Kamis, 24 September 2015

TEORI-TEORI PENGEMBANGAN TUJUAN DALAM ILMU PENDIDIKAN ISLAM

TEORI-TEORI PENGEMBANGAN
TUJUAN DALAM ILMU PENDIDIKAN ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat, dewasa ini pendidikan menjadi salah satu barometer dalam menentukan tingkat daya saing bangsa pada tataran Global, tak ayal masing-masing Negara berlomba menyelenggarakan pendidikan yang bermutu serta berkualitas. Untuk memperoleh hasil pendidikan yang bermutu maka tidak boleh tidak sebuah pendidikan harus mempunyai perencanaan yang matang, pelaksanaan peremcanaan serta evaluasi yang reliable.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana teori – teori perkembangan pendidikan dilembaga pendidikan?
2.      Bagaimana perkembangan ilmu pendidikan didunia sekarang ini?
3.      Prinsip apa saja dalam formulasi tujuan pendidikan Islam?
4.      Komponen apa saja dalam tujuan pendidikan Islam?
5.      Formulasi apa saja dalam pendidikan Islam?
C. Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui teori-teori perkembangan pendidikan dilembaga pendidikan
2.      Untuk mengetahui perkembangan ilmu pendidikan didunia sekarang ini
3.      Untuk mengetahui Prinsip formulasi tujuan pendidikan Islam 
4.      Untuk mengetahui Komponen dalam tujuan pendidikan Islam
5.      Untuk mengetahui Formulasi dalam pendidikan Islam




BAB II
PEMBAHASAN
 Pengertian Pendidikan
Pendidikan berasal dari kata “didik”, Lalu kata ini mendapat awalan kata “me”sehingga menjadi “mendidik” artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Menurut UU No.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
B. Teori Pendidikan
Kurikulum memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan teori pendidikan. Suatu kurikulum disusun dengan mengacu pada satu atau beberapa teori kurikulum dan teori kurikulum dijabarkan berdasarkan teori pendidikan tertentu. Nana S. Sukmadinata (1997) mengemukakan 4 (empat ) teori pendidikan, yaitu :
1.  Pendidikan klasik,
Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, seperti Perenialisme, Eessensialisme, dan Eksistensialisme dan memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan budaya. Teori ini lebih menekankan peranan isi pendidikan dari pada proses.
          Isi pendidikan atau materi diambil dari khazanah ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah disusun secara logis dan sistematis. Dalam prakteknya, pendidik mempunyai peranan besar dan lebih dominan, sedangkan peserta didik memiliki peran yang pasif, sebagai penerima informasi dan tugas-tugas dari pendidik.

2.  Pendidikan pribadi
Teori pendidikan ini bertolak dari asumsi bahwa sejak dilahirkan anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Pendidikan harus dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik dengan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik menjadi pelaku utama pendidikan, sedangkan pendidik hanya menempati posisi kedua, yang lebih berperan sebagai pembimbing, pendorong, fasilitator dan pelayan peserta didik.
Teori pendidikan pribadi menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum humanis. yaitu suatu model kurikulum yang bertujuan memperluas kesadaran diri dan mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan dan proses aktualisasi diri. Kurikulum humanis merupakan reaksi atas pendidikan yang lebih menekankan pada aspek intelektual (kurikulum subjek akademis)
3. Teknologi pendidikan
Teknologi pendidikan yaitu suatu konsep pendidikan yang mempunyai persamaan dengan pendidikan klasik tentang peranan pendidikan dalam menyampaikan informasi. Namun diantara keduanya ada yang berbeda. Dalam teknologi pendidikan, lebih diutamakan adalah pembentukan dan penguasaan kompetensi atau kemampuan-kemampuan praktis, bukan pengawetan dan pemeliharaan budaya lama.
Dalam teori pendidikan ini, isi pendidikan dipilih oleh tim ahli bidang-bidang khusus, berupa data-data obyektif dan keterampilan-keterampilan yang yang mengarah kepada kemampuan vocational . Isi disusun dalam bentuk desain program atau desain pengajaran dan disampaikan dengan menggunakan bantuan media elektronika dan para peserta didik belajar secara individual.
      Peserta didik berusaha untuk menguasai sejumlah besar bahan dan pola-pola kegiatan secara efisien tanpa refleksi. Keterampilan-keterampilan barunya segera digunakan dalam masyarakat. Guru berfungsi sebagai direktur belajar, lebih banyak tugas-tugas pengelolaan dari pada penyampaian dan pendalaman bahan.
4. Pendidikan interaksional
        Pendidikan interaksional yaitu suatu konsep pendidikan yang bertitik tolak dari pemikiran manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi dan bekerja sama dengan manusia lainnya. Pendidikan sebagai salah satu bentuk kehidupan juga berintikan kerja sama dan interaksi. Dalam pendidikan interaksional menekankan interaksi dua pihak dari guru kepada peserta didik dan dari peserta didik kepada guru.
         Lebih dari itu, dalam teori pendidikan ini, interaksi juga terjadi antara peserta didik dengan materi pembelajaran dan dengan lingkungan, antara pemikiran manusia dengan lingkungannya. Interaksi terjadi melalui berbagai bentuk dialog. Dalam pendidikan interaksional, belajar lebih sekedar mempelajari fakta-fakta.
         Peserta didik mengadakan pemahaman eksperimental dari fakta-fakta tersebut, memberikan interpretasi yang bersifat menyeluruh serta memahaminya dalam konteks kehidupan. Filsafat yang melandasi pendidikan interaksional yaitu filsafat rekonstruksi sosial.
C. Sistem Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan suatu upaya yang terstruktur untuk membentuk manusia yang berkarakter sesuai dengan konsekuensinya sebagai seorang muslim. Berbicara tentang sistem pendidikan Islam, hampir tidak dapat dipisahkan dari sosok Muhammad SAW, seorang lelaki pembawa risalah Islam yang menurut tradisi dianggap buta huruf (illiterate). Menurut Abdurrahman Mas’ud, Nabi Muhammad SAW merupakan manusia paripurna, insan kamil, dan guru terbaik. Beliau tidak hanya mengajar dan mendidik, tetapi juga menunjukkan jalan, show the way. Kehidupannya demikian memikat dan memberikan inspirasi hingga manusia tidak hanya mendapatkan ilmu dan kesadaran darinya, tetapi lebih jauh dari itu manusia juga mentransfer nilai-nilai darinya hingga menjadi manusia-manusia baru.
            Dilihat dari sudut pandang pendidikan, Nabi Muhammad SAW tampak secara nyata telah mendidik para sahabat dari belenggu jahiliyyah, kegelapan spiritual dan intelektual yang mencakup culture of silence dan structural poverty. Dan melalui “tangan dingin” beliau pula pendidikan di kalangan umat Islam mendapatkan angin segar karena beliau membuka kran lebar-lebar bagi pencarian ilmu, bahkan dalam salah satu haditsnya beliau mewajibkan setiap muslim/muslimat untuk mencari ilmu. Berangkat dari sini, maka lahirlah sistem pendidikan Islam yang terwujud dalam kuttab, halaqah, sufah sampai kemudian lahir madrasah dan pesantren.
Berbicara tentang sistem pendidikan Islam dewasa ini tidak jauh berbeda dengan sistem pendidikan umum (non-Islam). Hal ini dikarenakan dewasa ini sistem pendidikan Islam sudah terlembagakan dalam bentuk sekolah-sekolah.
Secara historis, timbulnya lembaga lembaga pendidikan formal dalam bentuk sekolah-sekolah dalam dunia Islam merupakan pengembangan dari sistem pengajaran dan pendidikan yang telah berlangsung di masjid-masjid, yang sejak awal telah berkembang dan dilengkapi sarana-sarana untuk memperlancar pendidikan dan pengajaran di dalamnya.
Namun demikian, satu hal yang perlu dipahami adalah bahwa pendidikan pada masa awal Islam bukanlah enterprise yang diselenggarakan secara modern, dengan pengaturan yang serba baku dan ketat. Proses pendidikan waktu itu merupakan sesuatu yang alamiah terjadi, dimana ketika ada orang yang mampu membaca dan kemudian bertemu dengan orang yang tidak dapat membaca dan menghendaki belajar, maka terjadilah proses belajar mengajar. Hal ini dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja. Namun begitu, biasanya kegiatan seperti ini berlangsung di rumah-rumah para guru atau pekarangan masjid. Contoh misalnya kegiatan belajar mengajar yang berlangsung di rumah al Arqam Ibn al Arqam.
Menurut A. Syalabi, pada saat datangnya Islam, orang Makkah yang pandai membaca dan menulis hanya berkisar 17 orang. Mengingat jumlah orang yang pandai baca-tulis cukup sedikit dan mereka telah menempati posisi sebagai sekretaris-sekretaris Nabi Muhammad SAW untuk menulis wahyu, maka Nabi Muhammad SAW mempekerjakan orang-orang dzimmi mengajar baca-tulis di kuttab pada orang-orang Islam Makkah.
Meski pengajar di kuttab didominasi oleh orang-orang dzimmi, Nabi Muhammad SAW juga memerintahkan beberapa sahabat seperti al Hakam Ibn Sa’id untuk mengajar pada sebuah kuttab ketika Nabi Muhammad SAW berada di Madinah. Materi yang diajarkan di kuttab periode Madinah ini tidak berbeda dengan yang diajarkan di Makkah. Pelajaran baca-tulis menjadi materi pokok bagi pelajar yang ada di kuttab. Materi pelajaran baca-tulis ini berkisar pada puisi dan pepatah-pepatah Arab. Pelajaran membaca al Qur’an tidak diberikan di kuttab, tetapi di Masjid dan di rumah-rumah. Namun begitu, seiring berjalannya waktu, al Qur’an juga diajarkan di kuttab.
Dan sejalan dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam, maka bertambah pulalah jumlah penduduk yang memeluk agama Islam. Ketika itu kuttab-kuttab yang hanya mengambil sebagian ruangan di sudut-sudut rumah seorang guru ternyata sudah tidak memadai lagi untuk menampung anak-anak yang jumlahnya semakin banyak, sehingga kondisi yang demikian ini mendorong para guru dan orang tua untuk mencari tempat lain yang lebih lapang guna ketenteraman proses belajar mengajar anak-anak. Dan tempat yang mereka pilih adalah sudut-sudut masjid atau bilik-bilik yang berhubungan langsung dengan masjid, yang selanjutnya disebut suffah  Menurut sebagian ahli, suffah ini dianggap sebagai universitas Islam pertama, the first Islamic university.
Format lembaga pendidikan Islam yang lain dapat dilihat dari eksistensi madrasah yang sudah ada sejak zaman klasik Islam dan sampai sekarang terus bertahan serta menampakkan keajegannya (realibilitas) yang tinggi, yang bercirikan keagamaan. Sebagaimana diketahui, madrasah sudah menjadi fenomena yang menonjol sejak awal abad 11-12 M, khususnya ketika wazir Bani Saljuk, Nidzam al Mulk mendirikan madrasah Nidzamiyah di Baghdad. Lembaga ini kemudian dipandang sebagai lembaga pendidikan par exellence dan menjadi trend di hampir seluruh wilayah kekuasaan Islam.
Dalam konteks Indonesia, madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam telah muncul dan berkembang seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Madrasah telah mengalami perkembangan jenjang dan jenisnya seirama dengan perkembangan bangsa sejak masa kesultanan, masa penjajahan, dan masa kemerdekaan. Perkembangan tersebut telah merubah pendidikan dari bentuk awalnya, seperti pengajian di rumah-rumah, langgar, musholla, dan masjid, menjadi lembaga formal sekolah seperti bentuk madrasah yang kita kenal saat ini.
Demikian pula dari segi materi, telah terjadi pengembangan dan penyesuaian dalam penyelenggaraan pendidikan. Kalau sebelumnya hanya belajar mengaji al Qur’an, dan ibadah praktis, melalui sistem madrasah, materi pelajaran mengalami peluasan seperti tawhid, hadits, fiqh, tafsir, dan bahasa Arab. Bahkan, madrasah kemudian mengadopsi pelajaran sebagaimana sekolah-sekolah di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional.
Lembaga pendidikan Islam yang lain yang juga mempunyai tingkat realibilitas (keajegan) yang tinggi adalah pesantren. Diakui, lembaga ini mempunyai peran yang sangat strategis dalam ikut mencerdaskan bangsa, membentuk manusia yang berkualitas dengan internalisasi moral sebagai basis utama penyokongnya. Meskipun pesantren ini banyak diberi label tradisional-konservatif namun ternyata eksistensinya masih dapat terus bertahan dan bahkan semakin menampakkan peran vitalnya di tengah-tengah derasnya gempuran modernisasi dan globalisasi. Hal ini disebabkan globalisasi dan modernisasi yang diusung oleh peradaban Barat, meskipun dengan embel-embel “kemajuan sains dan teknologi”, namun semua itu ternyata “kering” dan hampa makna karena sifatnya yang sekuler dan dipisahkan dari nilai-nilai teologis.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa sistem pendidikan Islam dari waktu ke waktu senantiasa mengalami perubahan, termasuk ketika pemerintah Belanda mulai mengenalkan sistem pendidikan formal yang lebih sistematis dan teratur, dimana sistem pendidikan formal, sekolah atau madrasah dalam perkembangannya mulai tersebar di mana-mana. Bahkan di kalangan pondok pesantren sudah diterapkan pula sistem sekolah atau madrasah, disamping sistem pendidikan dan pengajaran pondok pesantren yang sudah ada. Berangkat dari sini, maka muncullah lembaga-lembaga pendidikan seperti Madrasah Ibtida’iyyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah sebagai wujud pendidikan Islam.
Namun demikian, yang perlu dipahami adalah bahwa “pendidikan Islam” tidak hanya sekedar ciri khas dari ragam pendidikan yang berlatar belakang keagamaan. Tetapi lebih dari itu, pemahaman “pendidikan Islam” harus mencirikan karakteristik sebagai berikut: Pertama, dasar filosofis. Penyelenggaraan dan pendirian pendidikan Islam di dorong oleh hasrat dan semangat untuk mentransformasikan nilai-nilai dari misi keislaman. Di sini Islam dijadikan sebagai sumber-sumber nilai dan spirit filosofis yang akan diwujudkan dalam seluruh kegiatan pendidikannya.
Kedua, program pendidikan. Pendidikan akan memberikan perhatian sekaligus menjadikan Islam sebagai pengetahuan untuk materi pengajaran, obyek kajian, dan diperlakukan sebagaimana ilmu-ilmu yang lain.
Ketiga, penggagas dan pemrakarsa, yakni orang-orang Islam yang memiliki kepedulian besar terhadap kelangsungan dan kebenaran Islam. Agar ajaran dan nilai Islam dapat diwariskan dari generasi terdahulu ke generasi selanjutnya, maka perlu didirikan institusi pendidikan yang bernuansa Islam sebagai wahana mentransmisikan nilai-nilai dan budaya Islam.
Keempat, segi institusional atau kelembagaan. Biasanya nama kelembagaan selalu memakai simbol-simbol keislaman, baik secara formal “Islam” (SD/SMP Islam) ataupun mengambil nama-nama tokoh (MI/MTs Sultan Fattah), ulama’ (MI/MTs Hasyim Asy’ari), atau pejuang Islam (SD/SMP Sultan Agung), atau bisa juga mengambil nama organisasi Islam sebagai nama lembaga (MTs/MA NU).

D. Pendekatan-Pendekatan dalam pengembangan Teori Pendidikan
                Pendidikan dapat dilihat dalam dua sisi yaitu: (1) pendidikan sebagai praktik dan (2) pendidikan sebagai teori. Pendidikan sebagai praktik yakni seperangkat kegiatan atau aktivitas yang dapat diamati dan disadari dengan tujuan untuk membantu pihak lain (baca: peserta didik) agar memperoleh perubahan perilaku. Sementara pendidikan sebagai teori yaitu seperangkat pengetahuan yang telah tersusun secara sistematis yang berfungsi untuk menjelaskan, menggambarkan, meramalkan dan mengontrol berbagai gejala dan peristiwa pendidikan, baik yang bersumber dari pengalaman-pengalaman pendidikan (empiris) maupun hasil perenungan-perenungan yang mendalam untuk melihat makna pendidikan dalam konteks yang lebih luas.
            Diantara keduanya memiliki keterkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Praktik pendidikan seyogyanya berlandaskan pada teori pendidikan. Demikian pula, teori-teori pendidikan seyogyanya bercermin dari praktik pendidikan. Perubahan yang terjadi dalam praktik pendidikan dapat mengimbas pada teori pendidikan. Sebaliknya, perubahan dalam teori pendidikan pun dapat mengimbas pada praktik pendidikan
            Terkait dengan upaya mempelajari pendidikan sebagai teori dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, diantaranya: (1) pendekatan sains; (2) pendekatan filosofi; dan (3) pendekatan religi. (Uyoh Sadulloh, 1994).
1. Pendekatan Sains
            Pendekatan sains yaitu suatu pengkajian pendidikan untuk menelaah dan dan memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan menggunakan disiplin ilmu tertentu sebagai dasarnya. Cara kerja pendekatan sains dalam pendidikan yaitu dengan menggunakan prinsip-prinsip dan metode kerja ilmiah yang ketat, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif sehingga ilmu pendidikan dapat diiris-iris menjadi bagian-bagian yang lebih detail dan mendalam.
            Melalui pendekatan sains ini kemudian dihasilkan sains pendidikan atau ilmu pendidikan, dengan berbagai cabangnya, seperti: (1) sosiologi pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari sosiologi dalam pendidikan untuk mengkaji faktor-faktor sosial dalam pendidikan; (2) psikologi pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari psikologi untuk mengkaji perilaku dan perkembangan individu dalam belajar; (3) administrasi atau manajemen pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari ilmu manajemen untuk mengkaji tentang upaya memanfaatkan berbagai sumber daya agar tujuan-tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif dan efisien; (4) teknologi pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari sains dan teknologi untuk mengkaji aspek metodologi dan teknik belajar yang efektif dan efisien; (5) evaluasi pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari psikologi pendidikan dan statistika untuk menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa; (6) bimbingan dan konseling, suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari beberapa disiplin ilmu, seperti: sosiologi,
 teknologidanterutamapsikologi.Tentunya masih banyak cabang-cabang ilmu pendidikan lainnya yang terus semakin berkembang yang dihasilkan melalui berbagai kajian ilmiah.
2. Pendekatan Filosofi
         Pendekatan filosofi yaitu suatu pendekatan untuk menelaah dan memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan menggunakan metode filsafat. Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan semata, yang hanya terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan akan muncul masalah-masalah yang lebih luas, kompleks dan lebih mendalam, yang tidak terbatas oleh pengalaman inderawi maupun fakta-fakta faktual, yang tidak mungkin dapat dijangkau oleh sains.
         Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah tujuan pendidikan yang bersumber dari tujuan hidup manusia dan nilai sebagai pandangan hidup. Nilai dan tujuan hidup memang merupakan fakta, namun pembahasannya tidak bisa dengan menggunakan cara-cara yang dilakukan oleh sains, melainkan diperlukan suatu perenungan yang lebih mendalam.
         Cara kerja pendekatan filsafat dalam pendidikan dilakukan melalui metode berfikir yang radikal, sistematis dan menyeluruh tentang pendidikan, yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga model: (1) model filsafat spekulatif; (2) model filsafat preskriptif; (3) model filsafat analitik. Filsafat spekulatif adalah cara berfikir sistematis tentang segala yang ada, merenungkan secara rasional-spekulatif seluruh persoalan manusia dengan segala yang ada di jagat raya ini dengan asumsi manusia memliki kekuatan intelektual yang sangat tinggi dan berusaha mencari dan menemukan hubungan dalam keseluruhan alam berfikir dan keseluruhan pengalaman Filsafat preskriptif berusaha untuk menghasilkan suatu ukuran (standar) penilaian tentang nilai-nilai, penilaian tentang perbuatan manusia, penilaian tentang seni, menguji apa yang disebut baik dan jahat, benar dan salah, bagus dan jelek. Nilai suatu benda pada dasarnya inherent dalam dirinya, atau hanya merupakan gambaran dari fikiran kita. Dalam konteks pendidikan, filsafat preskriptif memberi resep tentang perbuatan atau perilaku manusia yang bermanfaat.
          Filsafat analitik memusatkan pemikirannya pada kata-kata, istilah-istilah, dan pengertian-pengertian dalam bahasa, menguji suatu ide atau gagasan untuk menjernihkan dan menjelaskan istilah-istilah yang dipergunakan secara hati dan cenderung untuk tidak membangun suatu mazhab dalam sistem berfikir .
          Terdapat beberapa aliran dalam filsafat, diantaranya: idealisme, materialisme, realisme dan pragmatisme. Aplikasi aliran-aliran filsafat tersebut dalam pendidikan kemudian menghasilkan filsafat pendidikan, yang selaras dengan aliran-aliran filsafat tersebut. Filsafat pendidikan akan berusaha memahami pendidikan dalam keseluruhan, menafsirkannya dengan konsep-konsep umum, yang akan membimbing kita dalam merumuskan tujuan dan kebijakan pendidikan. Dari kajian tentang filsafat pendidikan selanjutnya dihasilkan berbagai teori pendidikan, diantaranya:
 (1) perenialisme
 (2) esensialisme
 (3) progresivism
 (4)rekonstruktivisme.
           Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
3. Pendekatan Religi
            Pendekatan religi yaitu suatu pendekatan untuk menyusun teori-teori pendidikan dengan bersumber dan berlandaskan pada ajaran agama. Di dalamnya berisikan keyakinan dan nilai-nilai tentang kehidupan yang dapat dijadikan sebagai sumber untuk menentukan tujuan, metode bahkan sampai dengan jenis-jenis pendidikan.
Cara kerja pendekatan religi berbeda dengan pendekatan sains maupun filsafat dimana cara kerjanya bertumpukan sepenuhnya kepada akal atau ratio, dalam pendekatan religi, titik tolaknya adalah keyakinan (keimanan). Pendekatan religi menuntut orang meyakini dulu terhadap segala sesuatu yang diajarkan dalam agama, baru kemudian mengerti, bukan sebaliknya.
        Terkait dengan teori 
pendidikan Islam, dalam bukunya “ Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam” mengemukakan dasar ilmu pendidikan Islam yaitu Al-Quran, Hadis dan Akal. Al-Quran diletakkan sebagai dasar pertama dan Hadis Rasulullah SAW sebagai dasar kedua. Sementara akal digunakan untuk membuat aturan dan teknis yang tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber utamanya (Al-Qur’an dan Hadis), yang memang telah terjamin kebenarannya. Dengan demikian, teori pendidikan Islam tidak merujuk pada aliran-aliran filsafat buatan manusia, yang tidak terjamin tingkat kebenarannya.
Berkenaan dengan tujuan pendidikan Islam, Sementara itu, Ahmad Tafsir  merumuskan tentang tujuan umum pendidikan Islam yaitu muslim yang sempurna dengan ciri-ciri : (1) memiliki jasmani yang sehat, kuat dan berketerampilan; (2) memiliki kecerdasan dan kepandaian dalam arti mampu menyelesaikan secara cepat dan tepat; mampu menyelesaikan secara ilmiah dan filosofis; memiliki dan mengembangkan sains; memiliki dan mengembangkan filsafat dan (3) memiliki hati yang takwa kepada Allah SWT, dengan sukarela melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya dan hati memiliki hati yang berkemampuan dengan alam gaib.
Dalam teori pendidikan Islam, dibicarakan pula tentang hal-hal yang berkaitan dengan substansi pendidikan lainnya, seperti tentang sosok guru yang islami, proses pembelajaran dan penilaian yang islami, dan sebagainya Mengingat kompleksitas dan luasnya lingkup pendidikan, maka untuk menghasilkan teori pendidikan yang lengkap dan menyeluruh kiranya tidak bisa hanya dengan menggunakan satu pendekatan saja. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan holistik dengan memadukan ketiga pendekatan di atas yang terintegrasi dan yang tidak dapat di observasi dan diukur. Seperti yang kita ketahui bahwa indra dan rasa bukan satu-satunya alat yang dapat digunakan untuk memperoleh pengetahuan.
          Al-Quran yang merupaka kitab wahyu dari Allah, sains tidak akan mampu mengujinya secara empiris, dan secara keseluruhan. Dalam surat Al-Baqarah dijelaskan kalau tidak salah ayat 3 secara umum dapat kita golongkan bahwa kepercayaan orang mukmin terhadap terhadap segala yang ghaib, mendahului referensi terhadap perilaku yang dapat diobservasi. Orang -orang islam menerima sistem etika islam yang bersumber dari Al-Quran, karena datang dari Allah Yang Maha Ghaib, yang diyakini sebagai sistem etika terbaik, bukan hasil temuan empiris, juga bukan hasil eksperimentasi sains. 
          Teori pendidikan Islam merupakan teori yang terintegratif yang berdasrkan pada prinsip-prinsip Qurani. Jadi teori pendidikan Islam tidak akan bertentangan dengan hasil-hasil sains bahkan dapat menerima dan memamfaatkan bagian-bagian dari sains bagi pelkasanaan operasional pendidikan. Sebagai contoh konsep tentang kejadian manusia sudah dijelaskan dalam Al-quran misalnya dari surat yasin dimana dasar pengetahuan ini bisa dijadikan pijakan untuk membuktikakanya secara empiris yang pada akhirnya apa yang dijelaskan oleh Al-Quran sesuai denga apa yangdibuktikan oleh sains. Dan masih banyak lagi contoh-contoh gambaran ilmu yang disebutkan dalam Al-Quran yang kebenarannya dibuktikan oleh sains.

E. Pengertian Pendidikan Islam
a.    Pengertian secara Terminologis
Tujuan adalah arah, haluan, jurusan maksud. Atau tujuan adalah sasaran yang akan dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang yang melakukan suatu kagiatan. Atau menurut Zakiah Darajat, tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai.
b.    Pengertian secara Epistimologis
Tujuan pendidikan merupakan syarat mutlak dalam mendefinisikan pendidikan itu sendiri yang paling tidak didasarkan atas konsep dasar mengenai manusia, alam dan ilmu serta dengan pertimbangan prinsip-prinaip dasarnya. Hujair AH. Sanaky menyebut istilah tujuan pendidikan Islam dengan visi dan misi pendidikan Islam. Menurutnya, sebenarnya pendidikan Islam memiliki visi dan misi yang ideal, yaitu "RohmatanLil'alamin". Mundzir Hitami berpendapat bahwa tujuan pendidikan tidak terlepas dari tujuan hidup manusia, biarpun dipengaruhi oleh berbagai budaya, pandangan hidup, atau keinginan-kainginan lainnya.
F.   Prinsip-Prinsip Dalam Formulasi Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam mempunyai beberapa prinsip tertentu, guna menghantar tercapainya tujuan pendidikan Islam. Prinsip itu adalah :
1.    Prinsip universal (syumuliyah)
Prinsip yang memandang keseluruhan aspek agama (akidah, ibadah dan akhlak, serta muamalah), manusia (jasmani, rohani, dan nafsani), masyarakat dan tatanan kehidupannya, serta adanya wujud jagat raya dan hidup.
2.    Prinsip keseimbangan dan kesederhanaan (tawazun qa iqtishadiyah).
Prinsip ini adalah keseimbangan antara berbagai aspek kehidupan pada pribadi, berbagai kebutuhan individu dan komunitas, serta tuntunan pemeliharaan kebudayaan silam dengan kebudayaan masa kini serta berusaha mengatasi masalah-masalah yang sedang dan akan terjadi.
3.    Prinsip kejelasan (tabayun).
Prinsip yang didalamnaya terdapat ajaran hukum yang memberi kejelasan terhadap kejiwaan manusia (qalbu, akal dan hawa nafsu) dan hukum masalah yang dihadapi, sehingga terwujud tujuan, kurikulum dan metode pendidikan.
4.    Prinsip tak bertentangan.
Prinsip yang didalamnya terdapat ketiadaan pertentangan antara berbagai unsur dan cara pelaksanaanya, sehingga antara satu kompenen dengan kompenen yang lain saling mendukung.
5.    Prinsip realisme dan dapat dilaksanakan.
Prinsip yang menyatakan tidak adanya kekhayalan dalam kandungan program pendidikan, tidak berlebih-lebihan, serta adanya kaidah yang praktis dan relistis, yang sesuai dengan fitrah dan kondisi sosioekonomi, sosopolitik, dan sosiokultural yang ada.
6.    Prinsip perubahan yang diingini.
Prinsip perubahan struktur diri manusia yang meliputi jasmaniah, ruhaniyah dannafsaniyah; serta perubahan kondisi psikologis, sosiologis, pengetahuan, konsep, pikiran, kemahiran, nili-nilai, sikap peserta didik untuk mencapai dinamisasi kesempurnaan pendidikan (QS. ar-Ra’d: 11).
7.    Prinsip menjaga perbedaan-perbedaan individu.
Prinsip yang memerhatikan perbedaan peserta didik, baikciri-ciri, kebutuhan, kecerdasan, kebolehan, minat, sikap, tahap pematangan jasmani, akal, emosi, sosial, dan segala aspeknya. Prinsip ini berpijak pada asumsi bahwa semua individu ‘tidak sama’ dengan yang lain.
8.    Prinsip dinamis dalam menerima perubahan dan perkembangan yang terjadi pelaku pendidikan serta lingkungan dimana pendidikan itu dilaksanakan.
G. Komponen-Komponen Tujuan Pendidikan Islam
Secara teoritis, tujuan akhir dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu :
1.    Tujuan Normatif
Tujuan yang ingin dicapai berdasarkan norma-norma yang mampu mengkristalisasikan nilai-nilai yang hendak diinternalisasi, misalnya :
a.    Tujuan formatif yang bersifat memberi persiapan dasar yang korektif.
b.    Tujuan selektif yang bersifat memberikan kemampuan untuk membedakan hal-hal yang benar dan yang salah.
c.    Tujuan determinatif yang bersifat memberi kemampuan  untuk mengarahkan dari pada sasaran- sasaran yang sejajar dengan proses kependidikan.
d.   Tujuan integratif yang bersifat memberi kemampuan untuk memadukan fungsi psikis (pikiran, perasaan, kemauan, ingatan, dan nafsu) kearah tujuan akhir.
e.    Tujuan aplikatif yang bersifat memberikan kemampuan penerapan segala pengetahuan yang telah diperoleh dalam pengalaman pendidikan.
2.    Tujuan Fungsional
Tujuan yang sasarannya diarahkan pada kemampuan peserta didik untuk memfungsikan daya kognisi, afeksi, dan psikomotorik dari hasil pendidikan yang diperoleh, sesuai dengan yang ditetapkan. Tujuan ini meliputi :
a.    Tujuan individual, yang sasarannya  pada pemberian kemampuan individual untuk mengamalkan nilai-nilai yang telah diinternalisasikan kedalam pribadi berupa moral, intelektual dan skill.
b.    Tujuan  sosial, yang sasarannya pada pemberian kemampuan pengamalan nilai-nilai kedalamm kehidupan sosial, interpersonal, dan interaksional dengan orang lain dalam masyarakat.
c.    Tujuan moral, yang sasarannya pada pemberian kemampuan untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan moral atas dorongan motivasi yang bersumber pada agama (teogenetis), dorongan sosial (sosiogenetis), dorongan psikologis (psikogenetis), dan dorongan biologis (biogenetis).
d.   Tujuan profesional, yang sasarannya pada pemberian kemampuan untuk mengamalkan keahliannya, sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.
3.    Tujuan Operasional
Tujuan yang mempunyai sasaran teknis manajerial. Menurut langeveld, tujuan ini dibagi menjadi enam macam, yaitu :
a.    Tujuan umum (tujuan total), menurut Kohnstam dan Guning, tujuan ini mengupayakan bentuk manusia kamil, yaitu manusia yang dapat menunjukan keselaraasn dan keharmonisan antara jasmani dan rohani, baik dalam segi kejiwaan, kehidupan individu, maupun untuk kehidupan bersama yang menjadikan integritas ketiga ini hakikat manusia.
b.    Tujuan khusus, tujuan ini sebagai indikasi tercapainya tujuan umum, yaitu tujuan pendidikan yang disesuaikan dengan keadaan tertentu, baik berkaitan dengan cita-cita pembangunan suatu bangsa, tugas dari suatu badan atau lembaga pendidikan, bakat kemampuan peserta didik, seperti memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik untuk bekal hidupnya setelah ia tamat, dan sekaligus merupakan dasar persiapan untuk melanjutkan kejenjang pendidikan berikutnya.
c.    Tujuan tak lengkap, tujuan ini berkaitan dengan  kepribadian manusia dari suatu aspek saja, yang berhubungan dengan nilai-nilai hidup tertentu, misalnya kesusilaan, keagamaan, keindahan, kemasyarakatan, pengetahuan, dan sebagainya.
d.   Tujuan insidental (tujuan seketika), tujuan ini timbul karena kebetulan, bersifat mendadak, dan besifat sesaat, misalnya mengadakan sholat jenazah ketika ada orang yang meninggal.
e.    Tujuan sementara,  tujuan yang ingin  dicapai pada fase-fase tertentu dari tujuan umum, seperti fase anak yang tujuan belajarnya adalah membaca dan menulis, fase manula yang tujuan-tujuannya adalah membekali diri untuk menghadap ilahi, dan sebagainya. 
f.     Tujuan intermedier, tujuan yang berkaitan dengan penguasaan suatu pengetahuan dan keterampilan demi tercapainya tujuan sementara, misalnya anak belajar membaca dan menulis, berhitung dan sebagainya.[6]
H.  Formulasi Tujuan Pendidikan Islam
Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Majid ‘Irsan al-Kaylani,[7] tujuan pendidikan Islam tertumpu pada empat aspek, yaitu :
1.    Tercapainya pendidikan tauhid dengan cara mempelajari ayat Allah SWT. Dalam wahyu-Nya dan ayat-ayat fisik (afaq) dan psikis (anfus).
2.    Mengetahui ilmu Allah SWT, melalui pemahaman terhadap kebenaran makhluk-Nya.
3.    Mengetahuai kekuatan (qudrah) Allah SWT melalui pemahaman jenis-jenis, kuantitas,dan kreativitas makhluk-Nya.
4.    Mengetahui apa yang diperbuat Allah SWT, (Sunnah Allah) tentang realitas (alam) dan jenis-jenis perilakunya.
Abdal Rahman Shaleh Abd Allah dalam bukunya,Educational Theory, aQur’anic outlook, menyatakan tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan menjadi empat dimensi, yaitu :
1.    Tujuan Pendidikan Jasmani (al-Ahdaf al-Jismiyah)
Mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban tugas khalifah di bumi, melalui keterampilan-keterampilan fisik. Ia berpijak pada pendapat dari Imam Nawawi yang menafsirkan “al-qawy” sebagai kekuatan iman yang ditopang oleh kekuatan fisik, (QS.al-Baqarah : 247, al-Anfal :60).
2.    Tujuan Pendidikan Rohani (al-Ahdaf al-Ruhaniyah)
Meningkatkan jiwa dari kesetiaan yang hanya kepada Allah SWT semata dan melaksanakan moralitas Islami yang diteladani oleh Nabi SAW dengan berdasarkan pada cita-cita ideal dalam al-Qur’an (QS. Ali Imran : 19). Indikasi pendidikan rohani adalah tidak bermuka dua ( QS. Al-Baqarah : 10), berupaya memurnikan dan menyucikan diri manuisa secara individual dari sikap negatif (QS al-Baqarah : 126) inilah yang disebut dengan tazkiyah (purification) dan hikmah (wisdom).
3.    Tujuan Pendidikan Akal (al-Ahdaf al-Aqliyah)
Pengarahan inteligensi untuk menemukan kebenaran dan sebab-sebabnya dengan telaah tanda-tanda kekuasaan Allah dan menemukan pesan-pesan ayat-ayat-Nya yang berimplikasi kepada peningkatan iman kepada Sang Pencipta. Tahapan akal ini adalah :
a.    Pencapaian kebenaran ilmiah (ilm al-yaqin) (QS. Al-Takastur : 5)
b.    Pencapaian kebenaran empiris (ain al-yaqin) (QS. Al- Takastur : 7)
c.    Pencapaian kebenaran metaempiris atau mungkin lebih tepatnya sebagai kebenaran filosofis (haqq –alyaqin) (QS. Al-Waqiah : 95).

4.    Tujuan Pendidikan Sosial ( al-Ahdaf al-Ijtimaiyah)
Tujuan pendidikan sosial adalah pembentukan kepribadian yang utuh yang menjadi bagian dari komunitas sosial. Identitasindividu disini tercermin sebagai “al-nas” yang hidup pada masyarakat yang plural (majemuk).
Menurut Muhammad Athahiyah al-Abrasy,[9] tujuan pendidiakn Islam adalah tujuan yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sewaktu hidupnya, yaitu pembentukan moral yang tinggi, karena pendidikan moral merupakan jiwa pendidikan Islam, sekalipun tanpa mengabaikan pendidikan jasmani, akal, dan ilmu praktis. Tujuan tersebut berpijak dari sabda Nabi SAWyang diriwayatkan oleh Malik bin Anas dari Anas bin Malik).
انْما بُعثتُ لأتمم مكارمَ الأخلاق عن انس بن مالك
Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik
Menurut al-Ghazali, yang dikutip oleh Fathiyah  Hasan Sulaiman, tujuan umum pendidikan islam tercermin dalam dua segi, yaitu:
1.    Insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2.    Insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup didunia dan di akhirat. Pandangan dunia akhirat dalam pandangan al-Ghazali adalah menempatkan kebahagiaan dalam proporsi yang sebenarnya. Kebahagiaan yan lebih emiliki nilai universal, abadi, dan lebih hakiki itulah yang diprioritaskan.
Rumusan tujuan pendidikan Islam yang dihasilkan dari seminar pendidikan Islam sedunia tahun 1980 di Islamabad adalah:
“Education aims at the ballanced growth of total personality of man through the training of man’s spirit, intelect, the rasional self, feeling and bodile sense. Education should , therefore, cater, for the growth of man in all its aspects, spiritual, intelectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and collectivelly, and motivate all these aspects toward goodness and attainment of pefection. The ultimate aim of education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at large”.
Maksudnya, pendidikan seharusnya bertujuan mencapai pertumbuhan yang seimbang dalam kepribadian manusia secara total melalui pelatihan spiritual, kecerdasan, rasio, perasaan, dan pancaindra. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya pelayanan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya yang meliputi aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiyah, linguistik, baik secara individu, maupun secara kolektif dan memotifasi semua aspek tersebut kearah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan. Tujuan utama pendidikan bertumpu pada terealisasinya ketundukan kepada Allah SWT baik dalam level individu, komunitas, dan manusia secara luas.
Dari beberapa rumusan tujuan diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah :”terbentuknya insankamil yang didalamnya memiliki wawasan khaffahagar mampu menjalankan tugas-tugas kehambaan, kekhalifahan, dan pewaris nabi”. Tujuan bisa dijabarkan dalam uraian sebagai berikut:
1.    Terbentuknya “insankamil” ( manusia paripurna ) yang mempunyai wajah-wajahqur’ani.
2.    Terciptanya “insankaffah”.
3.    Penyadaran fungsi manusia sebagai hamba, khalifah Allah, serta sebagai pewaris nabi (warasatalanbiya’) dan memberikan bekal yang memadahi dalam rangka pelaksanaan fungsi tersebut.



BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
        Dalam teori pengembangan pendidikan Islam, dibicarakan pula tentang hal-hal yang berkaitan dengan substansi pendidikan lainnya, seperti tentang sosok guru yang islami, proses pembelajaran dan penilaian yang islami, dan sebagainya Mengingat kompleksitas dan luasnya lingkup pendidikan, maka untuk menghasilkan teori pendidikan yang lengkap dan menyeluruh kiranya tidak bisa hanya dengan menggunakan satu pendekatan saja. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan holistik dengan memadukan ketiga pendekatan di atas yang terintegrasi dan yang tidak dapat di observasi dan diukur. Seperti yang kita ketahui bahwa indra dan rasa bukan satu-satunya alat yang dapat digunakan untuk memperoleh pengetahuan.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan di antaranya :
1.      Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
2.      Sistem pendidikan Islam dari waktu ke waktu senantiasa mengalami perubahan
3.      Tujuan pendidikan Islam adalah melahirkan manusia paripurna, terbaik,  insan kamil atau manusia yang bertaqwa yaitu  sosok manusia yang memahami peran dan fungsinya dalam kehidupan, serta manyandarkan semuanya pada ajaran dan hukum Allah SWT dan Rosulullah SAW.
B.Saran
Dengan adanya perkembangan ilmu pendidikan islam dapat menambah kwalitas sumber daya pemahaman umat islam yang semakin berkembang saat ini dan bisa menjadi patokan bagi kita mahasiswa(i),dan bisa dimanfaatkan kan poleh kita semua Amin.....



DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasy, Mohd.’Athijah,  Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta. 1970
Ali, Hamdani,  Filsafat Ilmu Pendidikan, Kota Kembang, Jogjakarta. 1986
Marimba, Ahmad D.,  Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,Bandung, Al-Ma’arif1980
Nurkancana, Wayan, dan Sumartana,Evalusi Pendidikan, Surabaya:PT Pustaka Setia 1986
Muhaimin dan Abd Mujib,. Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda Karya. 1993
Tafsir, Ahmad,. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Rosdakarya. 1994
Daradjat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta. 1991
Fadjar, A. Malik,  Pembaruan Pendidikan Islam, Jakarta:Cv Rosdakarya, 1998
Net Aly, Hero, MA., Ilmu Pendidikan Islam, Logos, Jakarta). 1999
Rosihon Anwar, dkk, Pengantar Studi Islam, Bandung : Cv Pustak Setia, 2009.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar