TEORI-TEORI PENGEMBANGAN
TUJUAN DALAM ILMU PENDIDIKAN ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat, dewasa ini pendidikan menjadi
salah satu barometer dalam menentukan tingkat daya saing bangsa pada tataran
Global, tak ayal masing-masing Negara berlomba menyelenggarakan pendidikan yang
bermutu serta berkualitas. Untuk memperoleh hasil pendidikan yang bermutu maka
tidak boleh tidak sebuah pendidikan harus mempunyai perencanaan yang matang,
pelaksanaan peremcanaan serta evaluasi yang reliable.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana teori – teori
perkembangan pendidikan dilembaga pendidikan?
2. Bagaimana perkembangan ilmu
pendidikan didunia sekarang ini?
3.
Prinsip apa saja dalam formulasi tujuan
pendidikan Islam?
4.
Komponen apa saja dalam tujuan pendidikan
Islam?
5.
Formulasi apa saja dalam pendidikan Islam?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui teori-teori
perkembangan pendidikan dilembaga pendidikan
2. Untuk
mengetahui perkembangan ilmu pendidikan didunia sekarang ini
3. Untuk
mengetahui Prinsip formulasi tujuan pendidikan Islam
4. Untuk mengetahui Komponen dalam
tujuan pendidikan Islam
5. Untuk mengetahui Formulasi dalam
pendidikan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A Pengertian Pendidikan
Pendidikan
berasal dari kata “didik”,
Lalu kata ini mendapat awalan kata “me”sehingga
menjadi “mendidik” artinya memelihara dan memberi
latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran,
tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Menurut UU No.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional,
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
B. Teori Pendidikan
Kurikulum
memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan teori pendidikan. Suatu kurikulum disusun dengan
mengacu pada satu atau beberapa teori kurikulum dan teori kurikulum dijabarkan
berdasarkan teori pendidikan tertentu. Nana S. Sukmadinata (1997) mengemukakan
4 (empat ) teori pendidikan, yaitu :
1. Pendidikan klasik,
1. Pendidikan klasik,
Teori
pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, seperti Perenialisme,
Eessensialisme, dan Eksistensialisme dan memandang bahwa pendidikan berfungsi
sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan budaya. Teori ini
lebih menekankan peranan isi pendidikan dari pada proses.
Isi pendidikan atau materi diambil dari khazanah ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah disusun secara logis dan sistematis. Dalam prakteknya, pendidik mempunyai peranan besar dan lebih dominan, sedangkan peserta didik memiliki peran yang pasif, sebagai penerima informasi dan tugas-tugas dari pendidik.
Isi pendidikan atau materi diambil dari khazanah ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah disusun secara logis dan sistematis. Dalam prakteknya, pendidik mempunyai peranan besar dan lebih dominan, sedangkan peserta didik memiliki peran yang pasif, sebagai penerima informasi dan tugas-tugas dari pendidik.
2. Pendidikan pribadi
Teori pendidikan ini bertolak dari asumsi bahwa sejak
dilahirkan anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Pendidikan harus dapat
mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik dengan bertolak dari
kebutuhan dan minat peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik menjadi pelaku
utama pendidikan, sedangkan pendidik hanya menempati posisi kedua, yang lebih
berperan sebagai pembimbing, pendorong, fasilitator dan pelayan peserta didik.
Teori pendidikan pribadi menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum humanis. yaitu suatu model kurikulum yang bertujuan memperluas kesadaran diri dan mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan dan proses aktualisasi diri. Kurikulum humanis merupakan reaksi atas pendidikan yang lebih menekankan pada aspek intelektual (kurikulum subjek akademis)
3. Teknologi pendidikan
Teori pendidikan pribadi menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum humanis. yaitu suatu model kurikulum yang bertujuan memperluas kesadaran diri dan mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan dan proses aktualisasi diri. Kurikulum humanis merupakan reaksi atas pendidikan yang lebih menekankan pada aspek intelektual (kurikulum subjek akademis)
3. Teknologi pendidikan
Teknologi
pendidikan yaitu suatu konsep pendidikan yang mempunyai persamaan dengan pendidikan
klasik tentang peranan pendidikan dalam menyampaikan informasi. Namun diantara
keduanya ada yang berbeda. Dalam teknologi pendidikan, lebih diutamakan adalah
pembentukan dan penguasaan kompetensi atau kemampuan-kemampuan praktis, bukan
pengawetan dan pemeliharaan budaya lama.
Dalam
teori pendidikan ini, isi pendidikan dipilih oleh tim ahli bidang-bidang
khusus, berupa data-data obyektif dan keterampilan-keterampilan yang yang
mengarah kepada kemampuan vocational . Isi disusun dalam bentuk desain program
atau desain pengajaran dan disampaikan dengan menggunakan bantuan media
elektronika dan para peserta didik belajar secara individual.
Peserta didik berusaha untuk menguasai
sejumlah besar bahan dan pola-pola kegiatan secara efisien tanpa refleksi.
Keterampilan-keterampilan barunya segera digunakan dalam masyarakat. Guru
berfungsi sebagai direktur belajar, lebih banyak tugas-tugas pengelolaan dari
pada penyampaian dan pendalaman bahan.
4. Pendidikan interaksional
Pendidikan interaksional yaitu suatu konsep
pendidikan yang bertitik tolak dari pemikiran manusia sebagai makhluk sosial
yang senantiasa berinteraksi dan bekerja sama dengan manusia lainnya.
Pendidikan sebagai salah satu bentuk kehidupan juga berintikan kerja sama dan
interaksi. Dalam pendidikan interaksional menekankan interaksi dua pihak dari
guru kepada peserta didik dan dari peserta didik kepada guru.
Lebih dari itu, dalam teori pendidikan ini, interaksi juga terjadi antara peserta
didik dengan materi pembelajaran dan dengan lingkungan, antara pemikiran
manusia dengan lingkungannya. Interaksi terjadi melalui berbagai bentuk dialog.
Dalam pendidikan interaksional, belajar lebih sekedar mempelajari fakta-fakta.
Peserta didik mengadakan pemahaman
eksperimental dari fakta-fakta tersebut, memberikan interpretasi yang bersifat
menyeluruh serta memahaminya dalam konteks kehidupan. Filsafat yang melandasi
pendidikan interaksional yaitu filsafat rekonstruksi sosial.
C. Sistem Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan suatu
upaya yang terstruktur untuk membentuk manusia yang berkarakter sesuai dengan
konsekuensinya sebagai seorang muslim. Berbicara tentang sistem pendidikan Islam, hampir tidak dapat dipisahkan
dari sosok Muhammad SAW, seorang lelaki pembawa risalah Islam yang
menurut tradisi dianggap buta huruf (illiterate). Menurut Abdurrahman
Mas’ud, Nabi Muhammad SAW merupakan manusia paripurna, insan kamil, dan
guru terbaik. Beliau tidak hanya mengajar dan mendidik, tetapi juga menunjukkan
jalan, show the way. Kehidupannya demikian memikat dan memberikan
inspirasi hingga manusia tidak hanya mendapatkan ilmu dan kesadaran darinya,
tetapi lebih jauh dari itu manusia juga mentransfer nilai-nilai darinya hingga
menjadi manusia-manusia baru.
Dilihat dari sudut pandang pendidikan, Nabi Muhammad SAW tampak secara
nyata telah mendidik para sahabat dari belenggu jahiliyyah, kegelapan
spiritual dan intelektual yang mencakup culture of silence dan structural
poverty. Dan melalui “tangan dingin” beliau pula pendidikan di kalangan
umat Islam mendapatkan angin segar karena beliau membuka kran lebar-lebar bagi
pencarian ilmu, bahkan dalam salah satu haditsnya beliau mewajibkan setiap
muslim/muslimat untuk mencari ilmu. Berangkat dari sini, maka lahirlah sistem
pendidikan Islam yang terwujud dalam kuttab, halaqah, sufah sampai
kemudian lahir madrasah dan pesantren.
Berbicara tentang sistem pendidikan Islam dewasa ini tidak jauh berbeda
dengan sistem pendidikan umum (non-Islam). Hal ini dikarenakan dewasa ini
sistem pendidikan Islam sudah terlembagakan dalam bentuk sekolah-sekolah.
Secara historis, timbulnya lembaga lembaga pendidikan formal dalam bentuk
sekolah-sekolah dalam dunia Islam merupakan pengembangan dari sistem pengajaran
dan pendidikan yang telah berlangsung di masjid-masjid, yang sejak awal telah
berkembang dan dilengkapi sarana-sarana untuk memperlancar pendidikan dan
pengajaran di dalamnya.
Namun demikian, satu hal yang perlu dipahami adalah
bahwa pendidikan pada masa awal Islam bukanlah enterprise yang
diselenggarakan secara modern, dengan pengaturan yang serba baku dan ketat.
Proses pendidikan waktu itu merupakan sesuatu yang alamiah terjadi, dimana
ketika ada orang yang mampu membaca dan kemudian bertemu dengan orang yang
tidak dapat membaca dan menghendaki belajar, maka terjadilah proses belajar
mengajar. Hal ini dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja. Namun begitu,
biasanya kegiatan seperti ini berlangsung di rumah-rumah para guru atau
pekarangan masjid. Contoh misalnya kegiatan belajar mengajar yang berlangsung
di rumah al Arqam Ibn al Arqam.
Menurut A. Syalabi, pada saat datangnya Islam, orang
Makkah yang pandai membaca dan menulis hanya berkisar 17 orang. Mengingat
jumlah orang yang pandai baca-tulis cukup sedikit dan mereka telah menempati
posisi sebagai sekretaris-sekretaris Nabi Muhammad SAW untuk menulis wahyu,
maka Nabi Muhammad SAW mempekerjakan orang-orang dzimmi mengajar
baca-tulis di kuttab pada orang-orang Islam Makkah.
Meski pengajar di kuttab didominasi oleh
orang-orang dzimmi, Nabi Muhammad SAW juga memerintahkan beberapa
sahabat seperti al Hakam Ibn Sa’id untuk mengajar pada sebuah kuttab
ketika Nabi Muhammad SAW berada di Madinah. Materi yang diajarkan di kuttab
periode Madinah ini tidak berbeda dengan yang diajarkan di Makkah. Pelajaran
baca-tulis menjadi materi pokok bagi pelajar yang ada di kuttab. Materi
pelajaran baca-tulis ini berkisar pada puisi dan pepatah-pepatah Arab.
Pelajaran membaca al Qur’an tidak diberikan di kuttab, tetapi di Masjid
dan di rumah-rumah. Namun begitu, seiring berjalannya waktu, al Qur’an juga
diajarkan di kuttab.
Dan sejalan dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam,
maka bertambah pulalah jumlah penduduk yang memeluk agama Islam. Ketika itu kuttab-kuttab
yang hanya mengambil sebagian ruangan di sudut-sudut rumah seorang guru
ternyata sudah tidak memadai lagi untuk menampung anak-anak yang jumlahnya
semakin banyak, sehingga kondisi yang demikian ini mendorong para guru dan
orang tua untuk mencari tempat lain yang lebih lapang guna ketenteraman proses
belajar mengajar anak-anak. Dan tempat yang mereka pilih adalah sudut-sudut
masjid atau bilik-bilik yang berhubungan langsung dengan masjid, yang
selanjutnya disebut suffah Menurut sebagian ahli, suffah ini
dianggap sebagai universitas Islam pertama, the first Islamic university.
Format lembaga pendidikan Islam yang lain dapat dilihat dari eksistensi madrasah
yang sudah ada sejak zaman klasik Islam dan sampai sekarang terus bertahan
serta menampakkan keajegannya (realibilitas) yang tinggi, yang
bercirikan keagamaan. Sebagaimana diketahui, madrasah sudah menjadi
fenomena yang menonjol sejak awal abad 11-12 M, khususnya ketika wazir
Bani Saljuk, Nidzam al Mulk mendirikan madrasah Nidzamiyah di Baghdad.
Lembaga ini kemudian dipandang sebagai lembaga pendidikan par exellence
dan menjadi trend di hampir seluruh wilayah kekuasaan Islam.
Dalam konteks Indonesia, madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam
telah muncul dan berkembang seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di
Indonesia. Madrasah telah mengalami perkembangan jenjang dan jenisnya seirama
dengan perkembangan bangsa sejak masa kesultanan, masa penjajahan, dan masa
kemerdekaan. Perkembangan tersebut telah merubah pendidikan dari bentuk
awalnya, seperti pengajian di rumah-rumah, langgar, musholla, dan masjid,
menjadi lembaga formal sekolah seperti bentuk madrasah yang kita kenal saat
ini.
Demikian pula dari segi materi, telah terjadi pengembangan dan penyesuaian
dalam penyelenggaraan pendidikan. Kalau sebelumnya hanya belajar mengaji al
Qur’an, dan ibadah praktis, melalui sistem madrasah, materi pelajaran mengalami
peluasan seperti tawhid, hadits, fiqh, tafsir, dan bahasa Arab. Bahkan,
madrasah kemudian mengadopsi pelajaran sebagaimana sekolah-sekolah di bawah
pembinaan Departemen Pendidikan Nasional.
Lembaga pendidikan Islam yang lain yang juga mempunyai tingkat realibilitas
(keajegan) yang tinggi adalah pesantren. Diakui, lembaga ini mempunyai peran
yang sangat strategis dalam ikut mencerdaskan bangsa, membentuk manusia yang
berkualitas dengan internalisasi moral sebagai basis utama penyokongnya.
Meskipun pesantren ini banyak diberi label tradisional-konservatif namun
ternyata eksistensinya masih dapat terus bertahan dan bahkan semakin
menampakkan peran vitalnya di tengah-tengah derasnya gempuran modernisasi dan
globalisasi. Hal ini disebabkan globalisasi dan modernisasi yang diusung oleh
peradaban Barat, meskipun dengan embel-embel “kemajuan sains dan teknologi”,
namun semua itu ternyata “kering” dan hampa makna karena sifatnya yang sekuler
dan dipisahkan dari nilai-nilai teologis.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa sistem pendidikan Islam dari waktu
ke waktu senantiasa mengalami perubahan, termasuk ketika pemerintah Belanda
mulai mengenalkan sistem pendidikan formal yang lebih sistematis dan teratur,
dimana sistem pendidikan formal, sekolah atau madrasah dalam perkembangannya
mulai tersebar di mana-mana. Bahkan di kalangan pondok pesantren sudah
diterapkan pula sistem sekolah atau madrasah, disamping sistem pendidikan dan
pengajaran pondok pesantren yang sudah ada. Berangkat dari sini, maka muncullah
lembaga-lembaga pendidikan seperti Madrasah Ibtida’iyyah, Madrasah
Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah sebagai wujud pendidikan Islam.
Namun demikian, yang perlu dipahami adalah bahwa “pendidikan Islam” tidak
hanya sekedar ciri khas dari ragam pendidikan yang berlatar belakang keagamaan.
Tetapi lebih dari itu, pemahaman “pendidikan Islam” harus mencirikan
karakteristik sebagai berikut: Pertama, dasar filosofis. Penyelenggaraan
dan pendirian pendidikan Islam di dorong oleh hasrat dan semangat untuk
mentransformasikan nilai-nilai dari misi keislaman. Di sini Islam dijadikan
sebagai sumber-sumber nilai dan spirit filosofis yang akan diwujudkan dalam
seluruh kegiatan pendidikannya.
Kedua, program pendidikan.
Pendidikan akan memberikan perhatian sekaligus menjadikan Islam sebagai
pengetahuan untuk materi pengajaran, obyek kajian, dan diperlakukan sebagaimana
ilmu-ilmu yang lain.
Ketiga, penggagas dan
pemrakarsa, yakni orang-orang Islam yang memiliki kepedulian besar terhadap
kelangsungan dan kebenaran Islam. Agar ajaran dan nilai Islam dapat diwariskan
dari generasi terdahulu ke generasi selanjutnya, maka perlu didirikan institusi
pendidikan yang bernuansa Islam sebagai wahana mentransmisikan nilai-nilai dan
budaya Islam.
Keempat, segi institusional
atau kelembagaan. Biasanya nama kelembagaan selalu memakai simbol-simbol
keislaman, baik secara formal “Islam” (SD/SMP Islam) ataupun mengambil
nama-nama tokoh (MI/MTs Sultan Fattah), ulama’ (MI/MTs Hasyim Asy’ari), atau
pejuang Islam (SD/SMP Sultan Agung), atau bisa juga mengambil nama organisasi
Islam sebagai nama lembaga (MTs/MA NU).
D. Pendekatan-Pendekatan dalam
pengembangan Teori Pendidikan
Pendidikan dapat dilihat dalam dua sisi yaitu: (1)
pendidikan sebagai praktik dan (2) pendidikan sebagai teori. Pendidikan sebagai
praktik yakni seperangkat kegiatan atau aktivitas yang dapat diamati dan
disadari dengan tujuan untuk membantu pihak lain (baca: peserta didik) agar
memperoleh perubahan perilaku. Sementara pendidikan sebagai teori yaitu
seperangkat pengetahuan yang telah tersusun secara sistematis yang berfungsi
untuk menjelaskan, menggambarkan, meramalkan dan mengontrol berbagai gejala dan
peristiwa pendidikan, baik yang bersumber dari pengalaman-pengalaman pendidikan
(empiris) maupun hasil perenungan-perenungan yang mendalam untuk melihat makna
pendidikan dalam konteks yang lebih luas.
