Kamis, 14 April 2016

PILAR PERADABAN PEMIKIRAN ISLAM

PILAR PERADABAN PEMIKIRAN ISLAM

Oleh : Mujiatun Ridawati, MSI.



I. PENDAHULUAN

Perkembangan sejarah pemikiran keislaman di Indonesia memiliki mata -rantai yang cukup panjang dan berliku, sejarah Islam di perairan Nusantara ini tidak serta merta hadir dan berproses begitu saja, akan tetapi memiliki kompleksitas persoalan. Selanjutnya hal tersebut dapat teratasi oleh strategi dakwah kebudayaan yang diusung oleh pembawa risalah kenabian, yakni para ulama penyebar Islam. Islam hadir membawa wajah baru bagi tatanan  sosial masyarakat di belahan bumi manapun, termasuk pula di Indonesia, ia harus berbenturan dengan realitas sosial, budaya, tatanan politik, tradisi keagamaan yang sama sekali baru. Dengan demikian, pada gilirannya Islam harus pula tampil adaptif terhadap realitas yang dijumpainya.

Pemikiran keislaman lahir dari realitas sosial yang dijumpainya, respon Islam terhadap umat manusia itulah yang pada gilirannya terekam menjadi pemikiran yang terus bergulir bak cendawan di musim hujan. Banyaknya pemikiran keislaman seiring dengan banyaknya persoalan yang dihadapi, dan tentunya sebanyak jumlah pemikir itu pula, oleh karena itu, pluralitas pemikiran keislaman, patut pula direspon karena merupakan kekayaan yang penting bagi kebaikan umat

II. Pemikiran Islam Kontemporer Bidang Sosial Keagamaan

Realitas umat Islam di Indonesia menunjukan kemajemukan, baik dalam paham keagamaan maupun dalam sosial keagamaan, kemjemukan ini sejalan dengan kemjemukan masyarakat Indonesia itu sendiri, atas dasar suku bangsa, bahasa, agama. Segmentasi umat Islam di Indonesia antara lain mempunyai dimensi yang bersifat kultural, artinya, keragaman kelompok umat Islam mempunyai latar belakang budaya keagamaan (religio-kultural) yang relatif berbeda, sejalan dengan perbedaan latar belakang budaya kemasyarakatan (sosio-kultural) mereka.

Pengaruh latar belakang budaya lokal seperti  dimaksud dapat diamati umpamanya pada kecenderungan masing-masing pendiri NU dan Muhammadiyah as.KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU yang hidup di lingkungan budaya santri yang kuat di Jombang, menawarkan model pendekatan terhadap Islamisasi yang dapat disebut santrinisasi santri. Sementara itu, KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, yang hidup di lingukungan  budaya priyayi di Kauman Yogyakarta, menawarkan model pendekatan yang  dapat disebut santrinisasi priyayi atau priyayisasi santri.

Pembahasan tentang pemikiran sosial keagamaan baik Muhammadiyah dan NU telah banyak ditelaah dan dipublikasikan, tetapi munculnya pemikiran Islam di Indonesia yang dikembangkan oleh individu pasca Muhammadiyah dan NU belum dipetakan. Oleh karena itu, penting dideskripsikn tentang pemikiran Islam individu dan bagaimana wujud pemikiran itu telah dituangkan oleh tokoh-tokohnya. Untuk memudahkan kita memasuki pembicaraan ini, kiranya penggambaran di bawah ini dirasa dapat membantu.

A. Islam Rasional

Para pemikir Islam rasional antara lain seperti Harun Nasution, mempunyai pikiran-pikiran keagamaan yang terfokus pada kenyataan bahwa al-Qur’an tidak memberikan panduan-panduan kehidupan secara detail. Karenanya ijtihad menjadi sangat penting maknanya sebagai mekanisme untuk melakukan interpretasi atau reaktualisasi atas doktrin ajaran Islam.

Dalam hal ini, kaum muslim perlu untuk mempertimbangkan pentingnya aspek-aspek lokal, kontekstual dan temporal dalam pengembangan pemikirannya. Dengan demikian, kehidupan keagamaan komunitas muslim di Indonesia tidak akan tercabut dari nilai-nilai budaya mereka sendiri.    

B. Islam Saintifik

Disiplin perbandingan agama dan sosiologi merupakan dasar dari pemikiran ini, salah-satu tokoh dari pemikiran ini adalah A. Mukti Ali di  IAIN Yogyakarta beliau melontarkan ide tentang perlunya merumuskan penelitian agama yang menggambungkan kekuatan dan kelemahan antara tradisi penelitian ilmu-ilmu sosial dan humanistik. Menurutnya, perlu ada pembaruan metodologi dalam penelitian agama, karena agama tidak hanya harus dilihat sebagai realitas sosial, tetapi juga merupakan ungkapan iman atau batin seseorang. Oleh sebab itu, gejala agama harus dilihat dari pendekatan from within tidak sekedar eksternalistis.

 C. Islam Kritis

 M. Rasjidi melalui sumbangan pemikirannya adalah peranannya yang cukup penting sebagai “korektor” yang kukuh dalam mengawal “keselamatan Islam”. Islam sering diguncang, oleh sebab isu pembaruan atau jika ada kekuatan di luar Islam yang mengancam. Oleh sebab itu, tidak heran jika reaksinya selalu muncul di sepanjang munculnya pembaruan Islam, mulai dari soal Nasution, Mukti Ali, Nurcholish Madjid sampai catatan pemikiran Ahmad Wahib, yang dianggap menyeleweng karena diracuni pandangan-pandangan Barat. Selain itu juga, Rasjidi memberikan reaksi jika ada pihak-pihak dari luar Islam yang dianggap coba mengancam “kepentingan Islam” dalam proses pembentukan bangsa dan negara.

D. Islam Desakralisasi

Beberapa ide dasar sebanding dengan apa yang dikemukakan Soekarno pada tahun 1980-an, yaitu tentang pentingnya masyarakat Islam untuk “memudahkan” pengertian Islam dan menemukan “api Islam”. Golongan ini berpendapat  bahwa interpretasi terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah, dua sumber utama Islam, bisa berbeda dan berubah, sebanding dengan apa yang pernah dilakukan oleh para pembaru dan pemikir muslim, mereka ingin mendorong mendorong masyarakat Islam untuk memikirkan kembali pemahaman dan interpretasi mereka terhadap Islam.

E. Islam Pribumisasi

Dalam konteks pembaruan pemikiran keagamaan muslim di Indonesia, Abdurrahman Wahid muncul dengan gagasannya tentang Islam sebagai faktor komplementer kehidupn sosial-budaya, dan politik Indonesia; dengan “pribumisasi” Islam. Gagasannya yang pertama mengajak komunitas Islam untuk tidak memperlakukan Islam sebagai sebuah ideologi alternatif . Dalam pandagannya, sebagai komponen utama dalam struktur sosial masyarakat Indonesia, Islam hendaknya tidak diletakkan secara berhadap-hadapan dengan komponen-komponen lain.

F. Islam Peradaban

Menurut Fazlur Rahman, watak artifisial, bangunan intelektual ilmiah Islam kalsik yang mengambil konstruksi teoritis sebagai isi utamanya dari gagasan Hellenisme, seperti misalnya al-Ghazali dan Ibn-Taymiyah. Intelektualitas mereka terpenggal, karena perlakuan yang sepotong-potong, ad hoc, dan seringkali sangat ekstrinsik terhadap al-Qur’an. Keadaan ini terus berlanjut hingga masa modern saat ini.

Menurut Rahman ada dua tipe cendikiawan muslim dalam merespons modernitas. Di satu sisi mereka melakukan pengapdosian gagasan-gagasan kunci Barat dan pranata-pranatanya yang dibela mati-matian, dan sebagian lagi diberi pembenaran dengan kutipan al-Qur’an. Sementara kelompok yang lain menolak mentah-mentah modernitas dan mengajukan alternatif apologetis, berdasarkan pemahaman al-Qur’an secara literal.

G. Islam Reaktualisasi

Munawir Sjadzali mengemukakan perlunya pemikir muslim melakukan ijtihad secara jujur, agar Islam terasa reponsif terhadap keperluan-keperluan rill masyarakat. Perhatian Sjadzali lebih banyak difokuskan pada masalah bagaimana memahami syariat Islam dalam konteks keadilan yang empiris, selain itu juga Sjadzali mengajukan sebuah ukuran-ukuran yang tepat untuk memahami ajaran Islam. Percaya akan dinamika dan vitalitas hukum Islam, ia  berpendapat bahwa para pemikir muslim harus berani melakukan proses reaktualisasi ajaran Islam agar artikulasi keislaman kita lebih sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia.

H. Islam Transformatif

Obsesi Islam transformatif adalah memberi kritik terhadap teologi Islam rasional dan Islam peradaban, dari kritik tersebut, mereka pun berusaha membangun suatu  bentuk Islam alternatif. Titik tolak mereka sangat jelas yaitu ingin menganalisis penyebab keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia, dari sudut pandang struktural (faktor eksternal).

Kritik Islam transformatif adalah bahwa keterbelakangan bukan disebabkan oleh faktor-faktor teologis, budaya atau mentalitas, tapi karena ketidakadilan hubungan antara dunia maju dan dunia ketiga, yang berwatak imperialisme. Pada tingkat lokal terjadi hubungan dan cara produksi yang menghisap. Tokoh muslim Indonesia yang menggagas Islam transformatif antara lain Moeslim Abdoerrahman dan Mansur Faqih.

I. Islam Integralis

Islam integralis adalah pandangan para tokoh ilmuwan muslim Indonesia yang menyatakan bahwa terdapat kesesuaian dengan Islam, terutama ayat-ayat al-Qur’an dengan temuan Ilmu pengetahuan kontemporer. Para tokoh Islam integralis ini berpendirian bahwa pandangan mutakhir tentang alam semesta yang memuai telah diisyaratkan dalam al-Qur’an. Tokoh-tokoh yang menonjol dari Islam integralis adalah antara lain Abdul Kahar Muzakkir, Ahmad Baiquni yang menulis Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, Hidajat Nataatmadja, Armahedi Mahzar, Imaduddin Abdul Rahim, Syahirul Alim, dan lain-lain.

J. Islam Substantif

Islam substantif memberikan pemahaman  bahwa pemikiran Islam di Indonesia dalam arti formalisme sudah tidak laku. Pada umumnya, masyarakat lebih memilih Islam substantif, jadi apabila Islam mau berperan dalam segala aspek kehidupan di Indonesia, perannya adalah peran substantif, yaitu mengembangkan pesan-pesan moral dengan tema-tema sentral seperti keadilan dan egalitarianisme, bukan menonjolkan simbol. Pemikiran inilah yang ditawarkan para cendikiawan terkenal yang menekuni sejarah bukan dalam arti belajar konvensional (old history), melainkan lebih pada critical and interpretative history atau dalam istilah yang lebih popular disebut ” sosial history” atau sejarah sosial.

K. Islam Kultural Dinamis-Dialogis

Islam kultural dinamis menawarkan pemikiran tentangbagaimanakah cara yang ‘obyektif’ unutk membaca dan memaknai teks dan tradisi keagamaan? Haruskah modernitas  dinilai oleh tradisi atau, sebaliknya, tradisi yang diukur oleh modernitas?”. Salah satu pemikir Islamkultur dinamis adalah M.Amin Abdullah.

Membaca dan memaknai teks keagamaan pada zaman modern adalah satu di antara sekian problem yang dicoba diangkat oleh tokoh pemikir ini. Di pihak lain, dalam upaya memecahkan problem tersebut, menurut pemikiran tokoh ini, dapat ditemukan pelbagai refleksi dalam membangun teoritisasi atas fenomena gerakan pembaruan pemikiran keislaman yang di dalamnya terjadi tarik-menarik antara dua kutub: modern versus tradisi.

L. Islam Eksklusif

Islam eksklusif merupakan sikap yang memandang bahwa keyakinan, pandangan, pikiran, dan prinsip diri sendirilah yang paling benar semntara keyakinan, pandangan, pikiran, dan prinsip yang dianut oang lain salah, sesat dan harus dijauhi. Baik bersifat ke luar terhadap agama lain maupun ke dalam yaitu dalam Islam sendiri melalui berbagai bidang, baik fiqih, teologi, ataupun tasawuf. Anggapan yang dibangun, bahwa mahzab atau alirannyalah yang paling benar, sedangkan yang lainnya yang paling benar, sedangkan yang lainnya salah dan bahkan dinilai sesat.

M. Islam Inklusif-Pluralis

Islam Inklusif-Pluralis adalah paham keberagaman yang didasarkan pada pandangan bahwa gama-agama lain yang ada di dunia ini sebagai yang mengandung kebenaran dan dapat memberikan manfaat serta keselamatan bagi penganutnya. Di samping itu, ia tidak semata-mata menunjukkan pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, melainkan keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pemikiran Alwi Shihab mengenai pergeseran agama-agama keparadigma inklusif dan respon Islam dalam menghadapinya. Alwi adalah tokoh dan wakil muslim Indonesia yang paling tepat untuk berbicara mengenai soal ini.

N. Islam Humanis

Islam humanis adalah paham keislaman dengan cara melakukan inisiasi, apresiasi, elaborasi, dan pengembangan berbagai kegiatan yang mengarah pada upaya penampilan Islam yang lebih berpihak kepada pemberdayaan manusia dan masyarakat melalui pendekatan keilmuan.

Wacana dan upaya untuk menampilkan Islam humanis yang dikemukakan di atas dapat dilihat dengan fenomena dan orientasi keislaman yang sedang digulirkan oleh civitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Salah-satu indikasi bahwa perguruan Tinggi Islam tertua ini mengusung Islam humanis adalah digulirkannya visi rahmatan lil ‘alamin (kebaikan untuk semua).

O. Islam Liberal

Tokoh-tokoh seperti Ahmad wahib maupun Nurcholish Madjid sudah sejak tahun tujuh puluhan menjadi lokomotif pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Hanya saja kemunculan gagasan atau pemikiran Ulil Abshar Abdallah tampaknya memang bertepatan dengan situasi dalam negeri pada akhir-akhir ini yang belum reda dengan isu-isu global di seputar Islam dan Barat, sehingga seolah-olah pikiran itu keluar dari konspirasi pihak-pihak tertentu untuk menjatuhkan Islam.

Gagasan atau pikiran-pikiran Abdallah sejatinya hanya sekedar contoh dari suara sebagian anak muda cerdas yang jenuh dengan situasi kekinian di mana agama (Islam) tidak mampu lagi ditangkap elan vitalnya oleh masyarakat. Anak-anak muda itu dalam setiap kesempatan senantiasa berpikir bagaimana agar ajaran agama mampu memberikan tuntutan dalam kehidupan yang senantiasa berubah. Bagaimana agama dapat dipahami sedemikian rupa, sehingga ajaran-ajarannya senantiasa memberikan pencerahan kepada masyarakat. Bagaimana doktrin-doktrin Islam dapat diterima dalam alam kehidupan yang sudah sangat berbeda dengan masa di mana Islam pertama kali diturunkan.

P. Islamisasi Ekonomi

Pemikiran ekonomi Islam di Indonesia sejak akhir 1980-an sampai sekarang semakin mengemuka. Sebagai indikator sederhana dapat dibuktikan dengan semakin bertambahnya lembaga-lembaga keuangan yang mengidentifikasikan dirinya sebagai lembaga keuangan yang berdasarkan syari’ah Islam. Indikasi lainnya adalah munculnya lembaga-                                              lembaga pendidikan yang berkonsentrasi pada ekonomi Islam seperti UIN, IAIN, STAIN baik itu negeri maupun swasta.

Tokoh-tokoh yang mempunyai perhatian pada pengembangan pemikiran ekonomi Islam sejak lama, antara lain: A.M. Saifuddin, M. Dawan Rahardjo, Muhammad Syafi’i Antonio, Karnaen Perwataajmadja, Muhammad Akhyar Adnan, Iwan Triyuwono, Adiwarman A. Karim, Suroso Imam Zadjuli, Muhammad, dan lain-lain.

II. Pemikiran Islam Kontemporer Bidang Sosial Politik

Pengantar

Dunia islam mengalami kesulitan dalam menciptakan sintesa yang harmonis antara Islam dan politik, terutama sejak pudarnya kolonialisme Barat pada pertengahan abad XX. Di  Indonesia, hubungan antara Islam dan Negara (politik) tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh kawasan dunia muslim lainnya, seperti Turki, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia, Aljazair, Baghdad dan sebagainya. Di wilayah-wilayah itu, hubungan antara Islam dan negara ditandai dengan ketegangan politik, kalau bukan permusuhan.

Di sisi lain mereka juga menolak cita-cita ideologi dan politik Islam, misalnya, Islam sebagai dasar negara, dan lain sebagainya, sebagaimana yang dipersepsi oleh mereka yang bergabung dengan partai-partai Islam, misalnya Masyumi, Perti, PSII, dan lain-lainnya. Salah satu isu dan perdebatan tentang dasar negara dan penerapan syari’at mengenai penghapusan “tujuh kata” dalam piagam Jakarta yang disusun oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 22 Juni 1945.

Perjuangan  umat Islam Indonesia untuk meraih kemerdekaan ternyata harus pula diikuti dengan kerelaanya untuk tidak memaksakan diri menjadikan syariah Islam sebagai dasar negara. Hal tersebut tercermin dalam keputusan untuk menghilangkan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta. Sikap tersebut terinspirasi dari kaidah fiqih untuk mengedepankan kebaikan bagi khalayak banyak (bangsa Indonesia) dari kepentingan kelompok (Islam): “sesuatu yang tidak dicapai seluruhnya tidak dapat ditinggalkan” dan kemashlahatan umum ditegakkan daripada kepentingan kelompok”.

Masyumi, Pemilu 1955, dan Pendukung Negara Islam

Tujuan jangka panjang didirikannya paartai Masyumi, dalam Anggaran Dasar Masyumi ditegaskan secara jelas, bahwa : “Tujuan partai ialah terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat, dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi (Pimpinan Masyumi Bagian Keuangan, 1995: 6 artikel : 3). Masyumi sebagai satu-satunya partai politik Islam, dalam perkembangan sejarah tahun-tahun berikutnya tidak bertahan lama. Pada bulan Juli 1947, unsur PSSI meninggalkan Masyumi dan menyatakan dirinya kembali kepartai independen. Pada tahun 1952 NU mengikuti jejak PSII meninggalkan Masyumi dan mengubah dirinya dari gerakan sosial-keagamaan menjadi partai politik yang berdiri sendiri.

Tokoh politik yang mendukung negara Islam atau negara berdasarkan Islam, salah-satu tokohnya adalah Muhammad Natsir, natsir mempertegas kembali dan menjelaskan lebih lanjut pendiriannya tentang hubungan Islam dengan negara di Indonesia di mana umat Islam merupakan pemeluk mayoritas. Dalam pidatonya berjudul Islam sebagai dasar negara, Natsir berdalil bahwa untuk dasar negara, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu sekularisme (la diniyah), atau paham agama (din). Pancasila menurut pendapatnya bercorak la diniyah karena itu ia sekuler, tidak mau mengakui wahyu sebagai sumbernya, pancasila adalah hasil penggalian dari masyarakat

III. Pembaruan Pemikiran Politik

A. Teologi Politik

Mengamati diskursus intelektual pemikiran politik Islam Indonesia, khususnya yang menyangkut hubungan antara Islam dan negara, para pendukung gerakan baru ini sampai pada kesimpulan bahwa persoalan yang dihadapi berhubungan erat dengan, kalau tidak malah berakar pada, dasar-dasar keagamaan/teologis (religious/theological) politik Islam. Dalam pendangan mereka, dasar-dasar keagamaan ini yang sebenarnya merupakan produk pemahaman masyarakat Islam atas doktrin agamanya, mempengaruhi dan membentuk pemikiran dan tingkah laku politik Islam.

Di  Yogyakarta tempat HMI didirikan pada 1947, pemburuan keagamaan subur di kalangan tokoh muda Islam seperti Djohan Effendi, Manshur Hamid, Ahmad Wahib, dan M. Dawam Rahardjo. Selain aktif di HMI, mereka adalah peserta tetap kelompok diskusi Limited Group (1967-1971), di bawah asuhan Mukti Ali (Ali, 1981 : vii). Melalui diskusi-diskusi yang intens, baik dalam lingkungan HMI ataupun Limited Group, mereka sampai pada kesimpulan penting yaitu: pertama, dalam pandangan mereka tidak ada bukti jelas bahwa al-Qur’an dan Sunnah mengharuskan muslim untuk mendirikan negara Islam, Kedua, mereka mengakui bahwa Islam memiliki seperangkat nilai-nilai etis tau prinsip-prinsip sosial-politik, ketiga, karena Islam itu bersifat Islam permanen dan universal, penafsiran atas doktrin Islam tidak dapat dibatasi hanya pada tataran formal dan legal, keempat, mereka percaya hanya Allah yang memiliki kebenaran absolut dan pemahaman orang atas doktrin Islam bersifat relatif.

B. Birokrasi

Para pendukung gagasan pembaruan pemikiran politik atau birokrasi, pada umumnya terdiri dari orang-orang yang terlibat dalam pembaruan pemikiran politik atau birokrasi. Mereka percaya, bahwa ketegangan hubungan antara Islam dan negara akan memudar jika para pemikir dan aktivis muslim melibatkan diri dan berpartisipasi dalam proses kehidupan politik dan birokrasi negara.

Namun demikian, kendati titik tekan pemikiran dan aktivismemereka adalah pembaruan politik atau birokrasi, beberapa ide dasar mereka diwarnai oleh nuansa-nuansa teologis-politis yaitu: pertama, kalangan pembaru di bidang politik/birokrasi ini berpendapat bahwa Islam tidak seharusnya diposisikan secara antagonis dalam hubungannya dengan negara, kedua, sepanjang sejarah politik Islam, para pemimpin dan aktivis politik Islam belum dapat membangun sebuah tradisi suatu pemerintahan yang kuat, ketiga, pendekatan ini dinilai efektif untuk mengembalikan harga diri politik komunitas muslim, yang senang diperlakukan sebagai “minoritas” atau “kalangan luar” dalam percaturan dan proses politik di Indonesia.

C. Transformasi Sosial  

Dilihat dari perspektif rekonsiliasi Islam-negara, aliran pemikiran transformasi sosial ini paling kompleks untuk dideskripsikan. kompleksitas itu terletak pada pilihan agenda yang populis dan berorientasi pada masyarakat yaitu nada politiknya mengarah pada terbentuknya yang kuat dalam hubugannya dengan negara.

Pada tahun 1980-an, sikap kritis sebagian pendukungnya nampak dalam referensi mereka untuk melihat kebijakan ekonomi Orde Baru dalam kerangka teori dependensia. Diantara ide-ide dasar mahzab transformasi sosial dengan usaha untuk menciptakan hubungan antara Islam dan negara yang harmonis dan integratif terletak pada beberapa proposisi berikut, pertama, perhatian utama aliran transformasi sosial adalah berkembangnya suatu masyarakat yang egaliter dan emansipatif, kedua, di bawah pemerintahan Orde Baru, negara telah menjadi semakin kuat, tidak seperti masa Orde Lama, dalam masa Orde Baru negara telah mampu melakukan penetrasi ke dalam masyarakat, mengatur hubungan dengan kekuatan-kekuatan sosial politik yang ada, menggunakan dan menyediakan sumber-sumber daya yang ada.

IV. Pemikiran sosial politik tokoh-tokoh umat Islam Indonesia, dapat dikategorikan dalam uraian berikut ini:

A. Neo-Modernisme

Pola pemikiran ini mempunyai asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam pergulatan-pergulatan modernisme, bahkan kalau mungkin, sebagaimana mereka juga cita-citakan, Islam akan menjadi leading-ism (ajaran-ajaran yang memimpin) di masa depan. Tetapi, pengejaran untuk mencapai tujuan itu mesti menghilangkan tradisi keislaman yang telah mapan, hal ini melahirkan postulat (dalil) al-muhafazah ‘ala al-qadim al-salih wa’I-akhz bi’I-jadid al-aslah (memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik).

B. Sosialisme-Demokrasi

Pola pemikiran ini berpendapat bahwa, pada dasarnya misi Islam yang terutama adalah misi keislaman dan kehadiran Islam harus memberikan makna kepada manusia. Untuk mencapai tujuan itu, Islam harus menjadi kekuatan yang mampu memotivasikan secara terus menerus dan mentransformasikan masyarakat dengan berbagai aspeknya. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa transformasi pertama bukanlah aspek teologi Islam, melainkan masyarakat nasional secara keseluruhan dan bukan hanya masyarakat Islam. Adi Sasono dan M. Dawam Rahardjo, dan juga Dr. Kuntowijoyo bisa dimasukkan dalam pola pemikiran ini.

C. Internasionalisme atau Universalisme Islam

Pendukung universalisme Islam berpendapat bahwa, pada dasarnya Islam bersifat universal dan merupakan diktum yang tetap. Dalam konteks nasionalisme, mereka berpendapat bahwa nasionalisme adalah sesuatu yang harus ditegakkan dalam Islam Ajaran-ajarannya sendiri mendorong penganutnya untuk menjadi nasionalitis.

Pada dasarnya, mereka tidak mengenal dikotomi antara nasionalisme dan Islamisme keduanya saling menunjang. Masalahnya terletak pemribumian Islam dan ini bisa menyebabkan fundamental terhadap hakikat Islam yang bersifat universal itu. Pola pemikiran ini, walaupun samar-samar, terlihat dalam pemikiran Jalaludin Rahmat, M. Amin Rais, AM. Syaifuddin, Endang Saefudin, Anshari, dan mungkin di lowa Universty, Amerika Serikat.

D. Modernisme

Pola pemikiran ini lebih menekenkan aspek rasional dan pembaruan pemikiran Islam sesuai dengan kondisi-kondisi modern. Dalam hubungan ini, tradisi pemikiran lampau yang merupakan hasil interpretasi ulama-ulama dan telah terlembagakan secara mapan namun dianggap tidak sesuai dengan modernisme, tidak perlu dipertahankan lagi.

Dengan demikian, ada kesan puritanisme. Meskipun demikian, pendukung pola pemikiran ini tetap melihat secara kritis pemikiran para pendukung modernisme. Ahmad Syafi’i Maarif, walau berguru dengan orang yang sama dengan Nurcholish Madjid misalnya, justru melihat secara kritis pemikiran-pemikiran kaum Masyumi dalam perdebatan-perdebatan di konstituante. Bersama-sama Ahmad Syafi’i Maarif, Djohan Efendi termasuk pendukung pola modernisme ini.

Kesimpulan

Dari reviu ini penulis dapat menarik kesimpulan, munculnya multitafsir, selain dilandasi oleh semangat teologis dan tafsir agama juga sebagai respons terhadap perubahan sosial. Pluralitas pemahaman keagamaan meruapakan sunnatullah yang tidak mungkin terbantahkan dan mustahil pula untuk dilawan dan dihindari. Apa yang bisa dilakukan terhadapnya adalah menghargai, mengakui, dan mensyukuri.

Perkembangan dan masa depan pemikiran dan praktik politk Islam Indonesia pasca Orde Baru akan membawa kepada berbagai implikasi. Khususnya bagi perkembangan diskursus pemikiran dan praktik politik Islam itu sendiri. Untuk itu para pemikir dan aktivis politik Islam perlu mereformalisikan dasar-dasar keagamaan ke dalam bidang politik secara cerdas; mendefinisi ulang cita-cita politik; dan merumuskan kembali strategi perjuangan politik Islam.

Data diambil dari buku Aden Wijdan SZ. Dkk. Agustus Tahun 2007, Pemikiran dan Peradaban Islam, Cetakan I, Saftiria Insania Press dan Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia (PSI UII)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar