Rabu, 16 September 2015

Khawarij, Sejarah dan Konsep Theologi

Khawarij, Sejarah dan Konsep Theologi
Chamim Tohari, M. Sy.

A. Latar Belakang
khawarijSebuah aliran teologi yang pertama muncul dalam sejarah pemikiran Islam adalah aliran khawarij. Kemunculan khawarij dilatarbelakangi oleh faktor politik, teologi dan sosial dimana mereka berasal. Kelompok teologi ini dalam sejarah Islam dikenal sebagai kelompok yang keras, kejam dan tidak segan-segan mengalirkan darah sesama muslim. Berbagai pandangan negatif dilontarkan berbagai pihak kepada kelompok ini, seolah-olah khawarij adalah musuh Islam. Dan yang lebih mengenaskan lagi, pada masa dinasti Umayyah kelompok ini dibabat habis hingga tidak ada lagi penerusnya. Namun hal ini mereka (kaum khawarij) lakukan bukan tanpa alasan, mereka menganggap apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang mulia berdasarkan pemahaman mereka yang simple terhadap wahyu Allah. Sehingga mereka tidak pernah menyesali kekejaman yang mereka terus-menerus kerjakan. Namun, inilah yang terjadi dalam sejarah.
Maka dari itu, makalah ini bermaksud mendiskusikan tentang asal-usul kemunculan aliran ini, doktrin-doktrin yang mereka ajarkan, perkembangan pemikirannya, terutama tentang pendapat mereka mengenai pelaku dosa besar, iman dan kufur.  Serta yang terakhir penulis mengajak untuk mendiskusikan mengenai beberapa aspek dari kelompok ini yang harus dikritisi atau dibela sebagai suatu kelompok manusia yang mencintai agama Allah swt.
B. Sejarah Munculnya Khawarij
Secara etimologis, kata khawarij berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja, yang artinya keluar, muncul, timbul, atau memberontak.[1] Hal inilah yang mendasari Syarastani mengatakan bahwa khawarij adalah pemberontak imam yang sah. Menurut Syarastani, yang disebut khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang haq dan telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar pada masa sahabat Khulafa’ur Rasyidin maupun pada masa Tabi’in[2] sementara Harun Nasution mengatakan bahwa nama khawarij diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali. Berdasarkan etimologi ini pula, khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat Islam.[3]
Secara terminologi, khawarij adalah suatu sekte atau aliran pengikut Ali bin Ai Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan mereka terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim) dalam Perang Siffin pada tahun 37 H/648 M, dengan kelompok pemberontak Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah.[4] Kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak yang benarkarena Ali merupakan khalifah yang sah, yang telah dibai’at mayoritas umat Islam, sementara Muawiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah. Lagi pula berdasarkan estimasi khawarij, pihak Ali hampir memperoleh kemenangan pada peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya licik ajakan damai Muawiyah, kemenangan yang hampir diraihnya menjadi raib.
Setelah menerima ajakan damai, Ali mengirimkan Abu Hasan Al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah. Keputusan tahkim adalah Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah, dan mengangkat Muawiyah sebagai khalifah pengganti Ali. Keputusan ini sangat mengecewakan kaum khawarij. Mereka membelot dengan mengatakan,”Mengapa kalian berhukum kepada manusia, tidak ada hukum selain hukum yang ada di sisi Allah.” Imam Ali menjawab,”Itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan dengan keliru.” Pada saat itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Harura. Itulah sebabnya khawarij disebut juga dengan nama Hururiyah.[5]
Dengan arahan Abdullah Al-Kiwa, mereka sampai di Harura. Disana kelompok khawarij ini melanjutkan perlawanan kepada Ali dan Muawiyah. Mereka mengangkat seorang pemimpin yang bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.[6]
Kaum khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Baduwi. Kehidupannya di padang pasir yang serba tandus, menyebabkan mereka bersikap sederhana baik dalam cara hidup maupun pemikiran. Namun mereka keras hati, berani, bersikap merdeka, tidak bergantung dengan orang lain dan bersikap radikal. Ajaran agama tidak mampu merubah sifat-sifat Baduwi yang mereka miliki. Mereka tetap bersikap bengis, suka kekerasan dan tidak takut mati. Karena kehidupannya sebagai Baduwi menyebabkan mereka jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran Islam yang mereka dapat dari al-Qur’an dan Hadis mereka pahami secara literal serta harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dalam paham mereka bercorak sederhana, sempit, fanatik dan ekstrim. Iman yang tebal tetapi sempit, ditambah dengan sikap fanatik, membuat mereka tidak dapat mentolelir penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka. Disinilah letak penjelasan mengapa mereka mudah terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil, serta dapat pula dimengerti mengapa mereka terus-menerus mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam yang ada di zamannya.[7]
C. Aliran-aliran Khawarij
Golongan-golongan khawarij yang terbesar menurut Syarastani ada delapan, yaitu: al-Muhakkimah, al-Azariyah, al-Najdat, al-Baihasyiyah, al-Ajaridah, al-Sa’labiyah, al-Ibadiyah dan al-Sufriyah. Selain itu terdapat sisanya yang merupakan cabang dari yang pokok, sehingga kalau dijumlahkan seluruhnya dapat mencapai delapan belas sekte.[8] Penulis tidak akan membahas secara keseluruhan tiap-tiap sekte tersebut, tetapi hanya beberapa saja yang paling terkemuka, yaitu:[9]
1. Azariqah
Kelompok Azariqah dipimpin oleh Nafi’ bin Aztaq yang berasal dari Bani Hanifah. Mereka merupakan pendukung terkuat madzhab khawarij yang paling banyak anggotanya dan paling terkemuka di antara semua aliran madzhab ini.merekalah yang pertama melakukan serangan terhadap pasukan Ibnu Zubair dan pasukan Umayyah. Khawarij dibawah komando Nafi’ berperang melawan keduanya selama sembilan belas tahun. Nafi’ sendiri terbunuh dalam pertempuran. Kemudian kedudukannya digantikan oleh Nafi’ bin Abdullah dan Qatri bin al-Fuja’ah. Namun akhirnya Al-Mihlab dan para pasukan Muawiyah berhasil menguasai mereka karena kekacauan yang terjadi di antara mereka, sampai akhirnya mereka semua habis ditumpas.
2. Najdah
Aliran ini dipimpin oleh Najdah bin Uwaimir yang berasal dari Bni Hudzaifah. Pada mulanya pengikut Najdah berada di Yamamah, bersama dengan Abu Thalut al-Khariji, tetapi kemudian mereka meninggalkannya dan memba’iat Najdah menjadi pemimpin baru pada tahun 66 H. mereka kemudian berkembang sehingga menguasai daerah-daerah Bahrain, Hadramaut, Thaif dan Yaman. Setelah itu, sebagaimana telah menjadi watak mereka, terjadi lagi perselisihan untuk kedua kalinya, sehingga mereka menjadi terpecah-pecah. Karena perpecahan di antara mereka semakin tajam dan tidak dapat dipertemukan lagi, beberapa kelompok kemudian memisahkan diri dan tidak mengakui kepemimpinan Najdah.
3. Shafriyah
Penganut aliran ini adalah Ziyad in al-Asfar. Pandangan mereka lebih lunak daripada pandangan aliran Azariqah, tetapi lebih ekstrim dibanding dengan aliran khawarij lainnya. Namun mereka mempunyai ajaran yang mulia, seperti larangan mereka untuk memerangi kaum muslimin, wilayah orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka bukan wilayah perang, tidak boleh melecehkan wanita dan anak-anak, serta tidak boleh memerangi seseorang kecuali tentara pemerintah.
4. Ajariyah
Pemimpinnya bernama Abdul Karim bin Ajrad, salah seorang pengikut Athiyyah bin Aswad al-Hanafi yang keluar dari aliran Najdah bersama beberapa pengikutnya dan pergi ke Sijistan. Karena mereka merupakan pecahan dari aliran Najdah, maka banyak paham mereka yang memiliki kesamaan dengan paham Najdah. Sebenarnya perbedaan pendapat di antara mereka hanya menyangkut masalah kecil dan seringkali tidak ada kaitannya dengan masalah politik, namun hal itu dapat melahirkan sub-sub kelompok baru yang berdiri sendiri.
5. Ibadhiyah
Pemimpin aliran ini adalah Abdullah bin Ibadh. Mereka adalah pengikut khawarij yang paling moderat dan luwes, serta paling dekat dengan paham Sunni.oleh sebab itu aliran ini masih tetap bertahan hingga kini. Mereka memiliki fiqih yang baik dan ulama yang cerdas. Beberapa kelompok dari aliran ini berdiam di daerah Sahara barat yang subur, sedangkan yang lainnya menetap di Zanzibar.
6. Aliran-aliran Khawarij yang Dipandang Keluar dari Islam
Madzhab khawarij telah tumbuh dan berkembang dengan cara yang keras dan ekstrim dalam memahami Islam. Hal itu disebabkan keinginan mereka yang kuat agar kebaikan dapat terlaksana, baik oleh diri mereka sendiri maupun dengan mengajak orang lain untuk turut bersama mereka. Orang yang beriman secara benar tidak akan dapat mengkafirkan penganut madzhab khawarij walaupun khawarij memandang orang lain doluar kelompoknya sesat. Dalam sejarah, di samping khawarij yang ekstrim itu, timbul aliran-aliran yang pendapatnya sedikit pun tidak termasuk ajaran Islam serta bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis Nabi yang mutawatir. Di antara mereka ada dua kelompok yang prinsip-prinsip ajarannya keluar dari Islam, yaitu:
a. Yazidiyah
Aliran ini semula adalah pengikut Ibadiyah, tetapi kemudian berpendapat bahwa Allah akan mengutus seorang rasul dari kalangan luar Arab yang akan diberi kitab yang akan menggantikan syari’at Muhammad saw.
b. Maimuniyah
aliran ini dipimpin oleh Maimun Al-Ajradi. Aliran ini menghalalkan seseorang menikahi cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki dan anak perempuan dari saudara laki-laki dan saudara perempuan. Alasan yang dikemukakan adalah tidak adanya ayat yang menyebut wanita-wanita itu dalam kelompok yang wanita yang haram dinikahi. Hal itu disebabkan karena mereka mengingkari keberadaan surat Yusuf dalam al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah, karena mereka menilai sesuatu yang bersifat porno tidak selayaknya dinisbatkan kepada Allah swt.
D. Doktrin-doktrin Khawarij
Di antara doktrin-doktrin kaum khawarij adalah sebagai berikut:
a. Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam.
b. Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab, artinya setiap muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat.
c. Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kedzaliman.[10]
d. Khalifah Ali adalah sah, tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap telah  menyeleweng. Begitu pula dengan Muawiyah dan Amr bin Ash serta Abu Musa al-Asy’ari dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir. Begitu pula dengan pasukan Perang Jamal yang melawan Ali juga kafir.[11]
 e. Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkhis adalah mereka menganggap seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko  harus dibunuh pula.
f. Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al-harb (negara musuh), sedangkan golongan mereka sendiri dianggap berada dalam dar al-Islam (negara Islam).[12]
g. Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk neraka), amar ma’ruf nahyi munkar, memalingkan ayat-ayat yang mutasyabihat, al-Qur’an adalah makhluk, dan manusia bebas memutuskan perbuatannya, bukan dari Tuhan.[13]
Bila dianalisis secara mendalam, doktrin yang dikembangkan kaum khawarij dapat dikategorikan dalam tiga kategori: politik, teologi dan sosial. Politik merupakan doktrin sentral gerakan khawarij. Karena golongan ini timbul sebagai reaksi terhadap keberadaan Muawiyah yang secara teoritis tidak pantas memimpin negara, karena ia seorang tulaqa.[14] Kebencian ini bertambah dengan kenyataan bahwa keislaman Muawiyah belum lama.[15]
Doktrin teologi khawarij yang radikal pada dasarnya merupakan imbas langsung dari doktrin sentralnya, yakni doktrin politik. Radikalitas itu sangat dipengaruhi oleh sisi budaya mereka yang juga radikal, serta asal-usul mereka yang berasal dari masyarakat Baduwi dan pengembara padang pasir yang tandus. Hal itu menyebabkan watak dan pola pikirnya menjadi keras, berani, tidak bergantung kepada orang lain, dan bebas. Namun mereka fanatik dalam menjalankan agama.[16] Sifat fanatik itu biasanya mendorong seseorang berpikir simplisitas, berpengetahuan sederhana, melihat pesan berdasarkan motivasi pribadi, dan bukan berdasarkan pada data dan konsistensi logis, mempertahankan secara kaku sistem kepercayaannya, dan menolak, mengabaikan serta mendistorsi pesan yang tidak konsisten dengan sistem kepercayaannya.
Harun Nasution berpendapat bahwa bila doktrin teologis sosial (yang telah tercantum diatas) benar-benar merupakan doktrin khawarij, pada dasarnya mereka adalah orang-orang baik, hanya saja keberadaan mereka sebagai kelompok minoritas penganut garis keras, yang aspirasinya dikucilkan dan diabaikan penguasa, ditambah oleh pola pikirnya yang simplistis, telah menjadikan mereka bersikap ekstrim.[17]
E. Sifat-sifat Kaum Khawarij
Semua aliran yang bersifat radikal, pada perkembangan lebih lanjut, dikategorikan sebagai aliran khawarij, selama di dalamnya terdapat indikasi doktrin yang identik dengan aliran ini. Berkenaan dengan persoalan ini, Harun Nasution mengidentifikasi beberapa indikasi aliran yang dapat dikategorikan sebagai aliran khawarij, yaitu sebagai berikut:
a. Mudah mengkafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka walaupun orang itu adalah seorang muslim.
b. Islam yang benar adalah Islam yang mereka pahami dan amalkan, sedangkan Islam selain dari golongan mereka tidak benar. Sehingga orang-orang Islam yang tersesat dan menjadi kafir perlu dibawa kembali ke Islam yang sebenarnya, yaitu Islam seperti yang mereka pahami dan amalkan.
c. Karena pemerintahan dan ulama yang tidak sepaham dengan mereka adalah sesat, maka mereka memilih imam dari golongan mereka sendiri, yaitu imam dalam arti pemuka agama dan pemuka pemerintahan.
d. Mereka bersifat fanatik dalam paham dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan membunuh untuk mencapai tujuan mereka. [18]
Sedangkan penulis mencatat ada beberapa sifat-sifat aliran khawarij berdasarkan hadis-hadis Nabi saw sebagai berikut:
1. Suka Mencela dan Menganggap Sesat
Sifat yang paling nampak dari Khawarij adalah suka mencela terhadap para Aimatul huda (para Imam), menganggap mereka sesat, dan menghukum atas mereka sebagai orang-orang yang sudah keluar dari  keadilan dan kebenaran. Sifat ini jelas tercermin dalam pendirian Dzul Khuwaishirah terhadap Rasulullah saw dengan perkataanya : “Wahai Rasulullah berlaku adillah”.[19]
Dzul Khuwaishirah telah menganggap dirinya lebih wara’ daripada Rasulullah saw dan menghukumi Rasulullah saw sebagai orang yang curang dan tidak adil dalam pembagian. Sifat yang demikian ini selalu menyertai sepanjang sejarah. Hal itu mempunyai efek yang sangat buruk dalam hukum dan amal sebagai konsekwensinya. Berkata Ibnu Taimiyah tentang Khawarij :”Inti kesesatan mereka adalah keyakinan mereka berkenan dengan Aimmatul huda (para imam yang mendapat petunjuk) dan jama’ah muslimin, yaitu bahwa Aimmatul huda dan jama’ah muslimin semuanya sesat. Pendapat ini kemudian di ambil oleh orang-orang yang keluar dari sunnah, seperti Rafidhah dan yang lainnya. Mereka mengkatagorikan apa yang mereka pandang kedzaliman ke dalam kekufuran”.[20]
2.    Berprasangka Buruk (Su’udzan).
Ini adalah sifat Khawarij lainnya yang tampak dalam hukum Syaikh mereka Dzul Khuwaishirah si pandir dengan tuduhannya bahwa Rasulullah saw tidak ikhlas dengan berkata:”Demi Allah, sesungguhnya ini adalah suatu pembagian yang tidak adil dan tidak dikehendaki di dalamnya wajah Allah”.[21] Dzul Khuwaishirah ketika melihat Rasulullah saw membagi harta kepada orang-orang kaya, bukan kepada orang-orang miskin, ia tidak menerimanya dengan prasangka yang baik atas pembagian tersebut.
Ini adalah sesuatu yang mengherankan. Kalaulah tidak ada alasan selain pelaku pembagian itu adalah Rasulullah saw cukuplah hal itu mendorong untuk berbaik sangka. Akan tetapi Dzul Kuwaishirah enggan untuk itu, dan berburuk sangka disebabkan jiwanya yang sakit. Lalu ia berusaha menutupi alasan ini dengan keadilan. Yang demikian ini mengundang tertawanya iblis dan terjebak dalam perangkapnya.
Seharusnya seseorang itu introspeksi, meneliti secara cermat dorongan tindak tanduk  dan maksud tujuan serta waspada terhadap hawa nafsunya. Hendaklah berjaga-jaga terhadap manuver-manuver iblis, karena dia banyak menghias-hiasi perbuatan buruk dengan bungkus indah dan rapi, dan membaguskan tingkah laku yang keji dengan nama dasar-dasar kebenaran yang mengundang seseorang untuk menentukan sikap menjaga diri dan menyelamatkan diri dari tipu daya setan dan perangkap-perangkapnya. Jika Dzul Khuwaishirah mempunyai sedikit saja ilmu atau sekelumit pemahaman, tentu tidak akan terjatuh dalam kubangan ini.
Berikut kami paparkan penjelasan dari para ulama mengenai keagungan pembagian Nabi saw dan hikmahnya yang tinggi dalam menyelesaikan perkara.
Berkata Syaikh Islam Ibnu Taimiyah :” Pada tahun peperangan Hunain, beliau saw membagi ghanimah (rampasan perang) Hunain pada orang-orang yang hatinya lemah (muallafah qulubuhum) dari penduduk Najd dan bekas tawanan Quraisy seperti ‘Uyainah bin Hafsh, dan beliau tidak memberi kepada para Muhajirin dan Anshar sedikitpun.
Maksud Beliau memberikan  kepada mereka adalah untuk mengikat hati mereka dengan Islam, karena keterkaitan hati mereka dengannya merupakan maslahat umum bagi kaum muslimin, sedangkan yang tidak beliau beri adalah karena mereka lebih baik di mata beliau dan mereka adalah wali-wali Allah yang bertaqwa dan seutama-utamanya hamba Allah yang shalih setelah para Nabi dan Rasul-rasul.
Jika pemberian itu tidak dipertimbangkan untuk maslahat umum, maka Nabi saw tidak akan memberi pada aghniya’, para pemimpin yang dita’ati dalam perundangan dan akan memberikannya kepada Muhajirin dan Anshar yang lebih membutuhkan dan lebih utama.
Oleh sebab inilah orang-orang Khawarij mencela Nabi saw dan dikatakan kepada beliau oleh pelopornya :”Wahai Muhammad, berbuat adillah. Sesungguhnya engkau tidak berlaku adil”. dan perkataannya :”Sesungguhnya pembagian ini tidak dimaksudkan untuk wajah Allah …..”. Mereka, meskipun banyak shaum (berpuasa), shalat, dan bacaan Al-Qur’annya, tetapi keluar dari As-Sunnah dan Al-Jama’ah.
Memang mereka dikenal sebagai kaum yang suka beribadah, wara’ dan zuhud, akan tetapi tanpa disertai ilmu, sehingga mereka memutuskan bahwa pemberian itu semestinya tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang berhajat, bukan kepada para pemimpin yang dita’ati dan orang-orang kaya itu, jika di dorong untuk mencari keridhaan selain Allah (menurut persangkaan mereka).
Inilah kebodohan mereka, karena sesungguhnya pemberian itu menurut kadar maslahah agama Allah. Jika pemberian itu akan semakin mengundang keta’atan kepada Allah dan semakin bermanfaat bagi agama-Nya, maka pemberian itu jauh lebih utama. Pemberian kepada orang-orang yang membutuhkan untuk menegakkan agama, menghinakan musuh-musuhnya, memenangkan dan meninggikannya lebih agung daripada pemberian yang tidak demikian itu, walaupun yang kedua lebih membutuhkan”.[22]
Untuk itu hendaklah seseorang menggunakan bashirah, lebih memahami fiqh dakwah dan maksud-maksud syar’i, sehingga tidak akan berada dalam kerancuan dan kebingungan yang mengakibatkan akan terhempas, hilang dan berburuk sangka serta mudah mencela disertai dengan menegakkan kewajiban-kewajiban yang terpuji dan mulia.
3. Berlebih Dalam Beribadah.
Sifat  ini telah ditunjukkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya:”Akan muncul suatu kaum dari umatku yang membaca Al-Qur’an, yang mana bacaan kalian tidaklah sebanding bacaan mereka sedikitpun, tidak pula shalat kalian sebanding dengan shalat mereka sedikitpun, dan tidak pula puasa kalian sebanding dengan puasa mereka sedikitpun”.[23]
Berlebihan dalam ibadah berupa puasa, shalat, dzikir, dan tilawah Al-Qur’an merupakan perkara yang masyhur di kalangan orang-orang Khawarij.[24] Ibnu Abbas juga telah mengisyaratkan pelampauan batas mereka ini ketika pergi untuk mendebat pendapat mereka. Beliau berkata :”Aku belum pernah menemui suatu kaum yang bersungguh-sungguh, dahi mereka luka karena seringnya sujud, tangan mereka seperti lutut unta, dan mereka mempunyai gamis yang murah, tersingsing, dan berminyak. Wajah mereka menunjukan kurang tidur karena banyak berjaga di malam hari”.[25] Pernyataan ini menunjukkan akan ketamakan mereka dalam berdzikir dengan usaha yang keras.
Berkata Ibnul Jauzi :”Ketika Ali Radhiyallahu ‘Anhu meninggal, dikeluarkanlah Ibnu Maljam untuk dibunuh. Abdullah bin Ja’far memotong kedua tangan dan kedua kakinya, tetapi ia tidak mengeluh dan tidak berbicara. Lalu dicelak kedua matanya dengan paku panas, ia pun tidak mengeluh bahkan ia membaca:”Bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah”.[26] Hingga selesai, walaupun kedua matanya meluluhkan air mata. Kemudian setelah matanya diobati, ia akan di potong lidahnya, baru dia mengeluh. Ketika ditanyakan kepadanya :”Mengapa engkau mengeluh ?. “Ia menjawab ;”Aku tidak suka bila di dunia menjadi mayat dalam keadaan tidak berdzikir kepada Allah”. Dia adalah seorang yang ke hitam-hitaman dahinya bekas dari sujud, semoga laknat Allah padanya”.[27]
Mekipun kaum Khawarij rajin dalam beribadah, tetapi ibadah ini tidak bermanfa’at bagi mereka, dan mereka pun tidak dapat mengambil manfaat darinya. Mereka seolah-olah bagaikan jasad tanpa ruh, pohon tanpa buah, mengingat ahlaq mereka yang tidak terdidik dengan ibadahnya dan jiwa mereka tidak bersih karenanya serta hatinya tidak melembut. Padahal disyari’atkan ibadah adalah untuk itu. Allah swt berfirman:”Dan tegakkanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar”.[28] Juga firman-Nya:”Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. [29]
Tidaklah orang-orang bodoh tersebut mendapatkan bagian dari qiyamu al-lail-nya kecuali hanya jaga saja, tidak dari puasanya kecuali lapar saja, dan tidak pula dari tilawah-nya kecuali parau suaranya. Keadaan Khawarij ini membimbing kita pada suatu manfaat seperti yang dikatakan Ibnu Hajar tentangnya :”Tidak cukuplah dalam ta’dil (menganggap adil) dari keadaan lahiriahnya, walau sampai yang dipersaksikan akan keadilannya itu pada puncak ibadah, miskin, wara’, hingga diketahui keadaan batinnya”.[30]
4. Keras Terhadap Kaum Muslimin
Sesungguhnya kaum Khawarij dikenal bengis dan kasar, mereka sangat keras dan bengis terhadap muslimin, bahkan kekasaran mereka telah sampai pada derajat sangat tercela, yaitu menghalalkan darah dan harta kaum muslimin serta kehormatannya, mereka juga membunuh dan menyebarkan ketakutan di tengah-tengah kaum muslimin. Adapun para musuh Islam murni dari kalangan penyembah berhala dan lainnya, mereka mengabaikan, membiarkan serta tidak menyakitinya.
Rasulullah saw telah memberitakan sifat mereka ini dalam sabdanya:”Membunuh pemeluk Islam dan membiarkan penyembah berhala ….”[31]
Sejarah telah mencatat dalam lembaran-lembaran hitamnya tentang Khawarij berkenan dengan cara mereka ini. Di antara kejadian yang mengerikan adalah kisah sebagai berikut :”Dalam perjalanannya, orang-orang Khawarij bertemu dengan Abdullah bin Khabab. Mereka bertanya :”Apakah engkau pernah mendengar dari bapakmu suatu hadis yang dikatakan dari Rasulullah saw. Ceritakanlah kepada kami tentangnya”. Berkata : “Ya, aku mendengar dari bapakku, bahwa Rasulullah saw menyebutkan tentang fitnah. Yang duduk ketika itu lebih baik dari pada yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari pada yang berjalan, dan yang berjalan lebih baik dari yang berlari. Jika engkau menemukannya, hendaklah engkau menjadi hamba Allah yang terbunuh”. Mereka berkata :”Engkau mendengar hadis ini dari bapakmu dan memberitakannya dari Rasulullah saw ?”. Beliau menjawab :”Ya”. Setelah mendengar jawaban tersebut, mereka mengajaknya ke hulu sungai, lalu memenggal lehernya, maka mengalirlah darahnya seolah-olah seperti tali terompah. Lalu mereka membelah perut budak wanitanya dan mengeluarkan isi perutnya, padahal ketika itu sedang hamil.
Kemudian mereka datang ke sebuah pohon kurma yang lebat buahnya di Nahrawan. Tiba-tiba jatuhlah buah kurma itu dan diambil salah seorang di antara mereka lalu ia masukkan ke dalam mulutnya. Berkatalah salah seorang di antara mereka. “Engkau mengambil tanpa dasar hukum, dan tanpa harga (tidak membelinya dengan sah)”. Akhirnya ia pun meludahkannya kembali dari mulutnya. Salah seorang yang lain mencabut pedangnya lalu mengayun-ayunkannya. Kemudian mereka melewati babi milik Ahlu Dzimmah, lalu ia penggal lehernya kemudian di seret moncongnya. Mereka berkata, “Ini adalah kerusakan di muka bumi”. Setelah mereka bertemu dengan pemilik babi itu maka mereka ganti harganya”.[32]
Inilah sikap kaum Khawarij terhadap kaum muslimin dan orang-orang kafir. Keras, bengis, kasar terhadap kaum muslimin, tetapi lemah lembut dan membiarkan orang-orang kafir. Jadi mereka tidak dapat mengambil manfa’at dari banyaknya tilawah dan dzikir mereka, mengingat mereka tidak mengambil petunjuk dengan petunjuk-Nya dan tidak menapaki jalan-jalan-Nya. Padahal sang Pembuat Syari’at telah menerangkan bahwa syari’atnya itu mudah dan lembut. Dan sesungguhnya yang diperintahkan supaya bersikap keras terhadap orang kafir dan lemah lembut terhadap orang beriman. Tetapi orang-orang Khawarij itu membaliknya.[33]
5. Sedikitnya Pengetahuan Mereka Tentang Fiqih
Sesungguhnya kesalahan Khawarij yang sangat besar adalah kelemahan mereka dalam penguasaan fiqih terhadap Kitab Allah dan Sunnah Nabi saw. Yang kami maksudkan adalah buruknya pemahaman mereka, sedikitnya tadabbur dan merasa terikat dengan golongan mereka, serta tidak menempatkan nash-nash dalam tempat yang benar. Dalam masalah ini Rasulullah saw telah menerangkan kepada kita dalam sabdanya:”Mereka membaca Al-Qur’an, tidak melebihi kerongkongannya”.
Rasulullah saw telah mempersaksikan akan banyaknya bacaan atau tilawah mereka terhadap Al-Qur’an, tetapi bersamaan dengan itu mereka di cela. Kenapa? Karena mereka tidak dapat mengambil manfaat darinya disebabkan kerusakan pemahaman mereka yang tumpul dan penggambaran yang salah yang menimpa mereka. Oleh karenanya mereka tidak dapat membaguskan persaksiannya terhadap wahyu yang cemerlang dan terjatuh dalam kenistaan yang abadi.
Berkata  Al-Hafidzh Ibnu Hajar :”Berkata Imam Nawawi, bahwa yang dimaksud yaitu mereka tidak ada bagian kecuali hanya melewati lidah mereka, tidak sampai pada kerongkongan mereka, apalagi ke hati mereka. Padahal yang diminta adalah dengan men-tadaburi-nya supaya sampai ke hatinya”.[34]
Kerusakan pemahaman yang buruk dan dangkalnya pemahaman fiqih mereka mempunyai bahaya yang besar. Kerusakan itu telah banyak membingungkan umat Islam dan menimbulkan luka yang berbahaya. Dimana mendorong pelakunya pada pengkafiran orang-orang shalih. menganggap mereka sesat serta mudah mencela tanpa alasan yang benar. Akhirnya timbullah dari yang demikian itu perpecahan, permusuhan dan peperangan.
Oleh karena itu Imam Bukhari berkata :”Adalah Ibnu Umar menganggap mereka sebagai Syiraaru Khaliqah (seburuk-buruk mahluk Allah)”. Dan dikatakan bahwa mereka mendapati ayat-ayat yang diturunkan tentang orang-orang kafir, lalu mereka kenakan untuk orang-orang beriman”.[35] Ketika Sa’id bin Jubair mendengar pendapat Ibnu Umar itu, ia sangat gembira dengannya dan berkata :”Sebagian pendapat Haruriyyah yang diikuti orang-orang yang menyerupakan Allah dengan mahluq (Musyabbihah) adalah firman Allah:”Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”.[36] Dan mereka baca bersama ayat di atas :”Kemudian orang-orang yang kafir terhadap Rabb-Nya memperseku-tukan”.[37] Jika melihat seorang Imam menghukumi dengan tidak benar, mereka akan berkata :”Ia telah kafir, dan barangsiapa yang kafir berarti menentang Rabb-Nya dan telah mempersekutukan-Nya, dengan demikian dia telah musyrik”. Oleh karena itu mereka melawan dan memeranginya. Tidaklah hal ini terjadi, melainkan karena mereka menta’wil (dengan ta’wil yang keliru-pen).
Berkata Nafi’:”Sesungguhnya Ibnu Umar jika ditanya tentang Haruriyyah, beliau menjawab bahwa mereka mengkafirkan kaum muslimin, menghalalkan darah dan hartanya, menikahi wanita-wanita dalam ‘iddahnya. Dan jika di datangkan wanita kepada mereka, maka salah seorang diantara mereka akan menikahinya, sekalipun wanita itu masih mempunyai suami. Aku tidak mengetahui seorangpun yang lebih berhak diperangi melainkan mereka.”[38]
Imam Thabari meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia menyebutkan tentang Khawarij dan apa yang ia dapati ketika mereka membaca Al-Qur’an dengan perkataannya :”Mereka beriman dengan yang muhkam dan binasa dalam ayat mutasyabih“. [39]
Pemahaman mereka yang keliru itu mengantarkan mereka menyelisihi Ijma’ Salaf dalam banyak perkara, hal itu dikarenakan oleh kebodohan mereka dan kekaguman terhadap pendapat mereka sendiri, serta tidak bertanya kepada Ahlu Dzikri dalam perkara yang mereka samar atasnya.
Sesungguhnya kerusakan pemahaman mereka yang dangkal dan sedikitnya penguasaan fiqih menjadikan mereka sesat dalam istimbat-nya, walaupun mereka banyak membaca dan berdalil dengan nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabawi, akan tetapi tidak menempatkan pada tempatnya.
6. Muda Umurnya dan Berakal Buruk
Termasuk perkara yang dipandang dapat mengeluarkan dari jalan yang lurus dan penuh petunjuk adalah umur yang masih muda (hadaatsah as-sinn) dan berakal buruk (safahah al-hil). Yang demikian itu sesuai dengan sabda beliau saw:”Akan keluar pada akhir zaman suatu kaum, umurnya masih muda, sedikit ilmunya, mereka mengatakan dari sebaik-baik manusia. Membaca Al-Qur’an tidak melebihi kerongkongannya. Terlepas dari agama seperti terlepasnya anak panah dari busurnya”.[40]
Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar :” Ahdaatsul Asnaan artinya “mereka itu pemuda (syabaab)”, dan yang dimaksud dengan sufaha-a al-ahlaam adalah “akal mereka rusak (‘uquluhum radi-ah). Berkata Imam Nawawi ;”Sesungguhnya tatsabut (kemapanan) dan bashirah (wawasan) yang kuat akan muncul ketika usianya sempurna, banyak pengalaman serta kuat akalnya”.[41]
Umur yang masih muda, jika dibarengi dengan akal yang rusak akan menimbulkan perbuatan yang asing dan tingkah laku yang aneh, antara lain :
  1. Mendahulukan pendapat mereka sendiri daripada pendapat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya yang mulia Radhiyallahu ‘alaihim.
  2. Meyakini bahwa diri merekalah yang benar, sedangkan para imam yang telah mendapat petunjuk itu salah.
  3. Mengkafirkan sebagian atas sebagian yang lain hanya karena perbedaan yang kecil saja.
Ibnul Jauzi menggambarkan kepandiran dan kerusakan mereka dengan perkataannya, ”Mereka menghalalkan darah anak-anak, tetapi tidak menghalalkan makan buah tanpa dibeli. Berpayah-payah untuk beribadah dengan tidak tidur pada malam hari (untuk shalat lail) serta mengeluh ketika hendak di potong lidahnya karena khawatir tidak dapat berdzikir kepada Allah, tetapi mereka membunuh Imam Ali ra dan menghunus pedang kepada kaum muslimin (sebagaimana keluhan Ibnu Muljam -pen). Untuk itu tidak mengherankan bila mereka puas terhadap ilmu yang telah dimiliki dan merasa yakin bahwa mereka lebih pandai daripada Ali ra. Hingga Dzul Kwuaishirah berkata kepada Rasulullah saw :”Berbuat adillah, sesungguhnya engkau tidak adil”. Tidak sepatutnya Iblis dicontoh dalam perbuatan keji seperti ini. Kami berlindung kepada Allah dari segala kehinaan”.[42] Wallahu a’lam bish-Shawab.
F. Perkembangan Pemikiran Khawarij
Sebagaiman yang telah penulis singgung sebelumnya bahwa radikalisme kaum khawarij menyebabkan perpecahan dikalangan mereka sangat rentan. Bahkan mereka terpecah menjadi delapan subsekte, yaitu al-Muhakkimah, al-Azariyah, al-Najdat, al-Baihasyiyah, al-Ajaridah, al-Sa’labiyah, al-Ibadiyah dan al-Sufriyah.
Semua subsekte itu membicarakan persoalan hukum bagi yang berbuat dosa basar, apakah masih dianggap mukmin atau kafir. Tampaknya doktrin teologi ini tetap menjadi primadona dalam pemikiran mereka, sedangkan doktrin-doktrin lain hanya pelengkap saja. Sayangnya pemikiran subsekte ini lebih bersifat praktis daripada teoritis, sehingga kriteria mukmin atau kafir menjadi tidak jelas. Hal ini menyebabkan (dalam kondisi tertentu) seseorang dapat disebut mukmin dan pada waktu yang bersamaan disebut sebagai kafir.
Tindakan kaum khawarij ini merisaukan hati umat Islam saat itu, sebab dengan cap kafir yang diberikan salah satu subsekte tertentu, jiwa seseorang harus melayang, menkipun oleh subsekte lain ia masih dikategorikan mukmin. Bahkan, dikatakan bahwa jiwa seorang Yahudi atau Majusi masih lebih berharga dibandingkan dengan jiwa seorang mukmin. Kendatipun demikian, ada sekte khawarij yang agak lunak, yaitu sekte Nadjiyat dan Ibadiyah. Keduanya membedakan antara kafir nikmat dan kafir agama. Kafir nikmat hanya melakukan dosa dan tidak berterima kasih kepada Allah. Orang semacam itu tidak perlu dikucilkan dari masyarakat, apalagi dibunuh.[43]
F.1. Pendapat Khawarij tentang Pelaku Dosa Besar
Ciri yang menonjol dari aliran khawarij adalah watak ekstrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan hukum. Hal ini disamping didukung oleh watak kerasnya akibat kondisi geografis padang pasir, juga dibangun atas dasar pemahaman tekstual atau nash-nash al-Qur’an dan Hadis. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar. Mereka memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim adalah kafir.
Semua pelaku dosa besar menurut semua subsekte khawarij, kecuali Najdah, adalah kafir dan akan disiksa di neraka selamanya. Subsekte khawarij yang sangat ekstrim, Azaqirah, menggunakan istilah yang lebih mengerikan dari kafir, yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja dari kaum muslimin yang tidak ikut dalam barisan mereka. Bagi mereka pelaku dosa besar adalah kafir millah (kafir agama), artinya ia telah keluar dari Islam. Mereka kekal di neraka bersama orang-orang kafir lainnya.[44]
Subsekte Najdah tak jauh berbeda dari Azaqirah. Mereka menganggap musyrik kepada siapapun yang secara berkesinambungan mengerjakan dosa kecil. Akan halnya dengan dosa besar, bila tidak dilakukan secara kontinu, pelakunya tidak dipandang musyrik, tetapi hanya kafir. Namun jika dilakukan terus maka ia menjadi musyrik.
Pandangan yang paling keras adalah pandangan subsekte Azaqirah,[45] mereka menganggap kafir tidak saja kepada mereka yang telah melakukan perbuatan hina, seperti membinuh, berzina dan sebagainya, tetapi juga terhadap semua orang Islam yang tak sepaham dengan mereka. Bahkan orang Islam yang sepaham dengan mereka, tetapi tidak mau berhijrah ke dalam lingkugan mereka juga dipandang kafir, bahkan musyrik.  Dengan kata lain orang Azaqirah sendiri yang tinggal diluar lingkungan mereka dan tidak mau pindah ke daerah kekuasaan mereka dipandang musyrik.[46]
Pandangan yang berbeda dikemukakan oleh subsekte Najdat. Mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar menjadi kafir dan kekal di dalam neraka hanyalah orang Islam yang tidak sepaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya, jika mengerjakan dosa besar tetap mendapatkan siksa di neraka, tetapi pada akhirnya akan masuk surga juga.[47] Sementara subsekte Sufriyah yang dipimpin oleh Ziad bin Asfar  membagi dosa besar dalam dua bagian, yaitu dosa yang ada sanksinya di dunia, seperti membunuh dan berzina, dan dosa yang tak ada sanksinya di dunia, seperti meninggalkan sholat dan puasa. Orang yang berbuat dosa pada kategori pertama tidak dipandang kafir, sedangkan orang yang melakukan dosa pada kategori kedua dipandang kafir.[48]
F.2. Pendapat Khawarij tentang Iman dan Kufur
Sebagai kelompok yang lahir dari peristiwa politik, pendirian teologis khawarij lebih bertendensi politis daripada ilmiah-teoritis, terutama yang berkaitan dengan masalah iman dan kufur.
Iman dalam pandangan khawarij tidak semata-mata percaya kepada Allah. Mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Segala perbuatan yang berbau religious termasuk di dalamnya masalah kekuasaan adalah bagian dari keimanan (al-amal juz’un al-iman). Dengan demikian, siapapun yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan Muhammad saw adalah Rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban agama dan malah melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir oleh khawarij.[49]
Lain halnya dengan subsekte khawarij yang sangat moderat, yaitu Ibadiyah. Subsekte ini memiliki pandangan bahwa setiap pelaku dosa besar tetap sebagai muwahid (yang mengesakan Tuhan), tetapi bukan mukmin. Pendeknya, ia tetap disebut kafir tetapi hanya merupakan kafir ni’mah dan bukan kafir millah. Siksaan yang bakal mereka terima di akhirat adalah kekal di dalam neraka bersama orang-orang kafir lainnya.[50]
G. Kajian Kritis
Penulis menilai bahwa kaum khawarij memiliki perbedaan yang sangat jauh dari ajaran Nabi saw dan para sahabatnya yang tercinta. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa alasan sebagai berikut:
1. Rasulullah saw dan Para sahabat adalah manusia-manusia yang lembut hati. Mereka mudah menerima kebenaran yang tampak di depan matanya. Nabi saw pernah masam ketika datang Abdullah bin Ummi Maktum, lalu beliau bertaubat atas hal itu. Beliau juga pernah berusaha mengajak Abu Thalib masuk ke dalam Islam, lalu beliau ditegur oleh Allah. Beliau pernah hendak mengharamkan madu, namun mencabutnya lagi. Abu Dzar pernah berguling-guling dalam tanah, sebagai upaya meminta maaf kepada Bilal. Ka’ab bin Malik dan kedua sahabat yang tertinggal dari perang Tabuk bertaubat dari kesalahannya, setelah bumi yang luas terasa sesak bagi mereka. Umar bin Khattab jatuh terduduk dan menangis tersedu-sedu, ketika menyadari bahwa Rasulullah saw benar-benar wafat. Umar ketika menjadi Khalifah tidak menolak diluruskan dengan pedang, diluruskan oleh Ummu Aiman, diluruskan oleh seorang ibu, bahkan diluruskan oleh seorang gembala yang mengatakan, “Fa’ainallah” (kalau begitu, dimana Allah?). Meskipun dalam kasus terakhir itu, Khalifah Umar hanya ingin menguji rakyatnya. Inilah kelembutan hati manusia-manusia yang tunduk kepada kebenaran. Sementara kaum khawarij tidak memiliki hati seperti ini.
2. Rasulullah saw dan para sahabat menegakkan akhlakul karimah dalam segala lapangan hidup mereka. Oleh karena itu Islam disebut sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Bahkan akhlak Nabi saw disebut oleh Aishyah, “Khalquhul Qur’an” (akhlak beliau ya Al-Qur’an itu sendiri). Namun akhlak seperti ini tidak sedikitpun ditiru oleh kaum khawarij.
3. Rasulullah saw menjaga keutuhan ukhuwwah Islamiyyah di antara Para sahabat dan ummat Islam. Beliau mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar; beliau menjalin ikatan kekeluargaan dengan sahabat-sahabat utama seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib, dan lainnya. Nabi mendamaikan pertikaian antara kaum Aus dan Khajraj. Beliau mendamaikan perselisihan antara Bilal bin Rabbah dan Abu Dzar Al Ghifari. Beliau tidak bersikap keras kepada Abdullah bin Ubay, pemimpin kaum munafik, untuk menjaga perasaan orang-orang Madinah pengikutnya; Beliau bersikap lembut kepada pembesar-pembesar Makkah yang mengikuti Perang Hunain, untuk melunakkan hatinya; Beliau memaafkan Ahlul Makkah, khususnya Abu Sufyan dan Hindun, meskipun mereka dulu sangat banyak menyakiti hati beliau; dan seterusnya.  Sekali lagi, kaum khawarij tidak bersikap sedemikian mulia sebagaimana yang dicontohkan Rasul mereka, Muhammad saw.
Kiranya tiga hal di atas cukup untuk membedakan antara akhlak Rasulullah saw dan para sahabat beliau dengan akhlak kaum khawarij. Namun demikian, tidak lantas kita dibolehkan membenci habis-habisan kaum khawarij ini. Walau bagaimanapun, mereka telahh berusaha sekuat nalar merekaa untuk memahami ajaran agamanya, mereka juga memiliki kecintaan yang besar kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka juga sangat setia kepada kebenaran agamanya, meskipun mereka salah memahami ajaran agamanya. Selain itu, mereka adalah orang-orang yang sangat taat beribadah, mereka adalah orang-orang yang wara’, zuhud, lugu, menjauhi kebohongan, dan pemberani. Keistimewaan-keistimewaan seperti ini patut kita hargai, karena ketika kebohongan dan kelicikan merajalela di dunia Islam, maka hampir bisa dipastikan bahwa orang-orang khawarij adalah kelompok yang paling dapat dipercaya pada masa itu. dan yang paling penting lagi adalah, mereka adalah saudara kita yang juga harus kita cintai!
H. Kesimpulan
Aliran khawarij lahir dari situasi politik dan peperangan saudara yang menimpa umat Islam. Para pengikutnya selain berasal dari orang-orang Baduwi yang keras karena dipengaruhi lingkungan padang pasir yang tandus, juga karena pemahaman mereka terhadap teks agama yang sangat tekstual. Sifat ekstrim mereka menimbulkan perpecahan dikalangan mereka sendiri, sehingga kelompok khawarij terpecah menjadi beberapa subsekte kecil. Subsekte yang paling ekstrim adalah aliran Azaqirah. Kemudian subsekte yang moderat adalah Najdah, dan yang sangat moderat adalah Ibadiyah. Masing-masing dari subsekte khawarij memiliki pandangan yang beragam mengenai pelaku dosa besar dan masalah keimanan. Disamping kekurangan-kekurangan yang mereka miliki, mereka juga memiliki keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki oleh kelompok lain pada masanya, diantaranya kaum khawarij adalah kelompok yang menjaga kejujuran.
Daftar Pustaka
Al-Asqalani, Imam al-Hafidzh Ahmad bin Ali bi Hajar Majdi.  Fathu al-Baari bi Syarhi Shahih al-Bukhari,  susunan Muhammad Fu’ad Abdul Baaqi, penerbit : Salafiyah.
 Al-Bagdadi , Abdul Qahir, al-Farq bain al-Firaq, (Mesir:al-Azhar Press, 1037)
Al-Ghurabi, Ali Musthafa, Tarikh Firaq Al-Islamiyah, (Mesir: Haidan Al-Azhar, 1958)
Ali, Syed Amir. The Spirit of  Islam. Jakarta: UI Press, 1998.
Al-Jauzi, Jamaluddin Abdul farj Abdurahman. Tablis Iblis. (Beirut: Kutub al-’Ilmiyah, 1368 H). cet.2.
 As-Syarastani , Muhammad bin Abdul Karim. Al-Milal wa Al-Nihal. Beirut: Dar al-Fikr Libanon, t.th.
Asy-Syathibi, Abu ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhami . Al-I’tisham. (Kairo: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, .t.th.). Jil.2.
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Halabi. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Aayi al-Qur’an, (Qahirah: t.th.).
Hitti, Philip. history of Arab. London: Macmillan Press, 1973.
Izutsu, Tshihiko. The Concept of Belief in Islamic Theology. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
Madjid, Nurcholis. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1985.
Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1995.
Nasution, Harun. Teologi Islam, Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986.
Taimiyah, Ibnu. Majmu’ Al-Fatawa. (Riyadh: Darul Ifta’,1397 H). cet.1.Jil. 28.
Zahrah, Muhammad Abu. Aliran-aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos, 1996.

[1] Abdul Qahir al-Bagdadi, al-Farq bain al-Firaq, (Mesir:al-Azhar Press, 1037), h.75.
[2] As-Syarastani, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr Libanon, t.th), h.114.
[3] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1985), h.11.
[4] Ibid, h.11.
[5] Ali Musthafa Al-Ghurabi, Tarikh Firaq Al-Islamiyah, (Mesir: Haidan Al-Azhar, 1958), h.265.
[6] Harun, Op.Cit, h.53.
[7] Ibid, h.13.
[8] As-Syarastani, Op.Cit, h.116.
[9] Keenam poin tersebut bersumber dari buku Muhammad Abu Zahrah. Aliran-aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. (Jakarta: Logos, 1996). h.78-85.
[10] Harun. Op.Cit. h.12.
[11] Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h.12.
[12] Ibid, h.13.
[13] Ibid, h. 15.
[14] Tulaqa adalah bekas kaum musyrikin Mekkah yang dinyatakan bebas pada hari jatuhnya kota itu kepada kaum muslimin.
[15] Syed Amir Ali, The Spirit of  Islam, (Jakarta: UI Press, 1998), h.228.
[16] Philip Hitti, history of Arab, (London: Macmillan Press, 1973), h.24.
[17] Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1995), h.123.
[18] Harun, Islam Rasional, Op.Cit, h.124.
[19] Hadis Riwayat Bukhari 6/617, no. 3610, 8/97, no. 4351, Muslim 2/743-744 no. 1064, Ahmad 3/4, 5, 33, 224.
[20] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Majmu’ Al-Fatawa. (Riyadh: Darul Ifta’,1397 H). cet.1.Jil. 28. h.497.
[21] Hadis Riwayat Muslim 2/739, no. 1062, Ahmad 4/321.
[22] Ibnu Taimiyah.Op.Cit. h.579-581.
[23] Muslim 2/743-744 no. 1064.
[24] Dalam Fathu Al-Bari, 12/283 disebutkan :”Mereka (Khawarij) dikenal sebagai qura’ (ahli membaca Al-Qur’an), karena besarnya kesungguhan mereka dalam tilawah dan ibadah, akan tetapi mereka suka menta’wil Al-Qur’an dengan ta’wil yang menyimpang dari maksud yang sebenarnya. Mereka lebih mengutamakan pendapatnya, berlebih-lebihan dalam zuhud dan khusyu’ dan lain sebagainya”.
[25] Jamaluddin Abdul farj Abdurahman bin al Jauzi. Tablis Iblis. (Beirut: Kutub al-’Ilmiyah, 1368 H). cet.2. h.91.
[26] Al-’Alaq : 1-2.
[27] Al-Jauzi. Op.Cit. h. 94-95.
[28] Al-Ankabut : 45.
[29] Al-Baqarah : 183.
[30] Lihat Fathu Al-Bari 12/302.
[31] Hadis Riwayat Bukhari, 6/376, No. 3644, Muslim 2/42 No. 1064.
[32] Al-Jauzi. Op.Cit. h. 93-94.
[33] Fathul Bari, 12/301.
[34] Ibid. h.293.
[35] Ibid. h.282.
[36] Al-Maaidah : 44.
[37] Al-An’am:1.
[38] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhami asy-Syathibi. Al-I’tisham. (Kairo: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, .t.th.). Jil.2. h.183-184.
[39] Lihat Tafsir Ath-Thabari, 3/181.
[40] Hadis Riwayat Bukhari, 4/618, No. 3611, Muslim, 2/746 No. 1066.
[41] Al-Asqalani. Fathul Bari. Op.Cit. h.287.
[42] Al-Jauzi. Tablis Iblis.OpCit. h.95.
[43] Tshihiko Izutsu, The Concept of Belief in Islamic Theology, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), h.15-17.
[44] Syarastani, Op.Cit, juz I, h.118-122.
[45] Nama ini diambil dari nama pemimpinnya, Nafi bin al-Azariq. Kekuasaan subsekte ini terletak di perbatasan Iraq dan Iran, pengikutnya menurut al-Bagdadi berjumlah lebih dari 20 orang.
[46] Harun, Teologi Islam, Op.Cit, h.14.
[47] Ibid, h.16.
[48] Ibid, h.20.
[49] Harun, Teologi Islam, Op.Cit, h.14.
[50] Syarastani, Op.Cit, h.110.
Categories: Chamim Thohari, Kumpulan Makalah dan Artikel, Makalah Teologi Isla

Tidak ada komentar:

Posting Komentar