Diantara keduanya memiliki
keterkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Praktik pendidikan seyogyanya
berlandaskan pada teori pendidikan. Demikian pula, teori-teori pendidikan
seyogyanya bercermin dari praktik pendidikan. Perubahan yang terjadi dalam
praktik pendidikan dapat mengimbas pada teori pendidikan. Sebaliknya, perubahan
dalam teori pendidikan pun dapat mengimbas pada praktik pendidikan
Terkait dengan upaya mempelajari
pendidikan sebagai teori dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, diantaranya:
(1) pendekatan sains; (2) pendekatan filosofi; dan (3) pendekatan religi. (Uyoh
Sadulloh, 1994).
1. Pendekatan Sains
Pendekatan sains yaitu suatu
pengkajian pendidikan untuk menelaah dan dan memecahkan masalah-masalah
pendidikan dengan menggunakan disiplin ilmu tertentu sebagai dasarnya. Cara
kerja pendekatan sains dalam pendidikan yaitu dengan menggunakan
prinsip-prinsip dan metode kerja ilmiah yang ketat, baik yang bersifat
kuantitatif maupun kualitatif sehingga ilmu pendidikan dapat diiris-iris
menjadi bagian-bagian yang lebih detail dan mendalam.
Melalui pendekatan sains ini
kemudian dihasilkan sains pendidikan atau ilmu pendidikan, dengan berbagai cabangnya,
seperti: (1) sosiologi pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai
aplikasi dari sosiologi dalam pendidikan untuk mengkaji faktor-faktor sosial
dalam pendidikan; (2) psikologi pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan
sebagai aplikasi dari psikologi untuk mengkaji perilaku dan perkembangan
individu dalam belajar; (3) administrasi atau manajemen pendidikan; suatu
cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari ilmu manajemen untuk mengkaji
tentang upaya memanfaatkan berbagai sumber daya agar tujuan-tujuan pendidikan
dapat tercapai secara efektif dan efisien; (4) teknologi pendidikan; suatu
cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari sains dan teknologi untuk mengkaji
aspek metodologi dan teknik belajar yang efektif dan efisien; (5) evaluasi
pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari psikologi
pendidikan dan statistika untuk menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa;
(6) bimbingan dan konseling, suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari
beberapa disiplin ilmu, seperti: sosiologi,
teknologidanterutamapsikologi.Tentunya
masih banyak cabang-cabang ilmu pendidikan lainnya yang terus semakin
berkembang yang dihasilkan melalui berbagai kajian ilmiah.
2. Pendekatan Filosofi
2. Pendekatan Filosofi
Pendekatan filosofi yaitu suatu
pendekatan untuk menelaah dan memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan
menggunakan metode filsafat. Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah
pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan semata, yang hanya
terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan akan muncul masalah-masalah yang
lebih luas, kompleks dan lebih mendalam, yang tidak terbatas oleh pengalaman
inderawi maupun fakta-fakta faktual, yang tidak mungkin dapat dijangkau oleh
sains.
Masalah-masalah tersebut diantaranya
adalah tujuan pendidikan yang bersumber dari tujuan hidup manusia dan nilai
sebagai pandangan hidup. Nilai dan tujuan hidup memang merupakan fakta, namun
pembahasannya tidak bisa dengan menggunakan cara-cara yang dilakukan oleh
sains, melainkan diperlukan suatu perenungan yang lebih mendalam.
Cara kerja pendekatan filsafat dalam pendidikan dilakukan melalui metode berfikir yang radikal, sistematis dan menyeluruh tentang pendidikan, yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga model: (1) model filsafat spekulatif; (2) model filsafat preskriptif; (3) model filsafat analitik. Filsafat spekulatif adalah cara berfikir sistematis tentang segala yang ada, merenungkan secara rasional-spekulatif seluruh persoalan manusia dengan segala yang ada di jagat raya ini dengan asumsi manusia memliki kekuatan intelektual yang sangat tinggi dan berusaha mencari dan menemukan hubungan dalam keseluruhan alam berfikir dan keseluruhan pengalaman Filsafat preskriptif berusaha untuk menghasilkan suatu ukuran (standar) penilaian tentang nilai-nilai, penilaian tentang perbuatan manusia, penilaian tentang seni, menguji apa yang disebut baik dan jahat, benar dan salah, bagus dan jelek. Nilai suatu benda pada dasarnya inherent dalam dirinya, atau hanya merupakan gambaran dari fikiran kita. Dalam konteks pendidikan, filsafat preskriptif memberi resep tentang perbuatan atau perilaku manusia yang bermanfaat.
Cara kerja pendekatan filsafat dalam pendidikan dilakukan melalui metode berfikir yang radikal, sistematis dan menyeluruh tentang pendidikan, yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga model: (1) model filsafat spekulatif; (2) model filsafat preskriptif; (3) model filsafat analitik. Filsafat spekulatif adalah cara berfikir sistematis tentang segala yang ada, merenungkan secara rasional-spekulatif seluruh persoalan manusia dengan segala yang ada di jagat raya ini dengan asumsi manusia memliki kekuatan intelektual yang sangat tinggi dan berusaha mencari dan menemukan hubungan dalam keseluruhan alam berfikir dan keseluruhan pengalaman Filsafat preskriptif berusaha untuk menghasilkan suatu ukuran (standar) penilaian tentang nilai-nilai, penilaian tentang perbuatan manusia, penilaian tentang seni, menguji apa yang disebut baik dan jahat, benar dan salah, bagus dan jelek. Nilai suatu benda pada dasarnya inherent dalam dirinya, atau hanya merupakan gambaran dari fikiran kita. Dalam konteks pendidikan, filsafat preskriptif memberi resep tentang perbuatan atau perilaku manusia yang bermanfaat.
Filsafat analitik memusatkan
pemikirannya pada kata-kata, istilah-istilah, dan pengertian-pengertian dalam
bahasa, menguji suatu ide atau gagasan untuk menjernihkan dan menjelaskan
istilah-istilah yang dipergunakan secara hati dan cenderung untuk tidak
membangun suatu mazhab dalam sistem berfikir .
Terdapat beberapa aliran dalam filsafat, diantaranya: idealisme,
materialisme, realisme dan pragmatisme. Aplikasi aliran-aliran filsafat
tersebut dalam pendidikan kemudian menghasilkan filsafat pendidikan, yang selaras dengan
aliran-aliran filsafat tersebut. Filsafat pendidikan akan berusaha memahami
pendidikan dalam keseluruhan, menafsirkannya dengan konsep-konsep umum, yang
akan membimbing kita dalam merumuskan tujuan dan kebijakan pendidikan. Dari
kajian tentang filsafat pendidikan selanjutnya dihasilkan berbagai teori
pendidikan, diantaranya:
(1) perenialisme
(2) esensialisme
(3) progresivism
(4)rekonstruktivisme.
Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
3. Pendekatan Religi
Pendekatan religi yaitu suatu
pendekatan untuk menyusun teori-teori pendidikan dengan bersumber dan
berlandaskan pada ajaran agama. Di dalamnya berisikan keyakinan dan nilai-nilai
tentang kehidupan yang dapat dijadikan sebagai sumber untuk menentukan tujuan, metode
bahkan sampai dengan jenis-jenis pendidikan.
Cara kerja pendekatan religi berbeda dengan
pendekatan sains maupun filsafat dimana cara kerjanya bertumpukan sepenuhnya
kepada akal atau ratio, dalam pendekatan religi, titik tolaknya adalah keyakinan
(keimanan). Pendekatan religi menuntut orang meyakini dulu terhadap segala
sesuatu yang diajarkan dalam agama, baru kemudian mengerti, bukan sebaliknya.
Terkait dengan teori pendidikan Islam, dalam bukunya “ Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam” mengemukakan dasar ilmu pendidikan Islam yaitu Al-Quran, Hadis dan Akal. Al-Quran diletakkan sebagai dasar pertama dan Hadis Rasulullah SAW sebagai dasar kedua. Sementara akal digunakan untuk membuat aturan dan teknis yang tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber utamanya (Al-Qur’an dan Hadis), yang memang telah terjamin kebenarannya. Dengan demikian, teori pendidikan Islam tidak merujuk pada aliran-aliran filsafat buatan manusia, yang tidak terjamin tingkat kebenarannya.
Terkait dengan teori pendidikan Islam, dalam bukunya “ Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam” mengemukakan dasar ilmu pendidikan Islam yaitu Al-Quran, Hadis dan Akal. Al-Quran diletakkan sebagai dasar pertama dan Hadis Rasulullah SAW sebagai dasar kedua. Sementara akal digunakan untuk membuat aturan dan teknis yang tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber utamanya (Al-Qur’an dan Hadis), yang memang telah terjamin kebenarannya. Dengan demikian, teori pendidikan Islam tidak merujuk pada aliran-aliran filsafat buatan manusia, yang tidak terjamin tingkat kebenarannya.
Berkenaan dengan tujuan pendidikan
Islam,” Sementara itu,
Ahmad Tafsir merumuskan
tentang tujuan umum pendidikan Islam yaitu muslim yang sempurna dengan ciri-ciri
: (1) memiliki jasmani yang sehat, kuat dan berketerampilan; (2) memiliki
kecerdasan dan kepandaian dalam arti mampu menyelesaikan secara cepat dan
tepat; mampu menyelesaikan secara ilmiah dan filosofis; memiliki dan
mengembangkan sains; memiliki dan mengembangkan filsafat dan (3) memiliki hati
yang takwa kepada Allah SWT, dengan sukarela melaksanakan perintah Allah SWT
dan menjauhi larangannya dan hati memiliki hati yang berkemampuan dengan alam
gaib.
Dalam teori pendidikan Islam,
dibicarakan pula tentang hal-hal yang berkaitan dengan substansi pendidikan
lainnya, seperti tentang sosok guru yang islami, proses pembelajaran dan
penilaian yang islami, dan sebagainya Mengingat kompleksitas dan luasnya
lingkup pendidikan, maka untuk menghasilkan teori pendidikan yang lengkap dan
menyeluruh kiranya tidak bisa hanya dengan menggunakan satu pendekatan saja.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan holistik dengan memadukan ketiga
pendekatan di atas yang terintegrasi dan yang
tidak dapat di observasi dan diukur. Seperti yang kita ketahui bahwa indra dan
rasa bukan satu-satunya alat yang dapat digunakan untuk memperoleh pengetahuan.
Al-Quran yang merupaka kitab wahyu
dari Allah, sains tidak akan mampu mengujinya secara empiris, dan secara
keseluruhan. Dalam surat Al-Baqarah dijelaskan kalau tidak salah ayat 3 secara
umum dapat kita golongkan bahwa kepercayaan orang mukmin terhadap terhadap
segala yang ghaib, mendahului referensi terhadap perilaku yang dapat
diobservasi. Orang -orang islam menerima sistem etika islam yang bersumber dari
Al-Quran, karena datang dari Allah Yang Maha Ghaib, yang diyakini sebagai
sistem etika terbaik, bukan hasil temuan empiris, juga bukan hasil
eksperimentasi sains.
Teori pendidikan Islam merupakan
teori yang terintegratif yang berdasrkan pada prinsip-prinsip Qurani. Jadi
teori pendidikan Islam tidak akan bertentangan dengan hasil-hasil sains bahkan
dapat menerima dan memamfaatkan bagian-bagian dari sains bagi pelkasanaan
operasional pendidikan. Sebagai contoh konsep tentang
kejadian manusia sudah dijelaskan dalam Al-quran misalnya dari surat yasin
dimana dasar pengetahuan ini bisa dijadikan pijakan untuk membuktikakanya
secara empiris yang pada akhirnya apa yang dijelaskan oleh Al-Quran sesuai
denga apa yangdibuktikan oleh sains. Dan masih banyak lagi contoh-contoh
gambaran ilmu yang disebutkan dalam Al-Quran yang kebenarannya dibuktikan oleh
sains.
E. Pengertian Pendidikan Islam
a. Pengertian secara Terminologis
Tujuan adalah arah, haluan, jurusan maksud. Atau
tujuan adalah sasaran yang akan dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang
yang melakukan suatu kagiatan. Atau menurut Zakiah Darajat, tujuan adalah
sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai.
b. Pengertian secara Epistimologis
Tujuan pendidikan merupakan syarat mutlak
dalam mendefinisikan pendidikan itu sendiri yang paling tidak didasarkan atas
konsep dasar mengenai manusia, alam dan ilmu serta dengan pertimbangan
prinsip-prinaip dasarnya. Hujair AH. Sanaky menyebut istilah tujuan pendidikan
Islam dengan visi dan misi pendidikan Islam. Menurutnya, sebenarnya pendidikan
Islam memiliki visi dan misi yang ideal, yaitu "RohmatanLil'alamin".
Mundzir Hitami berpendapat bahwa tujuan pendidikan tidak terlepas dari tujuan hidup
manusia, biarpun dipengaruhi oleh berbagai budaya, pandangan hidup, atau
keinginan-kainginan lainnya.
F. Prinsip-Prinsip
Dalam Formulasi Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam mempunyai
beberapa prinsip tertentu, guna menghantar tercapainya tujuan pendidikan Islam.
Prinsip itu adalah :
1. Prinsip universal (syumuliyah)
Prinsip yang memandang keseluruhan aspek
agama (akidah, ibadah dan akhlak, serta muamalah), manusia (jasmani, rohani,
dan nafsani), masyarakat dan tatanan kehidupannya, serta adanya wujud jagat
raya dan hidup.
2. Prinsip keseimbangan dan kesederhanaan
(tawazun qa iqtishadiyah).
Prinsip ini adalah keseimbangan antara
berbagai aspek kehidupan pada pribadi, berbagai kebutuhan individu dan
komunitas, serta tuntunan pemeliharaan kebudayaan silam dengan kebudayaan masa
kini serta berusaha mengatasi masalah-masalah yang sedang dan akan terjadi.
3. Prinsip kejelasan (tabayun).
Prinsip yang didalamnaya terdapat ajaran
hukum yang memberi kejelasan terhadap kejiwaan manusia (qalbu, akal dan
hawa nafsu) dan hukum masalah yang dihadapi, sehingga terwujud tujuan,
kurikulum dan metode pendidikan.
4. Prinsip tak bertentangan.
Prinsip yang didalamnya terdapat ketiadaan
pertentangan antara berbagai unsur dan cara pelaksanaanya, sehingga antara satu
kompenen dengan kompenen yang lain saling mendukung.
5. Prinsip realisme dan dapat dilaksanakan.
Prinsip yang menyatakan tidak adanya
kekhayalan dalam kandungan program pendidikan, tidak berlebih-lebihan, serta
adanya kaidah yang praktis dan relistis, yang sesuai dengan fitrah dan kondisi
sosioekonomi, sosopolitik, dan sosiokultural yang ada.
6. Prinsip perubahan yang diingini.
Prinsip perubahan struktur diri manusia yang
meliputi jasmaniah, ruhaniyah dannafsaniyah; serta perubahan
kondisi psikologis, sosiologis, pengetahuan, konsep, pikiran, kemahiran,
nili-nilai, sikap peserta didik untuk mencapai dinamisasi kesempurnaan
pendidikan (QS. ar-Ra’d: 11).
7. Prinsip menjaga perbedaan-perbedaan
individu.
Prinsip yang memerhatikan perbedaan peserta
didik, baikciri-ciri, kebutuhan, kecerdasan, kebolehan, minat, sikap, tahap
pematangan jasmani, akal, emosi, sosial, dan segala aspeknya. Prinsip ini
berpijak pada asumsi bahwa semua individu ‘tidak sama’ dengan yang lain.
8. Prinsip dinamis dalam menerima
perubahan dan perkembangan yang terjadi pelaku pendidikan serta lingkungan
dimana pendidikan itu dilaksanakan.
G. Komponen-Komponen Tujuan Pendidikan Islam
Secara teoritis, tujuan akhir dibedakan
menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Tujuan Normatif
Tujuan yang ingin dicapai
berdasarkan norma-norma yang mampu mengkristalisasikan nilai-nilai yang hendak
diinternalisasi, misalnya :
a. Tujuan formatif yang bersifat memberi
persiapan dasar yang korektif.
b. Tujuan selektif yang bersifat memberikan
kemampuan untuk membedakan hal-hal yang benar dan yang salah.
c. Tujuan determinatif yang bersifat
memberi kemampuan untuk
mengarahkan dari pada sasaran- sasaran yang sejajar dengan proses kependidikan.
d. Tujuan integratif yang bersifat memberi
kemampuan untuk memadukan fungsi psikis (pikiran, perasaan, kemauan, ingatan,
dan nafsu) kearah tujuan akhir.
e. Tujuan aplikatif yang bersifat
memberikan kemampuan penerapan segala pengetahuan yang telah diperoleh dalam
pengalaman pendidikan.
2. Tujuan Fungsional
Tujuan yang sasarannya diarahkan
pada kemampuan peserta didik untuk memfungsikan daya kognisi, afeksi, dan
psikomotorik dari hasil pendidikan yang diperoleh, sesuai dengan yang
ditetapkan. Tujuan ini meliputi :
a. Tujuan individual, yang
sasarannya pada pemberian
kemampuan individual untuk mengamalkan nilai-nilai yang telah
diinternalisasikan kedalam pribadi berupa moral, intelektual dan skill.
b. Tujuan sosial, yang sasarannya pada pemberian
kemampuan pengamalan nilai-nilai kedalamm kehidupan sosial, interpersonal, dan
interaksional dengan orang lain dalam masyarakat.
c. Tujuan moral, yang sasarannya pada
pemberian kemampuan untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan moral atas
dorongan motivasi yang bersumber pada agama (teogenetis), dorongan sosial
(sosiogenetis), dorongan psikologis (psikogenetis), dan dorongan biologis
(biogenetis).
d. Tujuan profesional, yang sasarannya
pada pemberian kemampuan untuk mengamalkan keahliannya, sesuai dengan
kompetensi yang dimiliki.
3. Tujuan Operasional
Tujuan yang mempunyai sasaran
teknis manajerial. Menurut langeveld, tujuan ini dibagi menjadi enam macam,
yaitu :
a. Tujuan umum (tujuan total), menurut
Kohnstam dan Guning, tujuan ini mengupayakan bentuk manusia kamil, yaitu manusia yang dapat menunjukan
keselaraasn dan keharmonisan antara jasmani dan rohani, baik dalam segi
kejiwaan, kehidupan individu, maupun untuk kehidupan bersama yang menjadikan
integritas ketiga ini hakikat manusia.
b. Tujuan khusus, tujuan ini sebagai indikasi
tercapainya tujuan umum, yaitu tujuan pendidikan yang disesuaikan dengan
keadaan tertentu, baik berkaitan dengan cita-cita pembangunan suatu bangsa,
tugas dari suatu badan atau lembaga pendidikan, bakat kemampuan peserta didik,
seperti memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik untuk
bekal hidupnya setelah ia tamat, dan sekaligus merupakan dasar persiapan untuk
melanjutkan kejenjang pendidikan berikutnya.
c. Tujuan tak lengkap, tujuan ini
berkaitan dengan kepribadian
manusia dari suatu aspek saja, yang berhubungan dengan nilai-nilai hidup
tertentu, misalnya kesusilaan, keagamaan, keindahan, kemasyarakatan,
pengetahuan, dan sebagainya.
d. Tujuan insidental (tujuan seketika),
tujuan ini timbul karena kebetulan, bersifat mendadak, dan besifat sesaat,
misalnya mengadakan sholat jenazah ketika ada orang yang meninggal.
e. Tujuan sementara, tujuan yang ingin dicapai pada fase-fase tertentu dari
tujuan umum, seperti fase anak yang tujuan belajarnya adalah membaca dan
menulis, fase manula yang tujuan-tujuannya adalah membekali diri untuk
menghadap ilahi, dan sebagainya.
f. Tujuan intermedier, tujuan yang
berkaitan dengan penguasaan suatu pengetahuan dan keterampilan demi tercapainya
tujuan sementara, misalnya anak belajar membaca dan menulis, berhitung dan
sebagainya.[6]
H. Formulasi
Tujuan Pendidikan Islam
Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana
yang dikutip oleh Majid ‘Irsan al-Kaylani,[7] tujuan pendidikan Islam tertumpu pada empat
aspek, yaitu :
1. Tercapainya pendidikan tauhid dengan
cara mempelajari ayat Allah SWT. Dalam wahyu-Nya dan ayat-ayat fisik (afaq)
dan psikis (anfus).
2. Mengetahui ilmu Allah SWT, melalui
pemahaman terhadap kebenaran makhluk-Nya.
3. Mengetahuai kekuatan (qudrah)
Allah SWT melalui pemahaman jenis-jenis, kuantitas,dan kreativitas makhluk-Nya.
4. Mengetahui apa yang diperbuat Allah
SWT, (Sunnah Allah) tentang realitas (alam) dan jenis-jenis perilakunya.
Abdal Rahman Shaleh Abd Allah
dalam bukunya,Educational Theory, aQur’anic outlook, menyatakan tujuan
pendidikan Islam dapat diklasifikasikan menjadi empat dimensi, yaitu :
1. Tujuan Pendidikan Jasmani (al-Ahdaf
al-Jismiyah)
Mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban
tugas khalifah di bumi, melalui keterampilan-keterampilan fisik. Ia berpijak
pada pendapat dari Imam Nawawi yang menafsirkan “al-qawy” sebagai
kekuatan iman yang ditopang oleh kekuatan fisik, (QS.al-Baqarah : 247, al-Anfal
:60).
2. Tujuan Pendidikan Rohani (al-Ahdaf
al-Ruhaniyah)
Meningkatkan jiwa dari kesetiaan yang hanya kepada Allah
SWT semata dan melaksanakan moralitas Islami yang diteladani oleh Nabi SAW
dengan berdasarkan pada cita-cita ideal dalam al-Qur’an (QS. Ali Imran : 19).
Indikasi pendidikan rohani adalah tidak bermuka dua ( QS. Al-Baqarah : 10),
berupaya memurnikan dan menyucikan diri manuisa secara individual dari sikap
negatif (QS al-Baqarah : 126) inilah yang disebut dengan tazkiyah (purification) dan hikmah (wisdom).
3. Tujuan Pendidikan Akal (al-Ahdaf
al-Aqliyah)
Pengarahan inteligensi untuk menemukan
kebenaran dan sebab-sebabnya dengan telaah tanda-tanda kekuasaan Allah dan menemukan
pesan-pesan ayat-ayat-Nya yang berimplikasi kepada peningkatan iman kepada Sang
Pencipta. Tahapan akal ini adalah :
a. Pencapaian kebenaran ilmiah (ilm
al-yaqin) (QS. Al-Takastur : 5)
b. Pencapaian kebenaran empiris (ain
al-yaqin) (QS. Al- Takastur : 7)
c. Pencapaian kebenaran metaempiris atau
mungkin lebih tepatnya sebagai kebenaran filosofis (haqq –alyaqin) (QS.
Al-Waqiah : 95).
4. Tujuan Pendidikan Sosial ( al-Ahdaf
al-Ijtimaiyah)
Tujuan pendidikan sosial adalah pembentukan
kepribadian yang utuh yang menjadi bagian dari komunitas sosial.
Identitasindividu disini tercermin sebagai “al-nas” yang hidup pada
masyarakat yang plural (majemuk).
Menurut Muhammad Athahiyah
al-Abrasy,[9] tujuan pendidiakn Islam adalah tujuan yang
telah ditetapkan dan dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sewaktu hidupnya, yaitu
pembentukan moral yang tinggi, karena pendidikan moral merupakan jiwa
pendidikan Islam, sekalipun tanpa mengabaikan pendidikan jasmani, akal, dan
ilmu praktis. Tujuan tersebut berpijak dari sabda Nabi SAWyang diriwayatkan
oleh Malik bin Anas dari Anas bin Malik).
انْما بُعثتُ لأتمم مكارمَ الأخلاق عن انس بن
مالك
“Aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang baik”
Menurut al-Ghazali, yang dikutip
oleh Fathiyah Hasan
Sulaiman, tujuan umum pendidikan
islam tercermin dalam dua segi, yaitu:
1. Insan purna yang bertujuan mendekatkan
diri kepada Allah SWT.
2. Insan purna yang bertujuan mendapatkan
kebahagiaan hidup didunia dan di akhirat. Pandangan dunia akhirat dalam
pandangan al-Ghazali adalah menempatkan kebahagiaan dalam proporsi yang
sebenarnya. Kebahagiaan yan lebih emiliki nilai universal, abadi, dan lebih
hakiki itulah yang diprioritaskan.
Rumusan tujuan pendidikan Islam
yang dihasilkan dari seminar pendidikan Islam sedunia tahun 1980 di Islamabad
adalah:
“Education aims at the ballanced growth of
total personality of man through the training of man’s spirit, intelect, the
rasional self, feeling and bodile sense. Education should , therefore, cater,
for the growth of man in all its aspects, spiritual, intelectual, imaginative,
physical, scientific, linguistic, both individually and collectivelly, and
motivate all these aspects toward goodness and attainment of pefection. The
ultimate aim of education lies in the realization of complete submission to
Allah on the level of individual, the community and humanity at large”.
Maksudnya, pendidikan seharusnya
bertujuan mencapai pertumbuhan yang seimbang dalam kepribadian manusia secara
total melalui pelatihan spiritual, kecerdasan, rasio, perasaan, dan pancaindra.
Oleh karena itu, pendidikan seharusnya pelayanan bagi pertumbuhan manusia dalam
segala aspeknya yang meliputi aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik,
ilmiyah, linguistik, baik secara individu, maupun secara kolektif dan
memotifasi semua aspek tersebut kearah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan.
Tujuan utama pendidikan bertumpu pada terealisasinya ketundukan kepada Allah
SWT baik dalam level individu, komunitas, dan manusia secara luas.
Dari beberapa rumusan tujuan
diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah :”terbentuknya insankamil yang didalamnya memiliki wawasan khaffahagar mampu menjalankan
tugas-tugas kehambaan, kekhalifahan, dan pewaris nabi”. Tujuan bisa dijabarkan
dalam uraian sebagai berikut:
1. Terbentuknya “insankamil” (
manusia paripurna ) yang mempunyai wajah-wajahqur’ani.
2. Terciptanya “insankaffah”.
3. Penyadaran fungsi manusia sebagai
hamba, khalifah Allah, serta sebagai pewaris nabi (warasatalanbiya’) dan
memberikan bekal yang memadahi dalam rangka pelaksanaan fungsi tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dalam teori
pengembangan pendidikan Islam, dibicarakan pula tentang hal-hal yang
berkaitan dengan substansi pendidikan lainnya, seperti tentang sosok guru yang
islami, proses pembelajaran dan penilaian yang islami, dan sebagainya Mengingat
kompleksitas dan luasnya lingkup pendidikan, maka untuk menghasilkan teori
pendidikan yang lengkap dan menyeluruh kiranya tidak bisa hanya dengan
menggunakan satu pendekatan saja. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan
holistik dengan memadukan ketiga pendekatan di atas yang terintegrasi dan yang tidak dapat di observasi dan
diukur. Seperti yang kita ketahui bahwa indra dan rasa bukan satu-satunya alat
yang dapat digunakan untuk memperoleh pengetahuan.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik
kesimpulan di antaranya :
1.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
2.
Sistem pendidikan Islam dari waktu ke waktu senantiasa
mengalami perubahan
3.
Tujuan pendidikan Islam adalah melahirkan
manusia paripurna, terbaik, insan
kamil atau manusia yang bertaqwa yaitu sosok
manusia yang memahami peran dan fungsinya dalam kehidupan, serta manyandarkan
semuanya pada ajaran dan hukum Allah SWT dan Rosulullah SAW.
B.Saran
Dengan adanya perkembangan ilmu
pendidikan islam dapat menambah kwalitas sumber daya pemahaman umat islam yang
semakin berkembang saat ini dan bisa menjadi patokan bagi kita mahasiswa(i),dan
bisa dimanfaatkan kan poleh kita semua Amin.....
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasy, Mohd.’Athijah, Dasar-Dasar
Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta. 1970
Ali, Hamdani, Filsafat
Ilmu Pendidikan, Kota Kembang, Jogjakarta. 1986
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,Bandung,
Al-Ma’arif1980
Nurkancana, Wayan, dan Sumartana,Evalusi
Pendidikan, Surabaya:PT Pustaka Setia 1986
Muhaimin dan Abd Mujib,. Pemikiran Pendidikan Islam,
Bandung: Trigenda Karya. 1993
Tafsir, Ahmad,. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif
Islam, Bandung: Rosdakarya. 1994
Daradjat, Zakiyah, Ilmu
Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta. 1991
Fadjar, A. Malik, Pembaruan Pendidikan Islam,
Jakarta:Cv Rosdakarya, 1998
Net Aly, Hero, MA., Ilmu
Pendidikan Islam, Logos, Jakarta). 1999
Rosihon Anwar, dkk,
Pengantar Studi Islam, Bandung : Cv Pustak Setia, 2009.
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/-prinsip-prinsip-kurikulum-pendidikan
/diakses 15 September 2015 jam
11.30 WIB
http://banyubeningku.blogspot.co.id/2010/11/sistem-pendidikan-islam.html/ diakses 15 September 2015 jam 11.45WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar