Khawarij, Sejarah dan Konsep Theologi
Chamim Tohari, M. Sy.
A. Latar Belakang

Maka dari itu, makalah ini bermaksud
mendiskusikan tentang asal-usul kemunculan aliran ini, doktrin-doktrin
yang mereka ajarkan, perkembangan pemikirannya, terutama tentang
pendapat mereka mengenai pelaku dosa besar, iman dan kufur. Serta yang
terakhir penulis mengajak untuk mendiskusikan mengenai beberapa aspek dari kelompok ini yang harus dikritisi atau dibela sebagai suatu kelompok manusia yang mencintai agama Allah swt.
B. Sejarah Munculnya Khawarij
Secara etimologis, kata khawarij berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja, yang artinya keluar, muncul, timbul, atau memberontak.[1]
Hal inilah yang mendasari Syarastani mengatakan bahwa khawarij adalah
pemberontak imam yang sah. Menurut Syarastani, yang disebut khawarij
adalah setiap orang yang keluar dari imam yang haq dan telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar pada masa sahabat Khulafa’ur Rasyidin maupun pada masa Tabi’in[2]
sementara Harun Nasution mengatakan bahwa nama khawarij diberikan
kepada mereka yang keluar dari barisan Ali. Berdasarkan etimologi ini
pula, khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan
umat Islam.[3]
Secara terminologi, khawarij adalah suatu
sekte atau aliran pengikut Ali bin Ai Thalib yang keluar meninggalkan
barisan karena ketidaksepakatan mereka terhadap keputusan Ali yang
menerima arbitrase (tahkim) dalam Perang Siffin pada tahun 37 H/648 M, dengan kelompok pemberontak Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah.[4]
Kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di
pihak yang benarkarena Ali merupakan khalifah yang sah, yang telah
dibai’at mayoritas umat Islam, sementara Muawiyah berada di pihak yang
salah karena memberontak khalifah yang sah. Lagi pula berdasarkan
estimasi khawarij, pihak Ali hampir memperoleh kemenangan pada
peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya licik ajakan damai
Muawiyah, kemenangan yang hampir diraihnya menjadi raib.
Setelah menerima ajakan damai, Ali
mengirimkan Abu Hasan Al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara
berdasarkan kitab Allah. Keputusan tahkim adalah Ali diturunkan
dari jabatannya sebagai khalifah, dan mengangkat Muawiyah sebagai
khalifah pengganti Ali. Keputusan ini sangat mengecewakan kaum khawarij.
Mereka membelot dengan mengatakan,”Mengapa kalian berhukum kepada manusia, tidak ada hukum selain hukum yang ada di sisi Allah.” Imam Ali menjawab,”Itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan dengan keliru.”
Pada saat itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan
langsung menuju Harura. Itulah sebabnya khawarij disebut juga dengan
nama Hururiyah.[5]
Dengan arahan Abdullah Al-Kiwa, mereka
sampai di Harura. Disana kelompok khawarij ini melanjutkan perlawanan
kepada Ali dan Muawiyah. Mereka mengangkat seorang pemimpin yang bernama
Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.[6]
Kaum khawarij pada umumnya terdiri dari
orang-orang Arab Baduwi. Kehidupannya di padang pasir yang serba tandus,
menyebabkan mereka bersikap sederhana baik dalam cara hidup maupun
pemikiran. Namun mereka keras hati, berani, bersikap merdeka, tidak
bergantung dengan orang lain dan bersikap radikal. Ajaran agama tidak
mampu merubah sifat-sifat Baduwi yang mereka miliki. Mereka tetap
bersikap bengis, suka kekerasan dan tidak takut mati. Karena
kehidupannya sebagai Baduwi menyebabkan mereka jauh dari ilmu
pengetahuan. Ajaran Islam yang mereka dapat dari al-Qur’an dan Hadis
mereka pahami secara literal serta harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh
karena itu iman dalam paham mereka bercorak sederhana, sempit, fanatik
dan ekstrim. Iman yang tebal tetapi sempit, ditambah dengan sikap
fanatik, membuat mereka tidak dapat mentolelir penyimpangan terhadap
ajaran Islam menurut paham mereka. Disinilah letak penjelasan mengapa
mereka mudah terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil, serta dapat
pula dimengerti mengapa mereka terus-menerus mengadakan perlawanan
terhadap penguasa-penguasa Islam yang ada di zamannya.[7]
C. Aliran-aliran Khawarij
Golongan-golongan khawarij yang terbesar
menurut Syarastani ada delapan, yaitu: al-Muhakkimah, al-Azariyah,
al-Najdat, al-Baihasyiyah, al-Ajaridah, al-Sa’labiyah, al-Ibadiyah dan
al-Sufriyah. Selain itu terdapat sisanya yang merupakan cabang dari yang
pokok, sehingga kalau dijumlahkan seluruhnya dapat mencapai delapan
belas sekte.[8]
Penulis tidak akan membahas secara keseluruhan tiap-tiap sekte
tersebut, tetapi hanya beberapa saja yang paling terkemuka, yaitu:[9]
1. Azariqah
Kelompok Azariqah dipimpin oleh Nafi’ bin
Aztaq yang berasal dari Bani Hanifah. Mereka merupakan pendukung
terkuat madzhab khawarij yang paling banyak anggotanya dan paling
terkemuka di antara semua aliran madzhab ini.merekalah yang pertama
melakukan serangan terhadap pasukan Ibnu Zubair dan pasukan Umayyah.
Khawarij dibawah komando Nafi’ berperang melawan keduanya selama
sembilan belas tahun. Nafi’ sendiri terbunuh dalam pertempuran. Kemudian
kedudukannya digantikan oleh Nafi’ bin Abdullah dan Qatri bin
al-Fuja’ah. Namun akhirnya Al-Mihlab dan para pasukan Muawiyah berhasil
menguasai mereka karena kekacauan yang terjadi di antara mereka, sampai
akhirnya mereka semua habis ditumpas.
2. Najdah
Aliran ini dipimpin oleh Najdah bin
Uwaimir yang berasal dari Bni Hudzaifah. Pada mulanya pengikut Najdah
berada di Yamamah, bersama dengan Abu Thalut al-Khariji, tetapi kemudian
mereka meninggalkannya dan memba’iat Najdah menjadi pemimpin baru pada
tahun 66 H. mereka kemudian berkembang sehingga menguasai daerah-daerah
Bahrain, Hadramaut, Thaif dan Yaman. Setelah itu, sebagaimana telah
menjadi watak mereka, terjadi lagi perselisihan untuk kedua kalinya,
sehingga mereka menjadi terpecah-pecah. Karena perpecahan di antara
mereka semakin tajam dan tidak dapat dipertemukan lagi, beberapa
kelompok kemudian memisahkan diri dan tidak mengakui kepemimpinan
Najdah.
3. Shafriyah
Penganut aliran ini adalah Ziyad in
al-Asfar. Pandangan mereka lebih lunak daripada pandangan aliran
Azariqah, tetapi lebih ekstrim dibanding dengan aliran khawarij lainnya.
Namun mereka mempunyai ajaran yang mulia, seperti larangan mereka untuk
memerangi kaum muslimin, wilayah orang-orang yang berbeda pendapat
dengan mereka bukan wilayah perang, tidak boleh melecehkan wanita dan
anak-anak, serta tidak boleh memerangi seseorang kecuali tentara
pemerintah.
4. Ajariyah
Pemimpinnya bernama Abdul Karim bin
Ajrad, salah seorang pengikut Athiyyah bin Aswad al-Hanafi yang keluar
dari aliran Najdah bersama beberapa pengikutnya dan pergi ke Sijistan.
Karena mereka merupakan pecahan dari aliran Najdah, maka banyak paham
mereka yang memiliki kesamaan dengan paham Najdah. Sebenarnya perbedaan
pendapat di antara mereka hanya menyangkut masalah kecil dan seringkali
tidak ada kaitannya dengan masalah politik, namun hal itu dapat
melahirkan sub-sub kelompok baru yang berdiri sendiri.
5. Ibadhiyah
Pemimpin aliran ini adalah Abdullah bin
Ibadh. Mereka adalah pengikut khawarij yang paling moderat dan luwes,
serta paling dekat dengan paham Sunni.oleh
sebab itu aliran ini masih tetap bertahan hingga kini. Mereka memiliki
fiqih yang baik dan ulama yang cerdas. Beberapa kelompok dari aliran ini
berdiam di daerah Sahara barat yang subur, sedangkan yang lainnya
menetap di Zanzibar.
6. Aliran-aliran Khawarij yang Dipandang Keluar dari Islam
Madzhab khawarij telah tumbuh dan
berkembang dengan cara yang keras dan ekstrim dalam memahami Islam. Hal
itu disebabkan keinginan mereka yang kuat agar kebaikan dapat
terlaksana, baik oleh diri mereka sendiri maupun dengan mengajak orang
lain untuk turut bersama mereka. Orang yang beriman secara benar tidak
akan dapat mengkafirkan penganut madzhab khawarij walaupun khawarij
memandang orang lain doluar kelompoknya sesat. Dalam sejarah, di samping
khawarij yang ekstrim itu, timbul aliran-aliran yang pendapatnya
sedikit pun tidak termasuk ajaran Islam serta bertentangan dengan
al-Qur’an dan hadis Nabi yang mutawatir. Di antara mereka ada dua
kelompok yang prinsip-prinsip ajarannya keluar dari Islam, yaitu:
a. Yazidiyah
Aliran ini semula adalah pengikut
Ibadiyah, tetapi kemudian berpendapat bahwa Allah akan mengutus seorang
rasul dari kalangan luar Arab yang akan diberi kitab yang akan
menggantikan syari’at Muhammad saw.
b. Maimuniyah
aliran ini dipimpin oleh Maimun
Al-Ajradi. Aliran ini menghalalkan seseorang menikahi cucu-cucu
perempuan dari anak laki-laki dan anak perempuan dari saudara laki-laki
dan saudara perempuan. Alasan yang dikemukakan adalah tidak adanya ayat
yang menyebut wanita-wanita itu dalam kelompok yang wanita yang haram
dinikahi. Hal itu disebabkan karena mereka mengingkari keberadaan surat
Yusuf dalam al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah, karena mereka menilai
sesuatu yang bersifat porno tidak selayaknya dinisbatkan kepada Allah
swt.
D. Doktrin-doktrin Khawarij
Di antara doktrin-doktrin kaum khawarij adalah sebagai berikut:
a. Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam.
b. Khalifah tidak harus berasal dari
keturunan Arab, artinya setiap muslim berhak menjadi khalifah apabila
sudah memenuhi syarat.
c. Khalifah dipilih secara permanen
selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at Islam.
Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kedzaliman.[10]
d. Khalifah Ali adalah sah, tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim),
ia dianggap telah menyeleweng. Begitu pula dengan Muawiyah dan Amr bin
Ash serta Abu Musa al-Asy’ari dianggap menyeleweng dan telah menjadi
kafir. Begitu pula dengan pasukan Perang Jamal yang melawan Ali juga
kafir.[11]
e. Seseorang yang berdosa besar tidak
lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkhis adalah
mereka menganggap seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak
mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko harus
dibunuh pula.
f. Setiap muslim harus berhijrah dan
bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung ia wajib
diperangi karena hidup dalam dar al-harb (negara musuh), sedangkan golongan mereka sendiri dianggap berada dalam dar al-Islam (negara Islam).[12]
g. Adanya wa’ad dan wa’id
(orang yang baik harus masuk surga, sedangkan orang yang jahat harus
masuk neraka), amar ma’ruf nahyi munkar, memalingkan ayat-ayat yang mutasyabihat, al-Qur’an adalah makhluk, dan manusia bebas memutuskan perbuatannya, bukan dari Tuhan.[13]
Bila dianalisis secara mendalam, doktrin
yang dikembangkan kaum khawarij dapat dikategorikan dalam tiga kategori:
politik, teologi dan sosial. Politik merupakan doktrin sentral gerakan
khawarij. Karena golongan ini timbul sebagai reaksi terhadap keberadaan
Muawiyah yang secara teoritis tidak pantas memimpin negara, karena ia
seorang tulaqa.[14] Kebencian ini bertambah dengan kenyataan bahwa keislaman Muawiyah belum lama.[15]
Doktrin teologi khawarij yang radikal
pada dasarnya merupakan imbas langsung dari doktrin sentralnya, yakni
doktrin politik. Radikalitas itu sangat dipengaruhi oleh sisi budaya
mereka yang juga radikal, serta asal-usul mereka yang berasal dari
masyarakat Baduwi dan pengembara padang pasir yang tandus. Hal itu
menyebabkan watak dan pola pikirnya menjadi keras, berani, tidak
bergantung kepada orang lain, dan bebas. Namun mereka fanatik dalam
menjalankan agama.[16]
Sifat fanatik itu biasanya mendorong seseorang berpikir simplisitas,
berpengetahuan sederhana, melihat pesan berdasarkan motivasi pribadi,
dan bukan berdasarkan pada data dan konsistensi logis, mempertahankan
secara kaku sistem kepercayaannya, dan menolak, mengabaikan serta
mendistorsi pesan yang tidak konsisten dengan sistem kepercayaannya.
Harun Nasution berpendapat bahwa bila
doktrin teologis sosial (yang telah tercantum diatas) benar-benar
merupakan doktrin khawarij, pada dasarnya mereka adalah orang-orang
baik, hanya saja keberadaan mereka sebagai kelompok minoritas penganut
garis keras, yang aspirasinya dikucilkan dan diabaikan penguasa,
ditambah oleh pola pikirnya yang simplistis, telah menjadikan mereka
bersikap ekstrim.[17]
E. Sifat-sifat Kaum Khawarij
Semua aliran yang bersifat radikal, pada
perkembangan lebih lanjut, dikategorikan sebagai aliran khawarij, selama
di dalamnya terdapat indikasi doktrin yang identik dengan aliran ini.
Berkenaan dengan persoalan ini, Harun Nasution mengidentifikasi beberapa
indikasi aliran yang dapat dikategorikan sebagai aliran khawarij, yaitu
sebagai berikut:
a. Mudah mengkafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka walaupun orang itu adalah seorang muslim.
b. Islam yang benar adalah Islam yang
mereka pahami dan amalkan, sedangkan Islam selain dari golongan mereka
tidak benar. Sehingga orang-orang Islam yang tersesat dan menjadi kafir
perlu dibawa kembali ke Islam yang sebenarnya, yaitu Islam seperti yang
mereka pahami dan amalkan.
c. Karena pemerintahan dan ulama yang
tidak sepaham dengan mereka adalah sesat, maka mereka memilih imam dari
golongan mereka sendiri, yaitu imam dalam arti pemuka agama dan pemuka
pemerintahan.
d. Mereka bersifat fanatik dalam paham dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan membunuh untuk mencapai tujuan mereka. [18]
Sedangkan penulis mencatat ada beberapa sifat-sifat aliran khawarij berdasarkan hadis-hadis Nabi saw sebagai berikut:
1. Suka Mencela dan Menganggap Sesat
Sifat yang paling nampak dari Khawarij adalah suka mencela terhadap para Aimatul huda (para
Imam), menganggap mereka sesat, dan menghukum atas mereka sebagai
orang-orang yang sudah keluar dari keadilan dan kebenaran. Sifat ini
jelas tercermin dalam pendirian Dzul Khuwaishirah terhadap Rasulullah
saw dengan perkataanya : “Wahai Rasulullah berlaku adillah”.[19]
Dzul Khuwaishirah telah menganggap dirinya lebih wara’
daripada Rasulullah saw dan menghukumi Rasulullah saw sebagai orang
yang curang dan tidak adil dalam pembagian. Sifat yang demikian ini
selalu menyertai sepanjang sejarah. Hal itu mempunyai efek yang sangat
buruk dalam hukum dan amal sebagai konsekwensinya. Berkata Ibnu Taimiyah
tentang Khawarij :”Inti kesesatan mereka adalah keyakinan mereka
berkenan dengan Aimmatul huda (para imam yang mendapat petunjuk) dan jama’ah muslimin, yaitu bahwa Aimmatul huda dan jama’ah muslimin semuanya sesat. Pendapat ini kemudian di ambil oleh orang-orang yang keluar dari sunnah, seperti Rafidhah dan yang lainnya. Mereka mengkatagorikan apa yang mereka pandang kedzaliman ke dalam kekufuran”.[20]
2. Berprasangka Buruk (Su’udzan).
Ini adalah sifat Khawarij lainnya yang
tampak dalam hukum Syaikh mereka Dzul Khuwaishirah si pandir dengan
tuduhannya bahwa Rasulullah saw tidak ikhlas dengan berkata:”Demi Allah, sesungguhnya ini adalah suatu pembagian yang tidak adil dan tidak dikehendaki di dalamnya wajah Allah”.[21]
Dzul Khuwaishirah ketika melihat Rasulullah saw membagi harta kepada
orang-orang kaya, bukan kepada orang-orang miskin, ia tidak menerimanya
dengan prasangka yang baik atas pembagian tersebut.
Ini adalah sesuatu yang mengherankan.
Kalaulah tidak ada alasan selain pelaku pembagian itu adalah Rasulullah
saw cukuplah hal itu mendorong untuk berbaik sangka. Akan tetapi Dzul
Kuwaishirah enggan untuk itu, dan berburuk sangka disebabkan jiwanya
yang sakit. Lalu ia berusaha menutupi alasan ini dengan keadilan. Yang
demikian ini mengundang tertawanya iblis dan terjebak dalam
perangkapnya.
Seharusnya seseorang itu introspeksi,
meneliti secara cermat dorongan tindak tanduk dan maksud tujuan serta
waspada terhadap hawa nafsunya. Hendaklah berjaga-jaga terhadap
manuver-manuver iblis, karena dia banyak menghias-hiasi perbuatan buruk
dengan bungkus indah dan rapi, dan membaguskan tingkah laku yang keji
dengan nama dasar-dasar kebenaran yang mengundang seseorang untuk
menentukan sikap menjaga diri dan menyelamatkan diri dari tipu daya
setan dan perangkap-perangkapnya. Jika Dzul Khuwaishirah mempunyai
sedikit saja ilmu atau sekelumit pemahaman, tentu tidak akan terjatuh
dalam kubangan ini.
Berikut kami paparkan penjelasan dari
para ulama mengenai keagungan pembagian Nabi saw dan hikmahnya yang
tinggi dalam menyelesaikan perkara.
Berkata Syaikh Islam Ibnu Taimiyah :” Pada tahun peperangan Hunain, beliau saw membagi ghanimah (rampasan perang) Hunain pada orang-orang yang hatinya lemah (muallafah qulubuhum)
dari penduduk Najd dan bekas tawanan Quraisy seperti ‘Uyainah bin
Hafsh, dan beliau tidak memberi kepada para Muhajirin dan Anshar
sedikitpun.
Maksud Beliau memberikan kepada mereka
adalah untuk mengikat hati mereka dengan Islam, karena keterkaitan hati
mereka dengannya merupakan maslahat umum bagi kaum muslimin, sedangkan
yang tidak beliau beri adalah karena mereka lebih baik di mata beliau
dan mereka adalah wali-wali Allah yang bertaqwa dan seutama-utamanya
hamba Allah yang shalih setelah para Nabi dan Rasul-rasul.
Jika pemberian itu tidak dipertimbangkan untuk maslahat umum, maka Nabi saw tidak akan memberi pada aghniya’,
para pemimpin yang dita’ati dalam perundangan dan akan memberikannya
kepada Muhajirin dan Anshar yang lebih membutuhkan dan lebih utama.
Oleh sebab inilah orang-orang Khawarij mencela Nabi saw dan dikatakan kepada beliau oleh pelopornya :”Wahai Muhammad, berbuat adillah. Sesungguhnya engkau tidak berlaku adil”. dan perkataannya :”Sesungguhnya pembagian ini tidak dimaksudkan untuk wajah Allah …..”. Mereka, meskipun banyak shaum (berpuasa), shalat, dan bacaan Al-Qur’annya, tetapi keluar dari As-Sunnah dan Al-Jama’ah.
Memang mereka dikenal sebagai kaum yang
suka beribadah, wara’ dan zuhud, akan tetapi tanpa disertai ilmu,
sehingga mereka memutuskan bahwa pemberian itu semestinya tidak
diberikan kecuali kepada orang-orang yang berhajat, bukan kepada para
pemimpin yang dita’ati dan orang-orang kaya itu, jika di dorong untuk
mencari keridhaan selain Allah (menurut persangkaan mereka).
Inilah kebodohan mereka, karena
sesungguhnya pemberian itu menurut kadar maslahah agama Allah. Jika
pemberian itu akan semakin mengundang keta’atan kepada Allah dan semakin
bermanfaat bagi agama-Nya, maka pemberian itu jauh lebih utama.
Pemberian kepada orang-orang yang membutuhkan untuk menegakkan agama,
menghinakan musuh-musuhnya, memenangkan dan meninggikannya lebih agung
daripada pemberian yang tidak demikian itu, walaupun yang kedua lebih
membutuhkan”.[22]
Untuk itu hendaklah seseorang menggunakan
bashirah, lebih memahami fiqh dakwah dan maksud-maksud syar’i, sehingga
tidak akan berada dalam kerancuan dan kebingungan yang mengakibatkan
akan terhempas, hilang dan berburuk sangka serta mudah mencela disertai
dengan menegakkan kewajiban-kewajiban yang terpuji dan mulia.
3. Berlebih Dalam Beribadah.
Sifat ini telah ditunjukkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya:”Akan
muncul suatu kaum dari umatku yang membaca Al-Qur’an, yang mana bacaan
kalian tidaklah sebanding bacaan mereka sedikitpun, tidak pula shalat
kalian sebanding dengan shalat mereka sedikitpun, dan tidak pula puasa
kalian sebanding dengan puasa mereka sedikitpun”.[23]
Berlebihan dalam ibadah berupa puasa,
shalat, dzikir, dan tilawah Al-Qur’an merupakan perkara yang masyhur di
kalangan orang-orang Khawarij.[24]
Ibnu Abbas juga telah mengisyaratkan pelampauan batas mereka ini ketika
pergi untuk mendebat pendapat mereka. Beliau berkata :”Aku belum pernah
menemui suatu kaum yang bersungguh-sungguh, dahi mereka luka karena
seringnya sujud, tangan mereka seperti lutut unta, dan mereka mempunyai
gamis yang murah, tersingsing, dan berminyak. Wajah mereka menunjukan
kurang tidur karena banyak berjaga di malam hari”.[25] Pernyataan ini menunjukkan akan ketamakan mereka dalam berdzikir dengan usaha yang keras.
Berkata Ibnul Jauzi :”Ketika Ali
Radhiyallahu ‘Anhu meninggal, dikeluarkanlah Ibnu Maljam untuk dibunuh.
Abdullah bin Ja’far memotong kedua tangan dan kedua kakinya, tetapi ia
tidak mengeluh dan tidak berbicara. Lalu dicelak kedua matanya dengan
paku panas, ia pun tidak mengeluh bahkan ia membaca:”Bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah”.[26]
Hingga selesai, walaupun kedua matanya meluluhkan air mata. Kemudian
setelah matanya diobati, ia akan di potong lidahnya, baru dia mengeluh.
Ketika ditanyakan kepadanya :”Mengapa engkau mengeluh ?. “Ia menjawab
;”Aku tidak suka bila di dunia menjadi mayat dalam keadaan tidak
berdzikir kepada Allah”. Dia adalah seorang yang ke hitam-hitaman
dahinya bekas dari sujud, semoga laknat Allah padanya”.[27]
Mekipun kaum Khawarij rajin dalam
beribadah, tetapi ibadah ini tidak bermanfa’at bagi mereka, dan mereka
pun tidak dapat mengambil manfaat darinya. Mereka seolah-olah bagaikan
jasad tanpa ruh, pohon tanpa buah, mengingat ahlaq mereka yang tidak
terdidik dengan ibadahnya dan jiwa mereka tidak bersih karenanya serta
hatinya tidak melembut. Padahal disyari’atkan ibadah adalah untuk itu.
Allah swt berfirman:”Dan tegakkanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar”.[28] Juga firman-Nya:”Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. [29]
Tidaklah orang-orang bodoh tersebut mendapatkan bagian dari qiyamu al-lail-nya kecuali hanya jaga saja, tidak dari puasanya kecuali lapar saja, dan tidak pula dari tilawah-nya kecuali
parau suaranya. Keadaan Khawarij ini membimbing kita pada suatu manfaat
seperti yang dikatakan Ibnu Hajar tentangnya :”Tidak cukuplah dalam ta’dil (menganggap
adil) dari keadaan lahiriahnya, walau sampai yang dipersaksikan akan
keadilannya itu pada puncak ibadah, miskin, wara’, hingga diketahui
keadaan batinnya”.[30]
4. Keras Terhadap Kaum Muslimin
Sesungguhnya kaum Khawarij dikenal bengis
dan kasar, mereka sangat keras dan bengis terhadap muslimin, bahkan
kekasaran mereka telah sampai pada derajat sangat tercela, yaitu
menghalalkan darah dan harta kaum muslimin serta kehormatannya, mereka
juga membunuh dan menyebarkan ketakutan di tengah-tengah kaum muslimin.
Adapun para musuh Islam murni dari kalangan penyembah berhala dan
lainnya, mereka mengabaikan, membiarkan serta tidak menyakitinya.
Rasulullah saw telah memberitakan sifat mereka ini dalam sabdanya:”Membunuh pemeluk Islam dan membiarkan penyembah berhala ….”[31]
Sejarah telah mencatat dalam
lembaran-lembaran hitamnya tentang Khawarij berkenan dengan cara mereka
ini. Di antara kejadian yang mengerikan adalah kisah sebagai berikut
:”Dalam perjalanannya, orang-orang Khawarij bertemu dengan Abdullah bin
Khabab. Mereka bertanya :”Apakah engkau pernah mendengar dari bapakmu
suatu hadis yang dikatakan dari Rasulullah saw. Ceritakanlah kepada kami
tentangnya”. Berkata : “Ya, aku mendengar dari bapakku, bahwa
Rasulullah saw menyebutkan tentang fitnah. Yang duduk ketika itu lebih
baik dari pada yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari pada yang
berjalan, dan yang berjalan lebih baik dari yang berlari. Jika engkau
menemukannya, hendaklah engkau menjadi hamba Allah yang terbunuh”.
Mereka berkata :”Engkau mendengar hadis ini dari bapakmu dan
memberitakannya dari Rasulullah saw ?”. Beliau menjawab :”Ya”. Setelah
mendengar jawaban tersebut, mereka mengajaknya ke hulu sungai, lalu
memenggal lehernya, maka mengalirlah darahnya seolah-olah seperti tali
terompah. Lalu mereka membelah perut budak wanitanya dan mengeluarkan
isi perutnya, padahal ketika itu sedang hamil.
Kemudian mereka datang ke sebuah pohon
kurma yang lebat buahnya di Nahrawan. Tiba-tiba jatuhlah buah kurma itu
dan diambil salah seorang di antara mereka lalu ia masukkan ke dalam
mulutnya. Berkatalah salah seorang di antara mereka. “Engkau mengambil
tanpa dasar hukum, dan tanpa harga (tidak membelinya dengan sah)”.
Akhirnya ia pun meludahkannya kembali dari mulutnya. Salah seorang yang
lain mencabut pedangnya lalu mengayun-ayunkannya. Kemudian mereka
melewati babi milik Ahlu Dzimmah, lalu ia penggal lehernya kemudian di
seret moncongnya. Mereka berkata, “Ini adalah kerusakan di muka bumi”.
Setelah mereka bertemu dengan pemilik babi itu maka mereka ganti
harganya”.[32]
Inilah sikap kaum Khawarij terhadap kaum
muslimin dan orang-orang kafir. Keras, bengis, kasar terhadap kaum
muslimin, tetapi lemah lembut dan membiarkan orang-orang kafir. Jadi
mereka tidak dapat mengambil manfa’at dari banyaknya tilawah dan dzikir
mereka, mengingat mereka tidak mengambil petunjuk dengan petunjuk-Nya
dan tidak menapaki jalan-jalan-Nya. Padahal sang Pembuat Syari’at telah
menerangkan bahwa syari’atnya itu mudah dan lembut. Dan sesungguhnya
yang diperintahkan supaya bersikap keras terhadap orang kafir dan lemah
lembut terhadap orang beriman. Tetapi orang-orang Khawarij itu
membaliknya.[33]
5. Sedikitnya Pengetahuan Mereka Tentang Fiqih
Sesungguhnya kesalahan Khawarij yang
sangat besar adalah kelemahan mereka dalam penguasaan fiqih terhadap
Kitab Allah dan Sunnah Nabi saw. Yang kami maksudkan adalah buruknya
pemahaman mereka, sedikitnya tadabbur dan merasa terikat dengan golongan
mereka, serta tidak menempatkan nash-nash dalam tempat yang benar.
Dalam masalah ini Rasulullah saw telah menerangkan kepada kita dalam
sabdanya:”Mereka membaca Al-Qur’an, tidak melebihi kerongkongannya”.
Rasulullah saw telah mempersaksikan akan
banyaknya bacaan atau tilawah mereka terhadap Al-Qur’an, tetapi
bersamaan dengan itu mereka di cela. Kenapa? Karena mereka tidak dapat
mengambil manfaat darinya disebabkan kerusakan pemahaman mereka yang
tumpul dan penggambaran yang salah yang menimpa mereka. Oleh karenanya
mereka tidak dapat membaguskan persaksiannya terhadap wahyu yang
cemerlang dan terjatuh dalam kenistaan yang abadi.
Berkata Al-Hafidzh Ibnu Hajar :”Berkata
Imam Nawawi, bahwa yang dimaksud yaitu mereka tidak ada bagian kecuali
hanya melewati lidah mereka, tidak sampai pada kerongkongan mereka,
apalagi ke hati mereka. Padahal yang diminta adalah dengan men-tadaburi-nya supaya sampai ke hatinya”.[34]
Kerusakan pemahaman yang buruk dan
dangkalnya pemahaman fiqih mereka mempunyai bahaya yang besar. Kerusakan
itu telah banyak membingungkan umat Islam dan menimbulkan luka yang
berbahaya. Dimana mendorong pelakunya pada pengkafiran orang-orang
shalih. menganggap mereka sesat serta mudah mencela tanpa alasan yang
benar. Akhirnya timbullah dari yang demikian itu perpecahan, permusuhan
dan peperangan.
Oleh karena itu Imam Bukhari berkata :”Adalah Ibnu Umar menganggap mereka sebagai Syiraaru Khaliqah (seburuk-buruk
mahluk Allah)”. Dan dikatakan bahwa mereka mendapati ayat-ayat yang
diturunkan tentang orang-orang kafir, lalu mereka kenakan untuk
orang-orang beriman”.[35]
Ketika Sa’id bin Jubair mendengar pendapat Ibnu Umar itu, ia sangat
gembira dengannya dan berkata :”Sebagian pendapat Haruriyyah yang
diikuti orang-orang yang menyerupakan Allah dengan mahluq (Musyabbihah)
adalah firman Allah:”Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”.[36] Dan mereka baca bersama ayat di atas :”Kemudian orang-orang yang kafir terhadap Rabb-Nya memperseku-tukan”.[37]
Jika melihat seorang Imam menghukumi dengan tidak benar, mereka akan
berkata :”Ia telah kafir, dan barangsiapa yang kafir berarti menentang
Rabb-Nya dan telah mempersekutukan-Nya, dengan demikian dia telah
musyrik”. Oleh karena itu mereka melawan dan memeranginya. Tidaklah hal
ini terjadi, melainkan karena mereka menta’wil (dengan ta’wil yang
keliru-pen).
Berkata Nafi’:”Sesungguhnya Ibnu Umar
jika ditanya tentang Haruriyyah, beliau menjawab bahwa mereka
mengkafirkan kaum muslimin, menghalalkan darah dan hartanya, menikahi
wanita-wanita dalam ‘iddahnya. Dan jika di datangkan wanita kepada
mereka, maka salah seorang diantara mereka akan menikahinya, sekalipun
wanita itu masih mempunyai suami. Aku tidak mengetahui seorangpun yang
lebih berhak diperangi melainkan mereka.”[38]
Imam Thabari meriwayatkan dengan sanad
yang shahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia menyebutkan
tentang Khawarij dan apa yang ia dapati ketika mereka membaca Al-Qur’an
dengan perkataannya :”Mereka beriman dengan yang muhkam dan binasa dalam ayat mutasyabih“. [39]
Pemahaman mereka yang keliru itu
mengantarkan mereka menyelisihi Ijma’ Salaf dalam banyak perkara, hal
itu dikarenakan oleh kebodohan mereka dan kekaguman terhadap pendapat
mereka sendiri, serta tidak bertanya kepada Ahlu Dzikri dalam perkara
yang mereka samar atasnya.
Sesungguhnya kerusakan pemahaman mereka yang dangkal dan sedikitnya penguasaan fiqih menjadikan mereka sesat dalam istimbat-nya,
walaupun mereka banyak membaca dan berdalil dengan nash-nash Al-Qur’an
dan Sunnah Nabawi, akan tetapi tidak menempatkan pada tempatnya.
6. Muda Umurnya dan Berakal Buruk
Termasuk perkara yang dipandang dapat mengeluarkan dari jalan yang lurus dan penuh petunjuk adalah umur yang masih muda (hadaatsah as-sinn) dan berakal buruk (safahah al-hil).
Yang demikian itu sesuai dengan sabda beliau saw:”Akan keluar pada
akhir zaman suatu kaum, umurnya masih muda, sedikit ilmunya, mereka
mengatakan dari sebaik-baik manusia. Membaca Al-Qur’an tidak melebihi
kerongkongannya. Terlepas dari agama seperti terlepasnya anak panah dari
busurnya”.[40]
Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar :” Ahdaatsul Asnaan artinya “mereka itu pemuda (syabaab)”, dan yang dimaksud dengan sufaha-a al-ahlaam adalah “akal mereka rusak (‘uquluhum radi-ah). Berkata Imam Nawawi ;”Sesungguhnya tatsabut (kemapanan) dan bashirah (wawasan) yang kuat akan muncul ketika usianya sempurna, banyak pengalaman serta kuat akalnya”.[41]
Umur yang masih muda, jika dibarengi
dengan akal yang rusak akan menimbulkan perbuatan yang asing dan tingkah
laku yang aneh, antara lain :
- Mendahulukan pendapat mereka sendiri daripada pendapat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya yang mulia Radhiyallahu ‘alaihim.
- Meyakini bahwa diri merekalah yang benar, sedangkan para imam yang telah mendapat petunjuk itu salah.
- Mengkafirkan sebagian atas sebagian yang lain hanya karena perbedaan yang kecil saja.
Ibnul Jauzi menggambarkan kepandiran dan
kerusakan mereka dengan perkataannya, ”Mereka menghalalkan darah
anak-anak, tetapi tidak menghalalkan makan buah tanpa dibeli.
Berpayah-payah untuk beribadah dengan tidak tidur pada malam hari (untuk
shalat lail) serta mengeluh ketika hendak di potong lidahnya karena
khawatir tidak dapat berdzikir kepada Allah, tetapi mereka membunuh Imam
Ali ra dan menghunus pedang kepada kaum muslimin (sebagaimana keluhan
Ibnu Muljam -pen). Untuk itu tidak mengherankan bila mereka puas
terhadap ilmu yang telah dimiliki dan merasa yakin bahwa mereka lebih
pandai daripada Ali ra. Hingga Dzul Kwuaishirah berkata kepada
Rasulullah saw :”Berbuat adillah, sesungguhnya engkau tidak adil”. Tidak
sepatutnya Iblis dicontoh dalam perbuatan keji seperti ini. Kami
berlindung kepada Allah dari segala kehinaan”.[42] Wallahu a’lam bish-Shawab.
F. Perkembangan Pemikiran Khawarij
Sebagaiman yang telah penulis singgung
sebelumnya bahwa radikalisme kaum khawarij menyebabkan perpecahan
dikalangan mereka sangat rentan. Bahkan mereka terpecah menjadi delapan
subsekte, yaitu al-Muhakkimah, al-Azariyah, al-Najdat, al-Baihasyiyah,
al-Ajaridah, al-Sa’labiyah, al-Ibadiyah dan al-Sufriyah.
Semua subsekte itu membicarakan persoalan
hukum bagi yang berbuat dosa basar, apakah masih dianggap mukmin atau
kafir. Tampaknya doktrin teologi ini tetap menjadi primadona dalam
pemikiran mereka, sedangkan doktrin-doktrin lain hanya pelengkap saja.
Sayangnya pemikiran subsekte ini lebih bersifat praktis daripada
teoritis, sehingga kriteria mukmin atau kafir menjadi tidak jelas. Hal
ini menyebabkan (dalam kondisi tertentu) seseorang dapat disebut mukmin
dan pada waktu yang bersamaan disebut sebagai kafir.
Tindakan kaum khawarij ini merisaukan
hati umat Islam saat itu, sebab dengan cap kafir yang diberikan salah
satu subsekte tertentu, jiwa seseorang harus melayang, menkipun oleh
subsekte lain ia masih dikategorikan mukmin. Bahkan, dikatakan bahwa
jiwa seorang Yahudi atau Majusi masih lebih berharga dibandingkan dengan
jiwa seorang mukmin. Kendatipun demikian, ada sekte khawarij yang agak
lunak, yaitu sekte Nadjiyat dan Ibadiyah. Keduanya membedakan antara
kafir nikmat dan kafir agama. Kafir nikmat hanya melakukan dosa dan
tidak berterima kasih kepada Allah. Orang semacam itu tidak perlu
dikucilkan dari masyarakat, apalagi dibunuh.[43]
F.1. Pendapat Khawarij tentang Pelaku Dosa Besar
Ciri yang menonjol dari aliran khawarij
adalah watak ekstrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan hukum. Hal
ini disamping didukung oleh watak kerasnya akibat kondisi geografis
padang pasir, juga dibangun atas dasar pemahaman tekstual atau nash-nash
al-Qur’an dan Hadis. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan
ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar. Mereka memandang bahwa
orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim adalah kafir.
Semua pelaku dosa besar menurut semua
subsekte khawarij, kecuali Najdah, adalah kafir dan akan disiksa di
neraka selamanya. Subsekte khawarij yang sangat ekstrim, Azaqirah,
menggunakan istilah yang lebih mengerikan dari kafir, yaitu musyrik.
Mereka memandang musyrik bagi siapa saja dari kaum muslimin yang tidak
ikut dalam barisan mereka. Bagi mereka pelaku dosa besar adalah kafir millah (kafir agama), artinya ia telah keluar dari Islam. Mereka kekal di neraka bersama orang-orang kafir lainnya.[44]
Subsekte Najdah tak jauh berbeda dari
Azaqirah. Mereka menganggap musyrik kepada siapapun yang secara
berkesinambungan mengerjakan dosa kecil. Akan halnya dengan dosa besar,
bila tidak dilakukan secara kontinu, pelakunya tidak dipandang musyrik,
tetapi hanya kafir. Namun jika dilakukan terus maka ia menjadi musyrik.
Pandangan yang paling keras adalah pandangan subsekte Azaqirah,[45]
mereka menganggap kafir tidak saja kepada mereka yang telah melakukan
perbuatan hina, seperti membinuh, berzina dan sebagainya, tetapi juga
terhadap semua orang Islam yang tak sepaham dengan mereka. Bahkan orang
Islam yang sepaham dengan mereka, tetapi tidak mau berhijrah ke dalam
lingkugan mereka juga dipandang kafir, bahkan musyrik. Dengan kata lain
orang Azaqirah sendiri yang tinggal diluar lingkungan mereka dan tidak
mau pindah ke daerah kekuasaan mereka dipandang musyrik.[46]
Pandangan yang berbeda dikemukakan oleh
subsekte Najdat. Mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar menjadi
kafir dan kekal di dalam neraka hanyalah orang Islam yang tidak sepaham
dengan golongannya. Adapun pengikutnya, jika mengerjakan dosa besar
tetap mendapatkan siksa di neraka, tetapi pada akhirnya akan masuk surga
juga.[47]
Sementara subsekte Sufriyah yang dipimpin oleh Ziad bin Asfar membagi
dosa besar dalam dua bagian, yaitu dosa yang ada sanksinya di dunia,
seperti membunuh dan berzina, dan dosa yang tak ada sanksinya di dunia,
seperti meninggalkan sholat dan puasa. Orang yang berbuat dosa pada
kategori pertama tidak dipandang kafir, sedangkan orang yang melakukan
dosa pada kategori kedua dipandang kafir.[48]
F.2. Pendapat Khawarij tentang Iman dan Kufur
Sebagai kelompok yang lahir dari
peristiwa politik, pendirian teologis khawarij lebih bertendensi politis
daripada ilmiah-teoritis, terutama yang berkaitan dengan masalah iman
dan kufur.
Iman dalam pandangan khawarij tidak
semata-mata percaya kepada Allah. Mengerjakan segala perintah kewajiban
agama juga merupakan bagian dari keimanan. Segala perbuatan yang berbau
religious termasuk di dalamnya masalah kekuasaan adalah bagian dari
keimanan (al-amal juz’un al-iman). Dengan demikian, siapapun yang
menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan Muhammad saw adalah
Rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban agama dan malah melakukan
perbuatan dosa, ia dipandang kafir oleh khawarij.[49]
Lain halnya dengan subsekte khawarij yang
sangat moderat, yaitu Ibadiyah. Subsekte ini memiliki pandangan bahwa
setiap pelaku dosa besar tetap sebagai muwahid (yang mengesakan Tuhan),
tetapi bukan mukmin. Pendeknya, ia tetap disebut kafir tetapi hanya
merupakan kafir ni’mah dan bukan kafir millah. Siksaan yang bakal mereka terima di akhirat adalah kekal di dalam neraka bersama orang-orang kafir lainnya.[50]
G. Kajian Kritis
Penulis menilai bahwa kaum khawarij
memiliki perbedaan yang sangat jauh dari ajaran Nabi saw dan para
sahabatnya yang tercinta. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa
alasan sebagai berikut:
1. Rasulullah saw dan Para sahabat adalah
manusia-manusia yang lembut hati. Mereka mudah menerima kebenaran yang
tampak di depan matanya. Nabi saw pernah masam ketika datang Abdullah
bin Ummi Maktum, lalu beliau bertaubat atas hal itu. Beliau juga pernah
berusaha mengajak Abu Thalib masuk ke dalam Islam, lalu beliau ditegur
oleh Allah. Beliau pernah hendak mengharamkan madu, namun mencabutnya
lagi. Abu Dzar pernah berguling-guling dalam tanah, sebagai upaya
meminta maaf kepada Bilal. Ka’ab bin Malik dan kedua sahabat yang
tertinggal dari perang Tabuk bertaubat dari kesalahannya, setelah bumi
yang luas terasa sesak bagi mereka. Umar bin Khattab jatuh terduduk dan
menangis tersedu-sedu, ketika menyadari bahwa Rasulullah saw benar-benar
wafat. Umar ketika menjadi Khalifah tidak menolak diluruskan dengan
pedang, diluruskan oleh Ummu Aiman, diluruskan oleh seorang ibu, bahkan
diluruskan oleh seorang gembala yang mengatakan, “Fa’ainallah”
(kalau begitu, dimana Allah?). Meskipun dalam kasus terakhir itu,
Khalifah Umar hanya ingin menguji rakyatnya. Inilah kelembutan hati
manusia-manusia yang tunduk kepada kebenaran. Sementara kaum khawarij
tidak memiliki hati seperti ini.
2. Rasulullah saw dan para sahabat
menegakkan akhlakul karimah dalam segala lapangan hidup mereka. Oleh
karena itu Islam disebut sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Bahkan akhlak Nabi saw disebut oleh Aishyah, “Khalquhul Qur’an” (akhlak beliau ya Al-Qur’an itu sendiri). Namun akhlak seperti ini tidak sedikitpun ditiru oleh kaum khawarij.
3. Rasulullah saw menjaga keutuhan
ukhuwwah Islamiyyah di antara Para sahabat dan ummat Islam. Beliau
mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar; beliau menjalin ikatan
kekeluargaan dengan sahabat-sahabat utama seperti Abu Bakar, Umar bin
Khattab, Utsman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib, dan lainnya. Nabi
mendamaikan pertikaian antara kaum Aus dan Khajraj. Beliau mendamaikan
perselisihan antara Bilal bin Rabbah dan Abu Dzar Al Ghifari. Beliau
tidak bersikap keras kepada Abdullah bin Ubay, pemimpin kaum munafik,
untuk menjaga perasaan orang-orang Madinah pengikutnya; Beliau bersikap
lembut kepada pembesar-pembesar Makkah yang mengikuti Perang Hunain,
untuk melunakkan hatinya; Beliau memaafkan Ahlul Makkah, khususnya Abu
Sufyan dan Hindun, meskipun mereka dulu sangat banyak menyakiti hati
beliau; dan seterusnya. Sekali lagi, kaum khawarij tidak bersikap
sedemikian mulia sebagaimana yang dicontohkan Rasul mereka, Muhammad
saw.
Kiranya tiga hal di atas cukup untuk
membedakan antara akhlak Rasulullah saw dan para sahabat beliau dengan
akhlak kaum khawarij. Namun demikian, tidak lantas kita dibolehkan
membenci habis-habisan kaum khawarij ini. Walau bagaimanapun, mereka
telahh berusaha sekuat nalar merekaa untuk memahami ajaran agamanya,
mereka juga memiliki kecintaan yang besar kepada Allah dan Rasul-Nya,
mereka juga sangat setia kepada kebenaran agamanya, meskipun mereka
salah memahami ajaran agamanya. Selain itu, mereka adalah orang-orang
yang sangat taat beribadah, mereka adalah orang-orang yang wara’, zuhud,
lugu, menjauhi kebohongan, dan pemberani. Keistimewaan-keistimewaan
seperti ini patut kita hargai, karena ketika kebohongan dan kelicikan
merajalela di dunia Islam, maka hampir bisa dipastikan bahwa orang-orang
khawarij adalah kelompok yang paling dapat dipercaya pada masa itu. dan
yang paling penting lagi adalah, mereka adalah saudara kita yang juga
harus kita cintai!
H. Kesimpulan
Aliran khawarij lahir dari situasi
politik dan peperangan saudara yang menimpa umat Islam. Para pengikutnya
selain berasal dari orang-orang Baduwi yang keras karena dipengaruhi
lingkungan padang pasir yang tandus, juga karena pemahaman mereka
terhadap teks agama yang sangat tekstual. Sifat ekstrim mereka
menimbulkan perpecahan dikalangan mereka sendiri, sehingga kelompok
khawarij terpecah menjadi beberapa subsekte kecil. Subsekte yang paling
ekstrim adalah aliran Azaqirah. Kemudian subsekte yang moderat adalah
Najdah, dan yang sangat moderat adalah Ibadiyah. Masing-masing dari
subsekte khawarij memiliki pandangan yang beragam mengenai pelaku dosa
besar dan masalah keimanan. Disamping kekurangan-kekurangan yang mereka
miliki, mereka juga memiliki keistimewaan-keistimewaan yang tidak
dimiliki oleh kelompok lain pada masanya, diantaranya kaum khawarij
adalah kelompok yang menjaga kejujuran.
Daftar Pustaka
Al-Asqalani, Imam al-Hafidzh Ahmad bin Ali bi Hajar Majdi. Fathu al-Baari bi Syarhi Shahih al-Bukhari, susunan Muhammad Fu’ad Abdul Baaqi, penerbit : Salafiyah.
Al-Bagdadi , Abdul Qahir, al-Farq bain al-Firaq, (Mesir:al-Azhar Press, 1037)
Al-Ghurabi, Ali Musthafa, Tarikh Firaq Al-Islamiyah, (Mesir: Haidan Al-Azhar, 1958)
Ali, Syed Amir. The Spirit of Islam. Jakarta: UI Press, 1998.
Al-Jauzi, Jamaluddin Abdul farj Abdurahman. Tablis Iblis. (Beirut: Kutub al-’Ilmiyah, 1368 H). cet.2.
As-Syarastani , Muhammad bin Abdul Karim. Al-Milal wa Al-Nihal. Beirut: Dar al-Fikr Libanon, t.th.
Asy-Syathibi, Abu ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhami . Al-I’tisham. (Kairo: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, .t.th.). Jil.2.
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Halabi. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Aayi al-Qur’an, (Qahirah: t.th.).
Hitti, Philip. history of Arab. London: Macmillan Press, 1973.
Izutsu, Tshihiko. The Concept of Belief in Islamic Theology. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
Madjid, Nurcholis. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1985.
Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1995.
Nasution, Harun. Teologi Islam, Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986.
Taimiyah, Ibnu. Majmu’ Al-Fatawa. (Riyadh: Darul Ifta’,1397 H). cet.1.Jil. 28.
Zahrah, Muhammad Abu. Aliran-aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos, 1996.
[1] Abdul Qahir al-Bagdadi, al-Farq bain al-Firaq, (Mesir:al-Azhar Press, 1037), h.75.
[2] As-Syarastani, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr Libanon, t.th), h.114.
[3] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1985), h.11.
[4] Ibid, h.11.
[5] Ali Musthafa Al-Ghurabi, Tarikh Firaq Al-Islamiyah, (Mesir: Haidan Al-Azhar, 1958), h.265.
[7] Ibid, h.13.
[9] Keenam poin tersebut bersumber dari buku Muhammad Abu Zahrah. Aliran-aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. (Jakarta: Logos, 1996). h.78-85.
[11] Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h.12.
[12] Ibid, h.13.
[13] Ibid, h. 15.
[14] Tulaqa adalah bekas kaum musyrikin Mekkah yang dinyatakan bebas pada hari jatuhnya kota itu kepada kaum muslimin.
[15] Syed Amir Ali, The Spirit of Islam, (Jakarta: UI Press, 1998), h.228.
[16] Philip Hitti, history of Arab, (London: Macmillan Press, 1973), h.24.
[17] Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1995), h.123.
[19] Hadis Riwayat Bukhari 6/617, no. 3610, 8/97, no. 4351, Muslim 2/743-744 no. 1064, Ahmad 3/4, 5, 33, 224.
[20] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Majmu’ Al-Fatawa. (Riyadh: Darul Ifta’,1397 H). cet.1.Jil. 28. h.497.
[21] Hadis Riwayat Muslim 2/739, no. 1062, Ahmad 4/321.
[23] Muslim 2/743-744 no. 1064.
[24] Dalam Fathu Al-Bari, 12/283 disebutkan :”Mereka (Khawarij) dikenal sebagai qura’ (ahli
membaca Al-Qur’an), karena besarnya kesungguhan mereka dalam tilawah
dan ibadah, akan tetapi mereka suka menta’wil Al-Qur’an dengan ta’wil
yang menyimpang dari maksud yang sebenarnya. Mereka lebih mengutamakan
pendapatnya, berlebih-lebihan dalam zuhud dan khusyu’ dan lain
sebagainya”.
[25] Jamaluddin Abdul farj Abdurahman bin al Jauzi. Tablis Iblis. (Beirut: Kutub al-’Ilmiyah, 1368 H). cet.2. h.91.
[26] Al-’Alaq : 1-2.
[28] Al-Ankabut : 45.
[29] Al-Baqarah : 183.
[30] Lihat Fathu Al-Bari 12/302.
[31] Hadis Riwayat Bukhari, 6/376, No. 3644, Muslim 2/42 No. 1064.
[33] Fathul Bari, 12/301.
[34] Ibid. h.293.
[35] Ibid. h.282.
[36] Al-Maaidah : 44.
[37] Al-An’am:1.
[38] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhami asy-Syathibi. Al-I’tisham. (Kairo: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, .t.th.). Jil.2. h.183-184.
[39] Lihat Tafsir Ath-Thabari, 3/181.
[40] Hadis Riwayat Bukhari, 4/618, No. 3611, Muslim, 2/746 No. 1066.
[43] Tshihiko Izutsu, The Concept of Belief in Islamic Theology, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), h.15-17.
[45]
Nama ini diambil dari nama pemimpinnya, Nafi bin al-Azariq. Kekuasaan
subsekte ini terletak di perbatasan Iraq dan Iran, pengikutnya menurut
al-Bagdadi berjumlah lebih dari 20 orang.
[47] Ibid, h.16.
[48] Ibid, h.20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar