Minggu, 01 November 2015

ANALISA PIAGAM MADINAH

ANALISA PIAGAM MADINAH
DALAM KAITANNYA DENGAN DEMOKRASI, HAK ASASI MANUSIA
DAN KONSTITUSI

A.       Piagam Madinah
Piagam Madinah adalah sebuah loncatan besar pemikiran modern yang dibuat oleh Muhammad sebagai perwakilan dunia timur di saat bangsa barat berkutat dalam abad kegelapan yang berkepanjangan. Bahkan piagam ini secara argumentatif telah dapat dianggap sebagai konstitusi atau undang-undang dasar tertulis pertama di dunia dengan berbagai kelebihan yang salah satunya: sebagai naskah tertulis pertama yang mengakomodasi hak-hak dasar atau asasi manusia (HAM) terutama dalam kebebasan memilih agama. Berdirinya Negara-Kota Madinah Terbentuknya Negara-Kota Madinah dapat dijelaskan dengan Teori Perjanjian (Kontrak) Sosial yang diajukan oleh Thomas Hobbes dalam bukunya Leviathan, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract Or Principles Of Political Right. Ketiganya menjelaskan sebuah teori yang sebenarnya memiliki prinsip yang sama. Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa masyarakat pada awalnya berada dalam tahap naturalis dengan konsep homohominilupus ‘manusia sebagai serigala bagi yang lainnya’. Dalam perkembangannya, tahapan ini bergerak ke dalam billum omnium contra omnes ‘perang semua melawan semua’. Dua kondisi ini terlihat pada masa pra-perang saudara maupun dalam proses perang saudara di Yastrib antara suku ‘Aws dan Khazraj yang dipecah belah oleh beberapa suku beragama Yahudi yang berada di kota tersebut.
Tahapan pun berkembang menuju kesadaran manusia untuk mencari solusi agar dapat hidup bersama. Dalam tahap ini, suku ‘Aws dan Khazraj yang sudah mulai bosan dengan peperangan memilih Muhammad yang berada di Kota Makkah sebagai pihak netral yang akan menjadi mediator konflik. Muhammad pun mengirimkan satu orang delegasinya, Mush’ab bin ‘Umair, sebagai perwakilannya di Yastrib. Kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik oleh Muhammad untuk mempersiapkan “rumah” baru bagi dakwahnya menggantikan situasi Kota Makkah yang tidak kondusif untuk mengembangkan dakwah.
Mush’ab pun berhasil dan rakyat Yastrib mencapai tahapan perjanjian faktum unionis, perang dan permusuhan usai. Dalam beberapa tahun berikutnya, Yastrib telah berkembang dan telah memiliki pendukung terpentingnya sebagai negara: persatuan dan kesatuan rakyat. Muhammad yang telah populer di sana kemudian berhijrah menuju kota tersebut dan mayoritas rakyat Yastrib menerimanya sebagai pemimpin. Ketika itu, beberapa suku beragama Yahudi dan sebagian suku arab di Yastrib masih belum bisa menerima hal ini. Dengan niat yang luhur dan karakter kepemimpinan yang superior, Muhammad mengunjungi seluruh suku tersebut untuk mendengar kebutuhan dan kepentingan mereka. Pada akhirnya, pada tahun 622 M, mereka pun menerima Piagam Madinah sebagai pelindung bagi hak dan kepentingan mereka sebagai rakyat Madinah.
Piagam Madinah sebagai undang-undang dasar telah:
·        secara tidak langsung, mendeklarasikan Yastrib bertransformasi menjadi Negara-Kota Madinah (City-State of Madinah);
·        membangun aturan-aturan pemerintahan;
·        mengamanatkan isu-isu sosial yang spesifik yang dapat mengubur perpecahan yang telah lama terjadi di kota itu;
·        mengamanatkan perlindungan terhadap hak dan kewajiban warga negara; dan
·        mengamanatkan penyediaan pelayanan hukum yang adil bagi semua pihak sehingga tidak ada lagi penyelesaian masalah dengan aksi-aksi militer dari masing-masing suku.
Dengan demikian, berdirilah Madinah pada tahap faktum subjektionis, penyerahan kekuasaan rakyat kepada pemimpinnya sebagai penjaga perjanjian atau hasil konsensus yang bernama Konstitusi atau Piagam Madinah.
Selengkapnya isi Piagam Madinah sebagai berikut:
== MUKADDIMAH ==
Dengan nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang "Inilah Piagam Tertulis dari Nabi Muhammad SAW di kalangan Orang-orang yang beriman dan memeluk Islam (yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib, dan orang-orang yang mengikuti mereka, mempersatukan diri dan berjuang bersama mereka"
I PEMBENTUKAN UMMAT
Pasal 1    Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.
II HAK ASASI MANUSIA
Pasal 2     Kaum Muhajirin dari Quraisy ttp mempunyai hak asli mereka,saling tanggung-menanggung, membayar dan menerima wang tebusan darah (diyat)kerana suatu pembunuhan, dengan cara yang baik dan adil di antara orang-orang beriman.
Pasal 3      1. Banu 'Awf (dari Yathrib) tetap mempunyai hak asli mereka, tanggung menanggung wang tebusan darah (diyat). 2. Dan setiap keluarga dari mereka membayar bersama akan wang tebusan dengan baik dan adil di antara orang-orang beriman.
Pasal 4      1. Banu Sa'idah (dari Yathrib) tetap atas hak asli mereka, tanggung menanggung wang tebusan mereka. 2. Dan setiap keluarga dari mereka membayar bersama akan wang tebusan dengan baik dan adil di antara orang-orang beriman.
Pasal 5      1. Banul-Harts (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, saling tanggung-menanggung untuk membayar wang tebusan darah (diyat) di antara mereka. 2. Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.
Pasal 6      1. Banu Jusyam (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar wang tebusan darah (diyat) di antara mereka. 2. Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.
Pasal 7      1. Banu Najjar (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar wang tebusan darah (diyat) dengan secara baik dan adil. 2. Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang beriman.
Pasal 8      1. Banu 'Amrin (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar wang tebusan darah (diyat) di antara mereka. 2. Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.
Pasal 9      1. Banu An-Nabiet (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar wang tebusan darah (diyat) di antara mereka. 2. Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.
Pasal 10    1. Banu Aws (dari suku Yathrib) berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar wang tebusan darah (diyat) di antara mereka. 2. Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.
III PERSATUAN SEAGAMA
Pasal 11   Sesungguhnya orang-orang beriman tidak akan melalaikan tanggungjawabnya untuk memberi sumbangan bagi orang-orang yang berhutang, karena membayar uang tebusan darah dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.
Pasal 12   Tidak seorang pun dari orang-orang yang beriman dibolehkan membuat persekutuan dengan teman sekutu dari orang yang beriman lainnya, tanpa persetujuan terlebih dahulu dari padanya.
Pasal 13    1. Segenap orang-orang beriman yang bertaqwa harus menentang setiap orang yang berbuat kesalahan , melanggar ketertiban, penipuan, permusuhan atau pengacauan di kalangan masyarakat orang-orang beriman. 2. Kebulatan persatuan mereka terhadap orang-orang yang bersalah merupakan tangan yang satu, walaupun terhadap anak-anak mereka sendiri.
Pasal 14    1. Tidak diperkenankan seseorang yang beriman membunuh seorang beriman lainnya karena lantaran seorang yang tidak beriman. 2. Tidak pula diperkenankan seorang yang beriman membantu seorang yang kafir untuk melawan seorang yang beriman lainnya.
Pasal 15    1. Jaminan Tuhan adalah satu dan merata, melindungi nasib orang-orang yang lemah. 2. Segenap orang-orang yang beriman harus jamin-menjamin dan setiakawan sesama mereka daripada (gangguan) manusia lain
IV PERSATUAN SEGENAP WARGANEGARA
Pasal 16   Bahwa sesungguhnya kaum-bangsa Yahudi yang setia kepada (negara) kita, berhak mendapatkan bantuan dan perlindungan, tidak boleh dikurangi haknya dan tidak boleh diasingkan dari pergaulan umum.
Pasal 17   1. Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu 2. Tidak diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Tuhan, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka.
Pasal 18   Setiap penyerangan yang dilakukan terhadap kita, merupakan tantangan terhadap semuanya yang harus memperkuat persatuan antara segenap golongan.
Pasal 19    1. Segenap orang-orang yang beriman harus memberikan pembelaan atas tiap-tiap darah yang tertumpah di jalan Tuhan. 2. Setiap orang beriman yang bertaqwa harus berteguh hati atas jalan yang baik dan kuat.
Pasal 20   1. Perlindungan yang diberikan oleh seorang yang tidak beriman (musyrik) terhadap harta dan jiwa seorang musuh Quraisy, tidaklah diakui. 2. Campur tangan apapun tidaklah diijinkan atas kerugian seorang yang beriman.
Pasal 21    1. Barangsiapa yang membunuh akan seorang yang beriman dengan cukup bukti atas perbuatannya harus dihukum bunuh atasnya, kecuali kalau wali (keluarga yang berhak) dari si terbunuh bersedia dan rela menerima ganti kerugian (diyat). 2. Segenap warga yang beriman harus bulat bersatu mengutuk perbuatan itu, dan tidak diizinkan selain daripada menghukum kejahatan itu.
Pasal 22    1. Tidak dibenarkan bagi setiap orang yang mengakui piagam ini dan percaya kepada Tuhan dan hari akhir, akan membantu orang-orang yang salah, dan memberikan tempat kediaman baginya. 2. Siapa yang memberikan bantuan atau memberikan tempat tinggal bagi pengkhianat-pengkhianat negara atau orang-orang yang salah, akan mendapatkan kutukan dan kemurkaan Tuhan di hari kiamat nanti, dan tidak diterima segala pengakuan dan kesaksiannya.
Pasal 23   Apabila timbul perbezaan pendapat di antara kamu di dalam suatu soal, maka kembalikanlah penyelesaiannya pada (hukum) Tuhan dan (keputusan) Muhammad SAW.
V GOLONGAN MINORITAS
Pasal 24    Warganegara (dari golongan) Yahudi memikul biaya bersama-sama dengan kaum beriman, selama negara dalam peperangan.
Pasal 25    1. Kaum Yahudi dari suku 'Awf adalah satu bangsa-negara (ummat) dengan warga yang beriman. 2. Kaum Yahudi bebas memeluk agama mereka, sebagai kaum Muslimin bebas memeluk agama mereka. 3. Kebebasan ini berlaku juga terhadap pengikut-pengikut/sekutu-sekutu mereka, dan diri mereka sendiri. 4. Kecuali kalau ada yang mengacau dan berbuat kejahatan, yang menimpa diri orang yang bersangkutan dan keluarganya.
Pasal 26   Kaum Yahudi dari Banu Najjar diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu 'Awf di atas
Pasal 27   Kaum Yahudi dari Banul-Harts diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu 'Awf di atas
Pasal 28   Kaum Yahudi dari Banu Sa'idah diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu 'Awf di atas
Pasal 29   Kaum Yahudi dari Banu Jusyam diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu 'Awf di atas
Pasal 30    Kaum Yahudi dari Banu Aws diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu 'Awf di atas
Pasal 31    1. Kaum Yahudi dari Banu Tsa'labah, diperlakukan sama seperti kaum yahudi dari Banu 'Awf di atas 2. Kecuali orang yang mengacau atau berbuat kejahatan, maka ganjaran dari pengacauan dan kejahatannya itu menimpa dirinya dan keluarganya.
Pasal 32   Suku Jafnah adalah bertali darah dengan kaum Yahudi dari Banu Tsa'labah, diperlakukan sama seperti Banu Tsa'labah
Pasal 33    1. Banu Syuthaibah diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu 'Awf di atas. 2. Sikap yang baik harus dapat membendung segala penyelewengan.
Pasal 34   Pengikut-pengikut/sekutu-sekutu dari Banu Tsa'labah, diperlakukan sama seperti Banu Tsa'labah.
Pasal 35   Segala pegawai-pegawai dan pembela-pembela kaum Yahudi, diperlakukan sama seperti kaum Yahudi.
VI TUGAS WARGA NEGARA
Pasal 36   1. Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad SAW 2. Seorang warga negara dapat membalaskan kejahatan luka yang dilakukan orang kepadanya 3. Siapa yang berbuat kejahatan, maka ganjaran kejahatan itu menimpa dirinya dan keluarganya, kecuali untuk membela diri 4. Tuhan melindungi akan orang-orang yang setia kepada piagam ini
Pasal 37    1. Kaum Yahudi memikul biaya negara, sebagai halnya kaum Muslimin memikul biaya negara 2. Di antara segenap warga negara (Yahudi dan Muslimin) terjalin pembelaan untuk menentang setiap musuh negara yang memerangi setiap peserta dari piagam ini 3. Di antara mereka harus terdapat saling nasihat-menasihati dan berbuat kebajikan, dan menjauhi segala dosa 4. Seorang warga negara tidaklah dianggap bersalah, karena kesalahan yang dibuat sahabat/sekutunya 5. Pertolongan, pembelaan, dan bantuan harus diberikan kepada orang/golongan yang teraniaya
Pasal 38   Warga negara kaum Yahudi memikul biaya bersama-sama warganegara yang beriman, selama peperangan masih terjadi
VII MELINDUNGI NEGARA
Pasal 39   Sesungguhnya kota Yatsrib, Ibukota Negara, tidak boleh dilanggar kehormatannya oleh setiap peserta piagam ini
Pasal 40   Segala tetangga yang berdampingan rumah, harus diperlakukan sebagai diri-sendiri, tidak boleh diganggu ketenteramannya, dan tidak diperlakukan salah
Pasal 41    Tidak seorang pun tetangga wanita boleh diganggu ketenteraman atau kehormatannya, melainkan setiap kunjungan harus dengan izin suaminya
VIII PIMPINAN NEGARA
Pasal 42    1. Tidak boleh terjadi suatu peristiwa di antara peserta piagam ini atau terjadi pertengkaran, melainkan segera dilaporkan dan diserahkan penyelesaiannya menurut (hukum ) Tuhan dan (kebijaksanaan) utusan-Nya, Muhammad SAW 2. Tuhan berpegang teguh kepada piagam ini dan orang-orang yang setia kepadanya
Pasal 43   Sesungguhnya (musuh) Quraisy tidak boleh dilindungi, begitu juga segala orang yang membantu mereka
Pasal 44    Di kalangan warga negara sudah terikat janji pertahanan bersama untuk menentang setiap agresor yang menyergap kota Yathrib
IX POLITIK PERDAMAIAN
Pasal 45   1. Apabila mereka diajak kepada pendamaian (dan) membuat perjanjian damai (treaty), mereka tetap sedia untuk berdamai dan membuat perjanjian damai 2. Setiap kali ajakan pendamaian seperti demikian, sesungguhnya kaum yang beriman harus melakukannya, kecuali terhadap orang (negara) yang menunjukkan permusuhan terhadap agama (Islam) 3. Kewajiban atas setiap warganegara mengambil bahagian dari pihak mereka untuk perdamaian itu
Pasal 46    1. Dan sesungguhnya kaum Yahudi dari Aws dan segala sekutu dan simpatisan mereka, mempunyai kewajiban yang sama dengan segala peserta piagam untuk kebaikan (pendamaian) itu 2. Sesungguhnya kebaikan (pendamaian) dapat menghilangkan segala kesalahan
X PENUTUP
Pasal 47   1. Setiap orang (warganegara) yang berusaha, segala usahanya adalah atas dirinya 2. Sesungguhnya Tuhan menyertai akan segala peserta dari piagam ini, yang menjalankannya dengan jujur dan sebaik-baiknya 3. Sesungguhnya tidaklah boleh piagam ini dipergunakan untuk melindungi orang-orang yang dhalim dan bersalah 4. Sesungguhnya (mulai saat ini), orang-orang yang bepergian (keluar), adalah aman 5. Dan orang yang menetap adalah aman pula, kecuali orang-orang yang dhalim dan berbuat salah 6. Sesungguhnya Tuhan melindungi orang (warganegara) yang baik dan bersikap taqwa (waspada) 7. Dan (akhirnya) Muhammad adalah Pesuruh Tuhan, semoga Tuhan mencurahkan shalawat dan kesejahteraan atasnya

B.       Tanggapan tentang Isi Piagam Madinah
Ada berbagai komentar mengenai isi Piagam Madinah, baik yang datang dari para sarjana Barat maupun dari penulis-penulis muslim sendiri. Diantaranya dikemukakan oleh:
·        A. Guillaume, seorang guru besar bahasa Arab dan penulis “The Life of Muhammad“. Menyatakan bahwa Piagam yang telah dibuat Muhammad itu adalah suatu dokumen yang menekankan hidup berdampingan antara orang-orang muhajirin di satu pihak dan orang-orang yahudi di pihak lain. Masing-masing saling menghargai agama mereka, saling melindungi hak milik mereka dan masing-masing mempunyai kewajiban yang sama dalam mempertahankan Madinah.
·        Robert N.Bella menuliskan dalam bukunya “Beyond Belief” (1976) bahwa Muhammad sebenarnya telah membuat lompatan yang amat jauh ke depan. Dimulai dengan “proyek” Madinah yang dilandasi pada permulaan berdirinya oleh “Konstitusi Madinah” ini, menurut Bella, Muhammad telah melahirkan sesuatu yang untuk zaman dan tempatnya adalah sangat modern.
·        Jimly Asshiddiqie, pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, mengatakan kepada wartawan pada tanggal 30 November 2007 di Jakarta, “Piagam Madinah merupakan kontrak sosial tertulis pertama di dunia yang dapat disamakan dengan konstitusi modern sebagai hasil dari prakteik nilai-nilai demokrasi. Dan hal itu telah ada pada abad ke-6 saat Eropa masih berada dalam abad kegelapan.”
·        H.R. Gibb dalam komentarnya menyatakan bahwa isi Piagam Madinah pada prinsipnya telah meletakkan dasar-dasar sosial politik bagi masyarakat Madinah yang juga berfungsi sebagai undang-undang, dan merupakan hasil pemikiran serta inisiatif Muhammad sendiri.
·        Montgomery Watt lebih tepat lagi menyatakan: bahwa Piagam Madinah tidak lain adalah suatu konstitusi yang menggambarkan bahwa warga Madinah saat itu bisa dianggap telah membentuk satu kesatuan politik dan satu persekutuan yang diikat oleh perjanjian yang luhur diantara para warganya.
·        Tor Andrae dalam bukunya yang berjudul “Muhammad, The Man and His Faith“, New York, 1960, halaman 136, menyatakan bahwa, “Perundang-undangan jamaah (ummah) Madinah adalah naskah konstitusi yang pertama yang sedikit demi sedikit dapat menjadikan Islam sebagai negara dunia dan agama dunia…Barangsiapa yang tindakannya berlawanan dengan otoritas keagamaan, maka ia tidak akan mendapat perlindungan dari familinya yang terdekat sekalipun. Islam tidak hanya agama, tetapi juga merupakan persaudaraan. ‘Semata-mata orang beriman itu saling bersaudara..’, demikian pernyataan Al-Qur’an, Al-Hujurat,49:10.”
·       Jamaluddin Sarur, seorang guru besar Sejarah Islam di Universitas Kairo, yang menyatakan bahwa peraturan yang terangkum dalam Piagam Madinah adalah menjadi sendi utama bagi terbentuknya persatuan bagi segenap warga Madinah yang memberikan hak dan kewajiban yang sama antara kaum Muhajirin, Ansor dan kaum Yahudi.
·           Dr Muhammad Hamidullah menuliskan pendapatnya dalam buku-bukunya, yang berjudul:
1.      The First Written Constitution of the World, ia menulis, “Undang Undang Dasar Negara tertulis pertama yang pernah dikemukakan oleh penguasa dalam sejarah ummat manusia ternyata diumumkan oleh Nabi Muhammad, yakni pada tahun pertama Hijrah (622 M), sekarang Undang Undang Dasar tersebut telah sampai di tangan kita.”
2.      Muhammad Rasulullah, ia menulis, “…Pakta pertahanan ini diperlukan sekali untuk membentuk negara kota di Madinah yang berasaskan persekutuan, dengan otonomi yang sangat luas bagi setiap unitnya. Keadilan pribadi hendak dibuang, permohonan dapat disampaikan kepada Kepala Negara, yang juga mempunyai hak prerogatif untuk memutuskan siapa yang boleh berperan-serta dalam suatu ekspedisi. Perang dan damai tidak dapat dibagi-bagi. Pertanggungan sosial dilembagakan berasaskan bentuk piramida dari orang yang paling berat bebannya, seperti, tebusan nyawa bila si pembunuh tidak dituntut nyawanya, dan tebusan untuk membebaskan tawanan perang dari tangan musuh. Kebulatan suara kini dapat dicapai, perbekalan dapat dikurangi dan undang undang dasar negara yang pertama dalam sejarah dimaklumkan oleh pemimpin dunia, sampai sekarang kita masih dapat menyaksikan pakta tersebut secara total.“
· Muhammad Khalid, seorang penulis sejarah Nabi menegaskan bahwa isi yang paling prinsip dari       Piagam Madinah adalah membentuk suatu masyarakat yang harmonis, mengatur suatu ummah serta    menegakkan pemerintahan atas dasar Persamaan Hak.
· Hasan Ibrahim Hasan, menyatakan bahwa Piagam Madinah secara resmi menandakan berdirinya        suatu Negara, yang isinya bisa disimpulkan menjadi 4 pokok, yaitu:
1. Mempersatukan segenap kaum muslimin dari berbagai suku menjadi satu ikatan.
2. Menghidupkan semangat gotong royong, hidup berdampingan, saling menjamin di antara sesama       warga.
3. Menetapkan bahwa setiap warga masyarakat mempunyai kewajiban memanggul senjata,                     mempertahankan keamanan dan melindungi Madinah dari serbuan luar.
4. Menjamin persamaan dan kebebasan bagi kaum Yahudi dan pemeluk-pemeluk agama lain dalam mengurus kepentingan mereka.
Sesungguhnya masih banyak lagi ulasan dan komentar yang dikemukakan oleh para Ahli Masa Kini tentang Piagam Madinah. Mereka menggunakan berbagai retorika dan redaksi yang berbeda, namun pada dasarnya mempunyai nada sama, yaitu Berintikan bahwa piagam tersebut telah mempersatukan warga Madinah yang heterogen itu menjadi satu kesatuan masyarakat, yang warganya mempunyai hak dan kewajiban yang sama, saling menghormati walaupun berbeda suku dan agamanya. Piagam tersebut dianggap merupakan suatu pandangan jauh ke depan dan suatu Kebijaksanaan Politik yang luar biasa dari Nabi Muhammad dalam mengantisipasi masyarakat yang beraneka ragam.

C.       Piagam Madinah Kaitannya dengan Demokrasi
Apa yang kita kenal dengan Piagam Madinah yang dimunculkan oleh Nabi Muhammad Saw. dan umat Islam di Madinah merupakan konsep pertama di dalam dunia Islam mengenai demokrasi.
Dalam konsep demokrasi modern, kedaulatan rakyat merupakan inti dari demokrasi, sedang demokrasi islam meyakini bahwa kedaulatan Allah yang menjadi intidari demokrasi. Kedaulatan mutlak menentukan pemilihan khalifah, yaitu yang memberikan kerangka kerja seorang khalifah. Konsep demikianlah yang dikembangkan para cendikiawan belakangan ini dalam mengembangkan teori politik yang dianggap demokratis. Dalam teori tersebut tercakup definsi khusus dan pengakuan terhadap kedaulatan rakyat, tekanan pada kesamaan derajat manusia, dan kewajiban rakyat sebagai pengemban pemerintah. Penjelasan mengenai demokrasi dalam kerangka konseptual islam, banyak memberikan perhatian pada beberapa aspek khusus dari ranah sosial dan politik. Demokrasi islam dianggap sebagai system yang mengkukuhkan konsep-konsep islami yang sudah lama berakar, yaitu musyawarah (syura’), persetujuan (ijma’), dan penilaian interpretatif yang mandiri (ijtihat).
Istilah-istilah ini tidak selalu dikaitkan dengan pranata demokrasi dan mempunyai banyak konteksdalam wacana muslim dewasa ini. Namun lepas dari konteks dan pemakaian lainnya, istilah-istilah ini sangat penting dalam perdebatan menyangkut demokratisasi dalam masyarakat muslim. Perlunya musyawarah merupakan konsekuensi politik kekhalifahan manusia. Oleh karena itu, perwakilan rakyat dalam sebuah Negara islam tercermin terutama dalam doktrin musyawarah (syura). Dalam bidang politik, umay islam mendelegasikan kekuasaan mereka kepada penguasa dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani masalah negara.
Di samping musyawarah, ada hal lain yang sangat penting dalam masalah demokrasi, yakni consensus atau ijma’. Konsensus memainkan peranan yang menentukan dalam perkembangan hokum islam dan memberikan sumbangan sangat besar pada korpus hukum atau tafsir hukum. Dalam pemikiran muslim modern, potensi fleksibilitas yang terkandung dalam konsep konsensus mendapat saluran yang lebih besar untuk mengembangkan hukum islam dan menyesuaikannya dengan kondisi yang terus berubah.
Dalam pengertian yang lebih luas, konsensus dan musyawarah sering dipandang sebagai landasan yang efektif bagi demokrasi islam modern. Konsep konsensus memberikan dasar bagi penerimaan sistem yang mengakui suara mayoritas.
Selain syura dan ijma’ ada konsep yang sangat penting dalam proses demokrasi islam, yakni ijtihad. Bagi para pemikir muslim, upaya ini merupakan langkah kunci menuju penerapan pemerintah Tuhan di suatu tempat atau waktu. Musyawarah, konsensus, dan ijtihad merupakan konsep-konsep yang sangat penting bagi artikulasi demokrasi islam dalam kerangka Keesaan Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia sebagai khalifah-nya. Meskipun istilah-istilah ini banyak diperdebatkan maknanya, namun lepas dari ramainya perdebatan maknanya di dunia islam, istilah-istilah ini memberi landasan yang efektif untuk memahami hubungan antara islam dan demokrasi.

D.      Piagam Madinah Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia
Dalam pandangan Islam, yang dimaksud dengan hak asasi manusia sebagaimana dijelaskan oleh Maududi adalah hak-hak yang dianugerahkan Allah kepada setiap manusia, yang tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan atau badan apapun (Maududi, 1988: 11-12).Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa hak-hak yang diberikan Allah itu bersifat permanen, kekal, abadi, dan tidak boleh diubah-ubah, dimodifikasi, ataupun dibatalkan. Islam sebagai agama universal mengandung prinsip-pinsip hak-hak asasi manuisa. Sebagai sebuah konsep ajaran, Islam menempatkan manusia pada kedudukan yang sejajar dengan manusia lainnya. Menurut ajaran Islam, adanya perbedaan lahiriyah antar manusia tidak menyebabkan perbedaan dalam kedudukan sosial. Halini merupakan dasar yang kuat, dan tidak dapat dipungkiri, telah memberikan kontribusi pada perkembangan prinsip-prinsip hak asasi manusia di dalam masyarakat internasional Konsep hak asasi manusia dalam sejarah Islam sesungguhnya lebih jauh melampaui sejarah Barat dalam merumuskan dan mempraktikkan konsep HAM.
Maududi menyatakan bahwa hak-hak dasar manusia dalam Magna Charta baru tercipta enam ratus tahun setelah kedatangan Islam. Islam mempunyai doktrin perlindungan HAM yang lebih komprehensif dibandingkan dengan konsep HAM dalam Magna Charta (Maududi, 1988: 10) Weeramantry juga menyatakan hal yang sama, yaitu bahwa pemikiran Islam mengenai hak-hak di bidang social, ekomoni, dan budaya (social, economic and cultural rights) telah jauh mendahului pemikiran Barat (Reksodipuro mengutip Weeremantry, 1994: 3).
Piagam Madinah. Berawal dari Konstitusi Madinah atau Piagam Madinah(tahun 624 H ) yang bertujuan menyatukan warga Madinah yang majemuk, baik karena perbedaan etnis (Yahudi dan kelompok-kelompok Arab), perbedaan agama (Yahudi, Muslim, dan Nasrani), dan perbedaan kebudayaan. Perlindungan HAM dalam konstitusi Madinah, antara lain, adalah perlindungan terhadap kebebasan beragama dan beribadah, kedudukan yang sama sebagai warga masyarakat, persamaan hak dan kewajiban, dan persamaan di depan hukum.
Konsepsi dasar yang tertuang dalam piagam yang lahir di masa Nabi Muhammad ini adalah adanya pernyataan atau kesepakatan masyarakat dan menjamin hak-hak sesama warga masyarakat tanpa melihat latar belakang, suku, ataupun perbedaan agama. Piagam Madinah atau Mitsaq al-Madinah Yang dideklarasikan oleh Rasulullah pada tahun 622 merupakan kesepakatan-kesepakatan tentang aturan-aturan yang berlaku bagi masyarakat Madinah yang dipimpin oleh Nabi. Terdapat dua landasan pokok bagi kehidupan bermasyarakat yang diatur dalam Piagam Madinah, yaitu:
a.       Semua pemeluk Islam adalah satu ummat, walaupun mereka berbeda suku bangsa.
b.      Hubungan antara komunitas muslim dan non muslim didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1)        Berinteraksi secara baik dengan sesama tetangga
2)        Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
3)        Membela mereka yang teraniaya
4)        Saling menasihati
5)        Mengormati kebebasan beragama
Menurut ahli sejarah, piagam ini adalah naskah otentik yang tidak diragukan keasliannya.
Secara sosiologi, piagam tersebut merupakan antisipasi dan jawaban terhadap realitassocial masyarakat Madinah pada saat itu. Secara umum,sebagaimana terbaca dalam naskah tersebut, Piagam Madinah mengatur kehidupan social penduduk Madinah. Walaupun mereka heterogen, kedudukan mereka adalah sama, masing-masing memiliki kebebasan untuk memeluk agama yang mereka yakini dan melaksanakan aktivitas dalam bidang social dan ekonomi.Setiap individu memiliki kewajiban yang sama untuk membela Madinah, tempat mereka bertempat tinggal.
Dengan demikian, Piagam Madinah menjadi alat legitimasi Nabi Muhammad untuk menjadi pemimpin bukan saja bagi kaum muslim (Muhajirindan Anshar), tetapi juga bagi seluruh penduduk Madinah (pasal 23-24). Secara substansial, piagam ini bertujuan untuk menciptakan keserasian politik dan mengembangkan toleransi sosio-religius dan budaya seluas-luasnya. Piagam ini bersifat revolusioner karena mendobrak tradisi kesukuan orang-orang Arab pada saat itu. Tidak ada suku pun yang memiliki keistimewaan atau kelabihan dari suku yang lain. Jadi, dalam piagam tersebut sangat ditekankan azas kesamaan dan kesetaraan (equality).

