kemaslahatan. Misalnya, menetapkan hukum sahnya wasiat yang ditujukan untuk keperluan yang baik, dari orang yang berada di bawah pengampuan baik karena ia kurang akal maupun karena berperilaku boros. Menurut ketentuan umum, tindakan hukum terhadap harta dari orang yang dibawah pengampuan tidak sah, karena akan mengabaikan kepentingannya terhadap hartanya,di mana tujuan pengampuan itu sendiri adalah untuk memelihara hartanya. Akan tetapi, demi kemaslahatan, wasiat orang tersebut dipandang sah. Sebab, dengan memberlakukan hukum sah wasiatnya yang ditujukan untuk kebaikan, maka hartanya akan tetap terpelihara. Apalagi mengingat bahwa hukum berlakunya wasiat adalah setelah ia wafat; tentu hal itu tidak mengganggu kepentingan orang yang berwasiat tersebut. Oleh karena itu, ketentuan umum yang berlaku dalam tasharruf orang yang di bawah pengampuan dikecualikan khusus yang berkaitan dengan wasiat. f. Istihsan berdasarkan qiyas khafi Misalnya menurut Hanafiyah jika penjual dan pembeli berselisih tentang harga barang sebelum searah terima barang dilakukan, menurut qiyas penjual harus mendatangkan bukti dan pembeli disumpah. Namun, menurut istihsan keduanya dapat disumpah. C. Pro Kontra di Sekitar Kehujjahan Istihsan Pendapat ulama terbagi dalam dua kelompok tentang kehujjahan istihsan. Pertama kelompok yang berpendapat bahwa istihsan merupakan dalil syara’. Mereka ini adalah mazhab Hanafi, Malik, dan mazhab Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan kelompok kedua yang menolak penggunaan istihsan sebagai dalil syara’ adalah asy-Syafi’i, Zahiriyyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah. Mereka berpendapat bahwa menggunakan istihsan sebenarnya dikendalikan oleh hawa nafsu untuk bersenang-senang, dengan cara menggunakan nalar murni untuk hukum yang ditetapkan dalil syara’. Di antara mereka adalah Imam asy-Syafi’i. Bahkan diinformasikan bahwa dalam menolak kehujjahannya sebagai dalil syara’, Imam asy-Syafi’i berkata: “barangsiapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah menetapkan hukum syara’ sendiri”. Para ulama yang menggunakan istihsan sebagai dalil syara’ mengemukakan banyak argumen, di antaranya adalah sebagai berikut. a. Menggunakan istihsan berarti mencari yang mudah dan meninggalkan yang sulit, sesuai dengan firman Allah swt pada surah al- Baqarah: 185: يَرِيْدُ اللهُ بِكُمُ اْليُسْرَ وَالَا يُرِيْدُ بِكُمُ اْلعُسْرَ. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. b. Firman Allah swt pada Surah az-Zumar: 55: وَاتَّبِعُواْ أَحْسَنَ مَآ أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِّنْ رَّبِّكُمْ مِّنْ قَبْلِ أَنْ يَأْ تِيَكُمُ اْلعُذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لاَ تَشْعُرُوْنَ {55} Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya. c. Ucapan Abdullah bin Mas’ud ra: فَمَارَآهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدِ اللهِ حَسَنٌ. Sesuatu yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka ia dipandang baik oleh Allah swt. Sementara itu, kelompok ulama yang menolak kehujjahan istihsan menggunakan dalil, antara lain, sebagai berikut. a. Firman alla swt pasa Surah al-Maidah: 49: وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ. Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mareka menurut yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. b. Firman Allah swt pada surah an-Nahl: 44: بِالبَيِّنَتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيكَ الذّكْرَ لِتُبَيِّنَ الِنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَرُوْنَ. Dan kami turunkan kepadamu Al-quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah swt menurunkan Al-quran, dan di samping itu ada hadis Rasulullah saw yang berperan memerinci hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-quran. Dengan demikian istihsan tidak diperlukan untuk menetapkan hukum syara’. c. Rasulullah saw tidak pernah menetapkan hukum berdasarkan istihsan yang dasarnya aalah nalar murni, melainkan menunggu turunnya wahyu. Sebab beliau tidak pernah berbicara berdasarkan hawa nafsu belaka. d. Istihsan itu landasannya adalah akal, di mana kedudukan orang yang terpelajar dan tidak adalah sama. Jika menggunakan istihsan dibenarkan, tentu setiap orang boleh menetapkan hukum baru untuk kepentingan dirinya. Bahkan al-Imam as-Syafi’i menyusun argumentasi secara detil untuk menolak eksistensi istihsan: a. Syariat itu ditetapkan dengan nash dan qiyas. Istihsan bukan nash dan bukan pula qiyas. Jika begitu menggunakan istihsan berarti mengakui adanya hukum-hukum yang belum ditetapkan oleh nash dan qiyas dan ini bertentangan dengan surat al-Qiyamah ayat 36 yang artinya: “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan saja (tanpa pertanggung jawaban). b. Banyak ayat Al-Quran yang menyuruh mentaati Allah dan Rasulnya dan jika terjadi perselisihan hendaknya dikembalikan kepada Allah dan Rasul. Sedangkan istihsan tidak termasuk kitab dan sunnah dan juga tidak menunjuk kepada Al-Quran dan Sunnah. c. Nabi saw. Tidak pernah berfatwa berdasarkan istihsan. Ketika ditanya berbagai kasus beliau tidak memberikan jawaban berdasarkan istihsan melainkan menunggu wahyu. Jika istihsan diperkenankan tentu Nabi tidak akan menunggu wahyu dan cukup menggunakan pendapatnya sendiri. d. Nabi menolak fatwa sebagian sahabat berdasarkan istihsan ketika berada jauh dari Nabi. Jika istihsan diperbolehkan tentu beliau tidak akan menolaknya. e. Istihsan itu tidak menjadi kriteria dan tolak ukur untuk membedakan yang hak dan yang batil sebagaimana qiyas. Jika setiap hakim atau mufti atau mujtahid boleh memutuskan hukum yang berbeda-beda dalam satu kasus karena perbedaan pandangan masing-masing hakim, mufti atau mujtahid. f. Jika istihsan diperbolehkan, padahal ia bukan nash dan juga tidak merujuk kepada nash, berarti ia menetapkan hukum berdasarkan akal semata. Dan hal ini tidak dibenarkan. Dari argumen yang digunakan kedua kelompok ulama di atas, dapat dikatakan, pada hakikatnya perbedaan kedua kelompok tersebut tidak menyentuh hal-hal yang mendasar. Dengan kata lain, pada kenyataannya, perbedaan pendapat di antara mereka hanya dari segi penggunaan istilah (al-khulf lafzi). Sebab, kritik yang dikemukakan asy-Syafi’i terhadap istihsan adalah istihsan yang semata-semata didasarkan kepada pertimbangan akal murni, tanpa didasarkan kepada dalil syara’. Padahal, sebagaimana terlihat pada uraian istihsan sebelumnya, semua bentuk istihsan menggunakan sandaran, baik dalam bentuk nash Al-quran atau sunnah, atau ijma’, atau mashlahah mursalah yang juga sejalan dengan prinsip-prinsip syara’. Tambahan lagi, sebagaimana disebut al-Bazdawi, bahwa Imam Abu Hanifah sebagai orang yang banyak mengusung dalil istihsan, adalah orang yang sangat wara’ dan sangat jauh dari pemikiran melahirkan hukum tanpa dalil syara’. Pada hakikatnya, istihsan, dengan segala bentuknya, adalah mengalihkan ketentuan hukum syara’ dari yang berdasarkan suatu dalil syara’ kepada hukum lain yang didasarkan kepada dalil syara’ yang lebih kuat. Karena prinsip ini yang menjadi subtansi istihsan, maka pada hakikatnya, tidak ada seorang ulamapun yang menolak keberadaan istihsan sebagai dalil syara’. BAB III PENUTUP A. Simpulan a. Dari segi etimologi, istihsan berarti menilai sesuatu sebagai baik. Ia juga berarti sesuatu yang digemari dan disenagi manusia, walaupun dipandang buruk orang lain. Secara terminologis istihsan adalah berpalingnya sang mujtahid dari tuntutan qiya jaliy kepada qiyas khafiy berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional atau berpalingnya sang mujtahid dari tuntutan hukm kully kepada tuntutan hukum juz’iy berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional. b. Berdasarkan proses perpindahannya, istihsan dibagi dua, yaitu: 1. Istihsan Qiyasi. 2. Istihsan Istitsna’i. Berdasarkan sandarannya, istihsan dibagi menjadi enam, yaitu: 1. Istihsan bi an- Nashsh. 2. Istihsan bi al-Ijma’. 3. Istihsan bi al-‘Urf 4. Istihsan bi ad-Dharurah. 5. Istihsan bi al-Mashlahah al-Mursalah. 6. Istihsan berdasarkan qiyas khafi. c. Pada hakikatnya, istihsan, dengan segala bentuknya, adalah mengalihkan ketentuan hukum syara’ dari yang berdasarkan suatu dalil syara’ kepada d. hukum lain yang didasarkan kepada dalil syara’ yang lebih kuat. Karena prinsip ini yang menjadi subtansi istihsan, maka pada hakikatnya, tidak ada seorang ulamapun yang menolak keberadaan istihsan sebagai dalil syara’. B. Saran Semoga dengan makalah ini dapat dijadikan sebagai rujukan tambahan ilmu ushul fiqh tentang istihsan dan dalam isi makalah ini masih banyak kekurangan, sehingga kami menerima kritikan dan saran yang sifatnya kondusif. DAFTAR PUSTAKA Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqh. Cet. I. Jakarta: Amzah. 2011. Dahlan Rahman abd. Ushul Fiqh. Cet. I. Jakarta: Azmah. 2010. Suwarjin. Ushul Fiqh. Cet. I. Yogyakarta: Teras. 2012. firman syam di 3/23/2015 08:52:00 PM Berbagi   ‹ › Beranda Lihat versi web Mengenai Saya  firman syam  tinggal d kota watampone. Lihat profil lengkapku Diberdayakan oleh Blogger. 

Senin, 06 Juni 2016

Pemikiran Asawaja

pemikiran aswaja

Ahlussunnah wal Jama’ah
1. Pembentukan faham ASWAJA

 Memahami Aswaja Sebagai manhaj al-fikr (Cara Pandang/Ediologi)

Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) adalah serangkaian tuntunan hidup yang diajarkan oleh para kiai, ustadz, atau guru di pesantren-pesantren, madrasah atau sekolah dan sudah kita amalkan saat ini. Banyak kalangan, khususnya kader NU sendiri, yang salah faham menganggap Aswaja terpisah dari amal keseharian sehingga membutuhkan disiplin ilmu atau kajian khusus, dan ternyata yang kemudian dibahas hanyalah sekelumit sejarah Aswaja, bukan Aswaja itu sendiri.
Secara umum aswaja adalah ajaran yang mengikuti Rasulullah SAW, melalui praktik-praktik yang dilakukan oleh para sahabat, tabi’in, mujdtahiddin, dan imam mazhab. Hal tersebut sesungguhnya sudah kita lakukan dalam kehidupn sehari-hari, pada dasarnya aswaja berisi tentang ajaran tauhid, fiqh, tasawwuf dll yang sering kita lakukan namun secara terminologi kita belum memahaminya secara mendalam.
Melacak akar-akar sejarah munculnya istilah ahlul sunnah waljamaah, secara etimologis bahwa aswaja sudah terkenal sejak Rosulullah SAW. Sebagai konfigurasi sejarah, maka secara umum aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahap. Pertama, masa imbreonal pemikiran suni dalam bidang teologi yang mana memilih salah satu pendapat yang paling benar. Pada tahap ini boleh dibilang masih pada tahab konsulidasi dan tokoh penggeraknya adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728 M). Kemudian yang kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam al-Syafi’I (w.205 H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- qur’an dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahab ini, kajian dan diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme dogma, di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami agama.
Beberapa frinsip dasar yang harus dipegang teguh apabila aswaja sebagai manhaj al-fikr yaitu prinsip tawassut (moderat), tawazun (netral), ta’adul (keseimbangan), dan tasammuh (toleran). Moderat tercermin dalam bidang hukum, sikap netral (tawazun) berkaitan dengan sikap politik, keseimbangan (ta’adul) dan toleran (tasammuh) terefleksikan dalam kehidupan social, cara bergaul dalam kondisi social budaya masyarakat.
• Internalisasi aswaja melalui sekolah aswaja
Kalau kita pahami aswaja sebagai manhaj al-fikr (Cara Pandang/Ediologi) tentang islam. Maka sangat perlu untuk memberikan pemahaman mendasar tentang aswaja bukan pada sejarah maupun teori. Namun yang mendasar untuk difahami adalah substansi/isi aswaja itu sendiri seperti apa.


2. Metode Pemikiran Aswaja

 Memahami Aswaja (Ahlussunah Waljamaah) sebagai sebuah metode pemikiran dan pergerakan Islam masih sangat penting, khususnya dewasa ini di mana Islam tengah berada di persimpangan jalan antara kutub kanan dan kiri. Tarik menarik yang terjadi antara dua kutub ini tidak terlepas dari pergulatan Islam itu sendiri dengan realitas yang selalu hidup. Wacana penyegaran pemahamanan keagamaan kemudian menjadi sebuah kebutuhan jaman yang tidak dapat terelakkan. Boleh dibilang bahwa unsur dinamik yang terdapat dalam agama Islam sejatinya terletak pada multi-interprestasi yang selalu berkembang dalam merespon perubahan realitas yang terjadi melalui satu titik mainstream Islam berupa pedoman kitab dan sunnah yang diyakini oleh umatnya.

Hal ini yang membedakan dengan agama-agama lainnya, penyeregamanan (konvergensi) satu model interprestasi sumber otentik agama yang dimilikinya menjadikan nilai sebuah agama itu justru kehilangan kesegarannya. Betapapun secara historis upaya memunculkan bentuk tafsir yang berbeda tersebut telah ada, namun muaranya lebih kepada pengelupasan agama yang mereka anut dari panggung kehidupan materialistik.[2]    

Sebagai bukti dari dinamika progresif yang terdapat dalam Islam ini, adalah dari larisnya wacana-wacana keislaman yang diangkat baik dalam skup nasional ataupun internasional, yang dijelmakan ke dalam ruang aktualisasi gagasan dan karya, baik buku, jurnal, institusi, seminar, pelatihan dan lain-lain. Wacana yang diangkat pun sangat beragam dari mulai yang paling kanan sampai yang paling kiri, dari yang paling fundamentalis sampai  yang liberal. Seluruhnya membentuk siklus pencerahan yang berangkat dari misi mengembalikan Islam sebagai sebuah agama yang mampu menjadi solusi masa kini dan juga masa depan, dan nampaknnya tidak ada yang meyempalkan wacananya dari sumber otentik al-kitab dan sunnah.

Dari sini sesungguhnya yang diperlukan dari kita adalah kearifan untuk menyikapi problematika multi-tafsir pemahaman keagamaan ini secara apresiatif dan tidak dianggap sebagai sebuah pencemaran agama. Yang harus dipersiapkan adalah sejauhmana kesanggupan kita melakukan dialektika yang komprehensif dalam menyaring gagasan mana yang lebih berdaya manfaat dan memberikan kemaslahatan bagi umat Islam masa kini. Di samping kebesaran hati kita untuk membuka pikiran dalam menerima berbagai varian gagasan yang dimunculkan tersebut. Tak terkecuali bagi Aswaja yang telah lama diyakini sebagai teologi yang banyak diyakini atau dianut oleh umat Islam di dunia, ia juga tak ubahnya mangalami dialektika multi-tafsir yang sama. Maka menggiring Aswaja pada satu bentuk konsep yang tunggal hanya akan menjadikan ajaran Aswaja kehilangan kesegarannya. Lebih-lebih aswaja hanya berfungsi sebagai salah satu bentuk metode berpikir dalam memahami lautan Islam dan keislaman yang maha luas.    

Aswaja dan Klaim Keselamatan

Munculnya Aswaja sebagai sebuah sistem atau paham tidak lepas dari kondisi sosio-politik pada masa awal Islam yang berkisar pada paruh awal abad ketiga hijriyah, di mana kekuasaan politik Islam baru mengalami masa transisi dari kekuasaan Dinasti Umayyah kepada Dinasti Abbasiyah. Pada masa itu sangat marak tradisi intelektual baik dalam bentuk perwujudan karya lokal ataupun pemindahan karya luar untuk proses transformasi internal. Di mana perhatian dinasti Abbasiah terhadap pengembangan ilmu pengetahuan sungguh begitu tampak, dan seakan menjadi prioritas proyek pembangunan rezim kekuasaannya. Di samping pula mulai lahirnya beragam pemikiran umat Islam dalam merespon berbagai persoalan yang baru muncul ketika itu. Tepatnya dibawah kepiawaian intelektual Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H.) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H.) aswaja sebagai sebuah paham dan teologi independen mulai diperkenalkan.

Sebelumnya di era kenabian, umat Islam masih bersatu, dalam artian tidak ada golongan A dan tidak ada golongan B, tidak ada pengikut akidah A dan tidak ada pengikut B, semua berada dibawah pimpinan dan komando Rasulullah Saw. Bila terjadi masalah atau perbedaan pendapat antara para sahabat, mereka langsung datang kepada Rasulullah Saw. itulah  yang menjadikan para sahabat saat itu tidak sampai terpecah belah, baik dalam masalah akidah, maupun dalam urusan duniawi.

Kemudian setelah  Rasulullah Saw. wafat benih-benih perpecahan mulai tampak dan puncaknya terjadi saat Imam Ali RA. menjadi khalifah. Namun perpecahan tersebut hanya bersifat politik, sedang akidah mereka tetap satu, meskipun saat itu benih-benih penyimpangan dalam akidah sudah mulai ditebarkan oleh Ibnu Saba’, seorang yang dalam sejarah Islam dikenal sebagai pencetus faham Syi’ah (Rawafid). Tapi setelah para sahabat wafat, benih-benih perpecahan dalam akidah tersebut mulai membesar, sehingga timbullah paham-paham yang bermacam-macam yang dapat dibilang ‘menyempal’ dari ajaran Rasulullah Saw.

Saat itu umat Islam terpecah dalam dua bagian, satu bagian dikenal sebagai golongan-golongan ahli bid’ah, atau kelompok-kelompok sempalan dalam Islam, seperti Mu’tazilah, Syi’ah (Rawafid), Khawarij dan lain-lain. Sedang bagian yang satu lagi adalah golongan terbesar, yaitu golongan orang-orang yang tetap berpegang teguh kepada apa-apa yang dikerjakan dan diyakini oleh Rasulullah Saw. bersama sahabat-sahabatnya.[3]

Golongan yang terakhir inilah yang kemudian menamakan golongan dan akidahnya Ahlus Sunnah Waljamaah. Jadi golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah golongan yang mengikuti sunnah-sunnah nabi dan jamaatus shohabah. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW : “bahwa golongan yang selamat dan akan masuk surga (al-Firqah an Najiyah) adalah golongan yang mengikuti apa-apa yang aku (Rasulullah Saw) kerjakan bersama sahabat-sahabatku”.[4]

Dengan demikian akidah Ahlus Sunnah Waljamaah adalah akidah Islam yang dibawa oleh Rasulullah dan golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah umat Islam.  Sedang golongan-golongan ahli bid’ah, seperti Mu’tazilah, Syi’ah (Rawafid) dan lain-lain, adalah golongan yang menyimpang dari ajaran Rasulullah Saw yang berarti menyimpang dari ajaran Islam. Dengan demikian hakekatnya embrio akidah Ahlus Sunnah Waljamaah itu sudah ada sebelum lahirnya Abu Hasan al-Asyari dan al-Maturidi. Begitu pula sebelum timbulnya ahli bid’ah atau sebelum timbulnya kelompok-kelompok sempalan.

Sekalipun pemahaman tentang klaim keselamatan yang hanya dimiliki oleh kelompok Aswaja telah banyak dikritik oleh banyak pemikir dan ulama Islam, khususnya  dari aspek penjabaran klasifikasi perpecahan yang terjadi di tubuh umat Islam ke dalam angka pas 73 kelompok, diragukan oleh sebagian ulama. Contohnya beberapa ulama seperti Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429 H), atau as-Sahrasthani (w. 548 H), dan Ibnu al-Jauzi (w. 597 H)  lebih memahami redaksional hadits perpecahan umat Islam (Hadits Furqah) secara harafiah. Sehingga berkonsekuensi pada upaya mereka untuk mencocok-cocokkan kelompok Islam yang dianggap “sempalan” sampai pas mencapai 72 kelompok dan hanya satu kelompok saja yang selamat. Padahal secara kebahasaan, dan tafsir al-Qur’an dalam hal yang berkaitan dengan redaksi penyebutan angka, tidak mesti menunjukkan angka yang pas seperti yang termaktub, melainkan indikasi tentang banyaknya atau menjamurnya suatu hal yang menjadi obyek pembahasan.

Contohnya, dalam ayat al-Qur’an surat at-Taubah: ayat 80, tentang istighfarnya nabi Muhammad sebanyak 70 kali atau lebih atas orang-orang yang munafiq, tidak berarti harus pas dengan 70 kali sebagaimana redaksi yang ada. Atau seperti dalam surat Luqman: ayat 27, yang menerangkan tentang 7 laut yang digunakan sebagai tinta untuk menghitung nikmat Allah Swt, tidak bermakna 7 pas, sebab sekalipun ia lebih, semisal 70 atau 700 pun akan sama hasilnya; tidak akan dapat mampu menghitung nikmat Allah dimaksud. Intinya angka yang tertera dalam redaksi hadits perpecahan umat Islam tidak bermakna harafiah (terbatas angka tertera).[5]

Terlepas dari shahih dan tidaknya hadits di atas, kenyataannya sampai saat ini masih berlaku klaim-klaim keselamatan sebagai impak dari testimoni hadist tersebut. Jika yang dimaksud Ahlussunah Waljamaah ialah satu-satunya kelompok yang selamat dan masuk syurga, seluruh sekte dalam Islam akhirnya mengklaim sebagai Ahlussunah. Muhammad Abduh mengutip perkataan Jalauddin al-dawâni bahwa: Nashiruddin at-Thushy menganggap kelompok yang selamat tersebut adalah sekte Syi’ah Imamiyyah. [6] Sementara sebagian ulama lainnya menganggap kelompok As-Sya’irah lah kelompok yang selamat tersebut. Sedang Ibnu Taimiyyah berpandangan, kelompok ahlu hadits yang seluruh prilaku dan perkataannya senantiasa disesuaikan dengan pola hidup Rasulullah Saw lah yang paling berhak dianggap sebagai kelompok yang selamat. Dewasa ini malah baik kelompok salafi dan ahlu hadits masing-masing mengklaim sebagai pengikut ahlussunah yang paling berhak dianggap sebagai kelompok yang selamat. Bahkan sebagian pemikir kontemporer beranggapan bahwa Mu’tazilah lah yang lebih dahulu lahir dan paling berhak untuk menyandang label Ahlussunah Waljamaah ketimbang yang lainnya. [7]  

Bagi saya, terminologi keselamatan tidak harus selalu berada pada salah satu kelompok yang disebut di atas, dapat saja kebenaran diperoleh atau didapat pada seluruh kelompok Islam yang ada, baik kelompok as-Sya’irah, Syi’ah, Ahlu Hadits, ataupun Mu’tazilah. Sebagaimana sisi kekeliruan atau kesalahan dalam ijtihad yang mereka lakukan juga relatif mungkin terjadi. Mengingat perbedaan pendapat yang kerap terjadi bukan selalu pada ranah akidah atau ushuluddin, melainkan pada ranah furu’iyyah yang tidak ada kaitannya dengan persoalan justifikasi iman atau kafir.

Dengannya kita patut meragukan kebenaran testimoni Imam as-Shahrastani: ”Jika kebenaranan dalampersoalan aqliyat (rasional) berwajah satu, maka sangat logis jika kebenaran itu pun seharusnya berada pada satu wajah kelompok Islam”, mengingat pendapat atau pandangan suatu kelompok tidak harus secara mutlak kita terima atau pun kita tolak. Pada ranah ini selalu berlaku relatifitas ijtihad yang merupakan karateristik kelenturan syariat yang dimiliki oleh Islam.

Aswaja-NU: Sebuah Pengenalan Singkat

Adapun Aswaja-NU adalah hasil rumusan Ahlussunnah waljamaah oleh kalangan tradisionalis Islam di Indonesia. Eksistensi Komunitas ini dikenal sejak penyebaran Islam era pertama di Indonesia yang ditandai dengan berdirinya pusat-pusat pengajaran Islam berupa pesantren di seluruh nusantara. Tradisi keagamaan yang sudah lama berkembang itulah yang kemudian diformalkan dengan pembentukan sebuah organisasi bernama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926 M.

Berdirinya organisasi ini, selain karena tuntutan dinamika lokal juga karena momentum internasional yang terjadi pada waktu itu. Pada tingkat lokal, ulama-ulama dari sayap pesantren merasa perlu mengkonsolidasikan diri untuk memagari tradisi-tradisi keagamaan yang sudah ada dari ”serangan” dakwah kalangan modernis. Mereka ini merupakan kelanjutan dari misi penyebaran ajaran Wahhabi dengan isu utamanya yang dikenal dengan ”anti TBC” (Tachayul, Bid’ah dan Churafat). Dalam konteks internasional, para ulama berkepentingan untuk bersatu guna menyampaikan aspirasi umat Islam Indonesia tentang kebebasan bermadzhab dan menentang gagasan pemusnahan situs-situs bersejarah di Haramain. Hal itu terjadi karena Penguasa Hijaz yang baru, Ibn Sa’ud, hendak menerapkan paham Wahhabi di wilayah kekuasaannya itu.

Dalam ”Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyat Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah” (Preambule AD-ART NU) yang ditulis Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari secara tegas terdapat ajakan kepada para ulama Ahl al-Sunnah wal Jama’ah untuk bersatu memagari umat dari propaganda pada ”ahli bid’ah”. Yang dimaksud tentu saja adalah orang-orang pendukung ajaran Wahhabi yang dalam da’wahnya selalu mencela tradisi-tradisi seperti tahlilan, ziarah kubur, qunut, tawassul dan lain-lain sebagai perbuatan Bid’ah. Selain itu, mereka menganggap kebiasaan-kebiasaan para santri yang lain sebagai sesuatu yang mengandung unsur Tahayyul dan Khurafat. Mereka juga menyatakan bahwa kepengikutan terhadap ajaran madzhab merupakan sumber bid’ah, dan oleh karenanya umat Islam harus berijtihad (ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah)
Dengan demikian, yang dimaksud dengan ”Aswaja” oleh NU adalah pola keberagamaan bermadzhab. Pola ini diyakini menjamin diperolehnya pemahaman agama yang benar dan otentik, karena secara metodologis dapat dipertanggungjawabkan transmisinya dari Rasulullah sebagai penerima wahyu sampai kepada umat di masa kini. Metode ini mempersyaratkan adanya Tasalsul (mata rantai periwayatan).

Selain itu, pola ini mengandung penghargaan terhadap tradisi lama yang sudah baik dan sikap responsif terhadap inovasi baru yang lebih bagus (al-muhafadhoh ’ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah). Dengan demikian, dalam konteks budaya, Aswaja mengajarkan kita untuk lebih selektif terhadap pranata budaya kontemporer, tidak serta merta mengadopsinya sebelum dipastikan benar-benar mengandung maslahat.[8] Demikian juga terhadap tradisi lama yang sudah berjalan, tidak boleh meremahkan dan mengabaikannya sebelum benar-benar dipastikan tidak lagi relevan dan mengandung maslahat. Sebaiknya tradisi-tradisi tersebut perlu direaktualisasi sesuai dengan perkembangan aktual apabila masih mengandung relevansi dan kemaslahatan.

Pada perkembangannya, definisi Aswaja berkembang menjadi sebagai berikut : ”Paham keagamaan yang dalam bidang Fiqh mengikuti salah satu dari madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) ; dalam bidang Aqidah mengikuti Imam Asy’ari dan Imam Maturidi, dan ; dalam bidang Tasawuf mengikuti Imam Ghazali dan Imam Junayd al-Baghdady”. Definisi tersebut sebenarnya merupakan penyederhanaan dari konsep keberagamaan bermadzhab.

Pengertian ini dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan paham Ahlussunnah Waljamaah. Hal ini bukan berarti NU menyalahkan mazhab-mazhab mu’tabar lainnya, melainkan NU berpendirian bahwa dengan mengikuti mazhab yang jelas metode dan produknya, warga NU akan lebih terjamin berada di jalan yang lurus. Menurut NU, sistem bermazhab adalah sistem yang terbaik untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam, supaya tetap tergolong Ahlussunnah Waljamaah. [9]

Di luar pengertian di atas, KH. Said Agil Siradj memberikan pengertian lain. Menurutnya, Ahlussunnah Waljamaah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya Ahlussunnah Waljamaah harus diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah Waljamaah bukan sebagai mazhab, melainkan hanyalah sebuahmanhaj al-fikr (cara berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi'in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun demikian, hal itu bukan berarti bahwa Ahlussunnah Waljamaah sebagai manhaj al-fikr adalah produk yang bebas dari realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya.[10] 

Pada Munas Alim Ulama di Lombok, dicetuskan bahwa keterikatan terhadap madzhab tidak hanya secara Qawlan(produk yang dihasilkan) saja, tetapi juga Manhajiyyan (metode berpikirnya). Keputusan Ini juga menjadi jawaban atas kritikan bahwa pola bermadzhab dalam tradisi keagamaan NU itu ternyata membuat umat jumud, tidak berkembang.

NU juga telah merumuskan pedoman sikap bermasyarakat yang dilandasi paham Aswaja, yakni Tawasuth(moderat), Tasamuh (toleran), Tawazun(serasi dan seimbang), I’tidal (adil dan tegas), dan Amar Ma’ruf Nahy Munkar(menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemunkaran).[11]

Aswaja juga mengandung ajaran tentang sikap menghargai mayoritas dan perbedaan. Oleh karenanya, NU sebagai penganut Aswaja lebih apresiatif terhadap paradigma demokrasi. Bagi NU, perbedaan di tengah umat merupakan keniscayaan. Karena itu harus disikapi secara arif dengan mengedepankan musyawarah. Tidak boleh disikapi secara radikal dan ekstrem hanya karena keyakinan atas kebenaran sepihak. Dalam Aswaja dikenal dengan prinsip al-Sawad al-A’dham, berdasarkan hadits Nabi: fa idza raiytum ikhtilafan fa’alaykum bi sawad al-a’dzam..(jika kalian menjumpai perbedaan, ikutilah golongan yang terbanyak). Prinsip al-Sawad al-A’dhom ini didasarkan atas asumsi populer sebagaimana dalam hadits: ”La tajtami’u ummati ’ala al-dlalalah” (umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan).

Sikap kemasyarakatan seperti diataslah yang membuat NU dapat diterima dan bekerjasama dengan semua kalangan, baik dalam internal umat Islam, lintas agama dan bahkan dalam hubungan-hubungan internasional. Hal ini dikarena NU mampu menyajikan Islam yang rahmatan lil-’Alamin, ramah, toleran, dan tidak ekstrem.

ASWAJA dan Problematika Kemanusiaan Masa Depan

Ideologi apapun akan tampak kering jika pada tataran praksisnya sulit bersentuhan dengan realitas kemanusiaan yang mengitarinya. Selayaknya saat ini perdebatan konsep ataupun teologi Aswaja tidak lagi harus berkutat pada tataran teroritis-normatif, akan tetapi sudah harus melampaui batas-batas teologi itu sendiri sehingga Aswaja tidak lagi disikapi sebatas sebuah landasan berpijak atau metode berfikir an sich. Seiring dengan proses tentu metode ini akan terus melakukan evolusinya ke arah yang lebih akseptabel, begitu pula dengan pemahaman umat dalam melakukan penyelarasan faktualnya.

Katakanlah saat ini Aswaja baik sebatas metode berfikir ataupun kerangka bermazhab yang ideal telah mulai terbangun –khususnya di kalangan Nahdhiyin-, langkah selanjutnya adalah bagaimana kesadaran yang telah terbangun itu menggugah para pengikut Aswaja ini untuk merealisasikan nilai-nilai yang ada dalam beberapa mazhab yang mu’tabar di atas ke dalam ruang aplikasi hidup yang lebih nyata. Bahwa benarkah nilai-nilai Aswaja yang berupa sikap moderasi dan toleran atau adil menjadi kesadaran komunal dalam berbuat (amaliy) para pengikut Aswaja tersebut. Seberapa besar pola pikir (mind-sett) mazdahib baik fikih, akidah, dan tasawuf memberikan inspirasi bagi sebuah pergulatan pemikiran yang selalu berproses dan bukan sebatas produk pemikiran yang telah siap jadi (stagnan). Baru setelah itu, mampukah para pengikut Aswaja itu melakukan pemekaran atas substansi Aswaja dari yang telah ada kepada hal yang baru dengan bersandarkan kepada kebutuhan manusia yang semakin kompleks.

Mengingat tantangan kemanusiaan yang teramat mendesak, yang menjadi agenda prioritas (pergerakan) Aswaja di masa depan adalah, pencarian kembali makna dan tujuan hidup (sense of meaning and purpose), sehingga Aswaja dapat difungsikan kembali sebagai guidance menuju realitas kesejarahan manusia yang hakiki.

Dari peta sosiologi modernisasi jelas, bahwa akar pesoalan manusia modern adalah penemuan kembali sistem makna yang dapat membebaskan dirinya dari segala macam bentuk determinisme yang terdapat dalam pranata-pranata modern. Di sinilah pentingnya menghadirkan kembali teologi dalam makna historisnya sebagai sarana pembebasan.

Teologi yang membebaskan adalah yang berpusat pada manusia dan kekuatannya, atau humanistic Theology.Manusia harus dapat mengembangkan kemampuan akalnya agar dapat memahami dirinya, hubungannya dengan sesamanya dan kedudukannya di alam ini. Dia harus mengenal kebenaran, dengan melihat pada keterbatasan maupun potensinya. Dia juga harus mengembangkan rasa cinta pada orang lain maupun pada dirinya serta merasakan solidaritas pada semua kehidupan. Dia juga harus mempunyai prinsip dan norma untuk mengarahkan tujuannya sendiri.

Upaya menghadirkan teologi yang humanistik, dan sebaliknya  menghindari dari teologi yang otoritarian, sesungguhnya lebih mencerminkan sebagai persoalan epistemologi. Artinya, lebih banyak disebabkan oleh faktor interpretasi dari masing-masing penganut teologi. Letak permasalahannya kemudian adalah “bukan pada teologi apa, tetapi berteologi yang bagaimana.”

Dalam persfektif Islam misalnya, makna pembebasan teologi terletak pada ajaran tauhid. Implikasi pembebasan atau efek pembebasan tidak hanya dalam konteks tauhidullah dalam pengertian pembebabasan dari semua ikatan ketuhanan yang absurd dan otoritarianistik. Tapi, pembebasan dari semua struktur sosial, ekonomi, politik, budaya yang cenderung menjadi determinan bagi kemerdekaan manusia.

Dalam diskursus teologi Islam ini, efek pembebasan tauhid mengalami reduksianisasi seperti dalam teologi Jabariah, Murjiah, serta teologi sejenis yang sudah berkolaborasi dengan kemapanan struktur politik. Artinya, Tuhan digambarkan sebagai sosok yang serba mengatur hidup manusia.

Agaknya persoalan di atas merupakan agenda intelektual bagi kalangan Aswaja ke depan. Ini dapat dilakukan dengan mula-mula menghadirkan rancang bangun teologi Aswaja sebagai rekonstruksi terhadap pemikiran lama yang dianggap kurang memberikan sistem makna yang jelas, tidak membebaskan dan terjebak pada status quo. Karena itu perlu dikembangkan suatu pemikiran yang terbuka dan siap berhadapan dengan persoalan baru dan penafsiran baru pula. Aswaja tidak boleh berhenti sebatas metode berpikir (manhaj al-fikr) lagi, tetapi sudah harus menginspirasikan sebuah kebangkitan melalui metode berkarya (manhaj al-‘amal). Dengan metode berkarya inilah Aswaja akan dirasakan manfaatnya, karena keberadaannya tidak lagi mengawang di langit, namun telah bersenyawa dengan kebutuhan manusia dan hidup di tengah realitas yang dinamik.

Penutup

Demikian pengantar tentang Aswaja dan pergulatannya dengan kondisi kemunculannya dahulu dan perannya di masa kini. Semoga dapat menambah wawasan rekan-rekan para peserta pelatihan. Yang penulis paparkan hanyalah sebatas garis besarnya saja, dan hampir tidak menyebutkan secara rinci pokok-pokok pikiran dan gagasan Aswaja baik dalam ruang lingkup teologi klasik maupun dalam institusi NU. Karena hal tersebut dapat sangat mudah kita temukan dalam banyak literatur yang ada. Ibarat peta, yang penulis ketengahkan hanya sebatas jalan-jalan besarnya saja, adapun gang, jalan tikus, dan sungai serta selokannya tidak menjadi sorotan penulis. Semoga diskusi tentang Aswaja secara lebih lengkap dan kontekstual dapat terus berlanjut

http://pemikiranaswaja.blogspot.co.id/p/pemikiran-aswaja.html?m=1

Kamis, 19 Mei 2016

KAJIAN HADITS TENTANG FITRAH ANAK YANG BARU LAHIR


KAJIAN HADITS
TENTANG FITRAH ANAK YANG BARU LAHIR



TUGAS UJIAN

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas
Ujian Akhir Semester Dua Mata Kuliah Hadits Tarbawi



Dosen Pembimbing :
DIDI MASHUDI, H. Dr, M.Ag



Disusun Oleh :
SANDI ROMADONA
NIM. 2.215.3.081 





PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
1437 H / 2016 M




1.        Teks Hadits dalam kitab Shahih al-Bukhari no. 1296
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ

Artinya: Telah menceritakan kepada Adam  telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dza’bin dari Az-zuhriyyi dari Abu Salamah bin Abdur rahman dari Abu Hurairah berkata: Nabi SAW bersabda: setiap anak dilahiran dalam keadaan fitrah. Kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna. Apakah kalian melihat ada cacat padanya?

2.        Hadist yang semakna dengan hadits di atas

a.       Teks Hadits dalam kitab Shahih Muslim

4804 - حَدَّثَنِى أَبُو الطَّاهِرِ وَأَحْمَدُ بْنُ عِيسَى قَالاَ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِى يُونُسُ بْنُ يَزِيِدَ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ». ثُمَّ يَقُولُ اقْرَءُوا (فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِى فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ)
Telah menceritakan kepada kami Abu Thahir dan Ahmad Ibn Isa, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Ibn Wahb, telah memberitakan kepadaku Yunus Ibn Yazid dari Ibn Syihab bahwasanya Abu Salamah Ibn Abd al-Rahman telah diberitakan kepadanya bahwa Abu Hurairah telah berkata: Rasulullah s.a.w. telah bersabda: "Tidak ada anak yang dilahirkan, kecuali dilahirkan atas kesucian. Kemudian Nabi bersabda: Bacalah oleh kaliah: 'fithratallaahil-latii fatharannaasa 'alaihaa' 'Fitrah Allah yang Dia menciptakan manusia menurut fitrah itu'."


Rangkaian Skematik Sanad Hadits yang sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW












b.      Teks Hadits dalam kitab Sunan Abu Dawud

4091 - حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِىُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِى الزِّنَادِ عَنِ الأَعْرَجِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ كَمَا تَنَاتَجُ الإِبِلُ مِنْ بَهِيمَةٍ جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّ مِنْ جَدْعَاءَ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ مَنْ يَمُوتُ وَهُوَ صَغِيرٌ قَالَ « اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا عَامِلِينَ ».

Telah menceritakan kepada kami al-Qa’nabi dari Malik dari Abu al-Zinad dari al-‘Araj dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan suci maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi sebagaimana binatang itu dilahirkan dengan lengkap. Apakah kamu melihat binatang lahir dengan terputus (hidung, telinga, dan sebagainya)?". Kemudian beliau ditanya tentang anak orang-orang musyrik, lalu beliau menjawab: Allah lebih tahu tentang apa yang pernah mereka kerjakan.”
Rangkaian Skematik Sanad Hadits yang sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW
 










c.         Teks Hadits dalam kitab Musnad Ahmad Ibn Hanbal
6884 - حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ
Telah menceritakan kepada kami Abd al-A’la dari Mu’amar dari al-Zuhri dari Sa’id Ibn al-Musayyab dari Abu Hurairah: bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda: "Tidak ada anak yang dilahirkan, kecuali dilahirkan atas kesucian. Dua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi sebagaimana binatang itu dilahirkan dengan lengkap. Apakah kamu melihat binatang lahir dengan terputus (hidung, telinga, dan sebagainya)?"
Rangkaian Skematik Sanad Hadits yang sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW







3.        Nash Al-Quran yang berkaitan dengan Hadist di Atas
Kata fitrah sendiri diungkapkan Allah hanya dalam satu ayat. Allah Swt. berfirman:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ 
"Hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". (QS ar-Rum[30]:30).
Ayat ini oleh para ulama dikaitkan dengan firman Allah:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ --
"Ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhan kalian?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami melakukan yang demikian itu) agar pada Hari Kiamat kalian tidak mengatakan, "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)." (QS al-A'raf [7]: 172).

Pengaruh orang tua/lingkungan sosial terhadap anak
Syahid Mutahhari berkata, “manusia meskipun ia tidak bisa memisahkan hubungannya dengan genetik, lingkungan alam, lingkungan sosial dan sejarah zaman secara keseluruhan, akan tetapi ia mampu melawannya sehingga bisa membebaskan dirinya dari ikatan faktor-faktor ini. Dari satu sisi manusia dengan kekuatan akal dan ilmunya dan dari sisi lain dengan kekuatan ikhtiar dan imamnya ia mampu melakukan perubahan pada faktor-faktor ini. Faktor-faktor ini ia rubah sesuai dengan kemauannya, sehingga ia menjadi pemilik bagi nasibnya sendiri, oleh karena itu benar kalau kita katakan bahwasanya lingkungan memiliki peran mendasar dalam pembentukan kepribadian manusia akan tetapi bukan faktor penentu yang pasti karena manusia memiliki ikhtiar.

Pengaruh Keshalihan Orang Tua
Keshalihan kedua orang tua memberi pengaruh kepada anak-anaknya. Bukti pengaruh ini bisa dilihat dari kisah Nabi Khidhir yang menegakkan tembok dengan suka rela tanpa meminta upah, sehingga Musa menanyakan alasan mengapa ia tidak mau mengambil upah. Allah berfirman, yang artinya:
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Rabbmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaan dan mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Rabbmu dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. [al-Kahfi/18:82].
Dalam menafsirkan firman Allah Azza wa Jalla "dan kedua orang tuanya adalah orang shalih," Ibnu Katsir berkata: "Ayat di atas menjadi dalil bahwa keshalihan seseorang berpengaruh kepada anak cucunya di dunia dan akhirat berkat ketaatan dan syafaatnya kepada mereka, maka mereka terangkat derajatnya di surga agar kedua orang tuanya senang dan berbahagia sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur`ân dan as-Sunnah". [1
Allah telah memerintahkan kepada kedua orang tua yang khawatir terhadap masa depan anak-anaknya agar selalu bertakwa, beramal shalih, beramar ma’ruf nahi mungkar dan berbagai macam amal ketaatan lainnya, sehingga dengan amalan-amalan itu Allah akan menjaga anak cucunya. Allah Azza wa jalla berfirman, yang artinya:
 "Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar".[an-Nisâ`/4:9]

Beberapa pendapat ulama tentang pengaruh orantua terhadah anak
Dari Said bin Jubair dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu, berkata: "Allah Azza wa jalla mengangkat derajat anak cucu seorang mukmin setara dengannya, meskipun amal perbuatan anak cucunya di bawahnya, agar kedua orang tuanya tenang dan bahagia. Kemudian beliau membaca firman Allah, yang artinya :
 "'Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan. Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya'." [ath-Thûr/52:21].[2]
Ibnu Syahin meriwayatkan, bahwasanya Haritsah bin Nu`man Radhiyallahu 'anhu datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam namun ia sedang berbicara dengan seseorang hingga ia duduk tidak mengucapkan salam, maka Jibril Alaihissallam berkata: "Ketahuilah bila orang ini mengucapkan salam, maka aku akan menjawabnya?" Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Jibril: "Kamu kenal dengan orang ini?" Jibril Alaihissallam menjawab: "Ya, ia termasuk delapan puluh orang yang sabar pada waktu perang Hunain yang telah dijamin rizki oleh Allah bersama anak-anak mereka nanti di surga".
Syaikh Siddiq Hasan Khan rahimahullah berkata: "Sesungguhnya Allah mengangkat derajat anak cucu seorang mukmin, meskipun amalan mereka di bawahnya, agar orang tuanya tenang dan bahagia, dengan syarat mereka dalam keadaan beriman dan telah berumur baligh bukan masih kecil. Meskipun anak-anak yang belum baligh tetap dipertemukan dengan orang tua mereka".
Cara yang paling tepat untuk meluruskan anak-anak harus dimulai dengan melakukan perubahan sikap dan perilaku dari kedua orang tua. Begitu pula dengan merubah sikap dan perilaku kita kepada kedua orang tua kita, yaitu dengan berbuat baik dan taat kepadanya, serta menjauhi sikap durhaka kepadanya".

4.        Peran orang tua terhadap anaknya berdasarkan pendekatan manajemen pendidikan islam
Manajemen dalam kamus umum bahasa Indonesia (W.J.S. Poerwadarminta, 2007:742) adalah cara mengelola suatu perusahaan besar. Pengelolaan atau pengaturan dilaksanakan oleh seorang manajer (pengatur/pemimpin) berdasarkan urutan manajemen. Kalau dikaitkan dengan pendidikan Islam berari bagaimana pengelolaan atau pengaturan lembaga pendidikan agar menjadi lembaga pendidik yang bermutu. Dalam keterkaitannya Manajemen Pendidikan Islam dengan peran orang tua terhadap anaknya berarti bagaimana seoarang manajer (manajer di sini adalah orang tua) berperan mengelola pendidikan terhadap anaknya untuk bekal di masa depannya kelak.
Allah SWT berfirman  Q.S At-tahrim : 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Ayat di atas, Allah memerintahkan kita untuk menjaga diri kita terlebih dahulu, kemudian keluarga dari api neraka. Dari pandangan Manajemen pendidikan ini adalah bagaimana Allah memberikan tarbiyyah kepada hambanya untuk mengutamakan diri sendiri (manajemen diri) ketika ingin menjaga keluarga atau orang lain. Dan ini adalah peranan orang tua untuk menjauhkan diri dan keluarga dari sesuatu yang menjerumuskan ke dalam api neraka. Salah satu keluarga yang harus di jaga yaitu anak-anak. Anak-anak sebagai titipan dari Allah SWT yang awalnya mereka adalah suci maka harus kembali dalam keadaan suci dengan syariatnya penjagaan dan pendidikan dari orang tuanya. Sebagaimana di sampaikan dalam Hadist Shohih Imam bukhori, dari Abu Huroiroh Rasulullah SAW bersabda;
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ
setiap anak dilahiran dalam keadaan fitrah. Kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna. Apakah kalian melihat ada cacat padanya?
Begitu berat peran orang tua mendidik anak-anaknya supaya kembali kefitrahnya ketika Allah menurunkanya ke dunia dengan jalan dari perut ibu. Di dalam pendekatan manajemen Pendidikan Islam akan dikaji langkah-langkah peran orang tua untuk mendidik anak-anaknya dan langkah ini sudah di sampaikan di dalam Al-Quran dalam Q.S Luqman 13-19:
13.Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar".
14. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
15. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
16. (Lukman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
18. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
19. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.

Dari ayat di atas, nasihat Lukmanul hakim terhadap anaknya sebagai pendidikan yang bertahap untuk dilaksanakan yaitu,
1.     Untuk tidak menyekutukan Allah SWT.
2.     Untuk berbuat baik kepada orang tua dan bersyukur kepada Allah dan kepada kedua orang tua.
3.     Berbuat kebaikan walaupun hanya sedikit, karena Allah akan membalas dari apa yang diperbuat  
4.     Untuk mendirikan sholat, berbuat kebaikan dan mencegah perbuatan mungkar, dan bersabar atas segala yang menimpa
5.     Untuk tidak sombong dan angkuh
6.     Untuk hidup sederhana dan jaga lisan

     Nasihat di atas adalah bagaimana pengelolaan pendidikan terhadap anak dengan mengajarkan beberapa pendidikan yang penting sebelum terjun ke masyarakat luas. dan pendidikan ini di lakukan di lingkungan keluarga/rumah oleh orang tua seperti, maka peran orang sangatlah signifikan terhadap anak dengan mengajarkan pendidikan yang bermanfaat untuk bekal kelak ketika dewasa:
·       Mengajarkan terlebih dahulu pendidikan Tauhiid karena itu adalah hakikat manusia untuk mengenal Allah SWT sebagai pencipta dengan tidak menyekutukanNya. Ilmu Tauhid adalah ilmu mendasar yang harus diajarkan orantua kepada anaknya sebelum mengajarkan ilmu-ilmu lainnya
·       Mengajarkan pendidikan akhlaq yaitu dengan berbuat baik kepada orang tua sebagai rasa syukur kepada Allah dan orang tua yang telah melahirkan dan mendidik sehingga bisa mengenal Allah.
·       Mengajarkan Pendidikan sosial/muamalah yaitu dengan berbuat baik kepada orang lain, saling tolong menolong antar sesama. Pendidikan ini adalah pendidikan tentang pergaulan dengan cangkupannya lebih luas yaitu masyarakat.
·       Mangajarkan pendidikan Fiqih/peribadahan yaitu ibadah yang pertama di sebutkan dalam nasihat Lukman kepada anaknya adalah mendirikan Sholat. Tidak dipungkiri sholat adalah ibadah yang wajib dilaksanakan sebagai penyembahan kepada Allah SWT. Karena dengan melaksanakan sholat akan tercegah dari perbuatan keji dan mungkar
·       Mengajarkan kehidupan yang sederhana dan tidak sombong atau angkuh. Inilah nasihat yang terakhir di sampaikan untuk bekal ketika orang sudah sukses dalam kehidupannya (harta, ilmu, pendidikan sudah tercapai) untuk tidak ada sedikit rasa ujub atau merasa diri paling benar diantara yang lainnya.  
 Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen pendidikan Islam tentang peran orang tua terhadap anak sudah disampaikan oleh orang Sholeh terdahulu yang di abadikan di dalam Al-Quran yaitu Lukmanul Hakim kepada anaknya. Nasihat ini juga adalah peran pengelolaan pendidikan orang tua terhadap anaknya di lingkungan keluarga/rumah sehingga ketika dewasa anak akan tumbuh sebagai anak yang sholeh yaitu menghambakan dirinya hanya kepada Allah, berbakti kepada orang tua dan berbuat baik kepada sesama makhluk ciptaan Allah.