E.       Piagam Madinah Kaitannya dengan Konstitusi
Penulis ingin memaparkan terkait dengan kedudukan piagam madinah sebagai konstitusi negara Madinah. Apabila melihat kepada pendapat J.G Steenbeek yang menyatakan materi muatan konstitusi adalah :
Adanya jaminan terhadap hak asai manusia dan warga negaranya
Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental
Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental
Dan menurut C.F. Strong adalah :
Kekuasaan pemrintah (dalam arti luas)
Hak-hak yang diperintah
Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah (menyangkut yang didalamnya masalah hak asasi manusia).
Apakah piagam Madinah dapat disebut sebagai suatu konstitusi dengan melihat pada pendapat kedua ahli tersebut? Piagam madinah pada umumnya hanya merinci terkait dengan permasalahan Hak asasi manusia sehingga tidaklah memenuhi kriteria materi muatan konstitusi seperti yang dikatakan oleh steenbeek maupun C.F.Strong. namun apabila kita melihat kepada pendapat Apeeldorn bahwa konstitusi memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam arti luas memang konstitusi tidaklah kita lihat sebagai bentuk tertulis saja, karena hukum tidak hanya terkait kedalam bentuk tertulis saja karena masih ada hukum sebagai living law yang tidak tertulis. Dengan demikian kebiasaan ketatanegaraan (konvensi ketatanegaraan) dapat dikategorikan sebagai konstitusi. Piagam Madinah dapatlah kita kategorikan sebagai konstitusi dalam arti sempit yaitu bagian yang tertulisnya namun dalam arti luas konstitusi dalam negara madinah tersebut juga mencakup kebiasaan ketatanegaraan yang dilakukan oleh nabi Muhammad SAW yang dapat dikatakan sebagai perbuatan nabi (sunnah).
Selanjutnya apakah piagam Madinah telah memenuhi prinsip konstitusionalisme? Dasar dari prinsip konstitusionalisme adalah adanya kesepakatan (consensus). Dilihat dari sejarah berdirinya negara Madinah perjanjian nabi Muhammad SAW dengan warga Madinah dalam Bai’at Al-Aqabah kedua dapatlah dikatakan sebagai consensus yang mendasari berdirinya negara Madinah dan nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin negara Madinah. Berdasarkan tiga elemen consensus dalam prinsip konstitusionalisme yaitu :
Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama
Kesepakatan tentang the rule of the law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan Negara
Kesepakatan tentang bentuk-bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan
Dapatlah kita lihat dalam piagam Madinah terdapat kesepakatan bersama mengenai cita-cita bersama yaitu mendirikan negara yang berdasarkan Islam demi mencapai perdamaian yang abadi. Selanjutnya terdapat kesepakatan mengenai penerapan the rule of the law dengan Al-Quran dan sunnah nabi sebagai dasar hukum utama dan piagam Madinah sebagai dasar kehidupan bernegara, kesepakatan mengenai bentuk dan institusi dan prosedur ketatanegaraan itu sendiri dilaksanakan dengan konvensi ketatanegaraan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa negara Madinah merupakan negara berdasarkan konstitusil yang menganut prinsip konstitusionalisme.

Daftar Pustaka

C.F. Strong, Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form, dialihbahasakan oleh SPA Teamwork, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern : Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia. Nusa Media, Bandung, 2008, hlm.17.

Dra.Afni Rasyid,2007.Muamala Duniawiyah.Jakarta: uhamka press
Jimmly Asshidiqie, Konstitusi dan konstitusionalisme, Konstitusi Press , Jakarta, 2005

_______________, Pengantar Ilmu hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ,Jakarta, 2006

_______________, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara pasca reformasi,Bhuana Ilmu Populer, Jakarta,2007

Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media ,Yogyakarta:, 1999
Majid Fakhry, Al Farabi Founder of Islamic NeoPlatonism, oneworld publication oxford, England, 2002

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta,2008

Muhammad Alim, Asas-Asas Negara Hukum Modern dalam Islam, LKIS, Yogyakarta, 2010

Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, Fiqhus Sirah : Dirasat Manhajiah ‘Ilmiyah Li Siratil-
Musthafa ‘Alaihish-Shalatu was-Salam diterjemahkan oleh Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, SIRAH NABAWIYAH : Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW, Robbani Press, Jakarta,1999

Sunardji Dahri Tiam, Berkenalan dengan Filsafat Islam, Bumi Jaya, Pamekasan.
Alim, Muhammad. 2001. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstiitusi Madinah dan UUD 1945. Yogyakarta: UII Press.

Atmasasmita, Romli. 2000. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Bandung: PT. Refika Aditama
Bahar, Saafroedin. 1997. Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Komnas HAM. 1998. Membangun Jaringan Kerjasama Hak Asasi Manusia. Jakarta: Komnas HAM.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. 2000. Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional. Jakarta: ELSAM.

Muzaffar, Chandra. 1995. Hak Asasi Manusia dalam tata Dunia Baru (Menggugat Dominasi Global Barat). Bandung:  Mizan

1 komentar: