Rabu, 11 November 2015

ILMU PENDIDIKAN ISLAM (Muhammad Muntahibun Nafis)

ILMU PENDIDIKAN

ISLAM

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

© 2011, Muhammad Muntahibun Nafis Ilmu Pendidikan Islam/

Muhammad Muntahibun Nafis; Editor, Abd. Aziz. — Cet.I. Bibliografi, hlm viii + 174

ISBN: 978-406-978-311-3

ILMU PENDIDIKAN ISLAM

Penulis: Muhammad Muntahibun Nafis

Editor: Abd. Aziz

Tata Letak & Desain Sampul: Kukuh PMLG Cetakan I, 2011

All right reserved

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit

Diterbitkan oleh:

Penerbit Teras

Perum POLRI Gowok Blok D 3 No. 200 Depok Sleman Yogyakarta e-Mail: teras@yahoo.com Telp.081802715955

Percetakan: SUKSES Offset Telp. 0274-486598 YOGYAKARTA

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, taufiq, ma'unah dan hidayah-Nya, dan mengucapkan sholawat atas rasul-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan buku ini dengan baik.

Penyusun membagi buku Ilmu Pendidikan Islam ihi menjadi dua jilid, dengan harapan materi dan isinya bisa lebih memberikan pengetahuan dan keilmuan yang mendalam kepada para pembaca, terkait dengan Ilmu Pendidikan Islam (IPI) yang merupakan salah satu mata kuliah dasar yang diajarkan pada Fakultas/jurusan Tarbiyah Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Matakuliah Ilmu Pendidikan Islam (IPI) merupakan bagian terpadu dari pendidikan nasional dan dalam pandangan "Tim Yogyakarta" ketika membahas pembidangan ilmu agama Islam, mata kuliah ini termasuk dalam Ilmu Sosial Islam yang tidak mungkin ditinggalkan untuk diajarkan.

Buku Ilmu Pendidikan Islam (IPI) ini akan membahas tema-tema sentral dalam koridor Pendidikan Islam, yang dapat dijadikan koreksi, refleksi, atau menengok kembali tema-tema tersebut sehingga dapat dijadikan pegangan, pedoman, dan acuan baik oleh mahasiswa maupun oleh dosen dalam menghadapi realitas pendidikan terutama pendidikan Islam dalam dinamika masyarakat. Pada akhirnya dosen, mahasiswa bahkan pemerhati pendidikan akan dapat merespon tantangan perubahan dan globalisasi, baik dalam dataran filsafat, ideologi, konsep ilmu, metodologi, institusi, organisasi, dan manajemen. Tujuannya untuk membangun Ilmu pendidikan Islam yang betul-betul dapat menjawab tantangan zaman, sehingga layak diterima oleh masyarakat dengan berbagai pengembangan-pengembangan.

Pada buku IPI jilid I ini berisi bab-bab yang telah tersusun secara sistematis, dan disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku serta kebutuhan materi yang akan dipelajari oleh mahasiswa sebagai kompetensi yang harus dipenuhi dalam matakuliah ini. Dan setelah terselesaikannya Buku IPI I ini nantinya akan disusul oleh Buku IPI II, yang menjadi kelanjutan dari pembahasan materi-materi dalam buku I.

Pada buku ini penyusun juga mencantumkan catatan kaki dari referensi atau bibliografi yang penyusun kutip darinya, dengan tujuan utamanya agar para pembaca dapat melacak lebih jauh tentang isi dalam pembahasan-pembahasan buku ini dari sumber aslinya. Selain itu, menurut penyusun, catatan kaki merupakan suatu kewajiban moral dan intelektual atau merupakan kejujuran intelektual seorang penulis karya ilmiah, sehingga dapat dijadikan tolok ukur dan faliditas dari orisinalitas karya. Selain juga sebagai pengakuan keilmuan, bahwa yang ditulis tersebut bukan mumi dari pemikiran penyusun, namun dari hasil pemikiran orang lain. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bagi penulis untuk menuangkan pemikir-an-pemikirannya sendiri di berbagai lembaran dalam buku ini.

Walaupun sudah dengan segenap kemampuan, usaha, dan pemikiran penyusun semaksimal mungkin demi kesempurnaan karya ini, penulis menyadari bahwa di sana-sini masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan. Sehingga penulis sangat mengharapkan masukan, kritik yang konstruktif dari para pembaca yang budiman, demi perbaikan dan penyempurnaan pada penyusunan selanjutnya.

Namun demikian, terselesaikannya buku ini atas bantuan, saran, kritik dan arahan berbagai fihak baik dari atasan maupun teman kolega bahkan dari mahasiswa ketika penulis meng-ajarkan matakuliah ini, baik langsung maupun tidak langsung, maka penulis hanya mampu mengucapkan terimakasih yang tak terhingga, semoga amal ibadah mereka diterima dan dibalas dengan yang lebih baik lagi.

Akhirnya, penyusun mengharap keridhaan All&h-SWT, semoga buku ini dapat memberikan sumbangsih pengetahuan dan keilmuan yang bermanfaat bagi keilmuan Islam khususnya, dan keilmuan secara umum terlebih lagi khususnya dunia akademisi di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung. Amien.

Wallahu a'lam bi al-showab

Muhammad Muntahibun Nafis, M.Ag

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................. ii

DAFTAR ISI.............................................................................iv

BAB I PENGERTIAN, RUANG LINGKUP,

DAN KEGUNAAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM........................................................................ 1

A. Pengertian Ilmu Pendidikan Islam...................... 1

B. Ruang Lingkup Ilmu Pendidikan Islam   26

C. Kegunaan Ilmu Pendidikan Islam....................... 30

BAB II DASAR-DASAR ILMU PENDIDIKAN ISLAM . 35

A. Dasar-dasar Pendidikan Islam.....................  36

B. Dasar Pelaksanaan Pendidikan Islam

di Indonesia........................................................ 48

C. Landasan Pemikiran Pendidikan Islam...............51

BAB III TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM....................... 57

A. Rumusan Tujuan Pendidikan Islam.................... 57

B. Tahap-tahap Tujuan Pendidikan Islam................68

C. Aspek-aspek Tujuan Pendidikan Islam............... 71

BAB IV PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM... 83

A. Devinisi Pendidik dalam Pendidikan Islam  84

B. Kedudukan Pendidik dalam Pendidikan Islam .. 88

C. Tugas Pendidik dalam Pendidikan Islam  89

D. Syarat Dan Kode Etik Pendidik dalam Pendidikan Islam................................................. 96

E. Keutamaan Mengajar....................................  108

BAB V PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN

ISLAM.......................................................................113

A. Paradigma Peserta Didik dalam Pendidikan Islam..................................................................... 113

B. Sifat-sifat dan Kode Etik Peserta Didik

dalam Pendidikan Islam.....................................130

C. Dimensi-dimensi Peserta Didik.........................138

D. Keutamaan Belajar  .............................. 165

DAFTAR PUSTAKA............................................................169

CURICULUM VITAE...........................................................173

BAB I

PENDAHULUAN

A. Devinisi Ilmu Pendidikan Islam

Untuk mengetahui arti ilmu pendidikan Islam, maka terlebih dahulu perlu diartikan apa pendidikan itu. Istilah pendidikan dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata "didik" dengan memberinya awalan "pe" dan akhiran "kan", 'yang mengandung arti "perbuatan" (hal, cara, dan sebagainya).1 Istilah pendidikan pada mulanya berasal dari bahasa Yunani yaitu "paedagogie" yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan "education" yang berarti pengembangan atau bimbingan.

Dalam wacana ke-Islaman, pendidikan lebih popular dengan istilah tarbiyyah, ta'lim, ta'dib, riyadloh, irsyad, dan tadris. Dari masing-masing istilah tersebut memiliki keunikan makna tersendiri ketika sebagian atau semuanya disebut secara bersamaan. Namun, kesemuanya akan memiliki makna yang sama jika disebut salah satunya, sebab salah satu istilah itu sebenarnya mewakili istilah yang lain. Implikasinya, dari berbagai literatur Ilmu Pendidikan Islam, semua istilah itu terkadang digunakan secara bergantian dalam mewakili peristilahan pendidikan Islam.2

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), hlm. 1.

Sejak dekade 1970-an, sering terjadi diskusi berkepanjangan berkenaan dengan wacana apakah Islam memiliki konsep tentang pendidikan ataukah tidak. Sementara para ahli berasumsi, bahwa Islam tidak memiliki konsep, sehingga realisasi dan implementasi sebuah pendidikan selama ini hanyalah mengadopsi konsep dan sistem pendidikan Barat. Asumsi ini tentunya tidak boleh dengan serta merta disalahkan, kendatipun tidak bias secara mutlak diterima. Salah satu argumen yang biasa diajukan mereka adalah, karena sampai sekarang peristilahan yang secara baku dan konsisten disepakati semua fihak belumlah ada, kecuali dalam wujud polemik yang tidak berkesudahan.3

Pada tanggal 31 Maret sampai dengan 8 April 1977, diselenggarakan sebuah Konferensi Dunia yang pertama tentang Pendidikan Islam di Makkah. Dalam konferensi (yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh King Abdul Aziz University) tersebut, dibicarakan mengenai penggunaan ketiga istilah (tarbiyyah, ta'lim, dan ta'dib) untuk pengertian pendidikan Islam.4 Salah satu hasil keputusannya, telah dirumuskan pengertian Pendidikan Islam, sebagai berikut:

The meaning of education in its totality in the context of Islam is inhernt in the connotation of the term terbiyyah, ta’lim, and ta'dib taken together. What each oh these tearms conveys concerning man and his society and environment in relation to God is related to the others, and together they represent the scope of education in Islam, both formal and nonformal.

Maksud pendidikan dalam keseluruhan dalam konteks Islam adalah inhernt dalam konotasi istilah terbiyyah, ta'lim, dan ta'dib diambil bersama-sama. Apa yang masing-masing di tearms ini menyampaikan tentang manusia dan lingkungan dan masyarakat-nya dalam hubungan mereka dengan Allah adalah berhubungan dengan orang lain, dan bersama-sama mereka mewakili cakupan pendidikan di Islam, baik formal dan nonformal.

1. Perdebatan Devinisi di Tingkat Etimologi

a. Ta'dib

Istilah ta'dib berasal dari akar kata addaba yuaddibu ta'diiban yang mempunyai arti antara lain: membuatkan makanan, melatih akhlak yang baik, sopan santun, dan tata cara pelaksanaan sesuatu yang baik. Kata addaba yang merupakan asal kata dari ta'dib, juga merupakan persamaan kata (muradif) allama yuallimu ta'liman. Muaddib yaitu yaitu seseorang yang melaksanakan kerja ta'dib disebut juga muallim, yang merupakan sebutan orang yang mendidik dan mengajar anak yang sedang tumbuh dan berkembang.5

Ta'dib lazimnya diterjemahkan dengan pendidikan sopan santun, tata karma, adab, budi pekerti, akhlak, moral, dan etika. Ta'dib yang seakar dengan adab memiliki arti pendidikan peradaban atau kebudayaan, sebaliknya peradaban Ilmu Pendidikan Islam yang berkualitas dan maju dapat diperoleh melalui pendidikan. Menurut Naquib al-Atas, ta'dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuatan dan pengagungan Tuhan.1 Pengertian ini didasarkan pada hadits Nabi SAW:

ادبــــني ربــــــى فـــاحســـن تــأديبى

"Tuhanku telah mendidikku, sehingga menjadikan baik pendidikanku".

Hadits ini memberikan asumsi bahwa kompetensi Mu-hammad sebagai seorang rosul dan misi utamanya adalah pembinaan akhlak. Sehingga, implikasinya terhadap seluruh aktivitas pendidikan Islam seharusnya memiliki relevansi dengan peningkatan kualitas budi pekerti sebagaimana yang diajarkan rosulullah.

Menurut Naquib bahwa kata yang diterjemahkan sebagai mendidik adalah addaba masdarnya ta'diib, dan berarti pendidikan. Hal ini mempunyai arti yang sama dan ditemu-kan rekanan konseptualnya da dalam istilah ta'lim, meskipun diakui bahwa cakupan istilah ta'dib lebih luas dari yang dicakup ta'lim. Dalam artinya yang mendasar, addaba adalah The inviting to a banquet, undangan kepada suatu perjamuan. Gagasan tentang suatu perjamuan menyiratkan bahwa si tuan rumah adalah orang yang mulia, sementara hadirin adalah yang di-perkirakan pantas mendapatkan penghormatan untuk diundang. Oleh karena itu mereka adalah orang-orang yang bermutu pendidikan dan bisa menyesuaikan diri, baik tingkah laku maupun keadaannya, sehingga konsep ta'dib (jika diaplikasikan secara sederhana menurut persepsi Bloom) bukan sekedar mencakup aspek afeksi, melainkan mencakup pula aspek kognisi dan psikomotorik, kandatipun aspek yang pertama lebih dominant.2

Konsekuensi akibat tidak dikembangkannya istilah ta’dib dalam konsep dan aktivitas pendidikan Islam menurut Naquib berpengaruh pada tiga hal penting.3 Yaitu: Pertama, kebiasaan dan kesalahan dalam ilmu pengetahuan, yang pada gilirannya akan menciptakan kondisi yang Kedua, yakni gilirannya adab dalam umat. Kondisi yang timbul akibat yang pertama dan kedua adalah konsekuensi yang Ketiga, serupa bangkitnya pemimpin yang tidak memenuhi syarat kepemimpinan yang abash di kalangan umat, karena tidak memenuhi standar moral, intelektual, dan spiritual yang tinggi, yang dibutuhkan bagi suatu kepemimpinan pengendalian yang berkelanjutan atas urusan-urusan umat oleh pemimpin-pemimpin seperti mereka yang menguasai seluruh bidang kehidupan.

Ta’dib, sebagai upaya dalam pembentukan adab (tata krama), terbagi atas empat macam4 (1) ta'dib adab al-haqq, pendidikan tata krama spiritual dalam kebenaran, yang memerlukan pengetahuan tentang wujud kebenaran, yang di dalamnya segala yang ada memiliki kebenaran tersendiri dan yang dengannya segala sesuatu diciptakan, (2) ta'dib adab al-khidmah, pendidikan tata krama spiritual dalam pengabdian. Sebagai seorang hamba, manusia harus mengabdi kepada sang Raja (malik) dengan menempuh tata karama yang pantas, (3) ta'dib adab al-syari'ah, pendidikan tata krama spiritual dalam syari'ah, yang tata caranya telah digariskan oleh Tuhan melalui wahyu. Segala pemenuhan sya'riah Tuhan akan berimplikasi pada tata krama yang mulia, (4) ta'dib adab al- shuhbah, pendidikan tata krama spiritual dalam persahabatan, berupa saling menghormati dan prilaku mulia di antara manusia.

Menurut Naquib, ta'dib mengacu pada pada pengertian Cilm), pengajaran (ta'lim), dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Sehingga menurutnya ta’dib lebih tepat untuk menunjukkan pendidikan dalam Islam.10 Nampaknya ia melihat ta'dib sebagai sebuah sistem pendidikan Islam yang di dalamnya ada tiga sub system, yaitu pengetahuan, pengajaran dan pengasuhan (tarbiyah). Jadi tarbiyah dalam konsep Naquib hanya satu sub sistem dari ta'dib.

Kalau kembali melihat ayat 18 surat al-syu'ara' dan al-isra' ayat 24, maka dapat dinyatakan bahwa tarbiyah dalam ayat itu lebih bersifat fisik-material daripada rohani-spiritual, karena pendidikan di masa kanak-kanak lebih menonjol dalam bentuk asuhan daripada pembinaan mental dan rohani. Dalam ayat 18 tersebut lebih nampak bahwa kurang dapat diterima apabila Musa telah memperoleh didikan mental rohani di tengah keluarga Fir'aun yang durhaka itu, kecuali hanya sekedar mengasuhnya sampai besar.

10 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), hlm. 2.

Apabila menggunakan analisa sejarah, maka sebenarnya dapat dilihat kronologis historis bagaimana penggunaan berbagai kata-kata tersebut. Dalam sejarah peradaban Islam, semenjak masa Nabi sampai masa keemasannya di tangan Bani Abbas, kata tarbiyah tidak pernah muncul dalam literatur-literatur pendidikan. Barulah pada abad modern kata ini mencuat ke permukaan sebagai terjemahan dari kata education dalam bahasa Inggris. Pada masa klasik, orang hanya mengenal kata ta'dib untuk menunjukkan pendidikan, seperti dalam hadis, yang artinya: "Tuhan telah mendidikku, maka ia sempurnakan pendidikanku".

Pengertian semacam ini terus dipakai sepanjang masa kejayaan Islam, hingga semua ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh akal manusia pada waktu itu disebut adab baik yang langsung berhubungan dengan Islam seperti fiqh, tafsir, tauhid, ilmu-ilmu bahasa Arab dan yang lain, maupun yang tidak berhubungan langsung seperti fisika, filsafat, astronoomi, kedokteran, farmasi dan lainnya. Semua buku-buku yang memuat ilmu-ilmu tersebut dinamai kutub al-adab, maka terkenallah al-adab al-kabir dan al-adab al-shaghir yang ditulis oleh Ibn al-Muqaffa' (w. 760 M), seorang ahli pendidikan di masa itu disebut muaddib.n

Kemudian ketika para ulama mennjurus kepada bidang spesialisasi dalam ilmu pengetahuan, maka peengertian adab menyempit, hanya dipakai untuk menunjuk kesusasteraan dan etika (akhlak); kosekwensinya ta’dib sebagai konsep pendidikan Islam hilang dari peredaran dan tidak dikenal lagi. Pada akhirnya ahli pendidik Islam bertemu dengan istilah education pada abad modem, mereka langsung menerjemahkannya dengan tarbiyah tanpa penyelidikan yang mendalam. Padahal makna pendidikan Islam tidak sama dengan education yang dikembangkan di Barat. Dengan demikian populerlah istilah tarbiyah di seluruh dunia untuk menunjuk pendidikan.12

b. Ta'lim

Istilah ta'lim berasal dari kata dasar "aslama" yang berarti mengajar dan menjadikan yakin dan mengetahui. Penggunaannya dalam pengajaran, si pengajar berusaha untuk memindahkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya kepada orang yang menerima atau belajar dengan jalan membentangkan, memaparkan, dan menjelaskan isi pengetahuan atau ilmu yang diajarkan itu yang dinamakan dengan "pengertian".13

Menurut Az-zajjaj, kata ta'lim atau allama, mempunyai arti "sebagai cara Tuhan mengajar Nabi-nabi-Nya". Dalam Al-qur'an surat al-Baqarah ayat 31 dinyatakan:


“Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya". Dalam ayat lain surat al-alaq ayat 1-5 disebutkan:

"Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (tulis baca), Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya".

12 Ibid., bandingkan dengan Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 2.

13 Munardji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), hlm. 3.

Dalam surat an-Naml juga disebutkan, yang artinya; "Berkata (Sulaiman): wahai manusia, telah diajarkan kepada kami pengertian bunyi burung".

Dari beberpa ayat tersebut, ada beberapa makna yang dapat diambil, di antaranya bahwa kata 'allama mengandung pengertian sekedar memberi tahu atau memberi pengetahuan, tidak sampai pada pembianaan kepribadian. Karena sedikit sekali membina kepribadian Nabi Sulaiman melalui burung, atau membina kepribadian Adam melalui nama-nama benda.14 Selain itu ta'lim juga berhubungan dengan proses pendidikan, karena dengan ta'lim (pengajaran) menjadikan seseorang berilmu pengetahuan. Seseorang bisa menjadi berilmu (mengetahui hakikat sesuatu) melalui proses pengajaran dan pendidikan.15

Ta'lim merupakan kata benda buatan (masdar) yang berasal dari akar kata allama. Sebagian para pakar menerjemahkan istilah tarbiyah dengan pendidikan, sedangkan ta'lim diterjemahkan dengan pengajaran. Kalimat allamahu 'ilm memiliki arti mengajarkan ilmu kepadanya. Pendidika (tarbiyah) tidak saja bertumpu pada domain kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik, sementara pengajaran (ta'lim) lebih mengarah pada aspek kognitif seperti pengajaran mata pelajaran Matematika. Pemadanan kata ini agaknya kurang relevan, sebab menurut pendapat yang lain dalam proses ta'lim menggunakan domain afektif.16

14 Zakiyah Darajat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, cet. keenam (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), him. 26-27.
15 Munardji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), hlm. 4

Dr. Abdul Fattah Jalai (pengarang Min al-Ushul at-Tarba-wiyyah fii al-Islam) berpendapat bahwa istilah ta'lim lebih luas dibandingkan dengan tarbiyah hanya berlaku pada pendidikan anak kecil. Yang dimaksudkan sebagai proses persiapan dan pengusahaan pada fase pertama pertumbuhan manusia (yang oleh Langeveld disebut dengan pendidikan "pendahuluan"), atau menurut istilah yang populer disebut fase bayi dan kanak-kanak.17 Pandangan ini didasarkan pada ayat al-Isra' ayat 24 dan surat asy-syu'ara' ayat 18 yang berbunyi:

"Dan ucapkanlah: Ya Rabbi, kasihanilah mereka berdua sebagaimana (kasihnya) mereka berdua mendidik aku waktu kecil"

“Fir’aun menjawab: bukankah kami telah mendidikmu di dalam (keluarga) kami waktu kamu masih kanak-kanak, dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu".

Muhammad Rasyid Ridha mengartikan ta'ilm dengan proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Ia mendasarkan ini dari surat al-baqarah ayat 31 tentang 'allama Tuhan kepada Adam. Proses transmisi itu dilakukan secara bertahap sebagaimana Adam menyaksikan dan menganalisis asma' (nama-nama) yang diajarkan Tuhan kepadanya.18
Abdul Mujib, dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 18-19.

Dalam Q.S Al-baqarah ayat 151 disebutkan: "Dan mengajarkan (yu'allimu) kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah (al-sunnah) serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui". Ayat ini menunjukkan perintah kepada rosul-Nya untuk mengajarkan al-Kitab dan al-sunnah kepada umatnya. Menurut Muhaimin, pengajaran dalam ayat ini mengandung teoritis dan praktis, sehingga peserta didik memperoleh kebijakan dan kemahiran melaksanakan hal-hal yang mendatangkan manfaat dan menghilangkan kemadharatan. Pengajaran ini juga mencakup ilmu pengetahuan dan al-hikmah (bijaksana).19 Suatu contoh guru Matematika, akan berusaha mengajarkan al-hikmah Matematika, yaitu pengajaran nilai kepastian dan ketetapan dalam mengambil sikap dan tindakan dalam kehidupannya, yang dilandasi pertimbangan yang rasional dan perhitungan yang matang. Inilah suatu usaha untuk menguak sunnatullah dalam alam semesta melalui pelajaran Matematika.

Kata ta'lim menurut Abdul Fattah Jalai merupakan proses yang terus menerus diusahakan manusia sejak lahir. Sehingga satu segi telah mencakup aspek kognisi, dan pada segi lain tidak mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik. Hal ini ia jadikan dasar ketika menafsiri ayat 151 di atas,dengan argumentasi bahwa rosul adalah Mu'allim (pendidik). Dalam riwayat Muslim digambarkan sosok cemerlang kepribadian rosul sebagai seorang mu'allim: 20

“tidak pernah kulihat sebelum dan sesudah-Nya (rosul) yang lebih baik cara mendidiknya dari pada beliau".
18 Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 19.
19 Ibid.
20 Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 6.

Pada akhirnya Fattah memandang proses ta'lim lebih universal dari tarbiyah. Sebab ketika mengajarkan "tilawah al-Qur'an" kepada kaum muslimin, rosul tidak hanya sekedar terbatas pada mengajar mereka membaca, melainkan membaca disertai perenungan tentang pengertian, pamahaman, tanggung jawab dan pananaman amanah. Dari membaca semacam itu rosul kemudian membawa mereka kepada tazkiyah yakni pensucian dan pembersihan diri manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri itu berada dalam suasana yang memungkinkannya dapat menerima hikmah, mempelajari segala yang tidak diketahui dan yang bermanfaat. Al-Hikmah tidak bisa dipelajari secara parsial dan sederhana, tetapi harus mencakup keseluruhan ilmu secara integral. Kata al-hikmah berasal dari kata al-ikhkam, yang berarti keunggulan dalam ilmu, amal, perbuatan, atau di dalamnya semua itu.21

c. Tarbiyah

Dalam leksikologi Al-Qur'an dan As-Sunnah tidak ditemukan istilah al-tarbiyah, namun terdapat beberapa istilah kunci yang seakar dengannya, yaitu al-rabb, rabbayani, nurabbi, yurbi, dan rabbani. Dalam Mu’jam bahasa Arab, kata al-tarbiyah memiliki tiga akar kebahasaan,22 yaitu:

• Rabba, yarbu, tarbiyah: yang memiliki makna "tambah" (;zad) dan "berkembang" (nama). Pengertian ini juga didasarkan QS. ar-Rum ayat 39: "dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikanagar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah." Artinya, pendidikan (tarbiyah) merupakan proses menumbuhkan dan mengembangkan apa yang ada pada diri pesertadidik, baik secara fisik, psikis, sosial, maupun spiritual.

• Rabba, yurbi, tarbiyah: yang bermakna "tumbuh" (nasya'a) dan menjadi besar atau dewasa (tara’ra’a). Artinya, pendidikan (tarbiyah) merupakan usaha untk menumbuhkan dan mendewasakan peserta didik, baik secara fisik, psikis, sosial, maupun spiritual.

• Rabba, yarubbu, tarbiyah: yang memiliki makna memperbaiki (ashlaha), menguasai urusan, memelihara dan merawat, memperindah, memberi makan, mengasuh, tuan, memiliki, mengatur, dan menjaga kelestarian maupun eksistensinya. Artinya, pendidikan (tarbiyah) merupakan usaha untk memelihara, mengasuh, merawat, memperbaiki, dan mengatur kehidupan, peserta didik, agar ia dapat survive lebih baik dalam kehidupannya.

Kata kerja rabba (mendidik) sudah digunakan pada zaman Nabi Muhammad SAW,23 seperti terlihat dalam Al-Qur'an dan Hadist Nabi. Dalam Al-Qur'an kata ini digunakan dalam susunan sebagai berikut:

"Ya Tuhan, sayangilah keduanya (ibu bapakku) sebagaimana mereka telah mangasuhku (mendidikku) sejak kecil." (QS. 17 Al-Isra' 24)

Dalam bentuk kata benda, kata "rabba” ini digunakan juga untuk "Tuhan", mungkin karena Tuhan juga bersifat mendidik, mengasuh, memelihara, dan bahkan mencipta.
Dalam ayat yang lain kata ini digunakan dalam susunan sebagai berikut:


"Berkata (Fir'aun kepada Nabi Musa), Bukankah kami telah mengasuhmu (mendidikmu) dalam keluarga kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu."

Dari ayat tersebut, dapatlah dimengerti pandangan yang diungkapkan Naquib al-Atas,"tarbiyah" secara semantik tidak khusus ditujukan untuk mendidik manusia, tetapi dapat dipakai kepada spesies yang lain, seperti mineral, tanaman, dan hewan. Selain itu tarbiyah berkonotasi material; ia mengandung arti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan bertambah pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang, dan menjinakkan.24

Dalam pandangan Ahmad Warson ia mengemukakan bahwa tarbiyah berarti namaa (tumbuh) dan zaadu (bertambah).25

24 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), hlm, 2,

25 Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir (Yogyakarta: tnp 1984), hlm. 1565.

Menurut Ibnu Mansur bentuk tarbiyah dengan bentuk lain dari akar kata raba dan rabba maknanya sama dengan akar kata ghadza dan ghadzwa yang menurut al-Alma'i dan al-Jauhari berarti memberi makan, memelihara, dan mengasuh.26 Menurut Ibnu Mansur kata-kata ini dapat mengacu kepada segala sesuatu yang tumbuh, seperti anak-anak dan tanaman, dan sebagainya.

Menurut Fahr al-Razi, istilah rabbayani tidak hanya mencakup ranah kognitif, tetapi juga afektif. Sementara Sayyid Qutb menafsirkan ayat tersebut sebagai pemeliharaan jasmani anak dan menumbuhkan mentalnya. Dua pendapat ini memberikan gambaran bahwa istilah tarbiyah mencakup tiga domain pendidikan, yaitu kognitif (cipta), afektif (rasa), dan psikomo-torik (karsa) dan dua aspek pendidikan jasmani dan rohani.27

Prof. Muhammad Alhiyah al-Abrasyi dan Prof. Mahmud Yunus berpandangan bahwa istilah tarbiyah dan ta'lim dari segi makna istilah maupun aplikasinya memiliki perbedaan mendasar, mengingat dari segi makna istilah tarbiyah berarti mendidik, sementara ta'lim berarti mengajar, dua istilah yang secara substansial tidak bisa disamakan.28 Menurut kedua pakar tersebut, perbedaan mendidik dan mengajar sangatlah mendasar. Mendidik berarti mempersiapkan pesertadidik dengan segala macam cara, supaya dapat mempergunakan tenaga dan bakatnya dengan baik, sehingga mencapai kehidupan yang sempurna dalam masyarakat. Oleh sebab itu tarbiyah mencakup pendidikan jasmani, pendidikan akal, akhlak, perasaan, keindahan, dan kemasyarakatan. Sementara ta'lim merupakan salah satu (bagian) dari pendidikan yang bermacam-macam itu. Dalam ta'lim, guru mentransfer ilmu, pandangan atau pikiran kepada peserta didik menurut metode yang sesuai, sedangkan dalam tarbiyah peserta didik turut terlihat membahas, menyelidiki, mengupas, serta memikirkan soal-soal yang sulit dan mencari jalan untuk mengatasi kesulitan itu dengan tenaga dan pikirannya sendiri. Oleh sebab itu ta'lim merupakan tarbiyah al-'aql, bagian dari tarbiyah, dengan tujuan supaya peserta didik mendapatkan ilmu pengetahuan atau kepandaian. Sedangkan tarbiyah mengarahkan peserta didik supaya hidup berilmu, beramal, bekerja, bertubuh sehat, berakal cerdas, berakhlak mulia, dan pandai di tengah-tengah masyarakat.5

Munardji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), hlm. hlm. 3.
Abdul Mu jib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 12.

Tarbiyah juga diartikan dengan "proses transformasi ilmu pengetahuan dari pendidik (rabbani) kepada peserta didik, agar ia memiliki sikap dan semangat yang tinggi dalam memahami dan menyadari kehidupannya, sehingga terbentuk ke-taqwaan, budi pekerti, dan kepribadian yang luhur". Sebagai proses, tarbiyah menuntut adanya perjenjangan dalam transformasi ilmu pengetahuan, mulai dari pengetahuan yang mendasar menuju pengetahuan yang lebih tinggi dan sulit.6 Paradigma ini diambil dari Q.S Ali Imran 79, yang artinya: "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya".
Hadis Nabi memperkuat hal ini dengan pernyataan:

"Jadilah rabbani yang penyantun, memiliki pemahaman, dan berpengetahuan. Disebut rabbani karena mendidik manusia dari pengetahuan tingkat rendah menuju pada tingkat tinggi". (HR.Bukhari dari Ibnu Abbas)

Ada dua pemikiran yang menguatkan pandangan bahwa tarbiyah lebih luas cakupannya,31 yaitu:

"Proses menyampaikan (transformasi) sesuatu sampai pada batas kesempurnaan yang dilakukan tahap demi tahap sebatas pada kesanggupannya".
Dari pemikiran ini, ada lima key word (kata kunci) yang dapat dianalisis, yaitu:    

1. Menyampaikan (al-tabligh). Pendidikan dianggap sebagai usaha penyampaian, pemindahan, dan transformasi dari orang yang tahu (pendidik) kepada orang yang tidak tahu (peserta didik) dan dari orang dewasa kapada orang yang belum dewasa.

2. Sesuatu (al-syai). Maksud dari "sesuatu" di sini adalah kebudayaan, baik material maupun nonmaterial (ilmu pengetahuan, seni, estetika, etika, dan lain-lain) yang harus diketahui dan diinternalisasikan oleh peserta didik.

3. Sampai pada batas kesempurnaan (ila kamalihi). Maksudnya adalah bahwa proses pendidikan itu berlangsung terus menerus tanpa henti, sehingga peserta didik memperoleh kesempurnaan, baik dalam pembentukan karakter dengan nilai-nilai tertentu maupun memiliki kompetensi tertentu dengan ilmu pengetahuan.

4. Tahap demi tahap {syay fa syay). Maknanya adanya transformasi ilmu pengetahuan dan nilai dilakukan dengan berjenjang menurut tingkat kedewasaan peserta didik, baik secara biologis, psikologis, social, maupun spiritual.

5. Sebatas pada kesanggupannya (bi hasbi isti'dadihi). Makna yang terkandung yaitu dalam proses transformasi pengetahuan dan nilai itu harus mengetahui tingkat peserta didik, baik dari sisi usia, kondisi fisik, psikis, sosisl, ekonomi dan sebagainya, agar dalam tarbiyah ia tidak mengalami kesulitan dan hambatan.

Ada kekurangan dari pemikiran ini, yaitu proses pendidikan didominasi oleh pendidik dengan kurang memberi ruang dan waktu untuk mengaktualisasikan dirinya. Dalam aliran pendidikan, pemikiran ini masuk dalam kategori empirisme. Hal ini terjadi karena pendidik kurang memperhatikan kemampuan, potensi, dan kecenderungan yang ada pada diri peserta didik. Seakan-akan peserta didik adalah manusia yang tidak dibekali apa-apa, tidak ada potensi apapun, sehingga pendidik adalah segalanya bagi peserta didik. Implikasi logisnya bahwa adalah peserta didik bagai sebuah robot yang deprogram oleh pendidik, secara determenistik yang hidup atau matinya robot berada pada tangan pendidik. Hal ini akan mengakibatkan adanya penghambatan kreativitas dan inovasi peserta didik yang seharusnya dapat tumbuh berkembang secara normal, karena pendidik memang bertujuan untuk memberikan sesuatu yang relevan dengan masa depan peserta didik nantinya. Namun demikian, segi positif yang dapat ditangkap dari pemikiran ini, yaitu adanya pelestarian nilai-nilai, budaya, dan ilmu pengetahuan dari generasi ke generasi dengan semakin bertambahnya kualitas dan kuantitasnya pada dinamika zaman sekarang ini. Karena akan terjadi kemandegan bahkan kemunduran ke-budayan dan peradaban peserta didik yang disebabkan belum ditransformasikannya berbagai bentuk kebudayaan dan peradaban yang hakiki.

Pemikiran yang kedua adalah:32

"Proses mengembangkan (aktualisasi) sesuatu yang dilakukan tahap demi tahap sampai pada batas kesempurnaan".

Dari pemikiran ini ada lima Key Word (kata kunci) yang dapat dianalisa, yaitu:    ,

1. Mengembangkan (insya'). Pendidikan dipandang sebagai usaha menumbuhkan, mengembangkan, dan mengaktualisasikan potensi peserta didik, yang dilakukan oleh pendidik.

2. Sesuatu (al-syay). Makna yang terkandung adalah beberapa potensi dasar manusia, seperti al-fitrah (citra asli), al-hayah (vitality), al-thab’u (tabiat), al-jibillah (konstitusi), al-sajiyah (bakat), al-sifat (sifat-sifat), sehingga berbuah pada al-amal (prilaku).

3. Tahap demi tahap (halan fa halan). Maknanya adalah, segala upaya yang dilakukan untuk mengaktualisasikan potensi itu harus bertahap, agar secara psikologis peserta didik tidak merasa ditekan atau didominasi oleh pendidiknya. Sehingga hal ini memerlukan pendekatan yang bersifat persuasif dalam pelaksanaan proses pendidikan.

4. Sampai pada batas kesempurnaan (ila hadd al-tamam). Maksudnya adalah dalam proses aktualisasi potensi peserta didik diperlukan waktu yang lama, sehingga seluruh potensinya benar-benar teraktual secara maksimal.

5. Sebatas pada kesanggupannya (bi hasbi isti'dadihi). Maksudnya adalah dalam proses aktualisasi peserta didik itu harus mengetahui tingkat peserta didik, baik dari sisi usia, kondisi fisik, psikis, social, ekonomi dan sebagainya, agar dalam tarbiyah itu ia tidak merasa 'terjajah'. Jangan sampai ia 'dewasa' sebelum waktunya, sehingga ia tidak dapat menikmati masa kecilnya. Ia tidak bermain sebagaimana kebanyakan anak kecil, sekalipun ia mengetahui pengetahuan seperti orang dewasa.

Asumsi yang terbangun dalam pemikiran kedua ini, adalah manusia lahir memiliki potensi unik yang berbeda satu dengan yang lain, sehingga diketahui masing-masing perbedaan individu (al-furuq al-fardiyyah). Semua potensi itumasih bersifat potensial yang harus diaktualisasikan melalui usaha pendidikan. Berdasarkan pemahaman itu, tugas pendidikan cukup menumbuhkan, mengembangkan, dan mengaktualisasikan berbagai potensi peserta didiknya. Pendidik tidak perlu mencetak peserta didiknya menjadi ini dan itu, apalagi usahanya itu tak seiring dengan potensi dasarnya. Ia cukup menumbuhkembangkan daya cita, rasa dan karsanya dengan tidak mengubah potensi dasarnya. Apabila potensi yang mengaktual pada peserta didik itu merupakan potensi yang buruk dan jahat, maka tugas pendidik adalah mencarikan sublimasi yang bisa mengalihkan perkembangan potensi itu, sehingga yang mengaktual potensi baiknya.33

Dari pemikiran seperti ini, dapat dilihat adanya sisi kekurangan yaitu peserta didik tidak memiliki standar kebudayaan, nilai dan ilmu pengetahuan yang merata. Sebab kegiatan pendidikan difokuskan pada pengembangan potensi internal peserta didik. Hasil kebudayaan dan peradaban masa lalu diabaikan begitu saja, tanpa diturunkan kepada generasi berikutnya. Namun sisi kelebihan yang didapat adalah terdapat relevansi antara apa yang diberikan oleh pendidik dengan kebutuhan dan keinginan peserta didik. Fungsi pendidik hanya merupakan fasilitator terhadap penumbuhan dan pengembangan potensi peserta didik untuk meraih harapan dan kebutuhan yang diinginkan.34

2. Pengertian secara terminologi

Pengertian pendidikan Islam cukup beraneka ragam dan bermacam-macam yang sudah dinyatakan para pakar pendidikan Islam, sebagaimana berbagai pendapat dalam dataran etimologi. Syed Muhammad al-Nuquib al-Attas memberikan konsep yaitu: "sekiranya kita ditanya, apakah pendidikan itu?, maka dapat dikemukakan sebuah jawaban sederhana: pendidikan adalah suatu proses penanaman sesuatu ke dalam diri manusia".35 Ada tiga hal unsur pokok pembentuk pendidikan yang dapat diambil dari jawaban tersebut, yaitu: proses, kandungan, dan penerima. Maknanya adalah: "proses" adalah penanaman sebuah pendidikan yang mengandung sebuah metode dan adanya sistem yang komperhensif dengan cara bertahap dan berkelanjutan. Dan "sesuatu" di sini dimaksudkan pada kandungan, nilai yang ditanamkan yaitu berupa ilmu yang haqiqi dan diyakini kebenarannya yang sesuai dengan konsep yang ada dalam agama Islam yang tercermin dalam al-Qur'an. Hal ini didasarkan dari asumsi bahwa semua ilmu bersumber dan datang dari Allah SWT. Sedangkan "diri manusia" adalah penerima proses dan kandungan tersebut yang tak lain adalah perserta didik.

Menurut Muhammad SA. Ibrahim (kebangsaan Bangladesh pendidikan Islam adalah: Islamic education in true sense of the lern, is the system of education whice enable a man to lead his life according to the Islamic ideology, so that he may easily mould his life in accordance whit tenets of Islam (pendidikan Islam dalam pandangan yang sebenarnya adalah suatu system pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideology Islam, sehingga dengan mudah ia dapat membentuk hidupnya sesuai dengan ajran Islam).36 Dalam paradigma ini dapat dimaknai bahwa pendidikan Islam merupakan suatu system, yang di dalamnya terdapat beberapa komponen yang saling terkait. Misalnya system akidah, syariah dan akhlak, yang meliputi domain afektif, kognitif, dan psikomotorik, yang keberartian satu unsur terpengaruh dari keberartian unsure yang lain. Pendidikan Islam juga dilandaskan atas ideologi Islam, dengan harapan bahwa proses pendidikan yang dilakukan tidak bertentangan dengan nilai dasar ajaran Islam.

Sedangkan dalam pandangan Muhammad Athiyah al-Abrasyi, pendidikan Islam adalah sebuah proses untuk mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan berbahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur fikirannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik lisan atau tulisan.37 Menurut Marimba, pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.38 Dari pengertian ini, pendidikan ditopang dengan adanya tiga unsur pokok; Pertama, harus ada usaha yang berupa bimbingan bagi pengembangan potensi jasmani dan rohani secara berimbang, Kedua, adanya usaha yang dilakukan itu harus berdasarkan atas ajaran Islam. Ketiga, usaha itu bertujuan agar peserta didik memiliki kepribadian utama menurut ukuran Islam (kepribadian muslim).

Omar Muhammad al-Toumi al-Syaibani mendevinisi-kan pendidikan Islam dengan proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribandi, masyarakat dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagaai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di antara profesi-profesi masyarakat. Al-Syaibani lebih menekankan pada perubahan tingkah laku, dari yang buruk menuju yang baik, dari yang minimal menuju yang maksimal, dari yang potensial menuju yang aktual, dan dari yang pasif menuju yang aktif. Di sini akhirnya pengajaran dijadikan sebagai sarana dalam proses perubahan tingkah laku tersebut, yang mencakup dua level perubahan yaitu, pada tingkat individu (etika personal), yang menghasilkan kesalehan individual, dan lebih dari itu mencoba supaya dapat mencakup tingkatan yang lebih luas yaitu kesalehan sosial, hasil dari etika masyarakat (sosial).7

Ada yang berpendapat bahwa pendidikan Islam merupakan usaha menumbuhkan dan membentuk manusia muslim yang sempurna dari segala aspek yang bermacam-macam aspek seperti kesehatan, akal, keyakinan, kejiwaan, akhlak, kemau-an, daya cipta dalam semua tingkat pertumbuhan yang disinari oleh cahaya Islam dengan berbagai metode yang terkandung di dalamnya. Pendapat ini diungkapkan oleh seorang guru besar Islam Ilmu Sosial Universitas Muhammad bin Su'ud di Riyadh Saudi Arabia, yaitu Miqdad Yeljin.8

Lebih luas lagi yaitu pendapat dari guru besar pendidikan Islam di Tnisia, Muhammad Fadhil al-Jamali yang mengajukan pengertian pendidikan Islam dengan upaya mengembangkan, mendorong, serta mengajak manusia untuk lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik pada level akal, perasaan maupun perbuatan.41 Dari pengertian ini dapat diambil sebuah makana bahwa sebuah pendidikan bertumpu pada tiga unsur pembentuknya, yaitu Pertama, adanya proses dalam aktivitas pendidikan denga mengembangkan, mendorong, dan mengajak peserta didik untuk lebih maju dari kehidupan sebelumnya. Peserta didik yang tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman apa-apa dibekali dan dipersiapkan dengan seperangkat pengetahuan agar ia mampu meres-pon dengan baik. Kedua, Seluruh usaha dalam proses pendidikan berlandaskan pada nilai-nilai luhur dan mulia. Peningkatan pengetahuan dan pengalaman harus dibarengi dengan peningkatan kualitas akhlak. Ketiga, upaya pendidikan menjurus pada semua kecenderungan-kecenderungan, kemampuan, yang dibawa peserta didik, dari seluruh domain pendidikan, kognitif (akal), afektif (perasaan), dan psikomotorik (perbuatan).

Dalam buku al-Tarbiyah wa al-Ta'lim al-Qur'an al-Karim diartikan bahwa pendidikan Islam merupakan proses pendekatan manusia kepada tigkat kesempurnaan dan mengembangkan kemampuannya.9 Devinisi ini sebagaimana dijelaskan Jalaludin Rahmat, mempunyai tiga makna pendidikan, Pertama, pendidikan merupakan sebuah proses untuk membantu pencapaian tingkat kesempurnaan, yaitu manusia yang mencapai tingkat keimanan dan berilmu (QS. al-Mujadalah: 11), yang disertai kualitas amal saleh (QS. al-Mulk: 2), Kedura, pendidikan merupakan sebuah model, maka rosulullah sebagai uswah hasanah yang sudah dijamin Allah (QS. al-Ahzab: 21, al-Qalam: 4), dan Ketiga, perlu disadari bahwa pendidikan Islam harus mempertimbangkan pembawaan manusia yang mempunyai potensi baik sekaligus buruk, (QS. al-Syams: 7-8) sifat lemah (QS. al-Nisa': 28), terburu-buru (QS. al-Anbiya': 37), keluh kesah (QS. al-Ma'aarij: 19), ruh yang ditiupka Allah pada saat penyempurnaan penciptaannya (QS. Shad: 72). Pendidikan Islam harus berusaha menumbuhkan, membangkitkan, meningkatkan potensi-potensi yang baik tersebut, dan semaksimal mungkin meminimalisir berkembangnya potensi-potensi yang buruk. Pada tahun 1960 diadakan seminar pendidikan Islam se-Indonesia, yang ahirnya merumuskan bahwa pendidikan Islam merupakan bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.43

Beberapa hal yang dapat diambil sebagai benang merah dari seluruh pendapat, pandangan tentang pengertian pendidikan Islam di atas, bahwa pendidikan Islam merupakan proses trans-internalisasi pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, pengarahan, dan pengembangan potensi-potensinya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat, jasmani dan rohani. Bimbingan tersebut dilakukan secara sadar dan terus-menerus dengan disesuaikan fitrah dan kemampuan, baik secara individu, kelompok, sehingga ia mampu menghayati, memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara utuh-menyeluruh dan komperhensif.

B. Ruang Lingkup Pendidikan Islam

Menurut pandangan H.M. Ari f in, pendidikan Islam mempunyai ruang lingkup mencakup kegiatan-kegiatan kependidikan yang dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan dalam bidang atau lapangan hidup manusia yang meliputi:44

1. Lapangan hidup keagamaan, agar perkembangan pribadi manusia sesuai dengan norma-norma ajaran agama Islam.
2. Lapangan hidup berkeluarga, agar berkembang menjadi keluarga yang sejahtera.
3. Lapangan hidup ekonomi, agar dapat berkembang menjadi sistem kehidupan yang bebas dari penghisapan manusia oleh manusia.
4. Lapangan hidup kemasyarakatan, agar terbina masyarakat yang adil dan makmur di bawah ridlo dan ampunan-Nya.
5. Lapangan hidup politik, agar tercipta sistem demokrasi yang sehat dan dinamis sesuai dengan ajaran Islam.
6. Lapangan hidup seni dan budaya, agar menjadikan hidup manusia penuh keindahan dan kegairahan yang tidak gersang dari nilai-nilai moral agama.        
7. Lapangan hidup ilmu pengetahuan, agar perkembangan menjadi alat untuk mencapai kesejahteraan hidup umat manusia yang dikendalikan oleh iman.

Apabila menggunakan paradigma dan asumsi dari ungkapan rasul yang menganjurkan untuk menuntut ilmu dari ayunan sampai liang lahat dan menuntut ilmu itu adalah kewajiban pria dan wanita, maka ruang lingkup pendidikan Islam tidak mengenal bats umur dan perbedaan jenis kelamin bahkan tempat dan masa.

Pendidikan sebagai ilmu, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Karena di dalamnya banyak segi-segi atau pihak-pihak yang ikut terlibat baik langsung maupun tidak langsung. Adapun segi-segi dan fihak-fihak yang terlibat dalam pendidikan Islam sekaligus menjadi ruang lingkup pendidikan Islam adalah:45

1. Perbuatan mendidik itu sendiri.
Yang dimaksud dengan perbuatan mendidik di sini adalah seluruh kegiatan, tindakan atau perbuatan dan sikap yang dilakukan oleh pendidikan sewaktu mengahdapi atau mengasuh peserta didik. Dengan istilah yang lain yaitu sikap atau tindakan menuntun, membimbing, memberikan pertolongan dari seorang pendidik kepada peserta didik menuju kepada tujuan pendidikan Islam. Dalam perbuatan mendidik ini sering disebut dengan istilah tahzib.

2. Dasar dan tujuan pendidikan Islam
Yaitu landasan yang menjadi fundamen serta sumber dari segala kegiatan pendidikan Islam. Semua hal yang masuk dalam proses pendidikan harus bersumber dan berlandaskan dasar tersebut. Dengan dasar dan sumber ini, peserta didik akan dibawa sesuai dengan dasar dan sumbernya.

3. Peserta didik
Yaitu fihak yang merupakan obyek terpenting dalam pendidikan. Hal ini disebabkan karena segala tindakan pendidikan diarahkan pada tujuan dan cita-cita pendidikan Islam.

4. Pendidik
Secara singkat dapat dikatakan sebagai subyek pelaksana proses pendidikan. Pendidik akan dapat membawa suatu pendidikan pada baik dan buruknya, sehingga peranan pendidik dalam keberhasilan pendidikan sangat menentukan.

5. Materi dan kurikulum pendidikan Islam
Yaitu bahan-bahan atau pengalaman-pengalaman pendidikan, yang sudah tersusun secara sistematis dan terstruk-tur untuk disampaikan dalam proses pendidikan kepada peserta didik.

6. Metode pendidikan Islam
Yaitu cara dan pendekatan yang dirasa paling tepat dan sesuai dalam pendidikan untuk menyampaikan bahan dan materi pendidikan kepada pesrta didik. Metode digunakan untuk mengolah, menyusun, dan menyajikan materi pendidikan, supaya materi dapat dengan mudah diterima dan ditangkap oleh peserta didik sesuai dengan karakteristik dan tahapan peserta didik.

7. Evaluasi pendidikan Islam
Yaitu cara-cara yang digunakan untuk menilai hasil pendidikan yang sudah dilakukan. Pada pendidikan Islam, umumnya tujuan tidak semuanya dapat dicapai seketika dan sekaligus, melainkan melalui proses dan pentahpan tertentu. Dengan evaluasi, pendidikan dapat dilanjutkan pada jenjang yang lebih tinggi namun harus melihat apakah sebuah tujuan yang sudah ditargetkan pada suatu tahap atau fase sudah tercapai dan terlaksana.

8. Alat-alat pendidikan Islam
Yaitu alat-alat yang digunakan selama proses pendidikan dilaksanakan, agar tujuan pendidikan dapat tercapai secara tepat.

9. Lingkungan pendidikan Islam Keadaan-keadaan dan tempat-tempat yang ikut berpengaruh dalam pelaksanaan serta keberhasilan suatu pendidikan.

C. Kegunaan Ilmu Pendidikan Islam

Ilmu pendidikan Islam memiliki arti dan peranan penting dalam kehidupan manusia, dikarenakan fungsi yang dimiliki Ilmu Pendidikan Islam. Adapun beberapa fungsi tersebut adalah:

1. Al-Dilalah, yaitu bahwa ilmu pendidikan Islam melakukan pembuktian toeri-teori kependidikan Islam, yang merangkum aspirasi atau cita-cita Islam yang harus diikhtiarkan agar menjadi kenyataan.

2. Al-Ikhbar, yaitu bahwa Ilmu Pendidikan Islam memberikan bahan-bahan informasi tentang pelaksanaan pendidikan dalam segala aspeknya bagi pengembangan ilmu pengetahuan pendidikan Islam tersebut. Ia memberikan bahan masukan (input) kepada ilmu ini. Mekanisme proses kepandidikan Islam dari segi operasional dapat dipersamakan dengan proses mekanisme yang berasal dari penerimaan (input), lalu diproses dalam kegiatan pendidikan (dalam bentuk kelembagaan atau non-kelembagaan yang disebut truput), kemudian berakhir pada output (hasil yang diharapkan). Dari hasil yang diharapkan itu timbul umpan balik (feed back) yang mengoreksi bahan masukan (input). Mekanisme proses semacam ini berlangsung terus menerus selama proses kependidikan terjadi. Semakin banyak diperoleh bahan masukan (input) dari pengalaman operasional itu, maka semakin berkembang pula Ilmu Pendidikan Islam.

3. Al-Khisabah, yaitu bahwa Ilmu pendidikan Islam berfungsi sebagai pengoreksi (korektor) terhadap teori-teori yang terdapat dalam Ilmu pendidikan Islam itu sendiri, sehingga pertemuan antara teori dan praktek akan semakin nyata, dan hubungan keduanya akan semakin bersifat interaktif (saling mempengaruhi).

Untuk dapat lebih jelas dalam memahami ketiga fungsi tersebut, lihat skema berikut:


Skema pendidikan tersebut memberikan gambaran bahwa input (bahan masukan) menjadi titik tolak pertama dalam proses berjalannya sebuah pendidikan. Dalam sebuah lembaga pendidikan, semakin banyak input seperti informasi, maka semakin baik pengaruhnya bagi kemajuan lembaga pendidikan tersebut. Sehingga, kekurangan-kekurangan yang selama ini terjadi, dengan adanya berbagai input yang diperoleh terkait keberlangsungan pendidikan dan pembelajarannya akan terselesaikan dengan baik. Ketika proses mata rantai skema tersebut masih bisa berjalan, maka dinamika dan perkembangan sebuah lembaga pendidikan masih terwujud, sebaliknya ketika skema tersebut tidak berjalan, maka stagnasi atau kemandegan akan terjadi.

Memperhatikan hal tersebut, maka Ilmu Pendidikan Islam perlu dipelajari setiap muslim, yang berkeinginan agar pendidikan yang diselenggerakan dapat berlangsung lancar dan mencapai sasarannya. Mengenai perlunya mempelajari Ilmu Pendidikan Islam ini, H.M. Arifin menyatakan sebagai berikut:10

Pendidikan sebagai usaha membentuk pribadi manusia harus melalui proses yang panjang, dengan resultan (hasil) yang tidak dapat diketahui dengan segera, berbeda dengan membentuk benda mati yang dapat dilakukan sesuai dengan keinginan pembuatnya.

Dalam proses pembentukan tersebut diperlakukan suatu perhitungan yang matang dan hati-hati berdasarkan pandangan dan fikiran atau teori yang tepat, sehingga kegagalan atau kesalahan-kesalahan langkah pembentuknya terhadap peserta didik dapat dihindarkan. Oleh karena itu lapangan tugas dan sasaran pendidikan adalah makhluk yang sedang tumbuh dan berkembang yang mengandung berbagai kemungkinan. Bila terjadi salah bentuk, maka akan sulit memperbaikinya.

• Pendidikan Islam pada hususnya yang bersumberkan nilai-nilai agama Islam di samping menanamkan atu membentuk sikap hidup yang dijiwai nilai-nilai tersebut, juga mengembangkan kemampuan berilmu pengetahuan sejalan dengan nilai-nilai Islam yang melandasinya adalah merupakan proses ikhtiariyah secara pedagogis mampu mengembangkan hidup peserta didik ke arah kedewasaan atau kematangan yang bermanfaat baginya. Oleh karena itu usaha ini tidak dapat hanya berdasarkan atas trial and error (coba-coba) atau atas dasar keinginan dan kemauan pendidik tanpa dilandasi dengan teori-teori kependidikan yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah pedagogis.

• Islam sebagai agama wahyu yang diturunkan oleh Allah dengan tujuan untuk mensejahterakan dan membahagiakan hidup dan kehidupan umat manusia di dunia dan akhirat, baru akan mempunyai arti fungsional dan aktual dalam diri manusia bilaman dikembangkan melalui proses kependidikan yang sistematis. Oleh karena itu teori-teori pendidikan Islam yang disusun secara sistematis merupakan kompas bagi proses tersebut.    

• Ruang lingkup kependidikan Islam adalah mencakup segala bidang kehidupan manusia di dunia di mana manusia mampu memanfaatkan sebagai tempat menanam benih-benih yang buahnya akan dipetik di akhirat nanti, maka pembentukan sikap dan nilai-nilai amaliah dalam pribadi manusia baru dapat efektif bilaman dilakukan melalui proses kependidikan yang berjalan di atas kaidah-kaidah ilmu pengetahuan kependidikan.

• Teori-teori, hipotesa dan asumsi-asumsi kependidikan yang bersumberkan ajaran Islam sampai kini masih belum tersusun secara ilmiah meskipun bahan-bahan bakunya telah tersedia, baik dalam kitab suci Al-Qur'an, Al-Hadits maupun qaul ulama. Untuk itu diperlukan penyusunan secara sistematis yang didukung dengan hasil penilaian yang luas. []

BAB II

DASAR-DASAR ILMU PENDIDIKAN ISLAM

Setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk mencapai suatu tujuan harus mempunya tempat lan-dasan berpijak yang baik dan kuat. Sehingga pendidikan Islam sebagai suatu upaya membentuk manusia, harus mempunyai landasan ke mana semua kegiatan dan perumusan tujuan pendidikan Islam diarahkan. Dari sini dasar adalah merupakan landasan untuk berpijaknya sesuatu, yang akan memberikan arah yang jelas kepada tujuan yang hendak diraih. Setiap negara, mempunyai dasar pendidikannya sendiri sebagai cerminan falsafah hidup yang dianutnya, sehingga dari sini suatu pendidikan disusun. Dan karenanya sistem pendidikan suatu negara menjadi berbeda dikarenakan perbedaan falsafah hidup yang dianutnya.

Beberapa contoh di antaranya, Negara Malaysia yang mendasarkan pendidikannya kepada prinsip-prinsip Rukun-negara yang merupakan refleksi falsafah hidup bangsa Malaysia. Prinsip-prinsip Rukun-negara yaitu11:

Kepercayaan kepada Tuhan Kesetiaan kepada Raja dan Negara Keluhuran Perkembangan Kedaulatan Undang-undang Kesopanan dan Kesusilaan

Contoh lain yaitu Negara Islam Pakistan yang mendasarkan pendidikannya pada Islam, sehingga diputuskan oleh Menteri Pendidikan Islam Pakistan pada bulan November 1947, yang memutuskan: (1), Education should be based on the Islamic conception of universal brotherhood of man, social democracy and social justice, (2), It should be compulsery for student to learn the fundamental principles to their religion, (3), There should be proper integration of spiritual, social, ang vocational elements in education.12

Penentuan dasar ini memiliki urgensi untuk13:

1. Mengarahkan tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai.
2. Membingkai seluruh kurikulum yang dilakukan dalam proses belajar-mengajar, yang di dalamnya termasuk materi, metode, media, sarana, dan evaluasi.
3. Menjadi standard an tolok ukur dalam evaluasi, apakah kegiatan pendidikan telah mencapai dan sesuai dengan apa yang diharapkan atau belum.

A. Dasar Ke-Islaman

Dasar pendidikan Islam identik dengan dasar ajaran Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Al-Qur'an dan hadits. Kemudian dasar tadi dikembangkan dalam pemahaman para ulama' dan lain sebagainya.14 Dengan versi lain pendidikan Islam secara umum memiliki enam dasar (di sini ada berbagai versi dan pendapat) dalam pandangan Sa'id Ismail Ali sebagaiman dikutip Hasan Lang-gulung.15 Yaitu: Al-Qur'an, Al-Sunnah, Kata-kata sahabat (madzhab sahabi), kemaslahatan umat/sosial (mashlahah al-mursalah), tradisi atau adapt ('urf), dan hasil pemikiran para ahli dalam Islam (ijtihad). Keenam dasar pendidikan Islam tersebut didudukkan secara hierarkhis, dengan arti bahwaa sumber utama dan pertama adalah al-Qur'an kemudian dasar-dasar yang selanjutnya.

1. Al-Qur'an

Al-Qur'an dijadikan sumber pertama dan utama dalam pendidikan Islam, karena nilai absolut yang terkandung di dalamnya yang datang dari Tuhan. Umat Islam sebagai umat yang dianugerahkan Tuhan suatu kitab Al-Qur'an yang lengkap dengan segala petunjuk yang meliputi seluruh aspek kehidupan dan bersifat universal. Apabila diamati secara mendalam, prosentase akan ajaran-ajaran yang berkenaan dengan keimanan (aqidah) tidak banyak porsinya dibandingkan dengan prosentase akan ajaran tentang amal perbuatan. Hal ini menunjukkan bahwa amal itulah yang banyak dilaksanakan, sebab semua amal perbuatan manusia hubungannya dengan Tuhan, dirinya sendiri, sesama manusia (masyarakat), alam sekitarnya dengan makhluk lainnya kesemuanya masuk dalam ruang lingkup amal saleh (syariah), namun bukan berarti menafikan urgensi keimanan dalam Islam. Dengan kata lain bahwa al-Quran mencakup dua aspek besar dalam kehidupan manusia, yakni aqidah dan syari'ah.

Nilai esensi dalam al-Qur'an selamanya abadi dan selalu relevan pada setiap waktu dan zaman, yang terjaga dari perubahan apapun. Perubahan dimungkinkan hanya menyangkut masalah interpretasi mengenai nilai-nilai instrumental dan menyangkut masalah tehnik operasional. Sehingga pendidikan Islam yang ideal sepenuhnya mengacu pada nilai-nilai dasar al-Qur'an tanpa sedikitpun menyimpang darinya. Hal ini diperlukan karena ada dua isi penting yang diperlukan dalam sebuah pendidikan, yaitu mencakup sejarah pendidikan Islam dan nilai-nilai normatif pendidikan Islam.16

Muhammad Fadhil al-Jamali menyatakan bahwa pada dasarnya merupakan perbendaharaan besar untuk kebudayaan manusia, khususnya dalam segi spiritualitas. Ia juga merupakan Kitab Pendidikan kemasyarakatan, moral, dan spiritual. Hal ini dipertegas oleh al-Nadwi yang berpandangan bahwa pendidikan dan pengajaran umat Islam haruslah bersumberkan dari Aqidah Islamiyah yang berdasar dari al-Qur'an dan hadits.17

Dalam al-Qur'an terdapat banyak ajaran yang berisi prinsip-prinsip berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan. Misalnya saja kisah Luqman dalam mengajari anaknya (QS.Lukman: 12-19). Cerita ini menggariskan prinsip dalam materi pendidikan yang terdiri dari masalah iman, akhlak, ibadah, social, dan ilmu pengetahuan. Ayat lain menceritakan tujuan hidup dan tentang nilai sesuatu kegiatan dan amal saleh. Hal ini mengindikasikan bahwa tujuan hidup harus match dengan tujuan hidup itu sendiri.18

2. As-Sunnah

Dasar kedua dalam pendidikan Islam adalah as-Sunnah. Menurut bahasa sunnah adalah tradisi yang biasa dilakukan atau jalan yang dilaui (al-Thoriqoh al-Maslukah) baik yang terpuji maupun yang tercela. Al-Sunnah adalah sesuatu yang dinukilkan kepada Nabi SAW, berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau ketetapannya dan yang lain itu. Amalan yang dikerjakan rosul dalam proses perubahan sikap sehari-hari menjadi sumber pendidikan Islam, karena Allah telah manjadikan-nya teladan bagi umatnya. Sunnah juga berisi aqidah dan syariah. Sunnah berisi petunjuk (pedoman) untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertaqwa. Sehingga rosul manjadi guru dan pendidik utama.

Orang yang mengkaji kepribadian rosul, akan menemukan bahwa beliau benar-benar pendidik yang agung, dengan metode pendidikan yang luar bisa, bahkan para pakar pendidikan Islam menyebutkan dan memberikan predikat "The Prophet Muhammad was the first citizen of this nations, its teacher and its guide".9

Robert L. Gullick dalam bukunya Muhammad the Educator menyatakan: "Muhammad betul-betul seorang pendidik yang membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar, serta melahirkan ketertiban dan stabilitas yang mendorong perkembangan budaya Islam, serta revolusi sesuatu yang mempunyai tempo yang tak tertandingi dan gairah yang menantang. Dari sudut pragmatis, seseorang yang mengangkat prilaku manusia adalah seorang pangeran di antara para pendidik.10
Dalam usahanya, Nabi sebagai guru dan pendidik yang utama dapat diketahui melalui:

a. Menggunakan rumah al-Arqam Ibn Arqam
b. Memanfaatkan tawana perang untuk mengajar baca tulis.
c. Dengan mengirim para sahabat ke daerah-daerah yang baru masuk Islam. Yang kesemuanya ini adalah dalam rangka pembentukan manusia muslim dan masyarakat Islam.

Corak Pendidikan Islam yang diturunkan dari sunnah Nabi Muhammadnadalah:

1. Disampaikan sebagia rahmat lil ‘alamin (rahmat bagi semua alam), yang ruang lingkupnya tidak sebatas spesies manusia, tetapi juga makhluk biotik dan abiotik lainnya. (QS.al-Anbiya': 107-108)
2. Disampaikan secara utuh dan lengkap, yang memuat berita gembira dan peringatan pada umatnya. (QS. Saba': 28)
3. Apa yang disampaikan merupakan kebenaran mutlak (QS. al-Baqarah: 119), dan terpelihara outentitasnya. (QS. al-Hijr: 9)
4. Kehadirannya sebagai evaluator yang mampu mengawasi dan senantiasa bertanggung jawab atas aktivitas pendidikan (QS. asy-Syura: 48, al-Ahzab: 45, al-Fath: 8)
5. Perilaku Nabi tercermin sebagai uswah hasanah yang dapat dijadikan figuratau suri tauladan (QS. al-Ahzab: 21), karena perilakunya dijaga Allah (QS. an-Najm: 3-4), sehingga beliau tidak pernah maksiat.
6. Dalam masalah tehnik operasional dalam pelaksanaan pendidikan Islam diserahkan penuh pada umatnya. Strategi, pendekatan, metode, dan tehnik pembelajaran diserahkan penuh pada ijtihad umatnya, selama tidak menyalahi aturan pokok dalam Islam. Imam Muslim meriwayatkan dari Anas dan Aisyah: "antum a’lamu bi umur al-dunyakum” (engkau lebih tau terhadap urusan duniamu).

3. Kata-kata Sahabat (Madzhab Sahabi)

Sahabat adalah orang yang pernah berjumpa dengan Nabi SAW. Dalam keadaan beriman dan mati dalam keadaan beriman juga. Para sahabat memiliki karakteristik yang unik dibandingkan dengan kebanyakan orang. Fazlur Rahman berpendapat bahwa karakteristik sahabat antara alin: (1) tradisi yang dilakukan para sahabat secara konsepsional tidak terpisah dengan sunnah Nabi, (2) Kandungan yang khusus dan aktual tradisi sahabat sebagian besar produk sendiri, (3) Unsur kreatif dari kandungan merupakan ijtihad personal yang telah mengalami kristalisasi dalam ijma', yang disebut dengan madzhab sahabi (pendapat sahabat). Ijtihad ini tidak terpisah dari petunjuk Nabi terhadap sesuatu yang bersifat spesifik, dan (4) Praktek amaliah sahabat identik dengan ijma' (konsensus umum).19

Upaya sahabat dalam pendidikan Islam sangat menentukan bagi perkembangan pemikiran dewasa ini. Upaya yang dilakukan oleh Abu Bakar misalnya, mengumpulkan mushaf dalam satu mushhaf yang dijadikan sebagai sumber utama pendidikan Islam; meluruskan keimanan masyarakat dari pemurtadan dan memerangi pembangkang dari pembayaran zakat. Sedangkan yang dilakukan Umar bin Khattab sehingga ia disebut sebagai bapak revolusioner terhadap ajaran Islam. Tindakannya dalam memperluas wilayah Islam, dan memerangi kezaliman menjadi salah satu model dalam membangun strategi dan perluasan pendidikan Islam dewasa ini. Sedang Ustman bin Affan berusaha untuk menyatukan sistematika berfikir ilmiah dalam menyatukan susunan Al-Qur'an dalam satu mushhaf, yang berbeda antara satu mushhaf dengan mwsWia/lainnya. Sementara Ali bin Abi Thalib banyak merumuskan konsep-konsep kependidikan seperti bagaiman seyogianya etika peserta didik terhadap pendidiknya, bagaimana ghirah pemuda dalam belajar, dan demikian sebaliknya.20

4. Kemaslahatan Umat/Sosial (Mashlahah al-Mursalah)

Mashlahah al-Mursalah adalah menetapkan undang-undang, peraturan dan hokum tentang pendidikan dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan dalam nash dengan pertimbangan kemashlahatan hidp bersama, dengan bersendikan asas menarik kemashlahatan dan menolak kemudha-ratan. Mashlahah al-Mursalah dapat diterapkan jika ia benar-benar dapat menarik mashlahah dan menolak mudharat melalui penyelidikan terlebih dahulu. Ketetapannya bersifat umum, bukan untuk kepentingan perseorangan serta tidak bertentangan dengan nash.u

Para ahli pendidikan berhak menentukan undang-undang atau peraturan pendidikan Islam sesuai dengan kondisi lingkungan di mana ia berada. Ketentuan yang dicetuskan berdasarkan mashlahah al-mursalah dengan memiliki tiga kriteria: (1) apa yang dicetuskan benar-benar membawa kemashlahatan dan menolak kerusakan setelah melalui tahapan observasi dan analisis, misalnya pembuatan tanda tamat (ijasah) dengan foto pemiliknya; (2) kemaslahatan yang diambil merupakan kemaslahatan yang bersifat universal, yang mencakup seluruh lapisan masyarakat, tanpa adanya diskriminasi, misalnya perumusan undang-undang Sistem Pendidikan Nasional di Negara Islam atau di nagara yang penduduknya mayoritas muslim; (3) keputusan yang diambil tida bertentangan dengan nilai dasar Al-Qur'an dan as-Sunnah. Misalnya perumusan tujuan pendidikan tidak menyalahi fungsi kehambaan dan kekhalifahan manusia di muka bumi.15

5. Tradisi atau Adat Kebiasaan Masyarakat ('Urf)

Tradisi ('urf/adat) adalah kebiasaan masyarakat, baik berupa perkataan maupun perbuatan yang dilakukan secara kontinu dan seakan-akan merupakan hukum tersendiri, sehingga jiwa merasa tenang dalam melakukannya karena sejalan dengan akal dan diterima oleh tabiat yang sejahtera. Nilai tradisi setiap masyarakat merupakan realitas yang multikompleks dan dialektis. Nilai-nilai itu mencerminkan kekhasan masyarakat sekaligus sebagai pengejawantahan nilai-nilai universal manusia. Nilai-nilai tradisi dapat dipertahankan sejauh di dalam diri mereka terdapat nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai tradisi yang tidak lagi mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan, maka manusia akan kehilangan martabatnya.16

Dalam konteks tradisi ini, masing-masing tradisi masyarakat muslim memiliki corak tradisi unik, yang berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat lain. Sekalipun mereka memiliki kesamaan agama, tetapi dalam hidup berbangsa dan bernegara akan membentuk ciri unik. Dengan asumsi seperti ini, maka ada penyebutan Islam universal dan Islam lokal.17 Kesepakatan bersama dalam tradisi dapat dijadikan acu and alam pelaksanaan pendidikan Islam. Penerimaan tradisi ini memiliki beberapa syarat, yaitu: (1) tidak bertentangan dengan ketentuan nash pokok, baik al-Qur'an dan sunnah; (2) tradisi yang Islam universal adalah Islam yang diajarkan Allah dan rasul-Nya sebagaimana adanya, yang memiliki nilai esensial dan diberlakukan untuk semua lapisan, misalnya menutup aurat bagi muslim dan muslimah. Sedangkan Islam lokal adalah Islam adaptif terhadap tradisi dan budaya masyarakat setempat, sebagai hasil interpretasi terhadap Islam universal, seperti bagaimana bentuk menutup aurat itu, apa memakai celana, kebaya, jubah atau yang lain. Ibid

berlaku tidak bertentangan dengan akal sehat dan tabiat yang sejahtera, serta tidak mengakibatkan kedurhakaan, kerusakan, dan kemunduran.18

6. Hasil Pemikiran Para Ahli dalam Islam (Ijtihad)

Setelah jatuhnya kekhalifahan Ali bin Abi Thalib berakhir, berakhirlah masa pemerintahan Khulafaur Rasyidun dan digantikan oleh Dinasti Umayyah. Pada masa ini Islam telah meluas sampai ke Afrika Utara bahkan ke Spanyol. Perluasan daerah kekuasaan ini diiukuti oleh ulama' dan guru atau pendidik. Akibatnya terjadi pula perluasan pusat-pusat pendidikan yang tersebar di kota-kota besar seperti: (1) Makkah dan Madinah (hijaz); (2) Bashrah dan Kuffah (Iran); (3) Damsyik dan Palestina; (4) Fustat (Mesir). Implikasi dari berdirinya pusat-pusat pendidikan tersebut, adalah terjadinya perkembangan baru dalam realitas pendidikan, sebagai akibat interaksi, asimilasi, dan akulturasi nilai-nilai budaya daerah yang ditaklukkan dengan nilai-nilai Islam. Hal ini berrati perlu adanya pemikiran ulang secara komperhensif tentang cara mengatasi problem-problem baru yang timbul, dan di sinilah perlunya sebuah "Ijtihad".19

Ijtihad adalah istilah para ahli fiqh (fuqaha') yang berakar dari kata jahada yang berarti al-masyaqqah (yang sulit) dan badzl al- wus'i wa thaqati (pengerahan kesanggupan dan kekuatan). Sa'id al-Taftani memberikan arti ijtihad dengan tahmil al-juhdi (kearah yang membutuhkan kesungguhan), yaitu pengerahan segala kesanggupan dan kesungguhan serta kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai pada batas puncaknya.20 Istilah lain menyebutkan bahwa ijtihad adalah berfikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki ahli syari'at Islam untuk menetapkan/menentukan suatu hukum syari'at Islam dan hal- hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh al-Qur'an dan sunnah.21

Beberapa Imam fiqh yang tergolong mujtahid seperti al-Auza'i, Abu Hanifah dan Imam Malik, pada waktu itu merasa perlu untuk memecahkan permasalahan yang timbul sebagai akibat terjadinya interaksi nilai-nilai budaya adat istiadat yang berbeda dengan menggunakan ijtihad. Dengan demikian ijtihad dapat digunakan sebagi sumber pendidikan karena sesuai dengan hikmah Islam. Hal ini disebabkan karena al-Qur'an dan sunnah masih banyak mengandung arti yang umum, sehingga para ahli hukum menggunakan ijtihad untuk menetapkan hukum tersebut.22

Ijtihad dalam aplikasinya dapat meliputi seluruh aspek ajaran Islam, termasuk di dalamnya aspek pendidikan. Karena

20Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 43.

21 Zakiyah Darajat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam,. Cet. keenam (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), him. 21. Bandingkan dengan Munardji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), him. 51. Ijtihad ini dirasa penting karena Al-Qur'an dan Hadits banyak mengandung arti yang masih umum, maka para ahli hukum Islam menggunakan Ijtihad untuk menentukan sebuah hukum. Ijtihad ini sangat terasa sekali kebutuhannya setelah wafatnya Nabi dan beranjaknya Islam mulai keluar dari Arab. Sehingga memang situasi dan kondisi yang sudah berbeda dengan tanah Arab. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 17.

22 Ramayulis,, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), hlm. 17.

pada prinsipnya ijtihad diaplikasikan dalam hal-hal yang terus berkembang yang perlu penalaran atau pemikiran ulang yang lebih komperhensif dalam dinamika kehidupan masyarakat. Dan pendidikan merupakan satu aspek kehidupan yang sangat urgen dalam masyarakat, yang akan senantiasa berkembang sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin bergerak maju dengan cepat. Akibatnya dengan sangat mendesak perlu adanya suatu jalan penghubung yang dapat menghantarkan aspek-aspek pendidikan seperti isi atau materi, metode, system dan yang lainnya ini pada dunianya yang semakin maju agar dapat membawa masyarakat kepada sebuah peradaban yang lebih manusiawi dan Islami. Sebagai realisasi ajaran Islam dari al-Qur'an dan sunnah yang masih global, demi tercapainya tujuan pendidikan Islam.

Dari pengertian di atas, maka ijtihad menjadi sangat penting dan diperlukan dalam dunia pendidikan, dan ketika terlihat gejala adanya pendidikan yang masih mempertahankan status-quo, jumud (kemandegan), stagnan, dan statis. Urgensi dari perlunya aplikasi ijtihad adalah untuk dinamisasi, inovasi, dan modernisasi pendidikan agar diperoleh masa depan pendidikan yang lebih berkualitas. Ijtihad tidak berarti dekonstruksi nilai-nilai, budaya da tatanan lama yang sudah ada, malainkan merekonstruksi atau memelihara "yang lama" yang baik (al-qadim ash-shalih) dan mengambil tatanan "yang baru" yang lebih baik (al-jadid al-ashlah). Sehingga Rasulullah memberi sebuah apresisi yang relevan kepada pelaku ijtihad, bila mereka benar malakukannya baik dataran isi dan prosedurnya, maka mereka mendapatkan dua pahala, tetapi apabila mengalami kesalahan maka ia mendapatkan satu pahala, yaitu karena kesungguhan yang sudah dilakukkannya (HR. Bukhari Muslim dan Amr ibn ash).21

B. Dasar Pelaksanaan Pendidikan Islam di Indonesia

Dasar pendidikan di suatu negara disesuaikan dengan dasar falsafah negaranya. Oleh karenanya pendidikan Islam di Indonesia selain berdasarkan pada dasar-dasar tersebut, agar lebih dapat diaplikasikan dalam masyarakatnya harus berdasarkan pada falsafah hidup bangsa Indonesia, dan perundang-undangan yang berlaku yang secara langsung maupun tidak langsung dapat dijadikan pegangan dalam melaksanakan pendidikan di berbagai lembaga pendidikan (formal, non-formal maupun in-formal) yang masih memungkinkan.22

Adapun dasar-dasar tersebut adalah:

1. Dasar Ideal
Dasar ideal adalah dasar dari falsafah negara, yaitu Pancasila, dengan sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini mengandung pengertian bahwa seluruh bangsa Indonesia harus percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa atau dengan kata lain haruslah beragama dan berTuhan. Dasar ideal ini merupakan sumber kebenaran dan kekuatan (kebenaran universal) yang akan disepakati oleh semua fihak, dan dapat mengantarkan kepada apa yang menjadi tuju a bersama tersebut. Dasar ini telah menjadi standar nilai bersama yang nantinya akan mamapu menjadi evaluator seluruh kegiatan dan proses pendidikan. Sehingga nilai ini nantinya akan berlaku secara umum (general pattern), yang menjadi nilai-nilai inti atau ideal (ideal core values).

2. Dasar Struktural
Dasar struktural pendidikan di Indonesia adalah UUD 1945, "mencerdaskan kehidupan bangsa...". Perwujudan tujuan tersebut tertuang dalam amandemen pasal 31 UUD 1945 yang berupa Pasal 31 ayat (1) sampai ayat (5) yang berbunyi:25

a. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
b. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
c. Pemerintah menyelenggarakan dan mengusahakan satu sistem pendidikan nasionl yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
d. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
e. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat.

3. Dasar Operasional
Untuk dasar ini, pada saat sekarang terletak pada UU No 20 Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, yang terkenal dengan UU SISDIKNAS tahun 2003 yang menjadi penjabaran pasal 31 tersebut di atas. Dalam undang-undang tersebut telah dengan jelas mengamanatkan program wajib belajar minimal sampai jenjang pendidikan dasar. Setiap warga negara wajib mendapatkan pendidikan yang bermutu. Pemerintah baik Pusat maupun Daerah wajib menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara sesuai dengan bakat, minat, tingkat kecerdasan, dan kemampuannya tanpa diskriminasi, minimal setara dengan Standar Nasional Pendidikan. Selain undang-undang SISDIKNAS tersebut, terdapat pula beberapa undang-undang yang selama ini menjadi dasar pendidikan di Indonesia. Di antara dasar tersebut adalah Undang-Undang RI No 4 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-undang ini telah menjadi dasar yang sangat tinggi nilainya bagi peningkatan kualitas pendidik berikut dengan kesejahteraannya. Sebagai seorang pendidik disyaratkan harus memenuhi berbagai kualifikasi akademik, sertifikasi, dan kompetensi sebagai upaya peninggakatan mutu pendidikan yang dijalankan. Selain undang-undang Guru dan Dosen, ada juga contoh lain perundang-undangan yang menaungi pendidikan Islam di Indonesia misalnya Peraturan Pemerintah No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Menteri No.ll tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran. Jadi, dasar operasional ini merupakan penjabaran-pen-jabaran dari dasar idela dan struktural, yang akan mengatur pelaksanaan pendidikan di Indonesia secara lebih mendetail. Dan pada akhirnya, akan muncul produk-produk undang-undang yang lain yang menjadi penafsiran dasar idela dan struktural tentang pendidikan. Sehingga dengan adanya aspek hukum yang baku dalam pendidikan akan mewujudkan konstruks manajemen pendidikan yang terukur, tersistem, transparan dan terpola dengan baik.

C. Landasan Pemikiran Pendidikan Islam

Landasan pemikiran pendidikan Islam merupakan landasan operasional yang terbentuk sebagai aktualisasi dan realisasi dari dasar-dasar pendidikan Islam di atas. Hasan Langgulung memberikan pemikiran dengan mengajukan enam macam landasan, yang kemudian ada beberapa ahli pendidikan yang menambahkan satu landasan algi sebagai sebuah penyempurnaan. Satu landasan ini ditambahkan dengan tujuan agar segala proses pendidikan yang dilakukan dapat bernafaskan dan bernuansa Islami, sehingga dapat bernilai ubudiyah.26

1. Landasan Historis
Dasar historis adalah dasar yang berorientasi pada pengalaman pendidikan masa lalu, baik dalam bentuk undang-undang maupn peraturan-peraturan, agar kebijakan yang ditempuh masa sekarang akan lebih bermakna dan mencerahkan. Dasar ini juga dapat dijadikan acuan untuk memprediksi masa depan, karena dasar ini memberi data input tentang kelebihan dan kekurangan kebijakan serta maju mundurnya prestasi pendidikan yang telah ditempuh. Sebagai contoh kalau pada masa dulu masyarakat bangsa Arab sangat gemar bersastra, maka pendidikan sastra di Arab menjadi penting dalam kurikulum masa kini, sebab sastra selain menjadi identitas dan potensi akademik bagi bangsa Arab juga sebagai sumber perekat bangsa.23 Dasar ini memberikan persiapan kepada pendidik dengan hasil-hasil pengalaman masa lalu.

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), hlm. 62-63. Bandingkan dengan Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 44.

2. Landasan Sosiologis
Dasar sosiologis adalah dasar yang memberikan kerangka sosial budaya, yang dengannya itu pendidikan dilaksanakan. Dasar ini dapat dapat berfungsi sebagai tolok ukur dalam prestasi belajar. Artinya, tinggi rendahnya suatu pendidikan dapat diukur dari tingkat relevansi output pendidikan dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak kehilangan konteks atau tercerabut dari akar masyarakatnya.24 Prestasi pendidikan hampir tidak berguna jika prestasi itu merusak tatanan masyarakat. Dasar ini berupa kerangka budaya, di mana pendidikannya bertolak dan bergerak seperti memindahkan budaya, memilih dan mengembangkannya.25

3. Landasan Ekonomi
Dasar ini akan memberi perspektif tentang potensi-potensi manusia, keuangan, materi, persiapan yang mengatur sumber keuangan dan bertanggung jawab terhadap anggaran pembelanjaan.30 Dalam masa sekarang ini dapatlah dikatakan bahwa pendanaan merupakan salah satu faktor yang menetu-kan akan maju mundurnya suatu pendidikan yang dilaksanakan.

4. Landasan Politik dan Administrstif
Dasar yang memberi bingkai ideologis, yang digunakan sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan dan direncanakan bersama.31 Dasar politik menjadi penting untuk pemerataan pendidikan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Dasar ini juga berguna menentukan kebijakan umum dalam rangka mencapai kemaslahatan bersama, bukan hanya untuk golongan atau kelompok tertentu. Sementara dasar administrasi berguna untuk memudahkan pelayanan pendidikan, agar pendidikan dapat berjalan dengan lancer tanpa ada gangguan teknis dalam pelaksanaannya.32

5. Landasan Psikologi
Dasar yang memberi informasi tentang watak peserta didik, pendidik, motivasi dan inovasi peserta didik, karakter, metode terbaik dalam praktek, pengukuran dan penilaian bimbingan dan penyuluhan, tenaga administrasi dan sumber-daya manusia yang lain. Dasar ini juga dapat berfungsi untuk mengetahui tingkat kesejahteraan dan kepuasan batiniah pelaku pendidikan, agar mereka mampu maningkatkan prestasi dan kompetensi dengan cara yang baik dan sehat. Dasar ini pula yang memberikan suasana batin yang tenang, damai dan indah di lingkungan pendidikan, meskipun dalam kedamaian dan ketenangan itu senantiasa terjadi dinamika dan gerak cepat untuk lebih maju bagi pengembangan lembaga pendidikan.26

Ibid., bandingkan dengan Abdul Mujib, dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam,, hlm. 44.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 62.

6. Landasan Filosofis
Dasar yang memberikan kemampuan memilih yang terbaik, memberi arah suatu sistem yang mengontrol dan memberi arah kepada semua dasar-dasar operasional lainnya.27 Bagi masyarakat yang sekuler, dasar ini menjadi acuan terpenting dalam pendidikan, sebab filsafat bagi mereka merupakan induk dari segala dasar pendidikan. Sementara bagi masyarakat religius, dasar ini hanya sekedar menjadi bagian dari cara berfikir di bidang pendidikan secara sistemik, radikal, dan universal yang asasnya diturunkan dari nilai ilahiyah.28

7. Landasan Religius
Dasar religius adalah dasar yang diturunkan dari ajaran agama. Urgensi dasar ini terletak pada tujuannya agar seluruh proses bahkan hasil dari pendidikan Islam dapat bermakna. Konstruksi agama membutuhkan aktualisasi dalam berbagai dasar pendidikan yang lain yang sudah disebutkan si atas. Agama menjadi frame bagi semua dasar pendidikan. Aplikasi dasar-dasar yang lain merupakan realisasi diri yang bersumberkan agama dan bukan sebaliknya. Dengan tujuan yang hendak dicapai adalah adanya tindakan kependidikan dapat dinilai ibadah, sebab ibadah merupakan aktualisasi diri (self actualization) yang paling ideal dalam pendidikan Islam.36

BAB III

TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

A. Rumusan Tujuan Pendidikan Islam

Dalam adagium ushuliyah dinyatakan bahwa al-umur bi maqashidiha, bahwa setiap tindakan dan aktivitas harus berorientasi pada tujuan atau rencana yang telah ditetapkan. Adagium ini menunjukkan bahwa pendidikan seharusnya berorientasi pada tujuan yang ingin dicapai, bukan semata-mata berorientasi pada sederetan materi. Sehingga tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu harus dirumuskan, sebelum komponen-komponen yang lain.1

Pandangn objective oriented (berorientasi pada tujuan) • mengajarkan bahwa tugas seorang pendidik pada dasarnya bukan hanya mengajarkan ilmu atau kecakapan tertentu pada peserta didiknya saja, namun juga merealisir atau mencapai tujuan suatu pendidikan. Menurut Zakiah Darajat tujuan itu sendiri adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai. Sedangkan HM Arifin, tujuan itu bisa jadi menunjukkan futuritas (masa depan) yang terletak suatu jarak tertentu yang tidak dapat dicapai kecuali dengan usaha melalui proses tertentu.29

Tujuan merupakan sasaran, arah, yang hendak dituju, dicapai dan sekaligus menjadi pedoman yang memberi arah bagi segala aktivitas dan kegiatan pendidikan yang sudah dilakukan. Dengan kata lain, tujuan merupakan standar usaha yang dapat ditentukan, serta mangarahkan usaha yang akan dilalui dan merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan yang lain. Tujuan dapat membatasi ruang gerak usaha, agar kegiatan dapat berfokus pada apa yang dicita-citakan, dan yang terpenting lagi dapat memberi penilaian atau evaluasi pada kegiatan-kegiatan dari usaha pendidikan.30Tujuan pendidikan bukanlah suatu benda yang berbentuk tetap dan statis, namun ia merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang, mencakup seluruh aspek kehidupan.31 Sehingga al-Abrasy berpendapat melalui syairnya: "setiap sesuatu mempunyai tujuan yang diusahakan untuk dicapai, seseorang bebas menjadikan pencapaian tujuan pada taraf yang paling tinggi".32

T.S.Eliot menyatakan bahwa pendidikan yang^amat penting itu, tujuannya haruslah diambil dari pandangan hidup, sehingga jika pendidikan Islam, maka rumusan tujuan pendi-dikaitnya haruslah diambil dari Islam pula.33 Beberapa perbedaan tujuan yang ada di berbagai Negara dan filosof dapat dinyatakan sebagai berikut:34

• Sparta, negara ini mempunyai tujuan pendidikan mempersiapkan laki-laki yang kuat jasmaninya dalam peperangan dan fasih pembicaraannya di majelis.

• Athena, tujuan pendidikannya adalah mempersiapkan individu-individu supaya menjadi individu yang utuh (the exelence man as man). Maksudnya yaitu supaya seseorang itu mampu berdiri sendiri dan harmonis dalam tingkah lakunya serta seimbang pula antara kekuatan jasmani dan rohaninya, serta baik akhlaknya baik perkataan maupun perbuatannya.

• Jepang Modern, pendidikan di negara ini bertujuan untuk menghasilkan pegawai-pegawai yang ikhlas dan setia kepada kerajaan, dan mempergunakan ilmu pengetahuan yang diperoleh untuk kepentingan Kerajaan.

• Amerika Serikat, yang menjadi pelopor sistem demokrasi liberal di dunia, mengetengahkan tujuan pendidikan pada tebentuknya manusia warga negara yang demokratis dan warga negara yang baik serta memiliki efisiensi social dan kehidupan ekonomi yang bermutu. Dari sini nampak bahwa rumusan manusia ideal yang hendak dibentuk melalui proses kependidikan adalah manusia yang berjiwa demokratis, taat kepada peraturan perundang-undangan Negara selaku warga Negara serta memiliki kompetensi dalam mengelola kehidupan ekonomi yang bernilai cukup tinggi.35

Adapun beberapa filosof memberikan formulasi tujuan sebuah pendidikan, di antaranya:

• Aristoteles, bahwa tujuan pendidikan ialah mempersiapkan akal untuk memperoleh ilmu pengetahuan, sebagaimana bumi disiapkan untuk tumbuh-tumbuhan dan tanaman.

• Immanuel Kant, pendidikan bertujuan untuk mengangkat manusia kepada kesempurnaan yang mungkin dicapai.

• Herbert Spenser, tujuan yang hendak dicapai dari sebuah pendidikan ialah mempersiapkan manusia supaya dapat hidup dengan kehidupan yang sempurna.

Pada dasarnya tujuan pendidikan Islam sejalan dengan tujuan misi Islam itu sendiri, yaitu mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai tingkat akhlak al-karimah. Selain itu, ada dua sasaran pokok yang akan dicapai oleh pendidikan Islam tadi, kebahagiaan dunia dan kesejahteraan akhirat, memuat dua sisi penting. Dan ini dipandang sebagai nilai lebih pendidikan Islam dibandingkan pendidikan lain secara umum.36

Istilah tujuan atau sasaran atau maksud dalam bahsa Arab dinyatakan dengan ghayat, ahdaf dan maqashid. Sedangkan dalam bahsa Inggris dinyatakan dengan goal, purpose atau objective atau aim. Secara umum istilah-istilah tersebut mengandung pengertian yang sama, yaitu perbuatan yang diarahkan kepada suatu tjuan tertentu, atau arah, maksud yang hendak dicapai melalui upaya atau aktifitas.37

Dalam realitas para pemikir dan ahli pendidikan Islam, para ahli pendidikan Islam belum ada kesepakatan dalam merumuskan tujuan pendidikan secara bulat. Di antaranya rumusan tujuan oleh Imam Ghazali yaitu38: (1) insan peripurna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT; (2) insan paripurna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat, karena itu berusaha mengajar manusia agar mampu mencapai tujuan yang dimaksudkan tersebut.

Al-Attas menghendaki tujuan pendidikan Islam adalah manusia yang baik. Sedangkan Marimba berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya orang yang berkepribadian muslim.39 Mahmud Yunus dalam bukunya merumuskan tujuan pendidikan: "mendidik anak-anak, pemuda/ pemudi dan orang dewasa, supaya menjadi seorang muslim sejati, beriman teguh, beramal shalih dan berakhlak mulia, sehingga salah seorang anggota masyarakat yang sanggup hidup di atas kaki sendiri, mengabdi kapada Allah dan berbakti kepada bangsa dan tanah airnya, bahkan semua umat manusia.40

Ibnu Khaldun memberikan pendapatnya bahwa tujuan pendidikan ada dua: (1) Tujuan keagamaan, ialah beramal untuk akhirat, sehingga ia menemui Tuhannya dan telah menunaikan hak-hak Allah yang diwajibkan ke atasnya; (2) Tujuan ilmiah yang bersifat keduniaan, yaitu apa yang diungkapkan oleh pendidikan modern dengan tujuan kemanfaatan atau persiapan untuk hidup.14

Shaleh Abdul Aziz dan Abdul Aziz Abdul Najid berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk mendapatkan keridlaan Allah dan mengusahakan penghidupan. Menurut Musthafa Amin, tujuan pendidikan Islam adalah memeprsiapkan seseorang bagi amalan dunia dan akhirat. Abdullah Fayad merumuskan dua tujuan pendidikan Islam, yaitu: (1) persiapan untuk hidup akhirat; (2) membentuk perorangan dengan ilmu pengetahuan dan ketrampilan untuk menunjang kesuksesan hisup di dunia. Al-Abrasy memberikan rumusan tujuan secara umum, yaitu: (1) pembentukan akhlak mulia; (2) persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat; (3) persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi pemanfaatannya. Keterpaduan antara agama dan ilmu akan dapat membawa manusia kepada kesempurnaan; (4) menumbuhkan roh ilmiah para pelajar dan memenuhi keinginan untuk mengetahui serta memiliki kesanggupan untuk mengkaji ilmu sekedar sebagai ilmu; (5) mempersiapkan para pelajar untuk suatu profesi tertentu sehingga ia mudah mencari rezeki.41

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), him. 26., lihat juga dalam Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), hlm. 71, dan juga Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, M.Si., Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 81.

Munir Mursi memandang bahwa tujuan yang hendak dicapai dari pendidikan adalah manusia sempurna. Menurt Abdul Fatah Jalai tujuannya adalah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Namun menurut Quthb, tujuan umum pendidikan adalah manusia yang taqwa.42

Sementara itu menurut Konggres pendidikan Islam sedunia tahun 1980 di Islamabad, menyebutkan:

"Education aims at the balanced growth of total personality of man through of man's spirit, intellect, the rational self, feeling and bodile sense. Education should, therefore, cater for the growth of man in all its aspect, spiritual, intellectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and attainment of perfection. The ultimate aim of education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at large".

Artinya:
bahwa pendidikan Islam haruslah bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh, secara seimbang, melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan dan indera. Karena itu, pendidikan harus mencapai pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya, seperti spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, dan bahasa secara individu maupun kolektif. Mendorong semua aspek kearah kebaikan dan mencapai kemakmuran. Tujuan akhirnya adalah dengan perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah, baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.43

Ada juga yang memberikan uraian bahwa tujuan pendidikan Islam terbagi menjadi lima bagian, pendapat ini menurut Fadlil al-Jamaly,18 yaitu:

• Mengenalkan manusia akan perannya di antara sesama makhluk dan tanggung jawab pribadinya di dalam hidup ini.
• Mengenalkan manusia akan interaksi sosial dan tanggung jawabnya dalam tata hidup bermasyarakat.
• Mengenalkan manusia akan ala mini dan mengajar mereka untuk mengetahui hikmah diciptakannya serta memberikan kemungkinan kepada mereka untuk mengambil manfaat dari alam tersebut.
• Mengenalkan manusia akan pencipta alam ini (Allah) dan memerintahkan untuk beribadah kapada-Nya.

Sedangkan Muhtar yahya merumuskan tujuan pendidikan dengan memberikan pemahaman ajaran-ajaran Islam pada peserta didik dan membentuk keluhuran budi pekerti sebagaimana misi Rosulullah sebagai pengemban perintah menyempurnakan akhlak manusia, untuk memenuhi kebutuhan kerja (QS. an-Nahl: 97, al-An'am: 132) dalam rangka menempuh hidup bahagia dunia dan akhirat (QS. al-Qashash: 77).19

Menurut al-Ghazali, seperti yang dikutip Fathiyah Hasan Sulaiman, menerangkan bahwa tujuan umum pendidikan Islam tercermin dalam dua segi, yaitu: (1) insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah; (2) insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Kebahagian di sini menurut al-Ghazali adalah menempatkan kebahagiaan dalam proporsi yang semestinya. Kebahagiaan yang lebih memiliki nilai universal, abadi, dan lebih hakiki itulah yang diprioritaskan.44

Abd al-Rasyid ibn Abd al-Aziz dalam bukunya al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Thuruq Tadrisiha, menukil pendapat para ahli seperti al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, dan Ihwan Shafa, ia memformulasikan tujuan pendidikan Islam dengan: (1) adanya kedekatan (taqarrub) kepada Allah melalui pendidikan akhlak; (2) menciptakan individu untuk memiliki pola pikir yang ilmiah dan pribadi yang dapat mengintegrasikan antara agama dengan ilmu serta amal shaleh, guna memperoleh ketinggian derajat dalam berbagai dimensi kehidupan.45

Ali ashraf menawarkan tujuan pendidikan Islam dengan22: "terwujudnya penyerahan mutlak kepada Allah, pada tingkat individu, masyarakat, dan kemanusiaan pada umumnya". Tujuan umum itu merupakan kristalisasi dari tujuan khusus pendidikan Islam, yaitu:

• Mengembangkan wawasan spiritual yang semakin mendalam, serta mengembangkan pemahaman rasional mengenai Islam dalam konteks kehidupan modern.
• Membekali anak muda dengan berbagai pengetahuan dan kebijakan, baik pengetahuan praktis, kekuasaan, kesejahteraan, lingkungan social, dan pembangunan nasional.
• Mengembangkan kemampuan pada diri peserta didik untuk menghargai dan membenarkan superioritas kom-peratif kebudayaan dan peradaban Islami di atas semua kebudayaan lain.
• Memperbaiki dorongan emosi melalui pengalaman iamjinatif, sehingga kemampuan kreatif dapat berkembang dan berfungsi mengetahui norma-norma Islam yang benar dan yang salah.
• Membantu peserta didik yang sedang tumbuh untuk belajar berfikir secara logis dan membimbing proses pemikirannya dengan berpijak pada hipotesis dan konsep-konsep tentang pengetahuan yang dituntut.
• Mengembangkan wawasan relasional dan lingkungan sebagaimana yang dicita-citakan dalam Islam, dengan melatih kebiasaan yang baik.
• Mengembangkan, menghaluskan, dan memperdalam kemampuan berkomunikasi dalam bahasa tulis dan bahasa lisan.

Dari seluruh formulasi tujuan pendidikan Islam di atas, dapatlah diambil sebuah benang merah tiujuan pendidikan Islam adalah bahwa terbentuknya insan kamil yang di dalamnya memiliki wawasan kaffah agar mampu menjelaskan tugas-tugas kehambaan, kekhalifahan, dan pewaris Nabi.23 Dalam versi yang lain, Muhammad Iqbal yang dikutip Dawam Raharjo, memberikan kriteria insan kamil dengan insane yang beriman yang di dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuat-an, dan kebijaksanaan dan mempunyai sifat-sifat yang tercermin dalam pribadi Nabi berupa karimah. Tahapan untuk mencapai insan kamil itu diperoleh melalui ketaatan terhadap hukum-hukum Allah, penguasaan ini sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri tentang pribadi dan kekhalifahan Ilahi.46

Dalam versi Thalhah Hasan, terminology insan kamil disebut dengan insan kaffah dengan prasayarat adanya tiga dimensi,25 yaitu:

• Dimensi religius, yaitu manusia merupakan makhluk yang mengandung berbagai misteri dan tidak dapat direduksi-kan kepada faktor materi semata-mata. Dengan demikian manusia bisa dicegah untuk diajadikan anggota, atomat, dan robot yang diprogramkan secara determinitis, tetapi tetap mempertahankan kepribadian, kebebasan akan martabatnya. Cara mengangkatnya adalah dengan menjadikan ia bernilai secara spiritual dan agama, yang karenanya manusia berbeda satu dengan yang lain.
• Dimensi budaya, manusia merupakan makhluk etis yang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap kelestarian dunia seisinya. Dalam dimensi ini, manusia mendapatkan dasar untuk mempertahankan keutuhan kepribadiannya dan mampu mencegah arus zaman yang membawa pada disintegrasi dan fragmentasi yang selalu mengancam kehidupan manusia.
• Dimensi ilmiah, yang mendorong manusia untuk selalu bersikap obyektif dan realistis dalam menghadapi tantangan zaman, serta berbagai kehidupan manusia terbina untuk tingkah laku secara kritis dan rasional, serta berusaha mengembangkan keterampilan dan kreativitas berpikir.

B. Tahap-tahap Tujuan Pendidikan Islam

Dalam dinamika kehidupan manusia, akan terjadi keterbatasan yang terikat oleh ruang dan waktu, sehingga rumusan tujuan pendidikan tidak dapat melampaui batas-batas kehidupan itu. Artinya, kondisi psikis serta lingkungan ia berada, selalu menjadi perhatian dan penekanan dalam perumusan tujuan pendidikan. Konsekuensinya, perumusan tujuan pendidikan akan menjadi terbuka dan berjenjang atau bertahap. Terbuka artinya, bahwa rumusan tujuan pendidikan bisa terus diperluas dan disempurnakan. Sedangkan berjenjang berarti dapat disesuaikan dengan tuntutan yang bersifat insidental, instrumental, maupun mental.47 Berawal dari sini maka beberapa ahli memberikan pandangan mengenai tahap-tahap dalam tujuan pendidikan.

Abu Ahmadi berpandangan bahwa tahap-tahap dalam tujuan pendidikan Islam meliputi27: (1) Tujuan tertinggi atau tujuan terakhir; (2) Tujuan Umum; (3) Tujuan khusus; (4) Tujuan sementara. Demikian juga Zakiyah Darajat juga membagi tahap tujuan pendidikan Islam menjadi empat48, dengan perincian: (1) Tujuan umum; (2) tujuan akhir; (3) Tujuan sementara; (4) Tujuan operasional.

Dari beberapa pembagian tersebut, pada dasarnya tahap tujuan pendidikan Islam mencakup empat tahapan, yaitu:

1. Tujuan umum, ialah tujuan yang hendak dicapai dari seluruh kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran dan yang lainnya. Tujuan ini meliputi seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan, dan pandangan. Tujuan umum ini berbeda dalam setiap tingkat umur, kecerdasan, situasi dan kondisi, dengan kerangka yang sama. Bentuk insan kamil dengan pola takwa harus dapat tergambar pada pribadi seseorang yang sudah dididik, walaupun dalam ukuran kecil dan mutu yang rendah, sesuai dengan tingkat-tingkat tersebut.

2. Tujuan akhir, ialah tujuan yang disandarkan pada akhir hidup manusia, karena pendidikan Islam berlangsung selama manusia masih hidup. Tujuan umum yang berupa insan kamil dengan pola takwa misalnya, dapat mengalami perubahan naik turun, bertambah berkurang, dalam perjalanan hidup seseorang. Perasaan, lingkungan dan pengalaman dapat mempengaruhinya. Karena itulah pendidikan Islam berlaku selama hidup untuk menumbuhkan, memupuk, mengembangkan, memelihara, dan mempertahankan tujuan pendidikan yang telah dicapai. Orang yang bertaqwa dalam bentuk insan kamil, masih perlu mendapatkan pendidikan dalam rangka pengembangan dan penyempurnaan, sekurang-kurangnya pemeliharaan supaya tidak luntur dan berkurang, meskipun pendidikan oleh diri sendiri dan bukan dalam pendidikan formal.

3. Tujuan sementara, ialah tujuan yang akan dicapai setelah peserta didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal. Tujuan operasional dalam bentuk semisal tujuan instruksional yang dikembangkan menjadi tujuan instruksional umum dan khusus (TIU dan TIK), dapat dianggap tujuan sementara dengan sifat yang agak berbeda. Pada tujuan sementara bentuk insan kamil dengan pola taqwa sudah kelihatan meskipun dalam ukuran sederhana, sekurang-kurangnya beberapa ciri pokok sudah kelihatan pada pribadi peserta didik. Tujuan pendidikan Islam seolah-olah merupakan sebuah lingkaran, yang pada tingkat paling rendah mungkin merupakan suatu lingkaran kecil. Semakin tinggi tingkatan pendidikannya, lingkaran tersebut semakin besar. Tetapi sejak dari tujuan pendidikan tingkat permulaan, bentuk lingkarannya sudah harus kelihatan. Bentuk inilah yang menggambarkan insane kamil itu. Dan di sinilah barangkali perbedaan tujuan pendidikan Islam dibandingkan dengan pendidikan yang lain. Contoh aplikasinya dalam pendidikan misalnya, sejak tingkat taman kanak-kanak dan Sekolah Dasar, gambaran insane kamil itu hendaknya sudah terpolakan. Bentuk insan kamil dengan pola taqwa harus kelihatan dalam semua tingkat pendidikan Islam. Oleh karena itu semua lembaga pendidikan Islam harus mampu merumuskan tujuan pendidikan Islam sesuai dengan tingkat jenis pendidikannya.

4. Tujuan Operasional, yaitu tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu. Satu unit kegiatan pendidikan dengan bahan-bahan yang sudah dipersiapkan dan diperkirakan akan mencapai tujuan tertentu disebutlah tujuan operasional. Dalam pendidikan formal, tujuan operasional ini disebut tujuan instruksional yang selanjutnya dikembangkan menjadi tujuan instruksional umum dan khusus (TIU dan TIK). Tujuan instruksional ini merupakan tujuan pengajaran yang direncanakan dalam unit-unit peangajaran. Dalam tujuan operasional ini lebih ditekankan kemampuan dan keterampilan peserta didik dari pada sifat penghayatan dan kepribadian, misalnya dapat berbuat, terampil melakukan, lancer mengucapkan dan sebagainya.

C. Aspek-aspek Tujuan Pendidikan Islam

Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana dikutip oleh Majid 'Irsan al-Kaylani, tujuan pendidikan Islam bertumpu pada empat aspek,29 yaitu: (1) tercapainya pendidikan tauhid dengan cara mempelajari ayat Allah dalam wahyu-Nya dan ayat-ayat fisik (afaq) dan psikis (anfus); (2) mengetahui ilmu Allah melalui pemahaman terhadap kebenaran makhluk-Nya; (3) mengetahui kekuatan (qudrah) Allah melalui pemahaman jenis-jenis, kuantitas, dan kreativitas makhluk-Nya; (4) mengetahui apa yang diperbuat Allah (sunnatullah) tentang realitas (alam) dan jenis-jenis perilakunya.

Aspek tujuan pendidikan Islam menurut Abd al-Rahman Shaleh Abd Allah dalam bukunya Educational Theory, a Qur'anic Outlook meliputi empat hal,30 yaitu:

• Tujuan jasmaniyah (al-ahdaf al-jismiyyah)
Tujuan pendidikan Islam perlu dikaitkan dengan tugas manusia selaku khalifah di muka bumi yang harus memiliki kemampuan jasmani yang sehat, keterampilan - keterampil-an fisik, disamping rohani yang teguh. Dan juga untuk membentuk manusia muslim yang sehat dan kuat jasmaninya serta memiliki keterampilan yang tinggi. Hal ini didasarkan pada pendapat Imam Nawawi yang menafsirkan "al-qawy" sebagai kekuatan iman yang ditopang oleh kekuatan fisik (QS. al-Baqarah: 247, al-Anfal: 60)

• Tujuan rohaniyah (al-ahdaf al-ruhiyyah)
Perhatian dari tujuan ini terkait dengan kemampuan manusia menerima agama Islam yang inti ajarannya adalah keimanan dan ketaatan kepada Allah, dengan tunduk dan patuh kepada nilai-nilai moralitas yang diajarkan-Nya (cita-cita ideal dalam al-Qur'an, QS. Ali Imran: 19) dan mengikuti teladan rosulullah. Muhammad Qutb berasumsi bahwa tujuan pendidikan ruhiyyah mengandung pengertian "ruh" yang merupakan mata rantai pokok yang menghubungkan antara manusia dengan Allah, dan pandidikan Islam harus bertujuan untuk membimbing manusia sedemikian rupa sehingga ia selalu tetap berada di dalam hubungan dengan-Nya. Beberapa indikasi pendidikan rohani adalah tidak bermuka dua (QS. al-Baqarah: 10), berupaya memurnikan dan mensucikan diri manusia secara individual dari sikap negatif (QS. al-Baqarah: 126), dan dari sinilah penyebutan tazkiyah (purification) dan hikmah (wisdom).

• Tujuan akal (al-ahdaf al-qliyyah)
Tujuan ini bertumpu pada pengambangan intelegensia (kecerdasan) yang ada dalam otak manusia. Agar dapat memahami dan menganalisis fenomena-fenomena ciptaan Allah di jagad raya ini. Alam dan isinya merupakan sebuah buku besar yang harus dijadikan obyek pembacaan dan pengamatan serta renungan akal pikiran manusia sehingga akan diperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin berkembang dan maju. Firman Allah yang mendorong pendidikan akal terdapat kurang lebih sekitar 300 kali. Dengan melalui observasi dengan pancaindera, manusia dapat dididik untuk menggunakan akal kecerdasannya untuk meneliti, menganalisis keajaiban ciptaan Allah di dalam alam semesta yang berisi khazanah ilmu pengetahuan yang menjadi bahan pokok pemikiran yang analisis-kritis untuk dikembangkan manuju bentuk-bentuk teknologi dan hasil lain yang lebih maju. Dalam pendidikan aqal ini ada beberapa tahapan penting, yaitu: (a) pencapaian kebenaran ilmiah (ilm al-yacjin) (QS. al-Takatsur: 5); (b) pencapaian kebenaran empiris ('ain al-yaqin) (QS. al-Takatsur: 7); dan (c) pencapaian kebenaran metaempiris atau filosofis (haqq al-yaqin) (QS.^al-Waqi'ah: 95)

• Tujuan sosial (al-ahdaf al- ijtima'iyyah)
Tujuan sosial ini merupakan pembentukan kepribadian yang utuh dari rih, tubuh dan akal. Adanya identitas dan eksistensi individu tercermin sebagai manusia yang hidup pada masyarakat yang plural (majemuk). Tujuan ini sangat penting eksistensinya karena manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi, harus memiliki kepribadian yang utama dan seimbang. Sehingga manusia tidak akan mungkin menjauhkan diri dari kehidupan bermasyarakat. Individu merupakan bagian integral dari anggota kelompok di dalam keluarga dan masyarakat, atau sebagai anggota keluarga dan pada waktu yang sama sebagai anggota masyarakat. Kesesuaiannya dengan data-data sosial diperoleh dari individu-individu. Maka persaudaraan dianggap sebagai salah satu kunci konsep sosial dalam Islam yang menghendaki setiap individu memperlakukan individu yang lain dengan cara-cara tertentu. Dan di sinilah konsep etika, akhlak, dan moral Islam berperan penting.

Keserasian antara individu dengan masyarakat tidak mempunyai sifat yang kontradiktif antar tujuan sosial dan tujuan individual. "Aku" dan "kami" merupakan pernyataan yang tidak boleh berarti kehilangan "aku"-nya. Pendidikan menitikberatkan perkembangan karakter-karakter yang unik, agar manusia mampu beradaptasi dengan standar masyarakat bersama-sama dengan cita-cita yang ada padanya. Keharmonisan yang seperti inilah yang merupakan karakteristik pertama yang akan dicari dalam tujuan pendidikan Islam.

Dari keseluruhan aspek maupun tahapan dalam pendidikan Islam tersebut, akan menjadi lebih baik, apabila keseluruhan dapat terinternalisasikannya tiga ranah atau domain yang digagas oleh Benyamin S. Bloom,31 yaitu:
• Kognitif, meliputi perubahan-perubahan dalam segi penguasaan pengetahuan dan perkembangan keterampilan atau kemampuan.
• Afektif meliputi perubahan-perubahan dari segi sikap mental, perasaan dan kesadaran.
• Psikomotorik, meliputi perubahan-perubahan dari segi bentuk-bentuk tindakan motorik.

Dalam sebuah proses pendidikan, tujuan yang ingin dicapai dari seluruh kegiatan pendidikan merupakan kristalisasi dan internalisasi nilai-nilai yang ingin direalisasikan dalam pribadi setiap peserta didik. Tujuan ini haruslah komperhensif mancakup semua aspek, serta terintegrasi dalam pola kepribadian ideal yang bulat dan utuh. Adapun aspek tersebut di antaranya:49

1. Tujuan normatif, yaitu tujuan yang ingin dicapai berdasarkan norma-norma yang mampu mengkristalisasikan nilai-nilai yang hendak diinternalisasi. Misalnya:

a. Tujuan formatif yang bersifat memberikan kemampuan untuk memberikan persiapan dasar yang korektif.
b. Tujuan selektif yang bersifat memberikan kemampuan untuk membedakan hal-hal yang benar dan yang salah.
c. Tujuan determinatif yang bersifat memberi kemampuan untuk mengarahkan diri pada sasaran-sasaran yang sejajar dengan proses kependidikan.
d. Tujuan integrative yang bersifat memberi kemampuan untuk memadukan fungsi psikis (pikiran, perasaan, ke-mauan, ingatan, dan nafsu) ke arah tujuan umum.
e. Tujuan aplikatif yang bersifat memberikan kemampuan penerapan segala pengetahuan yang telah diperoleh dalam pengalaman pendidikan.

2. Tujuan fungsional, tujuan yang sasarannya diarahkan pada kemampuan peserta didik untuk memfungsikan daya kognisi, afeksi, dan psikomotorik dari hasil pendidikan yang diperoleh, sesuai dengan yang ditetapkan. Tujuan in meliputi:

a. Tujuan individual, yang sarannya pemberian kemampuan individual untuk mengamalkan nilai-nilai yang telah diinternalisasikan ke dalam pribadi berupa moral, intelektual, dan skill.
b. Tujuan sosial, yang sasarannya pada pemberian kemampuan pengalaman nilai-nilai ke dalam kehidupan sosial, interpersonal, dan interaksional dengan orang lain dalam masyarakat.
c. Tujuan moral, yang sasarannya pada pemberian kemampuan untuk berprilaku sesuai dengan tuntutan moral atas dorongan motivasi yang bersumber pada agama (teogenetis), dorongan sosial (sosiogenetis), dorongan psikologis (psikogenetis), dan dorongan biologis (biogenetis).
d. Tujuan professional, yang sasarannya pada pemberian kemampuan untuk mengamalkan keahliannya, sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.

3. Tujuan operasional, tujuan yang mempunyai sasaran teknis manajerial, Menurut Langeveld, tujuan ini dibagi menjadi enam macam, yaitu:

a. Tujuan umum (tujuan total). Menurut Kohnstam dan Guning, tujuan ini mengupayakan bentuk manusia kamil, yaitu manusia yang dapat menunjukkan keselarasan dan keharmonisan antara jasmani dan rohani, baik dalam segi kejiwaan, kehidupan individu, maupun untuk kehidupan bersama yang menjadikan integritas ketiga inti hakikat manusia.
b. Tujuan khusus, yang merupakan indikasi tercapainya tujuan umum. Yaitu tujuan pendidikan yang disesuaikan dengan keadaan tertentu, baik berkaitan dengan cita-cita pembangunan suatu bangsa, tugas dari suatu badan atau lembaga pendidikan, bakat kemampuan peserta didik, seperti memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik untuk bekal hidupnya setelah ia tamat, dan sekaligus merupakan dasar persiapan untuk ke jenjang pendidikan berikutnya.
c. Tujuan tak lengkap, ini berkaitan dengan kepribadian manusia dari satu aspek saja, yang berhubungan dengan nilai-nilai hidup tertentu, misalnya kesusialaan, keagamaan, keindahan, kemasyarakatan, pengetahuan, dan sebagainya. Setiap aspek ini mendapatkan giliran penanganan (prioritas) dalam usaha pendidikan atau maju bersama-sama secara terpisah.
d. Tujuan insidental (tujuan seketika), tujuan yang timbul karena kebetulan, bersifat sesaat, misalnya mengadakan sholat jenazah ketika ada orang yang meninggal.
e. Tujuan sementara, tujuan yang ingin dicapai pada fase-fase tertentu dari tujuan umum, seperti fase anak yang tujuan belajarnya adalah membaca dan menulis, fase manula yang tujuan belajarnya adalah membekali diri untuk menghadap ilahi, dan sebagainya.
f. Tujuan intermedier, berkaitan dengan penguasaan suatu pengetahuan dan ketrampilan demi tercapainya tujuan sementara, misalnya anak belajar membaca, manulis, berhitung, dan sebagainya.

Komponen-komoponen tujuan di atas tidak hanya berfokus pada tujuan yang bersifat teoritis, tetapi juga tujuan praktis yang sasarannya pada pemberian kemampuan praktis peserta didik. Sehingga setelah ia mendapatkan sebuah proses pendidikan tertentu, ia akhirnya dapat mengaplikasikannya dengan penuh tanggung jawab, sesuai kompetensi yang dimilikinya.

Dalam Islam, orientasi sebuah pendidikan akan mengacu pada minimal empat aspek,33 yaitu:

• Berorientasi pada tujuan dan tugas pokok manusia. Manusia hidup di alam semesta ini tentunya tidak karena kebetulan atau sia-sia saja. Ia diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas tertentu, yaitu sebagai 'abd dan kholifah.fi ardh. Untuk itu pendidikan Islam harus mampu mengantarkan memformulasikan sistem pendidikannya ke arah pencapaian tugas dan fungsi manusia diciptakan di dunia.

• Berorientasi pada sifat dasar dan alami (nature) manusia. Manusia diciptakan Tuhan dengan dibekali berbagai fitrah

yang memiliki kecenderungan pada hanif lewat tuntunan agama-Nya. Sehingga pola pendidikan harus mampu mengembangkan fitrah insaniyah tersebut sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya.

• Berorientasi pada tuntutan masyarakat dan zaman, yang berupa pelestarian nilai-nilai budaya yang telah melembaga dalam kehidupan bermasyarakat, maupun pemenuhan terhadap tuntutan kebutuhan hidupnya dalam menghadapi dinamika perkembangan modern yang penuh dengan akselerasi.

• Orientasi kehidupan ideal Islami, yang mengandung nilai bahwa sistem pendidikan Islam harus mampu menyeim-bangkan dan memadukan antara kepentingan hidup dunia dan akhirat. Keseimbangan dan keserasian antara kedua kepentingan hidup tersebut menjadi daya tangkal terhadap pengaruh-pengaruh neagatif dan berbagai gejolak kehidupan yang menghambat ketentraman dan ketenangan hidup manusia, baik yang bersifat spiritual, sosial, kultural, ekonomis maupun ideologi dalam kehidupan pribadi manusia.

Untuk dapat memformulasikan sebuah tujuan dalam pendidikan yang adaptip dan kompetitif, maka harus mengacu pada beberapa prinsip di bawah ini,34 yaitu:

• Prinsip universal (syumuliyyah). Yaitu prinsip yang memandang bahwa pendidikan merupakan sebuah realisasasi dan implementasi dari seluruh aspek yang dihadapi manusia. Di antaranya aspek agama (ibadah, akhlak, dan muamalah), aspek manusia sendiri (jasmani, rohani, dan nafsu), masyarakat dengan tatanan kehidupannya, dan adanya realitas dunia dan hidup itu sendiri. Implikasinya terhadap formulasi tujuan pendidikan yaitu akan membuka, mengembangkan, dan mendidik seluruh dimensi pribadi manusia dan segala modalitasnya, dan meningkatkan kondisi kebudayaan, social, ekonomi, politik sebagai problem solving dalam dinamika kehidupan dan cita-cita yang luhur.

• Prinsip keseimbangan dan kesederhanaan (tawazun wa iqtishadiyah). Yaitu keseimbangan seluruh aspek kehidupan manusia, berbagai kebutuhan individual dan komunitas, serta tuntutan pelestarian nilai-nilai budaya masa lalu dengan perkembangan nilia-nilai budaya masa kini, serta berusaha memadukannya guna menjembatani problematika kehidupan manusia.

• Prinsip kejelasan (tabayun). Sebuah prinsip yang di dalamnya terdapat ajaran dan hukum yang berfungsi memberikan kejelasan terhadap kejiwaan manusia (qalb, akal, dan hawa nafsu) dan hokum dari problem yang dihadapi, sehingga terwujud tujuan, kurikulum, dan metode pendidikan secara jelas dan sistematis.

• Prinsip tak bertentangan, yaitu prinsip yang di dalamnya tidak ada pertentangan antara berbagai unsur dan cara pelaksanaan sistem pendidikan yang direncanakan, namun dapat berjalan secara harmonis dan simultan dan saling mendukung.

• Prinsip realisme dan dapat dilaksanakan, yaitu tidak adanya sifat khayalan dalam kandungan materi dan program pendidikan, tidak berlebih-lebihan, serta adanya kaidah yang pragtis realistis dan sesuai dengan fitrah, situasi dan kondisi seperti sosioekonomi, sosiopolitik, dan sosiokultural, serta kemampuan peserta didik.

• Prinsip pembahan yang diingini, yaitu adanya perubahan struktur manusia yang meliputi jasmaniyah, ruhaniyah, nafsuniyah, serta perubahan kondisi psikologis, sosiologis, epistimologis, paragigma, intelegensi, nilai-nilai, sikap peserta didik untuk mencapai dinamisasi kesempurnaan pendidikan.

• Prinsip menjaga perbedaan-perbedaan individu, yaitu dengan tetap mempertimbangkan dan memperhatikan pluralitas peserta didik, baik berupa ciri-ciri, kebutuhan, intelegensia, kebolehan, minat, sikap, tahap pematangan jasmani, akal, emosi, sosial, dan semua aspek yang ada secara serasi dan seimbang. Asumsi yang dibangun adalah bahwa semua individu "tidak sama" dengan yang lainnya.

• Prinsip dinamis dalam menerima perubahan dan perkembangan yang terjadi pada pelaku pendidikan serta lingkungan di manapun pendidikan itu dilaksanakan. Hal ini dilakukan dalam rangka memperkaya seluruh metode yang digariskan oleh ajaran agama.

Selain prinsip di atas, Hilda Taba memberi pandangan sendiri mengenai formulasi tujuan pendidikan Islam, yaitu prinsip-prinsip pokok dalam rumusan tujuan pendidikan.35

Rumusan tersebut adalah: (1) rumusan tujuan hendaknya meliputi aspek bentuk tingkah laku yang diharapkan (proses mental) dan bahan yang berkaitan dengannya (produk); (2) tujuan-tujuan yang kompleks harus ditata secara mapan, analitis, dan spesifik, sehingga tampak jelas bentuk-bentuk tingkah laku yang diharapkan; (3) formulasi harus jelas untuk pembentukan tingkah laku yang diinginkan dengan kegiatan belajar tertentu; (4) tujuan tersebut pada dasarnya bersifat developmental yang mencerminkan arah yang hendak dicapai; (5) formulasi harus realistis, dan hendaknya memasukkan terjemahan ke dalam kurikulum dan pengalaman belajar; (6) tujuan harus mencakup segala aspek perkembangan peserta didik yang menjadi tanggung jawab sekolah. []

BAB IV

PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Dalam perspektif Islam, tujuan pendidikan Islam yaitu mengabdi kepada Allah. Pengabdian tersebut sebagai realisasi dari keimanan yang diwujudkan dalam amal perbuatan sehari-hari, guna mencapai derajat taqwa di sisi-Nya. Sehingga iman dan taqwa merupakan dua dimensi yang tidak dapat dipisahkan yang dicita-citakan pendidikan Islam. Para ahli memberikan pandangan dengan ungkapan lain yang seringkali digunakan yaitu konsep insan kamil, dan menurut Muhaimin merupakan insan yang memiliki dimensi religius, budaya, dan ilmiah.50

Seorang pendidik tidak hanya mentransfer keilmuan (knowledge), tetapi juga mentrasformasikan nilai-nilai (value) pada peserta didik. Untuk itu, guna merealisasikan tujuan pendidikan, manusia sebagai khalifah yang punya tanggung jawab mengantarkan manusia ke arah tujuan tersebut, cara yang ditempuh yaitu menjadikan sifat-sifat Allah sebagi bagian dari kepribadiannya. Beberapa bentuk nilai-nilai itu adalah nilai etika, pragmatis, nilai effect sensorik dan nilai religius.

Dalam realitas pendidikan, proses internalisasi dan transformasi pengetahuan dan nilai pada peserta didik secara integral merupakan tugas yang cukup berat bagi pendidik, di tengah dinamika kehidupan masyarakat yang kompleks. Hal ini dilatarbelakangi akan banyaknya kasus-kasus dalam realitas masyarakat yang merendahkan bahkan melecehkan eksistensi dan peran seorang pendidik baik ketika di lingkungan sekolah, di luar sekolah, maupun dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.

Dalam konteks pendidikan Islam, terminologi "pendidik" sering disebut dengan murabbi, mu'allim, mu'addib, ataupun mursyid, dan terkadang dengan gelar seperti ustadz dan syekh. Dan masih banyak lagi pemakaian kata-kata yang lain dalam pendidikan secara umum, yang pada hakikat maknanya sama dengan "pendidik". Walupun demikian, dalam konteks Islam, istilah-istilah tersebut mempunyai tempat yang berbeda antara satu dengan yang lain, dalam khazanah keilmuan Islam.2

A. Devinisi Pendidik dalam Pendidikan Islam

Pendidik dalam konteks Islam, sering disebut dengan murabbi, mu'allim, dan mu'addib, yang pada dasarnya mempunyai makna yang berbeda sesuai dengan konteks kalimat, walaupun dalam situasi tertentu mempunyai kesamaan makna. Kata murabbi berasal dari kata rabba, yurabbi, kata mu'allim berasal dari kata 'allama, yu'allimu, sedangkan kata muaddib berasal dari addaba, yuaddibu sebagaimana sebuah ungkapan: "Allah mendidikku, maka Ia memberikan kepadaku sebaik-baik pendidikan".

Pendidik dalam pendidikan Islam pada hakikatnya adalah orang-orang yang bertangggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan seluruh potensi dan kecenderungan yang ada pada peserta didik, baik yang mencakup ranah afektif, kognitif, maupun psikomotorik. Dalam ungkapan Moh. Fadhil al-Jamali, pendidik adalah orang yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik, sehingga terangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki manusia. Sedangkan dalam bahasa Marimba, pendidik adalah orang yang memikul pertanggungjawaban sebagai pendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya bertanggung jawab tentang pendidikan peserta didik.51 Menurut al-Aziz, pendidik adalah orang yang bertanggung jawab dalam menginternalisasikan nilai-nilai agama dan berupaya menciptakan individu yang memiliki pola pikir ilmiah dan pribadi yang sempurna.

Pendidik berarti pula orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah, dan mampu melakukan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang mandiri.4

Pendidikan Islam menggunakan tujuan sebagai dasar untuk menentukan pengertian pendidik, disebabkan karena pendidikan merupakan kewajiban agama, dan kewajiban hanya dipikulkan kepada orang yang telah dewasa. Kewajiban itu pertama-tama bersifat personal, dalam arti bahwa setiap orang bertanggung jawab atas pendidikan dirinya sendiri. Kemudian meningkat pada dataran sosial yang berarti bahwa setiap orang bertangggung jawab atas pendidikan orang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah QS. al-Tahrim 6:

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka".

Dari ayat tersebut juga dapat diambil sebuah makna, bahwa pendidik pertama dan utama adalah orang tua dan keluarga, yang bertanggung jawab penuh atas kemajuan perkembangan anak-anaknya, karena sukses tidaknya anak akan sangat bergantung pengasuhan, perhatian, dan pendidikan orang tua-nya. Sehingga suksesnya anak juga merupakan suksesnya orang tua dan keluarga.

Pendidik dalam pendidikan Islam adalah setiap orang dewasa yang karena kewajiban agamanya bertanggung jawab atas pendidikan dirinya dan orang lain. Sedangkan yang menyerahkan tanggung jawab dan amanat pendidikan adalah agama, dan wewenang pendidik dilegitimasi oleh agama, sementara yang menerima tanggung jawab dan amanat adalah setiap orang dewasa. Ini berarti bahwa pendidik merupakan sifat yang lekat pada setiap orang karena tanggung jawabnya atas pendidikan.52

Namun demikian, ketika orang tua merupakan pendidik pertama dan utama terhadap anak-anaknya sebagaimana penjelasan di atas, dalam realitanya banyak sekali dijumpai orang tua yang tidak selamanya memiliki waktu yang leluasa guna mendidik anak-anaknya. Selain karena tingkat kesibukan kerja, tingkat efektivitas dan efisiensi pendidikan tidak akan baik jika pendidikan hanya dikelola secara alamiah. Dalam konteks ini anak lazimnya dimasukkan ke dalam lembaga sekolah, yang karenanya definisi pendidik di sini adalah mereka yang memberikan pelajaran peserta didik, yang memegang suatu mata pelajaran tertentu di sekolah. Penyerahan peserta didik ke sebuah lembaga sekolah tertentu, bukan berarti tanggung jawab orang tua bergeser dan berpindah kepada sekolah, namun orang tua tetap mempunyai andil yang besar dalam proses pembinaan dan pendidikan anaknya.53

Pendidik dalam lingkungan keluarga adalah orang tua. Hal ini di sebabkan karena secara alami anak-anak pada masa-masa awal kehidupannya berada di tengah-tengah ayah dan ibunya. Dari merekalah anak mulai mengenal pendidikannya. Dasar pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup banyak tertanam sejak anak berada di tengah orang tuanya. Sedangkan pendidikan di lembaga pendidikan persekolahan disebut dengan guru, yang meliputi guru madrasah, atau sekolah sejak dari taman kanak-kanak, sekolah menengah, dan sampai dosen-dosen di perguruan tinggi, kyai di pondok pesantren, dan lain sebagainya. Namun guru bukan hanya menerima amanat dari orang tua yang memerlukan bantuan untuk mendidiknya.7

B. Kedudukan Pendidik dalam Pendidikan Islam

Pendidik adalah bapak rohani (spiritual father) bagi peserta didik, yang memberikan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan memperbaiki akhlak yang kurang baik. Kedudukan tinggi pendidik dalam Islam banyak di nyatakan dari beberapa teks, di antaranya disebutkan:

"Jadilah engkau sebagai guru, atau pelajar, atau pendengar, atau pecinta, dan janganlah kamu menjadi orang yang kelima, sehingga engkau menjadi rusak".

Ada juga teks lain yang menyatakan: "Tinta seorang ilmuwan (yang menjadi guru) lebih berharga dari pada darah para syuhada". Bahkan Islam menempatkan seorang pendidik setingkat dan sederajat dengan rosul. Al-syauki bersyair:

"Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru itu hampir saja merupakan seorang rasul".8

Hal ini ditambahkan oleh al-Ghazali yang menukil beberapa teks hadits yang berkenaan dengan keutamaan seorang pendidik. Paradigma yang nampak dari al-Ghazali yaitu bahwa pendidik merupakan orang-orang besar (great individuals) yang aktivitasnya lebih baik dari pada ibadah setahun (analisa secara mendalam makna QS. al-Taubah: 122). Dari beberapa pandangan ulama', al-ghazali berasusmsi bahwa pendidik merupakan pelita (siraj) segala zaman, orang yang hidup semasa dengannya akan memperoleh pancaran cahaya (nur) keilmuan dan keilmiahannya. Apabila dunia tanpa ada pendidik, niscaya manusia seperti binatang, sebab: "pendidikan adalah upaya mengeluarkan manusia dari sifat kebinatangan (baik binatang buas maupun binatang jinak) kepada sifat insaniyah dan ilahiyah".9

C. Tugas Pendidik dalam Pendidikan Islam

Keutamaan seorang pendidik disebabkan oleh tugas mulia yang diembannya, karena tugas mulia dan berat yang dipikul hamper sama dan sejajar dengan tugas seorang rosul. Dari pandangan ini, dapat difahami bahwa tugas pendidik sebagai warosat al-anbiya'r yang pada hakekatnya mengemban misi rahmat lil 'alamin, yaitu suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah, guna memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kemudian misi itu dikembangkan pada suatu upaya pembentukan karakter kepribadian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal sholeh dan bermoral tinggi. Dan kunci untuk melaksanakan tugas tersebut, seorang pendidik dapat berpegangan pada amar ma'ruf nahi munkar, menjadikan prinsip tauhid sebagai pusat kegiatan penyebaran misi Iman, Islam, dan Ihsan, kekuatan yang dikembangkan oleh pendidik adalah individualitas, social dan moral (nilai-nilai agama dan moral).54

Dalam pandangan al-Ghazali, seorang pendidik mempunyai tugas yang utama yaitu menyempurnakan, membersihkan, mensucikan, serta membawakan hati manusia untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT.55 Hal ini karena pada dasarnya tujuan utama pendidikan Islam adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, kemudian realisasinya pada kesalehan sosial dalam masyarakat sekelilingnya. Dari sini dapat dinyatakan bahwa kesuksesan seorang pendidik akan dapat dilihat dari keberhasilan aktualisasi perpaduan antara iman, ilmu dan amal saleh dari peserta didiknya setelah mengalami sebuah proses pendidikan.

Abdurrahman an-Nahlawy menyebutkan tugas pendidik yaitu: Pertama, berfungsi penyucian, dalam arti bahwa pendidik berfungsi sebagai pembersih, pemelihara, dan pengembangan fitrah peserta didik. Kedua, berfungsi pengajaran yakni pendidik bertugas menginternalisasikan dan mentransformasikan pengetahuan (knowledge), dan nilai-nilai (value) agama kepada peserta didik.56

Dari pandangan di atas, tanggung jawab seorang pendidik adalah mendidik individu (peserta didik) supaya beriman kepada Allah dan melaksanakan syari'at-Nya, mendidik diri supaya beramal shaleh, dan mendidik masyarakat untuk saling me-nasehati dalam melaksanakan kebenaran, saling menasehati agar tabah dalam mengahadapi kesusahan, beribadah kepada Allah serta menegakkan kebenaran. Tanggung jawab itu bukan hanya sebatas tanggung jawab moral pendidik terhadap peserta didik, namun lebih dari itu pendidik akan mempertanggung jawabkan atas segala tugas yang dilaksanakannya kepada Allah SWT.13 Sebagaimana teks hadits menyatakan:

"Dari Ibnu Umar r.a. berkata: Rosulullah bersabda: masing-masing kamu adalah penggembala dan masing-masing bertanggung jawab atas gembalanya; pemimpin adalah penggembala, suami adalah penggembala terhadap anggota keluarganya, dan istri adalah penggembala di tengah-tengah rumah tangga suaminya dan terhadap anaknya. Setiap orang di antara kalian adalah penggembala, dan masing-masing bertanggung jawab atas apa yang digembalanya”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam paradigma Jawa, pendidik diidentikan dengan guru (gu dan ru) yang berarti "digugu dan ditiru". Dikatakan "digugu" (dipercaya) karena guru memiliki seperangkat ilmu yang memadai, yang karenanya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini. Dikatan "ditiru" (diikuti) karena guru memiliki kepribadian yang utuh, yang karenanya segala tindak tanduknya patut dijadikan panutan dan suri tauladan oleh peserta didiknya. Pengertian ini diasumsikan bahwa tugas guru tidak sekedar transformasi ilmu (knowledge) tetapi juga bagaimana ia mampu menginternalisasikan ilmunya pada peserta didiknya. Pada tataran ini terjadi sinkronisasi antara apa yang diucapkan oleh guru (didengar oleh peserta didik) dan yang dilakukannya (dilihat oleh peserta didik).57 Dengan kata lain tugas guru tidak hanya mengajar, tetapi juga sebagai motif ator dan fasilitator proses belajar, yaitu relasi dan aktualisasi sifat-sifat ilahi manusia dengan cara aktualisasi potensi peserta didik untuk mengimbangi kelemahan dan kekurangan yang dimiliki.58 Keaktifan peserta didik sangat ditekankan dalam proses belajar, sekalipun keaktifan itu dari stimulus yang dilakukan oleh kreativitas dan inovatifitas pendidik.

Seorang pendidik dituntut mampu memainkan peranan dan fungsinya dalam menjalankan tugas keguruannya. Hal ini menghindari adanya benturan fungsi dan peranannya, sehingga pendidik bisa menempatkan kepentingan sebagai individu, anggota masyarakat, warga negara, dan pendidik sendiri. Antar tugas keguruan atau kependidikannya dan tugas lainnya harus ditempatkan menurut proporsi dan dan prioritasnya.

Kadang kala seseorang terjebak dengan sebutan pendidik, misalnya ada sebagian orang yang mampu memberikan dan memindahkan ilmu pengetahuan (transfer ofknowledge) kepada orang lain sudah dikategorikan sebagai seorang pendidik. Pada dasarnya tugas pendidik tidak hanya berkutat pada hal itu saja, namun lebih luas lagi juga bertanggung jawab mengelola (sebagai manager of learning), mengarahkan (director of learning), memfasilitasi, dan merencanakan (the planner of future society)

dan mendesain program (desainner) yang akan dijalankan dengan baik. Dari sini tugas dan fungsi pendidik dapat disimpulkan dengan:

1. Sebagai pengajar (instruksional), yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian setelah program dilaksanakan.

2. Sebagai pendidik (educator), yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan dan berkepribadian kamil seiring dengan tujuan Allah menciptakannya.

3. Sebagai pemimpin (managerial), yang memimpin, mengendalikan kepada diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait, terhadap berbagai masalah yang menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, dan partisipasi atas program pendidikan yang dilakukan.    -    .

Rustiyah menjabarkan peranan pendidik dalam interaksi pendidikan, yaitu:16

3. Motivator, yakni memberikan dorongan dan semangat agar siswa mau giat belajar.
4. Organisator, yakni mengorganisasikan kegiatan belajar peserta didik maupun pendidik.
5. Manusia sumber, yaitu ketika pendidik dapat memberikan informasi yang dibutuhkan peserta didik, baik berupa pengetahuan (kognitif), ketrampilan (afektif) maupun sikap (psikomotorik).

Dalam realisasi tugas tersebut, maka para pendidik dituntut untuk memiliki seperangkat prinsip keguruan atau kependidikan,59 yaitu:
• Kegairahan dan kesediaan untuk mengajar seperti memperhatikan akan adanya kesedihan, kemampuan, pertumbuhan dan perbedaan anak didik atau backround mereka.
• Membangkitkan, memotifasi peserta didiknya agar gairah dan semangat.
• Menumbukan bakat dan sikap anak didik yang baik.
• Mengatur proses proses belajar mengajar yang kondusif.
• Memperhatikan perubahan-perubahan kecenderungan yang mempengaruhi proses mengajar.
• Adanya keterkaitan humanistik dalam proses belajar mangajar.

Tugas-tugas pendidik dalam pendidikan Islam ini, dirumuskan oleh Muhaimin dengan penggunaan beberapa istilah seperti ustadz, mu'allim, murabbi, mursyid, mudarris, dan muaddib, dalam tabel berikut ini18

Tabel Karakteristik Tugas Pendidik dalam Pendidikam Islam
NO
PENDIDIK
KARAKTERISTIK DAN TUGAS
1
Ustadz
Orang yang berkomitmen dengan profesionalitas, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta continuous improvement
2
Mu'allim

Orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi, serta implementasi (amaliah)
3
Murabbi

Orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya masyarakat dan alam sekitarnya
4
Mursyid

Orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri atau menjadi pusat panutan, teladan, dan konsultan bagi peserta didiknya
5
Mudarris

Orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, serta berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih ketrampilan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya
6
Muaddib

Orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan

Berdasarkan tabel di atas, tugas-tugas pendidik terlihat amat berat, karena tidak saja hanya melibatkan kemampuan ranah kognitif belaka, namun juga integrasi dengan ranah afektif dan psikomotorik. Profesionalisme pendidik sangat ditentukan oleh seberapa banyak tugas yang telah dilaksanakan, sekalipun terkadang profesionalismenya itu tidak berimplikasi secara signifikan terhadap penghargaan yang diperolehnya.

D. Syarat dan Kode Etik Pendidik dalam Pendidikan Islam

Kode etik pendidik adalah norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan (relationship) antara pendidik dan peserta didik, orang tua peserta didik, koleganya, serta dengan atasannya. Suatu jabatan yang melayani orang lain selalu memerlukan kode etik. Demikian pula jabatan pendidik mempunyai kode etik tertentu yang harus dikenal dan dilaksanakan oleh setiap pendidik. Bentuk kode etik suatu lembaga pendidikan tidak harus sama, namun secara intrinsic mempunyai kesamaan konten yang berlaku secara umum. Pelanggaran terhadap kode etik akan mengurangi nilai dan kewibawaan identitas pendidik.60

Al-Ghazali merumuskan kode etik pendidik dengan 17 bagian,61 yaitu:

1. Menerima segala problem peserta didik dengan hati dan hati dan sikap yang terbuka dan tabah.
2. Bersikap penyantun dan penyayang (QS. Ali Imron: 159).
3. Menjaga kewibawaan dan kehormatannya dalam bertindak.
4. Menghindari dan menghilangkan sifat angkuh terhadap sesama (QS. al Najm: 32).
5. Bersifat merendah ketika menyatu dengan sekelompok masyarakat (QS. al-Hijr: 88).
6. Menghilangkan aktivitas yang tidak berguna dan sia-sia.
7. Bersifat lemah lembut dalam menghadapi peserta didik yang tingkat IQnya rendah, serta membinanya sampai pada taraf maksimal.
8. Menghilangkan sifat marah.
9. Memperbaiki sikap anak didiknya, dan bersikap lemah lembut terhadap peserta didik yang kurang lancer bicaranya.
10. Meninggalkan sifat yang menakutkan pada peserta didik yang belum mengerti mengetahui atau memahami.
11. Berusaha memperhatikan pernyataan-pernyataan peserta didik walaupun pernyataan itu tidak bermutu.
12. Menerima kebenaran dari peserta didik yang membantahnya.
13. Menjadikan kebenaran sebagai acuan proses pendidikan walaupun kebenaran itu datangnya dari peserta didik.
14. Mencegah dan mengontrol peserta didik mempelajari ilmu yang membahayakan (QS. al-Baqarah: 195).
15. Menanamkan sifat ikhlas pada peserta didik, serta terus menerus mencari informasi untuk disampaikan kepada peserta didiknya yang akhirnya mencapai tingkat taqarrub kepada Allah (QS. al-Bayyinah: 5).
16. Mencegah peserta didik mempelajari ilmu fardlu kifayah (kewajiban kolektif seperti ilmu kedokteran, psikologi, ekonomi dan sebagainya) sebelum mempelajari ilmu fardlu 'ain (kewajiban individual seperti aqidah, syari'ah dan akhlak).
17. Mengaktualisasikan informasi yang akan diajarkan kepada peserta didik (QS. al-Baqarah: 44, as-Shaf: 2-3).

Al-Kanani (w. 733 H) mengemukakan prasyarat seorang pendidik atas tiga macam, yaitu: 
(1) yang berkenaan dengan dirinya sendiri; 
(2) yang berkenaan dengan pelajaran atau materi; 
(3) yang berkenaan dengan murid atau peserta didiknya.

Pertama: syarat-syarat pendidik yang berhubungan dengan dirinya sendiri, yaitu:

• Hendaknya pendidik senantiasa insaf akan pengawasan Allah terhadapnya, dalam segala perkataan dan perbuatan bahwa ia memegang amanat ilmiah yang diberikan Allah kepadanya.
Karenanya ia tidak menghianati amanat itu, malah ia tunduk dan merendahkan diri kepada Allah SWT.

• Hendaknya pendidik memelihara kemuliaan ilmu. Salah satu bentuk pemeliharaannya adalah tidak mengajarkannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya, yaitu orang-orang yang menuntut ilmu untuk kepentingan dunia semata.

• Hendaknya pendidik bersifat zuhud, artinya ia mengambil dari rezeki dunia hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan pokok diri dan keluarganya secara sederhana. Ia hendaknya tidak tamak terhadap kesenangan dunia, sebab sebagai orang yang berilmu, ia lebih mengerti daripada orang awam kesenangan itu tidak abadi.

• Hendaknya pendidik tidak berorientasi duniawi semata, dengan menjadikan ilmunya sebagai alat untuk mencapai kedudukan, harta, prestise, atau kebanggaan atas orang lain.

• Hendaknya pendidik menjauhi mata pencaharian yang hina dalam pandangan syar'i, dan menjauhi situasi yang

bisa mendatangkan fitnah dan tidak melakukan sesuatu yang dapat menjatuhkan harga dirinya di mata orang banyak. Sebagaimana firman Allah QS.al-Baqarah: 172: Yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah".

• Hendaknya pendidik memelihara syiar-syiar Islam, seperti melaksanakan sholat berjamaah di masjid, mengucapkan salam, serta menjalankan amar ma'ruf dan nahi munkar. Dalam melakukan semua itu hendaknya ia bersabar dan tegar dalam menghadapi celaan dan cobaan. Sebagaiman firman Allah QS. al-Baqarah: 153: Yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar".

• Pendidik hendaknya rajin melakukan hal-hal yang disunahkan oleh agama, baik dengan lisan maupun perbuatan, seperti membaca al-qur'an, berdzikir, dan sholat tengah malam. Hal ini sesuai dengan firman Allah QS. Hud: 114.

• Pendidik hendaknya memelihara akhlak yang mulia dalam pergaulannya dengan orang banyak dan menghindarkan diri dari akhlak yang buruk. Sebagai pewaris Nabi sudah sepantasnya seorang pendidik untuk memperlihatkan akhlak yang terpuji, sebagaimana peran yang dimainkan oleh rosul dalam menghadapi umatnya (sebagai teladan dan panutan).

• Pendidik hendaknya selalu mengisi waktu-waktu luangnya dengan hal-hal yang bermanfaat, seperti beribadah, mem-

baca dan menulis. Ini berarti bahwa seorang pendidik harus selalu pandai memanfaatkan segala kondisi sehingga hari-harinya tidak ada yang terbuang.

• Pendidik hendaknya selalu belajar dan tidak merasa malu untuk menerima ilmu dari orang yang lebih rendah daripadanya, baik kedudukan atau usianya. Artinya seorang pendidik hendaknya selalu bersikap terbuka terhadap masukan apapun yang bersifat positif, konstruktif, dan dari manapun datangnya.

• Pendidik hendaknya rajin meneliti, menyusun, dan mengarang dengan memperhatikan keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan untuk itu.

Kedua: syarat-syarat yang berhubungan dengan pelajaran (syarat-syarat paedagogies-didaktis), yaitu:

• Sebelum keluar dari rumah untuk mengajar, hendaknya guru bersuci dari hadas dan kotoran serta mengenakan pakaian yang baik dengan maksud mengagungkan ilmu dan syari'at.

• Ketika keluar dari rumah, hendaknya guru selalu berdo'a agar tidak sesat dan menyesatkan, dan terus berdzikir kepada Allah sampai ke tempat pendidikan.ini menegaskan bahwa sebelum mengajarkan ilmunya, seorang pendidik sepantasnya untuk mensucikan hati dan niatnya.

• Hendaknya pendidik mengambil tempat pada posisi yang membuatnya dapat terlihat oleh semua murid. Artinya, ia harus berusaha agar apa yang akan disampaikannya hendaklah diperkirakan dapat dinikmati oleh seluruh siswanya dengan baik.

• Sebelum mulai mengajar, pendidik hendaknya membaca sebagian dari ayat al-Qur'an agar memperoleh berkah dalam mengajar, kemudian membaca basmallah.

• Pendidik hendaknya mengajarkan bidang studi sesuai dengan hirarki nilai kemuliaan dan kepentingannya yaitu tafsir al-Qur'an, kemudian hadits, ushul al-din, ushul fiqh, dan seterusnya. Barangkali untuk seorang pendidik pemegang materi umum, hendaklah selalu mendasarkan materi pelajarannya dengan al-Qur'an dan hadits, dan jika perlu mencoba meninjaunya dari kacamata Islam.

• Hendaknya pendidik selalu mengatur volume suaranya agar tidak terlalu keras, hingga membisingkan ruangan, tidak pula terlalu rendah hingga tidak terdengar oleh peserta didik.

• Hendaknya pendidik menjaga ketertiban proses pendidikan dengan mengarahkan pembahasan pada obyek tertentu. Artinya dalam memberikan materi, seorang pendidik memperhatikan tata cara penyampaian yang baik (sistematis), sehingga apa yang disampaikan akan mudah dicerna oleh peserta didik.

• Pendidik hendaknya menegur peserta didik yang tidak menjaga kesopanan dalam kelas, seperti menghina teman, tertawa keras, tidur, berbicara dengan teman atau tidak menerima kebenaran. Ini berarti bahwa seorang pendidik dituntut untuk selalu menanamkan dasar-dasar akhlak terpuji dan sopan santun baik di dalam ruangan ataupun di luar ruangan belajar.

• Pendidik hendaknya bersikap bijak dalam melakukan pembahsan, menyampaikan pelajaran, dan menjawab

pertanyaan. Apabila ia ditanya tentang sesuatu yang ia tidak tahu, hendaklah ia mengatakan bahwa ia tidak tahu. Hal ini menegaskan bahwa seorang pendidik tidak boleh bersikap pura-pura tahu. Sedangkan diri rosul saja tidak pernah menjawab pertanyaan yang beliau tidak tahu dengan jawaban yang diterka-terka, tetapi beliau hanya menjawab dengan "la adriy" (saya tidak tahu). Sebab jika seseorang mencoba menjawab dalam ketidaktahuannya ia akan dikategorikan sebagai orang yang sesat lagi menyesatkan.

• Terhadap peserta didik yang baru, hendaknya pendidik bersikap wajar dan menciptakan suasana yang membuatnya merasa telah menjadi bagian dari kesatuan teman-temannya. Dengan arti lain, pendidik harus berusaha mempersatukan hati peserta didiknya antara satu dengan lainnya.

• Di setiap akhir proses pendidikan handaknya pendidik mengakhiri denga kata-kata wallohu a'lam (Allah yang Maha tahu) yang menunjukkan keihlasan kepada Allah. Hal ini bermaksud agar setelah proses belajar mengajar berlangsung, seorang pendidik hendaklah menyerahkan kembali segala urusannya kepada Allah.

• Pendidik hendaknya tidak mengasuh bidang studi yang tidak disukainya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi pelecehan ilmiah dan sebaliknya akan terjadi hal yang sifatnya untuk memuliakan ilmu dalam proses belajar mengajar.

Ketiga: kode etik di tengah-tengah para peserta didiknya,antara lain:

• Pendidik hendaknya mengajar dengan niat mengharapkan ridha Allah, menyebarkan ilmu, menghidupkan syara' menegakkan kebenaran, dan menghilangkan kebathilan serta memelihara kemashlahatan umat.

• Pendidik hendaknya tidak menolak untuk mengajar peserta didik yang tidak mempunyai niat tulus dalam belajar. Sebagian ulama' memang pernah berkata "kami memang pernah menuntut ilmu dengan tujuan bukan karena Allah, sehingga guru menolak kecuali jika niat kami menuntut ilmu karena Allah". Kata-kata itu hendaknya diartikan bahwa pada akhirnya niat menuntut ilmu itu harus karena Allah. Sebab kalau niat tulus ini disyaratkan pada awal penerimaan peserta didik, maka peserta didik akan mengalami kesulitan.    .    .

• Pendidik hendaknya mencintai para peserta didiknya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Artinya seorang pendidik hendaknya menganggap bahwa peserta didiknya itu adalah merupakan bagian dari dirinya sendiri (bukan orang lain).

• Pendidik hendaknya memotivasi peserta didiknya untuk menuntut ilmu seluas mungkin. Sebagaimana sebuah pernyataan yang mulia: "tuntutlah ilmu itu sekalipun sampai ke negeri cina”. Dari pernyataan ini mengandung makna bahwa menuntut ilmu itu tidak ada batasnya, kapan, dan di manapun tempatnya.

• Pendidik hendaknya menyampaikan materi dengan bahasa yang mudah dan berusaha agar peserta didiknya dapat dengan mudah memahami materi. Artinya seseorang pendidik harus memahami kondisi peserta didiknya dan mengetahui tingkat kemampuannya dalam berbahasa.

• Pendidik hendaknya melakukan evaluasi terhadap kegiatan belajar mengajar yang dilakukannya. Hal ini dimaksudkan agar guru selalu memperhatikan tingkat pemahaman peserta didiknya, dan perkembangan keilmuan yang diperolehnya.

• Pendidik hendaknya bersikap adil terhadap semua peserta didiknya.

• Pendidik hendaknya berusaha membantu memenuhi kemashlahatan peserta didiknya, baik dengan kedudukan maupun dengan hartanya. Apabila peserta didiknya sakit, hendaknya ia menjenguknya, dan apabila kehabisan bekal, hendaknya ia membantunya. Hal ini menggambarkan bahwa seorang pendidik dianjurkan memperlakukan anaknya sendiri, dengan penuh kasih sayang.

• Pendidik hendaknya selalu memantau perkembangan peserta didik, baik intelektual, maupun akhlaknya. Murid yang shaleh akan menjadi "tabungan" bagi pendidik, di dunia dan akhirat.

Dari konsep syarat kode etik pendidik yang telah dikembangkan al-Kanani tersebut, dapat diambil sebuah makna terdalamnya yaitu bahwa seorang pendidik harus menekankan perhatian, kasih sayangnya, dan lemah lembut terhadap peserta didik, seolah-olah mereka adalah anaknya sendiri. Hal ini kelihatannya didasarkan pada ungkapan: "Sesungguhnya saya dan kamu laksana bapak dengan anaknya". Implikasi rasa kasih sayang ini adalah adanya usaha yang maksimal dari pen-didik dalam proses pembelajaran, untuk benar-benar dapat meningkatkan dan mengembangkan potensi dan kemampuan peserta didik demi masa depan dan kehidupan peserta didik yang disayanginya.

Konsep etika tersebut hampir sama dengan yang dikembangkan oleh Ibnu Jama'ah, yang dikutip oleh Abd al-Amir Syams al-Din, dengan membagi etika pendidik menjadi tiga macam,62 yaitu:

• Etika yang terkait dengan dirinya sendiri. Seorang pendidik dalam etika ini aling tidak memiliki dua etika, yaitu: (1) memiliki sifat-sifat keagamaan (dininyah) yang baik, meliputi patuh dan tunduk terhadap syari'at Allah dalam bentuk ucapan dan tindakan, baik yang wajib maupun yang sunnah; senantiasa membaca al-Qur'an, berdzikir baik dengan hati maupun lisan, memelihara wibawa Nabi Muhammad; memelihara prilaku lahir dan batin; (2) memiliki sifat-sifat.dan akhlak yang mulia (akhlacjiyah), seperti menghias diri (tahalli) dengan memelihara diri, khusyu', rendah hati, menerima apa adanya, zuhud, dan memiliki daya dan hasrat yang kuat.

• Etika terhadap peserta didiknya. Dalam bagian ini pendidik minimal memiliki dua sifat, yaitu: (1) sifat sopan santun (iadabiyah), yang terkait dengan akhlak yang mulia seperti di atas; (2) sifat-sifat memudahkan, menyenangkan, dan menyelamatkan (muhniyah).

• Etika dalam proses belajar mengajar. Dalam bagian etika ini pendidik minimal juga harus memiliki dua etika, yaitu:

(1) sifat-sifat'memeudahkan, menyenangkan, dan menyelamatkan (muhniyyah); (2) sifat-sifat seni, yaitu seni mengajar yang menyenangkan, sehingga peserta didik tidak cepat merasa bosan.

Dalam bahasa yang berbeda, Muhammad Athiyah al-Abrasyi menentukan kode etik pendidik dalam pendidikan Islam sebagai berikut:22

• Mempunyai watak kebapakan sebelum menjadi seorang pendidik, sehingga ia menyayangi peserta didiknya seperti menyayangi anaknya sendiri.

• Adanya komunikasi yang aktif antara pendidik dan peserta didik. Pola komunikasi dalam interaksi dapat diterapkan ketika terjadi proses belajar mengajar.

Pola komunikasi dalam pendidikan dapat dilakukan dengan tiga macam, yaitu komunikasi sebagai aksi (interaksi searah), komunikasi sebagai interaksi (interaksi dua arah) dan komunikasi sebagai transaksi (interaksi multiarah). Tentunya untuk mewujudkan tujuan pendidikan Islam yang maksimal harus digunakan komunikasi yang transaksi, sehingga suasana belajar menjadi lebih aktif antara pendidik dan peserta didik, antara peserta didik dan pendidik, dan antara peserta didik dengan peserta didik.

• Memperhatikan kemampuan dan kondisi peserta didiknya. Pemberian materi pelajaran harus diukur dengan kadar kemampuannya. Sabda Nabi:

"Kami para Nabi diperintahkan untuk menempatkan pada posisinya, berbicara dengan seseorang sesuai dengan kemampuan akalnya". (HR. Abu Bakar ibn al-Syakhir)

Mengetahui kepentingan bersama, tidak terfokus pada sebagian peserta didik, misalnya hanya memprioritaskan anak yang memiliki IQ tinggi. Mempunyai sifat-sifat keadilan, kesucian, dan kesempurnaan. Ikhlas dalam menjalankan aktivitasnya, tidak banyak menuntut hal yang di luar kewajibannya.    

Dalam mengajar supaya mengaitkan materi satu dengan yang lainnya (menggunakan pola integrated curriculum). Memberi bekal peserta didik dengan ilmu yang mengacu pada masa depan, karena ia tercipta berbeda dengan zaman yang dialami oleh pendidiknya.

Ali bin Abi Thalib berkata:

"Didiklah anak kalian dengan pendidikan, karena mereka diciptakan untuk zaman yang berbeda dengan zaman kalian”.

• Sehat jasmani dan rohani serta mempunyai kepribadian yang kuat, tanggung jawab, dan mampu mengatasi problem peserta didik, serta mempunyai rencana yang matang untuk menatap masa depan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.

Dalam literatur yang lain seperti dalam Ilmu pendidikan Islam Prof. Ramayulis, disebutkan beberapa syarat pendidik,23 yaitu: (1) beriman; (2) bertaqwa; (3) ikhlas; (4) berakhlak; (5) berkepribadian yang integral (terpadu); (6) bertanggung jawab; (7) cakap; (8) keteladanan; (9) memiliki kompetensi kependidikan yang mencakup: kompetensi kepribadian, kompetensi penguasaan atas bahan pengajaran, dan kompetensi dalam metode dan pendekatan dalam pendidikan.

E. Keutamaan Mengajar

Pendidik merupakan faktor penting dalam proses pendidikan, sehingga peranannya dapat mempengaruhi keberhasilan sebuah pendidikan. Dalam Islam, seorang pendidik sangatlah dihargai dan dihormati kedudukannya. Firman Allah dalam QS. al-Mursalat: 11:
Sabda Rasul SAW:

“Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari al-qur’an dan mengajarkannya". (HR. Bukhari).

"Allah meningkatkan derajat orang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat".

Sabda Rasulullah SAW: yang artinya; " Tinta para ulama lebih tinggi nilainya dari pada darah para syuhada". (HR. Abu Daud dan Turmudzi)

Gambaran lain tentang keutamaan seorang pendidik adalah sebagaimana pandangan Imam al-Ghazali yang men-sinyalir sebuah teks yang berbunyi:24

Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa mempelajari satu bab dari ilmu untuk diajarkan kepada manusia, maka ia diberikan pahala tujuh puluh orang siddiq (orang yang selalu benar, membenarkan Nabi, seumpama Abu Bakar)". Nabi Isa AS. Bersabda: "Barang siapa berilmu dan beramal serta mengajar, maka orang itu disebut “orang besar" di segala penjuru langit". Nabi bersabda: "Sebaik-baiknya pemberian dan hadiah ialah kata-kata hikmat. Engkau dengar lalu engkau simpan baik-baik. Kemudian engkau bawakan kepada saudaramu muslim, engkau ajari dia. Perbuatan demikian mempunyai ibadah setahun". Nabi bersabda pula: "Bahwasannya Allah, Malaikat-malaikatnya, isi langit dan bumi sampai kepada semut yang di dalam lubang dan ikan di dalam laut, semuanya berdoa kebajikan kepada orang yang mengajarkan manusia”. Nabi bersabda pula: "Tiadalah orang muslim memberi faedah kepada saudaranya, yang lebih utama dari kabar yang-baik yang disampaikannya, kemudian disampaikan pula kepada orang lain". Nabi bersabda: "Sepatah kata kebajikan yang didengar oleh seorang muslim lalu diajarkannya dan diamalkannya, adalah lebih baik baginya daripada ibadah setahun".

Pada suatu hari rosul ke luar berjalan-jalan, lalu melihat dua majlis. Yang satu mereka berdoa kepada Allah dengan sepenuh hati, yang satu lagi mengajar manusia. Maka Nabi bersabda: "Adapun mereka itu memohon kepada Allah, jika dikehendaki-Nya maka dikabulkan-Nya. Jika tidak maka ditolak-Nya. Sedang mereka yang satu majlis lagi, mengajarkan manusia dan aku ini diutus untuk mengajar". Kemudian

Nabi menoleh ke majlis orang yang mengajar, lalu duduk bersama mereka, Nabi bersabda: "Rahmat Allah kepada khalifah-khalifahku". Para sahabat bertanya: "siapakah khalifah-khalifah itu wahai rasulullah? "rasul menjawab: "mereka yang menghidupkan sunnahku dan mengajarkan kepada hamba Allah". Umar ra. berkata: "Barangsiapa mengajarkan suatu hadits, lalu diamalkan orang, maka baginya pahala sebanyak pahala yang diperoleh orang yang mengamalkannya". Ibnu Abbas ra. juga berkata: "Orang yang mengajar kebajikan kepada orang banyak, diminta ampunkan dosanya oleh segala sesuatu sehingga ikan di dalam laut". Imam al-Ghazali mengemukakan tentang mulianya pekerjaan mengajar, beliau berkata: "Maka seseorang yang alim mau mengamalkan apa yang telah diketahuinya, maka ialah yang dinamakan dengan seorang yang besar di semua kerajaan langit. Dia adalah seperti matahari yang menerangi alam-alam yang lain, dia mempunyai cahaya dalam dirinya, dan dia adalah seperti minyak wangi yang mewangikan orang lain, karena ia memang wangi. Siapa-siapa yang memiliki pekerjaan mengajar,ia telah memilih pekerjaan yang besar dan penting, maka dari itu hendaklah ia mengajar tingkah lakunya dan kewajiban-kewajibannya.25

Dari berbagai keterangan tersebut di atas, dapatlah difahami bahwa betapa besar dan mulia pekerjaan seorang pendidik atau orang yang mempunyai ilmu pengetahuan. Karena memang dengan ilmu pengetahuan dapat mengantarkan manusia agar selalu berfikir dan mengamati, dan menganalisa fenomena yang ada pada alam (ayat kauniyah), sehingga akan membawa manusia pada jarak yang semakin dekat dengan penciptanya yaitu Allah. Selain itu dengan jalan berfikir dan bekal akal, manusia dapat menghasilkan berbagai teori dan ilmu yang dapat berguna bagi kehidupan manusia sendiri.

Pendidikan Islam sangat sarat dengan konsepsi dan nilai ketuhanan yang memiliki berbagai keutamaan. Abd. Al-Rahman al-Nahlawi menggambarkan orang yang berilmu diberi kekuasaan menundukkan alam semesta demi kemaslahatan manusia. Sehingga orang yang berilmu (pendidik) dalam kehidupan masyarakat dipandang sebagai orang yang bermartabat tinggi.26

Namun demikian, bagi orang yang berilmu atau pendidik, sudah semestinya dan menjadi suatu kewajiban untuk mengajarkan dan mengamalkan apa yang sudah diketahui dan dipelajari. Sehingga nabi memberikan rambu-rambu bagi orang yang tidak mengajarkan ilmunya dengan suatu peringatan, yaitu:

"Barang siapa yang menyembunyikan ilmunya maka Tuhan akan mengekangnya dengan kekangan api neraka". (HR. Ibnu Majah)

Sehingga seberapa pun pengetahuan atau ilmu yang diketahuinya tetap memiliki konsekuensi untuk mengajarkannya. Dorongan ini terbukti dari ungkapan sebuah teks yang berbunyi:

"Sampaikanlah dariku walaupun cuma satu ayat".

Dari uraian di atas, maka dapat diambil beberapa pemahaman yaitu27

• Perbuatan mendidik atau mengajar adalah perintah yang wajib dilaksanakan, dan barang siapa mengelak dari kewajiban ini akan mendapatkan konsekuensi tersendiri.

• Perbuatan mendidik atau mengajar adalah perbuatan yang terpuji dan mendapatkan pahala yang berlimpah dari Allah.

• Perbuatan mendidik atau mengajar adalah merupakan amal kebajikan jariyah yang akan mengalir pahala selama ilmu yang diajarkan tersebut masih diamalkan orang yang belajar tersebut.

• Perbuatan mendidik atau mengajar adalah amal kebajikan yang dapat mendatangkan maghfirah dari Allah.

• Perbuatan mendidik atau mengajar adalah perbuatan yang sangat mulia, karena mengolah organ manusia yang mulia. []

BAB V

PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A. Paradigma Peserta Didik dalam Pendidikan Islam

Dalam pandangan Islam, sebenarnya manusia telah ditempatkan sebagai makhluk yang termulia dari semua makhluk yang ada di jagat raya ini. Firman Allah SWT:

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". (Q.S. 2:30).

Firman Allah SWT. yang artinya; "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya". (Q.S. 25:4). Ayat ini menunjukkan bahwa dari segi kejadian (bentuk) dan dari segi kedudukan manusia lebih mulia dari makhluk lain. Selanjutnya dalam surat AI-A'laq dijelaskan pula tentang penciptaan manusia ini sebagaimana firman Allah SWT:


"Bacalah dengan menyebut Tuhanmu yang mencintakan. Dia telah mencintakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa-apa yang tidak mereka ketahui, sudahlah! sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup. Sesungguhnya hanya kepada Tuhan tempat kembalimu". (Q.S. 86:1-8).

Ayat di atas, menerangkan bahwa ada tiga macam ciri manusia yaitu:1

1. Manusia itu dijadikan dari a'laq (segumpal darah),
2. Manusia mempunyai daya untuk berilmu,
3. Manusia dapat menjadi diktator apabila ia bersifat congkak dan tidak memerlukan lagi Sang Penciptanya (Allah SWT).

Murthada Mutahhari melukiskan gambaran AI-Qur'an tentang manusia sebagai berikut:2 Al-Qur'an mengambarkan manusia sebagai suatu makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifah-Nya di bumi, serta sebagai makhluk yang semi samawi dan semi duniawi, yang di dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggungjawab terhadap dirinya maupun alam semesta, serta karunia keunggulan terhadap alam semesta, langit dan bumi. Manusia dipusa-kai ke arah kecenderungan kepada kebaikan dan kejahatan. Kemajuan mereka dimulai dengan kelemahan dan ketidakmampuan yang kemudian bergerak ke arah kekuatan, tetapi itu tidak akan menghapuskan kegelisahan mereka, kecuali jika mereka dekat dengan Tuhan dan mengingat-Nya. Kapasitas mereka tidak terbatas, baik dalam kemampuan belajar maupun dalam menerapkan ilmu. Mereka memiliki keluhuran dan martabat naluriah. Motivasi dan pendorong mereka dalam banyak hal, tidak bersifat kebendaan. Akhirnya mereka dapat secara leluasa memanfaatkan nikmat dan karunia yang dilimpahkan kepada mereka, namun pada saat yang sama, mereka menunaikan kewajiban mereka kepada Tuhan.

Sayyid Qutb menafsirkan "khalqan akhar" pada QS. 23:12-14 sebagai berikut: "Manusia dijadikan sebagai makhluk yang unik (khalqan akhar) ketika proses pertumbuhan biologinya sudah sempurna dalam rahim ibunya. Ketika itu janin tidak lagi mengalami perkembangan unsur-unsur biologis, dalam arti pertumbuhan kerangka tubuh. Manusia pada saat itu sudah siap memasuki tahap kejadiannya yang baru, yang membedakannya dari hewan. Yang membawa manusia ke tahap kejadi-anya yang unik dan baru itu adalah ditiupkannya roh ke dalam dirinya.3 Masalah ini semakin dapat difahami dengan adanya firman Allah SWT dalam surat lain.

"Kemudian Dia menyempurnakan dan menitipkan ke dalam (tubuh)-nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur". (Q.S. 34:9).

Ayat di atas menjelaskan bahwa dengan adanya roh itu manusia dapat memiliki pendengaran (al-Samu') penglihatan (,al-Abshar) dan perasaan dalam hati (al-Afidah) yang menjadi ciri-ciri khas makhluk manusia.

Hadits Nabi berikut menjelaskan lebih lanjut waktu penghembusan roh tersebut dalam ayat di atas.

"Sesungguhnya kamu diciptakan dalam kandungan ibu empat puluh hari mani, kemudian selama itu pula segumpalan darah, kemudian selama itu pula gumpalan daging, kemudian dikirimkan oleh Tuhan Malaekat dan ia menghembuskan ke dalam jasad itu roh." (H.R. Bukhari)

Harun Nasution memberikan komentar sebagai berikut: "Yang menarik perhatian dari perkembangan penciptaan manusia seperti dijelaskan oleh ayat dan hadits adalah maksudnya jiwa kedalam. janin, setelah yang tersebut akhir ini mengalami perkembangan seratus dua puluh hari dalam kandungan ibu. Selama empat bulan setelah sperma dan ovum bersatu, janin dengan demikian belum mempunyai jiwa. Janin baru merupakan tubuh yang hidup dan belum menjadi manusia dalam arti sebenarnya. Janin sebelum masuknya jiwa itu dengan kata lain baru merupakan calon manusia.4

Selanjutnya Harun Nasution mengatakan sebagai berikut: "Manusia dalam konsep Islam jadinya tersusun dari tiga unsur: tubuh, hayat dan jiwa. Kalaulah hayat telah tak ada, tubuh pun mati dan jiwa meninggalkan tubuh yang mati itu. Di sini jiwa berpisah dari tubuh dan pergi kembali ke alam im-materi menunggu hari penghitungan di hadapan Tuhan. Alam rohani tempat jiwa menunggu itu biasa disebut alam barzah.

Unsur tubuh dan hayat menyebabkan manusia sama dengan binatang, dan unsur roh (jiwa) menyebabkan manusia berbeda dengan binatang. Unsur roh inilah yang menyebabkan manusia mempunyai akal, penglihatan, pendegaran, perasaan dan hati nurani.

Berkenaan dengan masalah ini Al-Atas menyebutkan manusia sebagai "binatang rasional". Rasional berarti mengacu pada nalar yang merumuskan makna-makna melibatkan pemikiran perbendaan dan penjelasan. Di dalam Islam di samping "aql" ada "qalb” keduanya substansi rohaniah yang dapat memahami dan membedakan kebenaran dan kepalsuan.5

Dengan keutamaan yang diberikan Tuhan kepada manusia dari makhluk lain, manusia dibebani dengan tugas yang cukup berat tetapi mulia yaitu menjadi khalifah Allah di muka bumi. Fungsi khalifah tidak lain adalah merupakan amanah yang mengakibatkan adanya tanggung jawab. Firman Allah SWT. yang artinya: "Sesungguhnya Tuhan menjadikan manusia di bumi ini sebagai khalifah." (Q.S.2:30).

Semua ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh manusia tersebut di atas harus diperhatikan oleh seorang pendidik dalam menghadapi peserta didiknya, karena pengetahuan tentang itu mendasari pandangan guru agama tentang muridnya, sehingga dalam proses pendidikan ia tidak menekankan pada unsur jasad dan hayat saja tetapi lengkap dengan unsur roh lainnya.

Dengan berpijak pada paradigma "belajar sepanjang masa", maka istilah yang tepat untuk menyebut individu yang menuntut ilmu adalah peserta didik dan bukan anak didik. Peserta didik cakupannya lebih luas, yang tidak hanya melibatkan anak-anak, tetapi juga pada orang-orang dewasa. Sementara istilah anak didik hanya dikhususkan bagi individu yang berusia kanak-kanak. Penyebutan peserta didik ini juga mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan tidak hanya di sekolah (pendidikan formal), tapi juga lembaga pendidikan di masyarakat, seperti Majelis Taklim, Paguyuban, dan sebagainya.6

Pada dasarnya peserta didik merupakan "raw material" (bahan mentah) di dalam proses transformasi yang disebut pendidikan. Berbeda dengan komponen-komponen lain dengan sistem pendidikan karena kita menerima "material" ini sudah setengah jadi, karena memang peserta didik dalam Islam memiliki sebuah fitrah yang dianugerahkan oleh Allah. Sedangkan komponen-komponen pendidikan lain dapat dirumuskan dan disusun sesuai dengan keadaan fasilitas dan kebutuhan yang ada.

Namun demikian membicarakan peserta didik, sesungguhnya. kita membicarakan hakikat manusia yang memerlukan bimbingan. Para ahli psikologi mempunyai pandangan yang berbeda terhadap manusia. Aliran psikonalisis beranggapan bahwa tingkah laku manusia pada dasarnya digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam yang mengontrol kekuatan psikologis yang sejak semula ada dalam diri individu. Manusia tidak lagi bebas untuk menentukan nasibnya, sebab tingkah laku manusia semata-mata digerakkan untuk memuaskan kebutuhan dan instink biologisnya. Aliran humanistik beranggapan bahwa manusia senantiasa dalam, proses untuk wujud (becoming) namun tidak pernah selesai dan tidak pernah sernpurna. Tingkah laku manusia tidak semata-mata digerakkan oleh dorongan untuk memuaskan dirinya sendiri namun oleh rasa tanggung jawab sosial dan kebutuhan untuk mencapai sesuatu. Aliran behaviorisme beranggapan bahwa t;ngkah laku manusia merupakan reaksi dari rangsangan yang datang dari luar dirinya. Manusia ditentukan oleh lingkungan karena proses interaksi terus menerus antar individu dengan lingkungannya. Hubungan interaksi itu diatur oleh hukum-hukum belajar, pembiasaan (conditioning) dan peniruan.63

Sama halnya dengan teori Barat, peserta didik dalam pendidikan Islam adalah individu sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, psikologis, sosial, dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak. Definisi tersebut memberi arti bahwa peserta didik merupakan individu yang belum dewasa, yang karenanya memerlukan orang lain untuk menjadikan dirinya dewasa. Anak kandung adalah peserta didik dalam keluarga, murid adalah peserta didik di sekolah, anak-anak penduduk adalah peserta didik masyarakat sekitarnya, dan umat beragama mSnjadi peserta didik ruhaniawan dalam suatu agama.64

Dalam istilah tasawuf, peserta didik sering kali disebut dengan "murid" atau thalib. Secara etimologi, murid berarti "orang yang menghendaki". Sedangkan menurut arti terminologi, murid adalah "pencari hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang pem bimbing spiritual (murrsyid)". Sedangkan thalib secara bahasa berarti "orang yang mencari", sedang menurut istilah tasawuf adalah penempuh jalan spiritual, di mana ia berusaha keras menempa dirinya untuk mencapai derajat sufi. Penyebutan murid ini juga dipakai untuk menyebut peserta didik pada sekolah tingkat dasar dan menengah sementara untuk perguruan tinggi lazimnya disebut dengan mahasiswa (thalib).65

Dalam proses belajar mengajar, seorang pendidik harus sedapat mungkin memahami hakikat peserta didiknya sebagai subjek dan objek pendidikan. Kesalahan dalam memahami hakikat peserta didik menjadikan kegagalan dalam proses pendidikan, Beberapa hal yang perlu dipahami mengenai karakteristik peserta didik adalah:66

Pertama, peserta didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri, sehingga metode belajar mengajar tidak boleh disamakan dengan orang dewasa. Orang dewasa tidak patut mengeksploitasi dunia peserta didik, dengan mematuhi segala aturan dan keinginannya, sehingga peserta didik kehilangan dunianya. Peserta didik yang kehilangan dunianya, maka menjadikan kehampaan hidup di kemudian hari.

Kedua, peserta didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan kebutuhan itu semaksimal mungkin. Kebutuhan individu, menurut Abraham Maslow, terdapat lima hierarki kebutuhan yang dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu: (1) kebutuhan-kebutuhan taraf dasar (basic needs) yang meliputi kebutuhan fisik, rasa aman dan terjamin, cinta dan ikut memiliki (sosial), dan harga diri; dan (2) metakebutuhan-metakebutuhan (meta needs), meliputi apa saja yang terkandung dalam aktualisasi diri, seperti keadilan, kebaikan, keindahan, keteraturan, kesatuan, dan lain sebagainya. Pemenuhan kebutuhan manusia memiliki tingkat kesulitan yang hierarkis. Kebutuhan yang berada pada hierarki paling bawah akan mudah dicapai oleh semua manusia, namun kebutuhan yang berada pada hierarki paling atas tidak semua dicapai oleh manusia. Pemenuhan kebutuhan yang dapat mengakibatkan kepuasan hidup adalah pemenuhan metakebutuhan, sebab pemenuhan kebutuhan ini untuk pertumbuhan yang timbulnya dari luar diri (eksternal). Sedangkan, pemenuhan kebutuhan dasar hanya diakibatkan kekurangan yang berasal dari dalam diri (internal). Sekalipun demikian, masih ada kebutuhan lain yang tidak terjangkau kelima hierarki kebutuhan itu, yaitu kebutuhan akan transendensi kepada Tuhan. Individu yang melakukan ibadah sesungguhnya tidak dapat dijelaskan dengan kelima hierarki kebutuhan tersebut, sebab akhir dari aktivitasnya hanyalah keikhlasan dan ridha dari Allah SWT.

Ketiga, peserta didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu yang lain, baik perbedaan yang disebabkan dari faktor endogen (fitrah) maupun eksogen (lingkungan) yang meliputi, jasmani, inteligensi, sosial, bakat, minat, dan lingkungan yang mengaruhinya. Dalarn teori psikologi, terdapat tiga bagian tentang individu: (1) seperti semua orang lain, yang karenanya perlu perlakuan pendidikan yang sama satu dengan yang lain (2) Seperti sejumlah orang lain, yang karenanya perlu perlakuan pendidikan yang berbeda antara anak yang umum (kecerdasannya rata-rata) dengan yang khusus (sangat cerdas/bodoh); (3) seperti tidak seorang lain pun, yang karenanya perlu perlakuan pendidikan yang berbeda antara individu satu dengan yang lain.

Keempat, peserta didik dipandang sebagai kesatuan system manusia. Sesuai dengan hakikat manusia, peserta didik sebagai makhluk monopluralis, maka pribadi peserta didik walaupun terdiri dari banyak segi, merupakan satu kesatuan jiwa raga (cipta, rasa dan karsa).

Kelima, peserta didik merupakan subjek dan objek sekaligus dalam pendidikan yang dimungkinkan dapat aktif, kreatif, serta produktif. Setiap peserta didik memiliki aktivitas sendiri (swadaya) dan kreativitas sendiri (daya cipta), sehingga dalam pendidikan tidak memandang anak sebagai objek pasif yang bisanya hanya menerima, mendengarkan saja.

Keenam, peserta didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dan mempunyai pola perkembangan serta tempo dan iramanya. Implikasi dalam pendidikan adalah bagaimana proses pendidikan itu dapat disesuaikan dengan pola dan tempo, serta irama perkembangan peserta didik. Kadar

kemampuan peserta didik sangat ditentukan oleh usia atau periode perkembangannya, karena usia itu bisa menentukan tingkat pengetahuan, intelektual, emosi, bakat, minat peserta didik, baik dilihat dari dimensi biologis, psikologis, maupun dedaktis.

Dalam psikologi perkembangan disebutkan bahwa periodesasi manusia pada dasarnya dapat dibagi menjadi lima tahapan, yaitu:11

1. Tahap asuhan (usia 0-2 tahun), yang lazim disebut fase neonatus, dimulai kelahiran sampai kira-kira usia dua tahun. Pada tahap ini, individu belum memiliki kesadaran dan daya intelektual, ia hanya mampu menerima rangsangan yang bersifat biologis dan psikologis melalui air susu ibunya. Pada fase ini belum dapat diterapikan interaksi edukasi secara langsung, karena itu proses edukasi dapat dilakukan dengan cara:

• Memberi azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri ketika baru lahir (HR- Abu Ya'la dari Husain bin Ali); Azan dan iqamah ibarat password untuk membuka sistem syaraf rohani agar anak teringat dengan apa yang dulu di alam arwah diberi perjanjian oleh Allah SWT (QS. al-Araf. 172); memberi nama yang baik sebaik nama-nama Allah yang tertuang dalam asma al-husna (HR. Baihaqie);

• Memotong aqiqah, dua kambing untuk bayi laki-laki dan seekor kambing untuk bayi perempuan. Pemotongan ini, selain menunjukkan rasa syukur kepada Allah, juga sebagai lambang atau simbol pengorbanan dan kepedulian sang orang tua terhadap kelahiran bayinya, agar anaknya nanti menjadi anak saleh dan menuruti keinginan baik orang tuanya;

• Memberi nama yang baik, yaitu nama yang secara psikologis mengingatkan atau berkorelasi dengan perilaku yang baik, misalnya nama asma’al-husna, nama-nama nabi, nama-nama sahabat, nama-nama orang yang saleh, dan sebagainya

• Membiasakan hidup yang bersih, suci dan sehat;

• Memberi ASI sampai usia dua tahun. ASI selain memiliki komposisi gizi yang sesuai dengan kebutuhan bayi, juga menambah keakraban, kehangatan, dan kasih sayang sang ibu dengan bayinya atau sebaliknya. Kekurangan akan ASI dapat mengakibatkan perilaku negatif, seperti tidak menuruti perintah orang tua, karena secara psikologi, hubungan mereka tidak akrab. Perhatikan Firman Allah SWT: "Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan." (QS. al-Baqarah: 233);

• Memberikan makanan dan minuman yang halal dan bergizi (thayyib), (QS. al-Baqarah: 168), dan membiasakan hidup bersih dan suci. Kekurangan ASI dan hidup suci dan bersih, akan mengakibatkan buruk bagi perkembangan paedagogis dari psikologis bagi anak.

2. Tahap pendidikan jasmani dan pelatihan pancaindra (usia 2-12 tahun), yang lazim disebut fase kanak-kanak (al-thifl/shabi), yaitu mulai masa neonatus sampai pada masa polusi (mimpi basah). Pada tahap ini, anak mulai memiliki potensi-potensi biologis, paedagogis, dan psikologis. Karena itu, pada tahap ini mula, diperlukan adanya pembinaan, pelatihan bimbingan, pengajaran, dan pendidikan yang disesuaikan dengan bakat (QS.ar-Rum: 30), minat (QS. al-Kahfi: 29), dan kemampuannya (QS.Hud: 93). Proses pembinaan dan pelatihan lebih efektif lagi bila anak telah menginjak usia sekolah dasar. Hal tersebut karena pada fase ini, anak mulai aktif dan memfungsikan potensi-potensi indranya walaupun masih pada taraf pemula. Proses edukasi dapat diterapkan dengan penuh kasih sayang. Perintah dan larangan disajikan dalam bentuk cerita-cerita yang menarik dan memberikan kesimpulan untuknya, serta melatih anak untuk melakukan aktivitas positif yang dapat membiasakan dirinya dengan baik bila kelak menginjak fase berikutnya, pepatah Arab menerangkan:

"Barangsiapa yang membiasakan sesuatu (di hari mudanya), maka ia akan terbiasa olehnya (di hari tuanya) ".

Tugas pendidikan pada fase ini adalah menumbuhkan potensi-potensi indra dan psikologis, seperti pendengaran, penglihatan, dan hati nurani. Tugas orang tua adalah bagaimana mampu merangsang pertumbuhan berbagai potensi tersebut, agar anaknya mampu berkembang secara maksimal. Firman Allah SWT: "Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa, dan la memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati sanubari agar kamu mau bersyukur." (Q.S. an-Nahl: 78).

Mempersiapkan diri dengan cara membiasakan dan melatih hidup yang baik, seperti dalam berbicara, makan, bergaul, penyesuaian diri dengan lingkungan, dan berperilaku. Pembiasaan ini terutama pada aspek-aspek afektif (ial-infi'a-li), sebab jika aspek ini tidak dibiasakan sedini mungkin maka ketika masa dewasanya akan sulit dilakukan; dan pengenalan aspek-aspek doktrinal agama, terutama yang berkaitan dengan keimanan, melalui metode cerita dan uswah hasanah.

3. Tahap pembentukan watak dan pendidikan agama (usia 12-20 tahun).

Fase ini lazimnya disebut fase tamyiz, yaitu fase di mana anak mulai mampu membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah. Atau, fase baligh (disebut juga mukallaf) di mana ia telah sampai berkewajiban memikul beban taklif dari Allah SWT.

Usia ini anak telah memiliki kesadaran penuh akan dirinya, sehingga ia diberi beban tanggung jawab (taklif), terutama tanggung jawab agama dan sosial. Menurut al-Taftazani, fase ini dianggap sebagai fase yang mana individu mampu bertindak menjalankan hukum, baik yang terkait dengan perintah maupun larangan. Seluruh perilaku mukallaf harus dipertanggungjawabkan, karena hal itu akan berimbas pada pahala dan dosa.

Fase ini juga ditandai dengan adanya dua hal, yaitu: Pertama, pemahaman, dicapai dengan adanya pendayagunaan akal, karena dengan akal seseorang memiliki kesadaran penuh dalam bertindak. Individu yang tidak memiliki pemahaman yang cukup maka ia tidak terkena beban taklif, seperti anak kecil, orang gila, orang lupa, orang terpaksa, orang tidur dan pingsan dan orang yang tersalah; Kedua, kecakapan (al-ahliyyah), yaitu dipandang cakap melaksanakan perintah, sehingga perbuatan apa saja yang dilakukan dapat dipertanggung jawabkan dan memiliki implikasi hukum. Kecakapan terbagi atas dua macam, yaitu: (1) Kecakapan melaksanakan (ahliyyah ada'), yaitu kecakapan bertindak hukum yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang positif maupun negatif. Kecakapan ini disyaratkan 'aqil (berakal), baligh (sampai umur), dan cerdas dalam memahami titah Tuhan; dan (2) Kecakapan kewajiban (iahliyyah wujub), yaitu kecakapan untuk menerima kewajiban-kewajiban hukum dan hak-haknya." Pada tahap ini, anak mengalami perubahan biologis yang drastis, postur tubuh hampir menyamai orang dewasa walaupun taraf kematangan jiwanya belum mengimbanginya. Pada tahap ini, anak mengalami masa transisi, masa yang menuntut anak untuk hidup dalam kebimbangan, antara norma masyarakat yang telah melembaga agaknya tak cocok dengan pergaulan hidupnya sehari-hari, sehingga ia ingin melepaskan diri dari belenggu norma dan susila masyarakat untuk mencari jati dirinya, ia ingin hidup sebagai orang dewasa, diakui dan dihargai, tetapi aktivitas yang dilakukan masih penuh kekanak-kanakan, sehingga acap kali orang tua masih mengikat dan membatasi, kehidupannya agar nantinya dapat mewarisi dan mengembangkan hasil yang diperoleh orang tuanya. Proses edukasi fase ini adalah memberikan suatu model, mode dan modus yang Islami pada anak tersebut, sehingga ia mampu hidup "remaja" di tengah-tengah masyarakat tanpa meninggalkan kode etis Islaminya. Tugas pendidikan adalah mengubah persepsi konkret peserta didik menuju pada persepsi yang abstrak, misalnya persepsi mengenai ide-ide ketuhanan, alam akhirat, dan sebagainya. Pengembangan ajaran-ajaran normatif agama melalui institusi sekolah, baik yang berkenaan dengan aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda: Perintahlah anak-anak kalian melakukan shalat ketika ia berusia tujuh tahun, dan pukullah ia jika meninggalkannya apabila berusia sepuluh tahun, dan pisahkan ranjangnya" (HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim dari Abd Allah ibn Amar). Hadis di atas mengisyaratkan bahwa usia tujuh tahun merupakan usia mulai berkembangnya kesadaran akan perbuatan baik dan buruk, benar dan salah, sehingga Nabi SAW. memerintahkan kepada orang tua untuk mendidik shalat kepada anak-anaknya. Ketika usia sepuluh tahun, tingkat kesadaran anak akan perbuatan baik dan buruk, benar dan salah mendekati sempurna, sehingga Nabi SAW. memerintahkan orang tua untuk memukul anaknya yang meninggalkan shalat. Makna memukul di sini tidak berarti bersifat biologis, seperti memukul kepala atau anggota tubuh lainnya, melainkan bersifat psikologis, seperti menggugah kesadaran atau menjatuhkan mentalnya.

1. Tahap kematangan (usia 20-30 tahun).

Pada tahap ini, anak telah beranjak menjadi dewasa, yaitu dewasa dalam arti sebenarnya, mencakup kedewasaan biologis, sosial, psikologis, dan kedewasaan religius. Pada fase ini, mereka sudah mempunyai kematangan dalam bertindak, bersikap, dan mengambil keputusan untuk menentukan masa depannya sendiri. Oleh karena itu, proses edukasi dapat dilakukan dengan memberi pertimbangan dalam menentukan teman hidupnya yang memiliki ciri mukafaah (ideal) dalam aspek agama, ekonomi, sosial, dan sebagainya (HR. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah). Pemilihan pasangan hidup yang ideal akan mencetak calon pendidik di rumah tangga kelak yang bertanggung jawab atas pendidikan anak kandung di rumah.

2. Tahap kebijaksanaan (usia 30 - meninggal).

Menjelang meninggal, fase ini lazimnya disebut fase azm al-'umr (lanjut usia) atau syuyukh (tua). Pada tahap ini, manusia telah menemukan jati dirinya yang hakiki, sehingga tindakannya penuh dengan kebijaksanaan yang mampu mernberi naungan dan perlindungan bagi orang lain. Proses edukasi bisa dilakukan dengan cara mengingatkan agar mereka berkenan sedekah atau zakat bila ia lupa (QS. ali Imran: 92) serta mengingatkan harta dan anak yang dimiliki agar selalu diclarma-baktikan kepada agama, negara, dan masyarakat sebelum menjelang hayatnya.

Peserta didik merupakan individu yang akan dipenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan, sikap, dan tingkah lakunya, sedangkan pendidik adalah individu yang akan memenuhi kebutuhan tersebut. Akan tetapi, dalarn proses kehidupan dan pendidikan secara umum, batas antara keduanya sulit ditentukan, karena adanya saling mengisi dan saling membantu, saling meniru dan ditiru, saling memberi dan menerima informasi yang dihasilkan, akibat dari komunikasi yang dimulai dari kepekaan indra, pikiran, daya aspersepsi, dan keterampilan untuk melakukan sesuatu yang mendorong internalisasi dan individualisasi pada diri individu sendiri. Bahkan Battle dan Robert L. Shannon menyatakan bahwa keberhasilan pendidik dalam proses pendidikan adalah apabila ia telah mencapai hasil yang paling tinggi, yaitu peserta didiknya telah menjadi guru mereka sendiri yang terbaik, yang dengan sadar membuat kondisi untuk mengubah tingkah laku mereka ke arah tujuan mereka sendiri. Pendidik yang baik senantiasa berusaha untuk mengeluarkan dirinya dari peranan mengajar yang membuat peserta didik mengasumsikan peran itu untuk diri mereka sendiri.

B. Sifat-sifat dan Kode Etik Peserta Didik dalam Pendidikan Islam

Sifat-sifat dan kode etik peserta didik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakannya dalam proses belajar mengajar, baik secara langsung maupun tidak langsung. Al-Ghazali, yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman," merumuskan sebelas pokok kode etik peserta didik, yaitu:12

1. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela (takhalli) dan mengisi dengan akhlak yang terpuji (tahalli) (perhatikan QS. al-An'am: 162, al-Dzariyat: 56).

2. Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi (QS. adh-Dhuha: 4). Artinya, belajar tak

semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi juga belajar ingin berjihad melawan kebodohan demi mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi, baik di hadapan Allah dan manusia.

3. Bersikap tawadlu' (rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidiknya. Sekalipun ia cerdas, tetapi ia bijak dalam menggunakan kecerdasan itu pada pendidiknya, termasuk juga bijak kepada teman-temannya yang IQ-nya lebih rendah.

4. Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran, sehingga ia terfokus dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.

5. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah), baik untuk ukhrawi maupun untuk duniawi, serta meninggalkan ilmu-ilmu yang tercela (madzmumah). Ilmu terpuji dapat mendekatkan diri kepada Allah, sementara ilmu tercela akan menjauhkan dari-Nya dan mendatangkan permusuhan antarsesamanya.

6. Belaj ar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkret) menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu yang fardlu 'ain menuju ilmu yang fardlu kifayah (QS. al-Insyiqaq: 19).

7. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga peserta didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam. Dalam konteks ini, spesialisasi jurusan diperlukan agar peserta didik memiliki keahlian dan kompetensi khusus (QS. al-Insyirah: 7).

8. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari, sehingga mendatangkan objektivitas dalam memandang suatu masalah.

9. Memprioritaskan ilmu diniyah yang terkait dengan kewajiban sebagai makhluk Allah SWT, sebelum memasuki ilmu duniawi.

10. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang bermanfaat dapat membahagiakan, menyejahterahkan, serta memberi keselamatan hidup dunia akhirat.

11. Peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit terhadap dokternva, mengikuti segala prosedur dan metode madzab yang diajarkan oleh pendidik-pendidik pada umumnya, serta diperkenankan bagi peserta didik untuk mengikuti kesenian yang baik.

Menurut Ibnu Jamaah, yang dikutip oleh Abd al-Amr Syams al-Din, etika peserta didik terbagi atas tiga macam,67 yaitu: (1) terkait dengan diri sendiri, meliputi membersihkan hati, memperbaiki niat atau motivasi, memiliki cita-cita dan usaha yang kuat untuk sukses, zuhud (tidak materialistis), dan penuh kesederhanaan; (2) terkait dengan pendidik, meliputi patuh dan tunduk secara utuh, memuliakan, dan menghormatinya, senantiasa melayani kebutuhan pendidik dan menerima segala hinaan atau hukuman darinya; (3) terkait dengan pelajaran, meliputi berpegang teguh secara utuh pada pendapat pendidik, senantiasa mempelajarinya tanpa henti, mempraktikkan apa yang dipelajari dan bertahap dalam menempuh suatu ilmu.

Ali bin Abi Thalib memberikan syarat bagi peserta didik dengan enam macam, yang merupakan kompetensi mutlak dan dibutuhkan tercapainya tujuan pendidikan.68 Syarat yang dimaksud sebagaimana dalam syairnya:

"Ingatlah! Engkau tidak akan bisa memperoleh ilmu kecuali karena enam syarat; aku akan menjelaskan keenam syarat itu padamu, yaitu: kecerdasan, hasrat atau motivasi yang keras, sabar, modal (sarana), petunjuk guru, dan masa yang panjang (kontinu)".

Dari syair tersebut dapat dipahami bahwa syarat-syarat pencari ilmu adalah mencakup enam hal, yaitu:69

Pertama, memiliki kecerdasan (dzaka'); yaitu penalaran, imajinasi, wawasan (insight), pertimbangan, dan daya-»penye-suaian, sebagai proses mental yang dilakukan secara cepat dan tepat. Kecerdasan kemudian berkembang dalam tiga definisi, yaitu: (1) kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif; (2) kemampuan menggunakan konsep abstrak secara efektif, yang meliputi empat unsur, seperti memahami, berpendapat, mengontrol, dan mengkritik; dan (3) kemampuan memahami pertalian-pertalian dan belajar dengan cepat sekali.

Jenis-jenis kecerdasan meliputi: (1) kecerdasan intelektual yang menggunakan otak kiri dalam berpikir linear; (2) kecerdasan emosional, yang menggunakan otak kanan/intuisi dalam berpikir asosiatif, (3) kecerdasan moral, yang menggunakan tolok ukur baik buruk dalam bertindak; (4) kecerdasan spiritual, yang mampu memaknai terhadap apa yang dialami dengan menggunakan otak unitif; (5) kecerdasan qalbiyah atau ruhaniyah yang puncaknya pada ketakwaan diri kepada Allah SWT. Kelima kecerdasan ini harus dimiliki oleh peserta didik sebagai persyaratan pertama dan utama dalam mencapai keberhasilan pendidikannya.

Kedua, memiliki hasrat (hirsh), yaitu kemauan, gairah, moril dan motivasi yang tinggi dalam mencari ilmu, serta tidak merasa puas terhadap ilmu yang diperolelmya. Hasrat ini menjadi penting sebagai persyaratan dalam pendidikan, sebab persoalan manusia tidak sekadar mampu (qudrah) tetapi juga mau (iradah). Simbiotis antara mampu (yang diwakili kecerdasan) dan mau (yang diwakili hasrat) akan menghasilkan kompetensi dan kualifikasi pendidikan yang maksimal.

Maksud motivasi (motivation) pendidikan di sini adalah keseluruhan dorongan, keinginan, kebutuhan, dan daya yang sejenis yang mengarahkan prilaku dalam pendidikan. Motivasi pendidikan juga diartikan satu variabel penyelang yang digunakan untuk menimbulkan faktor-faktor tertentu di dalam organisme, yang membangkitkan, mengelola, mempertahankan, dan menyalurkan tingkah laku menuju satu sasaran pendidikan. Dalam pendidikan, motivasi berfungsi sebagai pendorong kemampuan, usaha, keinginan, menentukan arah, dan menyeleksi tingkah laku pendidikan. Kemampuan adalah tenaga, kapasitas, atau kesanggupan untuk melakukan suatu perbuatan, yang dihasilkan dari bawaan sejak lahir atau merupakan hasil dari pengalaman. Usaha ialah penyelesaian suatu tugas untuk mencapai keinginan. Sedangkan keinginan adalah satu harapan, kemauan, atau dorongan untuk mencapai sesuatu atau untuk membebaskan diri dari suatu perangsang yang tidak menyenangkan.

Motivasi belajar dalam Islam tidak semata-mata untuk memperoleh: (1) berprestasi, yaitu dorongan untuk mengatasi tantangan, untuk maju, dan berkembang; (2) berafiliasi, yaitu dorongan untuk berhubungan dengan orang lain secara efektif, (3) berkompetensi, yaitu dorongan untuk mencapai hasil kerja dengan kualitas tinggi; dan (4) berkekuasaan, yaitu dorongan untuk memengaruhi orang lain dan situasi, tetapi lebih dari itu, belajar memiliki motivasi beribadah, yang mana dengan belajar seseorang dapat mengenal (ma'rifah) pada Allah SWT, karena Dia hanya mengangkat derajat bagi mereka yang beriman dan berilmu (QS. al-Mujadilah: 11, az-Zumar: 9)'. -

Ketiga, bersabar dan tabah (ishtibar) serta tidak mudah putus asa dalam belajar, walaupun banyak rintangan dan hambatan, baik hambatan ekonomi, psikologis, sosiologis, politik, bahkan administratif. Sabar merupakan inti dari kecerdasan emosional. Banyak orang yang memiliki kecerdasan intelektual yang baik, tetapi tidak dibarengi oleh kecerdasan emosional (seperti sabar ini) maka ia tidak memperoleh apa-apa.

Sabar adalah menahan (al-habs) diri, atau lebih tepatnya mengendalikan diri, yaitu menghindarkan seseorang dari perasaan resah, cemas, marah, dan kekacauan terutama dalam proses belajar. Sabar juga meliputi menghindari maksiat, melaksanakan perintah, dan menerima cobaan dalam proses pendidikan (QS. ali Imran: 200). Menurut al-Ghazali, sabar terkait dengan dua aspek, yaitu: Pertama, fisik (badani), yaitu menahan diri dari kesulitan dan kelelahan badan dalam belajar. Dalam kesabaran ini sering kali mendatangkan rasa sakit, luka dan memikul beban yang berat; Kedua, psikis (nafsi), yaitu menahan diri dari natur dan tuntutan hawa nafsu yang mengarahkan seseorang meninggalkan pertimbangan rasional dalam mencari ilmu.

Salah satu kelebihan Nabi Khidhir dibandingkan dengan Nabi Musa adalah bahwa Nabi Khidhir mengetahui suatu peristiwa yang belum terjadi. Sebagaimana yang dilukiskan QS. al-Kahfi ayat 65-72 bahwa kunci pengetahuan Nabi Khidhir yang tidak dimiliki Nabi Musa adalah sabar, sehingga berkali-kali Nabi Khidhir mengatakan: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku." Dalam kisah ini, sabar menjadi kunci bagi kecerdasan individu dalam memperoleh pengetahuan, yang oleh temuan dewasa ini disebut dengan kecerdasan emosional. Nabi Khidhi memperoleh ilmu ladunni, dengan mengetahui hal-hal yang gaib atau belum terjadi, disebabkan oleh kesabarannya. Kesabaran (sebagai inti kecerdasan emosional) mengantar kesuksesan individu, sekalipun tidak melupakan jenis kecerdasan yang lain.

Keempat, mempunyai seperangkat modal dan sarana (ibulghah) yang memadai dalam belajar. Dalam hal ini, biaya dan dana pendidikan menjadi penting, yang digunakan untuk kepentingan honor pendidik, membeli buku dan peralatan sekolah, dan biaya pengembangan pendidikan secara luas.

Perolehan ilmu bukan didapat secara gratis, karena profesionalisme pendidikan melibatkan sejumlah kegiatan dan sarana yang membutuhkan biaya. Bahkan akhir-akhir ini, sekolah yang mahal adalah sekolah yang diminati oleh masyarakat. Memang benar, dari sudut material, investasi yang dikucurkan untuk dana pendidikan tidak akan memperoleh laba yang besar, bahkan boleh jadi merugi. Namun secara spiritual, justru inilah investasi yang hakiki dan abadi yang dapat dinikmati untuk jangka panjang dan masa depan di akhirat (perhatikan QS, an-Nisa': 95, al-Anfal: 72, at-Taubah: 20, 41, 44, 81, 88, 111).

Kelima, adanya petunjuk pendidik (irsyad ustadz), sehingga tidak terjadi salah pengertian (misunderstanding) terhadap apa yang dipelajari, Dalam belajar, seseorang dapat melakukan metode autodidak, yaitu belajar secara mandiri tanpa bantuan siapa pun. Sekalipun demikian, pendidikan masih tetap berperan pada peserta didik dalam menunjukkan bagaimana metode belajar yang efektif berdasarkan pengalaman sebagai seorang dewasa, serta yang terpenting, pendidik sebagai sosok yang perilakunya sebagai suri teladan bagi peserta didik. Dalam banyak hal, interaksi pendidikan tidak dapat digantikan dengan membaca, melihat dan mendengar jarak jauh, tetapi dibutuhkan face to face antara kedua belah pihak yang didasarkan atas suasana psikologis penuh empati, simpati, atensi, kehangatan, dan kewibawaan.

Keenam, masa yang panjang (thuivl al-zaman), yaitu belajar tiada henti dalam mencari ilmu (no limits to study) sampai pada akhir hayat, min mahdi ila lahdi (dari buaian sampai liang lahat). Syarat ini berimplikasikan bahwa belajar tidak hanya di bangku kelas atau kuliah, tetapi semua tempat yang menyediakan informasi tentang pengembangan kepribadian, pengetalman, dan keterampilan adalah termasuk juga lembaga pendidikan.

C. Dimensi-dimensi Peserta Didik

Suatu hal yang sangat perlu juga diperhatikan oleh seorang pendidik dalam, membimbing peserta didiknya adalah "kebutuhan peserta didik". Al-Qussy membagi pula kebutuhan manusia dalam, dua kebutuhan pokok yaitu: (1) Kebutuhan primer, yaitu kebutuhan jasmani seperti: makan, minum, seks dan sebagainya; (2) Kebutuhan sekunder yaitu kebutuhan rohaniah.16

Selanjutnya ia membagi kebutuhan rohaniah kepada 6 (enam) macam yaitu: (1) Kebutuhan kasih sayang (2) Kebutuhan akan rasa aman (3) Kebutuhan akan rasa harga diri (4) Kebutuhan akan rasa bebas (5) Kebutuhan akan sukses (6) Kebutuhan akan suatu kekuatan pembimbing atau pengendalian diri manusia, seperti pengetahuan-pengetahuan lain yang ada pada setiap manusia yang berakal.

Law head membagi kebutuhan manusia sebagai berikut:17

1. Kebutuhan jasmani, seperti makan, minum, bernafas, perlindungan, seksual, kesehatan dan lain-lain.
2. Kebutuhan rohani, seperti kasih sayang, rasa aman, penghargaan, belajar, menghubungkan diri dengan dunia yang lebih luas (mengembangkan diri), mengaktualisasikan dirinya sendiri dan lain-lain.
3. Kebutuhan yang menyangkut jasmani rohani, seperti istirahat, rekreasi, butuh supaya setiap potensi-potensi fisik dapat dikembangkan semaksimal mungkin, butuh agar setiap, usaha/ pekerjaan sukses dan lain-lain.
4. Kebutuhan sosial seperti supaya dapat diterima oleh teman-temannya secara wajar, supaya dapat diterima oleh orang yang lebih tinggi dari dia seperti orang tuanya, guru-gurunya dan pemimpin-pemimpinnya, seperti kebutuhan untuk memperoleh prestasi dan posisi.
5. Kebutuhan yang lebih tinggi sifatnya (biasanya dirasakan lebih akhir) merupakan tuntutan rohani yang mendalam yaitu, kebutuhan untuk meningkatkan diri yaitu kebutuhan terhadap agama.

Kedua kutipan di atas menunjukkan bahwa kebutuhan yang paling essensial adalah kebutuhan terhadap agama. Agama dibutuhkan karena manusia memerlukan orientasi dan obyek pengabdian dalam hidupnya. Oleh karena itu tidak ada seorang pun yang tidak membutuhkan agama.

Para ahli tafsir seperti: Mohamma Hijazi, Sayyid Muhammad Husin al-Thaba Thabai, dan Mushafa al Maraghi, mempunyai pendapat yang sama bahwa fitrah beragama pada hakekatnya adalah kebutuhan manusia. Oleh karena itu para ahli menyebut bahwa manusia itu adalah makhluk yang beragama (homo religius)”.  para ahli psikologi membahas pula secara ilmiah hubungan manusia dengan agama. Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa Kebutuhan-kebutuhan peserta didik di atas harus diperhatikan oleh setiap si pendidik, sehingga peserta didik tumbuh dan berkembang serta mencapai kematangan psikis dan pisik. Pendidik agama di samping ia memperhatikan kebutuhan-kebutuhan biologis dan psikologis ataupun kebutuh pada masa kanak-kanak pertama (dua sampai enam tahun) mungkin si anak menanyakan tentang Tuhan (rupa-Nya, tempat-Nya dan ke-kuasaan-Nya). Mulai umum lebih kurang 7 tahun pertanyaan anak-anak terhadap Tuhan telah berganti dengan cinta dan hormat dan hubungannya dipengaruhi oleh rasa percaya dan iman. Dan pada masa akhir kanak-kanak (10-12 tahun) fungsi Tuhan bagi si anak telah meningkat. Tuhan sebagai penolong baginya dalam menghadapi dorongan jahat dan tidak baik dalam hatinya, serta Tuhan akan menolongnya melindungi yang lemah, terutama jika ia merasa lemah dan kekurangan. Gambaran Allah yang seperti itu akan menolong si anak dalam kesukaran dan penderitaan. Dan pada umur remaja, kepercayaan kepada Tuhan kadang-kadang sangat kuat, tetapi kadang-kadang akan menjadi berkurang, yang terlihat pada ibadahnya yang kadang-kadang rajin dan kadang-kadang malas. Perasaannya kepada Tuhan tergantung pada perubahan emosi yang sedang dialaminya. Kadang-kadang ia sangat membutuhkan Tuhan terutama ketika mereka akan menghadapi bahaya, takut akan gagal atau merasa berdosa. Tapi kadang-kadang ia kurang membutuhkan Tuhan, ketika merasa senang riang dan gembira. Yamani mengemukakan bahwa tatkala Allah membekali insan itu dengan nikmat ber-fikir dan daya penelitian, diberinya pula rasa bingung dan bimbang untuk memahami dan belajar mengenali alam sekitarnya di samping rasa ketakutan terhadap rasa kegarangan dan kebengisan alam itu. Hal inilah yang mendorong insan tadi untuk mencari-cari suatu kekuatan yang dapat melindungi dan pembimbingannya di saat-saat yang gawat. Insan primitif telah menemukan apa yang dicarinya pada gejala alam itu sendiri, berangsur-angsur dan silih berganti menuj gejala-gejala alam tadi sesuai dengan penemuannya dan menetapkannya ke dalam jalan kehidupannya. Dengan demikian timbullah penyembahan terhadap api, matahari, bulan, atau benda-benda lainnya dari gejala-gejala alam tersebut.

Kebutuhan primer dan sekunder seperti dijelaskan di atas, maka penekanannya adalah memenuhi kebutuhan anak didik terhadap agama karena ajaran agama yang sudah, dihayati, diyakini dan diamalkan oleh anak didik, akan dapat mewarnai seluruh aspek kehidupannya. Setiap pendidik yang mengabaikan kebutuhan terhadap agama ini hanya akan mampu meraih sebagian kecil dari kepribadiannya, atau bahkan usahanya akan sia-sia sama sekali sebab pendidikan yang tidak memperhatikan kebutuhan tersebut tidak akan dapat menjamah psikologi manusiawi yang terdalam.

Selain kebutuhan-kebutuhan di atas, ada aspek penting lain pada peserta didik yang harus diperhatikan dalam sebuah proses pendidikan. Aspek tersebut adalah potensi peserta didik. Potensi itu menurut Munawar Khalil sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis, disebutkan bahwa potensi sebagai hidayah yang bersifat umum dan khusus yaitu:19

• Hidayah Wujdaniyah yaitu potensi manusia, yang berujud insting atau naluri yang melekat dan langsung berfungsi pada saat manusia dilahirkan di muka bumi ini.

• Hidayah Hissyah yaitu potensi Allah yang diberikan kepada manusia dalam bentuk kemampuan indrawi sebagai penyempurna hidayah pertama.

• Hidayah Aqliah yaitu potensi akal sebagai penyempurna dari kedua hidayah di atas. Dengan potensi akal ini manusia mampu berpikir dan berkreasi menemukan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari fasilitas yang diberikan kepadanya untuk fungsi kekhalifahannya.

• Hidayah Diniyah yaitu petunjuk agama yang diberikan kepada manusia yang berupa keterangan tentang hal-hal yang menyangkut keyakinan dan aturan perbuatan yang tertulis dalam al-Qur'an dan Sunnah.

• Hidayah Taufiqiyah yaitu hidayah sifatnya khusus. Sekalipun agama telah di turunkan untuk keselamatan manusia, tetapi banyak manusia yang tidak menggunakan akal dalam kendali agama. Untuk itu, agama menuntut agar manusia selalu diberi petunjuk yang lurus berupa hidayah dan taufiq agar manusia selalu berada dalam keridhaan Allah.

Quraish Shihab berpendapat bahwa untuk menyukseskan tugas-tugasnya selaku khalifah Tuhan dimuka bumi, Allah memperlengkapi makhluk ini dengan potensi-potensi tertentu antara lain:20

• Kemampuan untuk mengetahui sifat-sifat, fungsi dan kegunaan segala macam benda. Hal ini tergainbar dalam firman Allah SWT: Dia telah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya". (Q.S. Al-Baqarah: 231)

• Ditundukkan bumi, langit, dan segala isinya: binatang-binatang, planet dan sebagainya oleh Allah kepada manusia (Q.S. Al-Khasiah: 12-13).

• Potensi akal pikiran serta panca indra (Q.S. Al Mulk: 23).

• Kekuatan positif untuk merubah corak kehidupan manusia ini (Q.S.13:11)

Disamping potensi yang bersifat di atas, manusia dilengkapi dengan potensi yang bersifat negatif yang merupakan kelemahan manusia. Kelemahan pertama adalah potensi untuk terjerumus dalam godaan hawa nafsu dan syetan, seperti yang digambarkan dengan godaan syetan kepada adam dan hawa, sehingga keduanya melupakan peringatan Tuhan untuk tidak mendekati pohon terlarang (Q.S. Thaha: 15-27). Kelemahan kedua, banyak masalah yang tak dapat dijangkau oleh pikiran manusia, khususnya menyangkut diri, masa depan, serta banyak hal yang menyangkut manusia.

Dalam Hasan Langgulung bahwa pada prinsipnya potensi manusia menurut pandangan Islam tersimpul pada sifat-sifat Allah (asma'ul husna) yang berjumlah 99 buah. Sebagai contoh sifat al-ilm yang dimiliki Allah, maka manusiapun memiliki sifat tersebut, dengan sifat itu manusia senantia berupaya untuk mengetahui sesuatu. Untuk mengaktifkan potensi ini, maka Allah menjadikan alam dan isinya termasuk diri manusia sebagai ayat Allah yang harus dibaca dan dianalisa.21

21 Ibid., him. 103. Namun demikian, bukan berarti kemampuan manusia sama tingkatannya dengan kemampuan Allah. Hal ini disebabkan karena perbedaan hakikat keduanya. Manusia memiliki keterbatasan. Dari keterbatasan ini menjadikan manusia sebagai mahluk yang memerlukan bantuan untuk memenuhi keinginannya. Keadaan ini menyadarkan manusia akan keterbatasannya dan ke Maha kuasaan Allah. Dengan potensi yang terbatas ini, dimanapun. manusia, kapan-pun dan dalam keadaan bagimanapun diharapkan tetap ada jalinan rohani, zikir kepada Allah dan tidak boleh putus, mengingat manusia adalah ciptaan Allah yang dependen pada Yang Maha Pencipta.

Karena adanya potensi yang positif dan negatif serta keterbatasan manusia, sebagai penyempurnaan nikmat Tuhan kepada makhluk-Nya, dianugrahkanlah kepadanya oleh Tuhan yang mengetahui hakikat manusia petunjuk-petunjuk yang disesuaikan dengan hakikat itu, serta disesuaikan pula dengan fungsinya selaku khalifah di muka bumi, yaitu potensi untuk senantiasa condong pada fitrah yang hanif. Sebagaimana firman Allah SWT:


"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah, (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Q.S. Al-Rum: 30)

Pengertian fitrah yang ditunjukkan ayat di atas memberi pengertian bahwa manusia didptakan Allah dengan naluri beragama tauhid yaitu Islam. Namun dalam pengembangan selanjutnya, Hasan langulung, memberi pengertian fitrah yang lebih luas yaitu pada pengertian dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Potensi tersebut merupakan embrio semua kemampuan manusia yang memerlukan penempaan lebih lanjut dari lingkungan insani maupun non insani untuk bisa berkembang. Untuk mengaktulisasikan potensi yang dimilikinya tersebut manusia memerlukan bantuan orang lain yaitu pendidikan.22

Menurut Widodo Supriyono, manusia merupakan makhluk multidimensional yang berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya. Secara garis besar ia membagi manusia pada dua dimensi yaitu dimensi fisik dan rohani. Secara rohani, manusia mempunyai potensi kerohanian yang tak terhingga banyaknya. Potensi-potensi tersebut nampak dalam bentuk memahami sesuatu (ulil albab), dapat berpikir/merenung, mempergunakan akal, dapat beriman, bertaqwa, mengingat atau mengambil pelajaran, mendengar kebenaran firman Tuhan, dapat berilmu, berkesenian, dapat menguasai teknologi tepat guna dan terakhir manusia lahir ke dunia telah membawa fitrah.70

Zakiah Daradjat, membagi manusia kepada tujuh dimensi pokok yang masing-masingnya dapat dibagi kepada dimensi-dimensi kecil. Ketujuh dimensi tersebut adalah: dimensi fisik, akal, agama, akhlak, kejiwaan, rasa keindahan dan sosial kemasyarakatan. Semua dimensi tersebut harus ditumbuh kembangkan melalui pendidikan Islam.24    

1. Dimensi Fisik (jasmani)

Fisik atau jasmani terdiri atas organisme fisik, organisme fisik manusia lebih sempurna dibandingkan organisme-organisme makhluk-makhluk lainnya. Pada dimensi ini, proses pen-ciptaan manusia memiliki kesamaan dengan hewan ataupun tumbuhan, sebab semuanya termasuk bagian dari alam. Setiap alam biotik, memiliki unsur material yang sama, yakni terbuat dari unsur tanah, api, udara dan air. Hasil penelitian telah membuktikan bahwa jasad manusia, tersusun dari sel-sel yang ber-

bentuk dari bagian-bagian yang disebut organel yang tersusun dari molekul-molekul senyawa unsur-unsur kimiawi yang terdapat di bumi. Namun manusia merupakan makhluk biotik yang unsur-unsur pembentukan materialnya bersifat profesional antara keempat unsur tersebut sehingga manusia disebut sebagai makhluk yang sempurna dan terbaik pen-cipannya. Firman Allah: "Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya" (Q.S. At-Tiin: 4)

Keempat unsur di atas merupakan materi yang abiotik (tidak bidup). Ia akan hidup jika diberi energi kehidupan yang bersifat fisik (thaqat al-jismiyah). Energi kehidupan ini lazimnya disebut nyawa. Karena nyawa manusia hidup, ibnu Maskawaih menyebut energi tersebut dengan al-hayat (daya hidup). Sedangkan at-Ghazali menyebutnya dengan ruh jasmaniyah (ruh material), daya hidup ini merupakan vitalitas ini tergantung sekali kepada konstruksi fisik seperti susunan sel, fungsi kelenjar, alat pencernaan, susunan saraf sentral, urat, darah, daging, tulang sumsum, kulit, rambut dan sebagainya.

Dengan ini manusia dapat bernafas, merasa sakit, haus lapar, panas, dingin, keinginan seks dan sebagainya. Jadi aspek jasmani ini memiliki dua natur yaitu natur kongkrit berupa tubuh kasar yang tampak dan natur abstrak berupa nyawa yang menjadi sumber kehidupan tubuh. Aspek abstrak jasmani inilah yang mampu berinteraksi dengan aspek rohani manusia.

Dalam pelaksanaan pendidikan jasmani di dalam al-Qur'an dan hadits ditentukan prinsip-prinsip tentang pendidikan jasmani di antaranya: Firman Allah SWT: "Bersihkanlah pakaianmu, jauhkanlah kejahatan" (Q.S. al-Mudatsir: 4-5),

Firman Allah SWT: "Siapkan bagi mereka sesanggupmu suatu kekuatan" (al-Anfal: 60) Juga firman Allah SWT: "Makan dan minumlah dan jangan kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak suka orang-orang yang berlebih-lebihan". (al-a'raf: 31) juga firman Allah SWT: "Ibu-ibu baruslah menyusukan anak-anaknya dua tahun penuh". (al-Baqarah: 233) Sabda Rasulullah SAW: "Cukuplah dosa manusia bahwa ia menyia-nyiakan orang yang barus diberinya makan”. (Abu Daud, al-Nasa'i dan al-Mukmin). Juga Sabda Nabi SAW: "Jika anjing menjilat bejana kamu bendaklah ia menyiramnya kemudian dibasuhinya tujuh kali". Sabda Rasulullah SAW: "Jika seseorang kamu minum janganlah ia bernafas dalam bejana". Juga sabda Rasuluflah SAW: "Jika kamu mendengar berita ta'un di suatu negeri maka janganlah kamu memasukinya dan jika kamu berada di suatu negeri (sedang taun datang ke situ) janganlah kamu keluar dari negeri itu”. Juga sabda Rasulullah SAW: "Kami adalah suatu kaum yang tidak makan kecuali kalau sudah lapar dan kalau kami makan kami tidak kenyang". Juga' sabda Rasulullah SAW: "Anak Adam tidak mengisi suatu bejana yang lebik buruk dari pada perutnya”. Juga sabda Rasuluflah SAW: "Berobatlah, sebab yang menciptakan penyakit juga menciptakan obat”. (H.R. Ahmad). Juga sabda Rasulullah SAW: "Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebik disukai oleh Allah, daripada orang mukmin yang lemah". Juga sabda Rasuluflah SAW: "Ajarkanlah kepada anak-anak kalian renang, melempar lembing (tombak) dan menunggang kuda". Juga Sabda Rasulullah SAW: "Kebersihan itu adalah sebagian dari iman”.

Mendidik jasmani dalam Islam, memiliki dua tujuan sekaligus yaitu: pertama, membina tubuh sehingga mencapai pertumbuhan secara sempurna. Kedua, mengembangkan energi potensial yang dimiliki manusia berlandaskan fisik, sesuai dengan perkembangan fisik manusia.

2. Dimensi Akal

AI-Ishfahani, membagi akal manusia kepada dua macam yaitu:

• Aql al-Matbbu’, yaitu akal yang merupakan pancaran dari Allah sebagai fitrah illahi. Akal ini menduduki posisi yang sangat tinggi, namun demikian, akal ini tidak akan bisa berkembang dengan baik secara optimal, bila tidak dibarengi dengan kekuatan akal lainnya, yaitu aql al-masmu’.

• Aql al-masmu', yaitu akal yang merupakan kemampuan menerima yang dapat dikembangkan oleh manusia. Akal ini bersifat aktif dan berkembang sebatas kemampuan yang dimilikinya lewat bantuan proses perinderaan, secara bebas. Untuk mengarahkan agar akal ini tetap berada dijalan Tuhannya, maka keberadaan akan masmu' tidak dapat dilepaskan.

Sedangkan fungsi akal manusia terbagi kepada enam yaitu:

• Akal adalah penahan nafsu. Dengan akal manusia dapat mengerti apa yang tidak dikehendaki oleh amanat yang dibebankan kepadanya sebagai kewajiban.

• Akal adalah pengertian dan pemikiran yang berubah-ubah dalam menghadapi sesuatu baik yang tampak jelas maupun yang tidak jelas.

• Akal adalah petunjuk yang dapat membedakan hidayah dan kesesatan.

• Akal adalah kesadaran batin dan pengaturan.

• Akal adalah pandangan batin yang berdaya tembus melebihi penglihatan mata.

• Akal adalah daya ingat mengambil dari yang telah lampau untuk masa yang akan dihadapi, la menghimpun semua pelajaran diri apa yang pernah terjadi untuk menghadapi apa yang akan terjadi, la menyimpan, mewadahi, memulai dan mengulangi semua pengertian itu. Akal dapat memahami setiap perintah kebajikan dan memahami setiap larangan mengenai kejahatan.

Meskipun demikian kemampuan akal cukup terbatas. Pada dimensi ini, akal memerlukan bantuan al-qalb. Sebab dengan al-qalb tersebut, manusia dapat merasakan eksistensi arti immaterial dan kemudian menganalisanya lebih lanjut.

Dalam dunia pendidikan, fungsi intelektual atau kemampuan akal manusia atau peserta didik dikenal dengan istilah kognitif. Istilah kognitif berasal dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti mengetahui. Dalarn arti yang luas kognisi ialah peroleh, penataan dan penggunaan pengetahuan. Kognitif sebagai salah satu peranan psikologis yang berpusat di otak meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan dan keyakinan.

Mendidik akal, tidak lain adalah mengaktualkan potensi dasamva. Potensi dasar itu sudah ada sejak manusia lahir, tetapi masih berada dalam alternatif: berkembang menjadi akal yang baik, atau sebaliknya tidak berkembang sebagaimana mestinya. Dengan pendidikan yang baik, akal yang masih berupa potensi akhirnya menjadi akal yang siap dipergunakan. Se-baliknya, membiarkan potensi akal tanpa pengarahan yang positif, akibatnya bisa fatal. Karenanya pendidikan akal memiliki arti yang penting dibatasi pandangan akal itu. Dengan demikian tenaga akal itu akan terhindar dari cengkraman hal-hal yang gaib yang tidak bisa dijangkaunya. Islam memberi kemungkinan kepada manusia untuk mengetahui hal-hal yang gaib, tapi itu merupakan kemampuan roh, sedangkan akal hanya mampu menangkap dan menghayati hal-hal yang kon-krit yang dapat ditangkap oleh indra. Maka dalam Islam sumber pengetahuan dan kebenaran itu bukan dari akal, karena banyak hal lain yang, tidak dapat dijangkau oleh akal.

Adapun tujuan pendidikan akal, berdasarkan semangat Islam secara utuh, adalah akal yang sempurna menurut ukuran ilmu dan takwa. Dengan kata lain, setelah mengalami pendidikan dalam arti yang luas, akal seseorang diharapkan mencapai tingkat perkembangan yang optimal, sehingga mampu berperan sebagaimana yang diharapkan, yaitu untuk berpikir dan berzikir.

Dalam. AI-Qur'an tidak kurang dari 300 kali Allah memperingatkan manusia untuk menggunakan akalnya dalam memperhatikan alam semesta. Di antaranya adalah seperti firman Allah SWT:

"Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) terdapat dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mempergunakan akal". (Q.S. An-Nahl: 12)

Melalui ayat di atas, Allah mengajak manusia untak mengembangkan dan mempergunakan akalnya semaksimal mungkin untuk mengenal dan memanfaatkan alam semesta untuk kepentingan hidupnya. Dengan dasar ini, jelaslah bahwa materi dalam pendidikan akal adalah seluruh alam ciptaan Allah meneliti sekalian makhluk-Nya dengan penuh kesempurnaan, memberi indikasi bahwa tujuan akal yang sebenarnya adalah untuk meyakini, mengakui dan mempercayai eksistensi Allah. Inilah yang merupakan ciri khas pendidikan Islam, yaitu internalisasi (penanaman) dan transformasi (pembentukan) nilai-nilai ilahi ke dalam diri peserta didik.

3. Dimensi Keberagamaan    ,

Manusia adalah makhluk yang berketuhanan atau disebut homodivinous (makhluk yang percaya adanya Tuhan) atau disebut juga homoreligious artinya makhluk yang beragama. Berdasarkan hasil riset dan observasi, hampir seluruh ahli ilmu jiwa sependapat bahwa pada diri manusia terdapat semacam keinginan dan kebutuhan yang bersifat universal, Kebutuhan ini melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya, bahkan mengatasi kebutuhan akan kekuasaan. Keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan kodrati, berupa keinginan untuk mencintai dan dicintai Tuhan.

Dalam pandangan Islam, sejak lahir manusia telah mempunyai jiwa agama, jiwa yang mengakui adanya zat yang Maha Pencipta dan Maha Mutlak yaitu Allah SWT. Sejak di dalam roh, manusia telah mempunyai komitmen bahwa Allah adalah tuhannya. Pandangan ini bersumber pada firman Allah SWT:

"Dan (ingatlah), ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?. "Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi", (kami lakukan yang demikian itu) agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Allah)". (Q.S. al-A'raf: 172)

Muhammad Hasan Hamshi, menafsirkan fitrah pada ayat di atas dengan ciptaan Allah, yaitu bahwa manusia dicipta-kan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Pandangan tersebut diperkuat oleh Syeh Muhammad Abduh dalam tafsirnya yang berpendapat bahwa agama Islam adalah agama fitrah. Demikian juga Abu Ala al-Muadudi menyatakan bahwa agama Islam identik dengan watak tabi'i (human nature).

Islam memandang ada suatu kesamaan di antara sekian perbedaan manusia. Kesamaan itu tidak pernah akan berubah karena pengaruh ruang dan waktu. Yaitu potensi dasar beriman (aqidah tauhid) kepada Allah. Aqidah tauhid merupakan fitrah (sifat dasar) manusia sejak misaq dengan Allah. Sehingga manusia pada prinsipnya selalu ingin kembali kepada sifat dasarnya meskipun dalam keadaan yang berbeda-beda.

Pandangan Islam terhadap fitrah inilah yang membedakan kerangka nilai dasar pendidikan Islam dengan yang lain. Dalam, konteks makro, pandangan Islam terhadap kemanusiaan ada tiga implikasi dasar yaitu: Pertama, implikasi yang berkaitan dengan pendidikan di masa depan, di mana pendidikan diarahkan untuk mengembangkan fitrah seoptimal mungkin dengan tidak mendikotomikan materi. Kedua, tujuan (ultimate goal) pendidikan, yaitu muttaqin yang akan tercapai bila manusia menjalankan fungsinya sebagai abdullah dan khalifah sekaligus. Ketiga, muatan materi dan metodologi pendidikan, diadakan spesialisasi dengan metode integralistik dan disesuaikan dengan fitrah manusia.

Manusia adalah hasil dari proses pendidikan yang mempunyai tujuan tertentu. Tujuan pendidikan akan mudah tercapai kalau ia mempunyai kesamaan dengan sifat-sifat dasar dan kecenderungan manusia pada obyek-obyek tertentu. Menurut Abdurrahman Shaleh Abdullah, praktek kependidikan yang tidak dibangun di atas dasar konsep yang jelas tentang sifat dasar manusia pasti akan gagal.

Berkaitan dengan sifat dasar inilah pendidikan Islam dirumuskan untuk membentuk insan muttaqin yang memiliki keseimbangan dalam segala hal berdasarkan iman yang mantap untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

4. Dimensi Akhlak

Salah satu dimensi manusia yang sangat diutamakan dalam pendidikan Islam adalah Ahlak. Pendidikan agama berkaitan erat dengan pendidikan akhlak. Tidak berlebih-lebihan kalau kita katakan bahwa pendidikan akhlak dalam pengertian

Islam adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan agama. Sebab yang baik adalah yang dianggap baik oleh agama dan yang buruk adalah apa yang dianggap buruk oleh agama. Sehingga nilai-nilai, akhlak-akhlak, keutamaan akhlak dalam masyarakat Islam adalah akhlak dan keutamaan yang diajarkan oleh agama. Sehingga seorang muslim tidak sempurna agamanya bila akhlaknya tidak baik. Hampir-hampir filosof-filosof pendidikan Islam sepakat, bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Sebab bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Sebab salah satu tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah pembinaan ahlak al-karimah.

Menurut Iman al-Ghazali, bahwa akhlak yang disebutnya dengan tabiat manusia dapat dilihat dalam dua bentuk, yaitu: (1) tabiat-tabiat fitrah, kekuatan tabiat pada asal kesatuan tubuh dan berkelanjutan selama hidup. Sebagian tabiat tersebut lebih kuat dan lebih lama dibandingkan dengan tabiat lainnya. Seperti tabiat syahwat yang ada pada manusia sejak ia dilahirkan, lebih kuat dan lebih sulit diluruskan dan diarahkan dibanding tabiat marah. (2) Akhlak yang muncul dari suatu perangai yang banyak diamalkan dan ditaati, sehingga menjadi bagian dari adat kebiasaan yang berurat berakar pada dirinya.

Akhlak menurut pengertian Islam adalah salah satu hasil dari iman dan ibadat, karena iman dan ibadat manusia tidak sempurna kecuali kalau dari situ muncul akhlak yang mulia. Maka akhlak dalam Islam bersumber pada iman dan taqwa dan mempunyai tujuan langsung, yang dekat yaitu harga diri dan tujuan jauh, yaitu ridha Allah SWT.

Adapun ciri akhlak Islam antara lain: (1) bersifat menyeluruh (universal). Akhlak Islam adalah suatu metode (minhaj) yang sempurna, meliputi seluruh gejala aktifitas biologis perseorangan dan masyarakat. Meliputi segala hubungan manusia dalam segala segi kehidupannya, baik hubungan dengan Tuhan, dengan manusia, mabluk lainnya dan dengan alam. (2) Ciri-ciri keseimbangan Islam dengan ajaran-ajaran dan akhlaknya menghargai tabiat manusia yang terdiri dari berbagai dimensi memperhatikan seluruh tuntutannya dan kemaslahatan dunia dan akhirat. (3) Bersifat sederhana. Akhlak dalam Islam berciri kesederhanaan dan tidak berlebihan pada salah satu aspek. Ciri ini memastikan manusia berada pada posisi pertengahan, tidak berlebih lebihan dalam suatu urusan dan tidak pula bakhil. (4) Realistis. Akhlak Islam sesuai dengan kemampuan manusia dan sejalan dengan naluri yang sehat. Islam tidak membebankan manusia kecuali sesuai dengan kemampuannya dan dalam batas-batas yang masuk akal. (5) Kemudahan. Manusia tidak dibebani kecuali dalam‘batas-batas kesanggupan dan kekuatannya, ia tidak dianggap bertanggung jawab dari akhlak (moral) dan syara' kecuali jika berada dalam keamanan, kebebasan dan kesadaran akal yang sempurna. (6) Mengikat kepercayaan dengan amal, perkataan dan perbuatan dan teori dan praktek. (7) Tetap dalam dasar-dasar dan prinsip-prinsip akhlak umum. Akhlak Islam kekal sesuai dengan zaman dan cocok untuk segala waktu, ia tidak tunduk pada perubahan dan pertukaran sesuai dengan hawa nafsu.

Pembentukan akhlak yang mulia merupakan tujuan utama pendidikan Islam. Hal ini dapat ditarik relevansinya dengan tujuan Rasulullah diutus oleh Allah:"Bahwasanya saya diutus untuk menyempurnakan budi pekerti". (HR. Bukhari).

Tujuan dari pendidikan ahlak dalam Islam adalah untuk membentuk manusia yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam bicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci. Dengan kata lain pendidikan akhlak bertujuan untuk melahirkan manusia yang memiliki keutamaan (iai-fadhilah). Berdasarkan tujuan ini, maka setiap saat, keadaan, pelajaran, akifitas, merupakan sarana pendidikan akhlak. Dan setiap pendidik harus memelihara akhlak dan memperhatikan akhlak di atas segala-galanya.

Pendidikan akhlak dalam. Islam telah dimulai sejak anak dilahirkan, bahkan sejak dalam kandungan. Perlu disadari bahwa pendidikan akhlak itu terjadi melalui semua segi pengalaman hidup, baik melalui penglihatan, pendengaran dan pengalaman atau perlakuan yang diterima atau melalui pendidikan dalam arti yang luas. Pembentukan akhlak dilakukan setahap demi setahap sesuai dengan irama pertumbuhan dan perkembangan, dengan mengikuti proses yang alami.

5. Dimensi Rohani (Kejiwaan)

Dimensi kejiwaan merupakan suatu dimensi yang sangat penting, dan memiliki pengaruh dalam mengendalikan keadaan manusia agar dapat hidup sehat, tentram dan bahagia. Pen-ciptaan manusia mengalami kesempurnaan setelah Allah meniupkan sebagian ruh ciptaan-Nya.

Firman Allah SWT:

"Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan kedalamnya ruh-Ku, maka tunduk sujudlah kamu kepadanya". (Q.S. al-Hajr: 29)

Sehubungan dengan ayat di atas al-Ghazali menjelaskan: Insan adalah makhluk yang diciptakan dari tubuh yang dapat dilihat oleh pandangan dan jiwa yang bisa ditanggapi oleh akal dan bashirah. Tetapi tidak dengan panca indera. Tubuhnya dikaitkan dengan tanah dan ruhnya pada nafs atau diri/jiwanya. Allah maksudkan ruh itu ialah apa yang kita ketahui sebagai jiwa atau an-nafs".

AI-Ghazali membagi roh kepada dua bentuk: (1) al-ruh, yaitu daya manusia untuk mengenal dirinya sendiri, mengenal tuhannya dan mencapai ilmu pengetahuan, sehingga- dapat menentukan manusia berkepribadian, berakhlak mulia serta menjadi motivator sekaligus penggerak bagi manusia dalam melaksanakan perintah Allah SWT; (2) al-nafs yang berarti panas alami yang mengalir pada pembuluh-pembuluh nadi, otot-otot dan syaraf manusia, la, sebagai tanda adanya kehidupan pada diri manusia. Al-nafs dalam konteks ini diistilahkan dengan nyawa (al-hayat), yang membedakan manusia dengan benda mati, tapi tidak membedakannya dengan makhluk lain seperti hewan dan tumbuhan, karena sama-sama memiliki al-nafs. Akan tetapi berbeda pada tingkat esensial antara al-nafs, manusia sebagai makhluk mulia, dengan makhluk lainnya yang sama-sama memiliki al-nafs.

Sedangkan Al-Shari'ati menyebut roh yang ditiupkan kepada manusia adalah the spirit of God (rub Ilahi). Roh ini bersifat metafisis (gaib), dinamis, menghidupkan dan "luhur" di atas. Dengan sifatnya yang dinamis, memungkinkan manusia untuk meraih derajat yang setinggi-tingginya. Atau menjerumuskan diri pada derajat yang serendah-rendahnya. Manusia memiliki kehendak bebas (the freedom of will) untuk mendekatkan diri ke kutub "Roh Ilahi" atau, ke arah kutub "tanah".

Firman Allah SWT:


"Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan pada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya" (Q.S. Al-Syamsu: 7-10)

Berdasarkan ayat di atas dapat dilihat bahwa roh manusia itu bisa berkembang ke taraf yang lebih tinggi apabila manusia berusaha ke arah itu. Menurut al-Ghazali jalan ke arah itu adalah dengan peningkatan iman, amal dan mempererat hubungan yang terus menerus dengan Allah SWT, melalui ibadah terus menerus, zikir, tilawah al-Qur'an dan doa atau dengan kata, lain melalui peningkatan keberagamaan. Dengan memperbanyak ibadah maka rohani manusia akan mencapai kebahagiaan dan ketentraman yang tiada taranya.

Setiap manusia dalam hidupnya menginginkan kebahagiaan dan pada hakikatnya setiap usaha, yang dilakukan oleh manusia, adalah dalam rangka mewujudkan kebahagiaan tersebut.

Berbagai usaha telah dilakukan manusia untuk mencari kebahagiaan. Dengan akal, ilmu pengetahuan, teknologi dan berbagai fasilitas telah berhasil, diciptakan manusia, untuk menunjang kehidupannya, namun kebahagiaan tetap tidak diperoleh. Malahan berbagai fasilitas tersebut dapat menimbulkan berbagai problema dan kesulitan. Secara fisik materiil kebututan manusia terpenuhi, namun secara mental spiritual mengalami pendangkalan. Padahal dimensi mental spiritual inilah yang mampu menjamin kebahagiaan manusia. Islam dengan enam pokok keimaman (arkanul iman), dan lima pokok ajarannya (iarkamul Islam) memupuk dan mengembangkan fungsi-fungsi kejiwaan dan memelihara keseimbangannya serta menjamin ketentraman batin.

Oleh karena itu maka dalam rangka terlaksana usaha untuk mewujudkan kebahagiaan tersebut adalah dengan pendidikan agama. Yang dimaksud dengan pendidikan agama tidak hanya upaya untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan agama, tapi sekaligus upaya untuk menanamkan nilai keagamaan dan membentuk sikap keagamaan sehingga menjadi bagian dari kepribadian mereka.

6. Dimensi seni (keindahan)

Seni adalah ekspresi roh dan daya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Seni adalah bagian dari hidup manusia. Allah telah menganugerahkan kepada manusia berbagai potensi rohani maupun indrawi (mata, telinga dan lain sebagainya). Seni sebagai salah satu potensi rohani, maka nilai seni dapat diungkapkan oleh perorangan sesuai dengan kecenderungannya, atau oleh sekelompok masyarakat sesuai dengan budayanya, tanpa adanya batasan yang ketat kecuali yang digariskan Allah.
Firman Allah SWT:

"Maha Suci Allah dari segala kekurangan dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan". (Q.S. AI-Nahl: 1)

Sebagai manifestasi dan refieksi dari kehidupan manusia, maka seni merupakan sarana bagi manusia untuk mencapai tujuan hidupnya, yaitu untuk beribadah kepada Allah dan melaksanakan fungsi kekhalifahannya di atas dunia ini. Jadi tujuan seni bukanlah untuk seni, tapi memiliki tujuan jangka panjang yaitu kebahagiaan spiritual dan material manusia di dunia dan di akhirat serta menjadi rahmat bagi segenap alam di bawah naungan keridhaan Allah SWT.

Dimensi seni (keindahan) pada diri manusia tidak boleh diabaikan. Sebaliknya perlu ditumbuhkan, karena keindahan itu akan menggerakkan batinnya, memenuhi relung-relung hatinya, meringankan beban kehidupan yang kadang menjemukan, dan menjadikan merasakan keberadaan nilai-nilai, serta lebih mampu menikmati keindahan hidup.

Keberadaan seni dalam Islam telah diperlihatkan langsung oleh Allah SWT lewat tuntunan-Nya yaitu al-Qur'an, nilai keindahan al-Qur'an yang maha mulia menunjukkan kehadiran Ilahi dalam objek pengetahuan manusia. Karena al-Qur'an adalah ekspresi kebijaksanaan dan pengetahuan Allah, tuntunan dan petunjuk-Nya, kehendak dan perintah-Nya. Keindahan al-Qur'an dapat dilihat dari segi kekuatan teksnya untuk menundukkan dan mengatasi setiap perbandingan maupun dari segala sastranya, merupakan bukti ke-ilahian. Hal inilah yang merupakan kemukjizatan al-Qur'an. Sebuah mukjizat yang bersifat universal. Ia ditunjukkan kepada seluruh manusia di setiap masa dan setiap orang mampu untuk menangkap dan mengapresiasikannya jika ia mempunyai pembawaan yang kuat untuk merasakan keindahan.
Firman Allah SWT:

"Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu, padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan". (AI-Nahl: 5)

Ayat tersebut menjelaskan hikmah dan manfaat binatang. Kemudian pada ayat berikutnya Allah SWT berfirman:


"Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kami melepaskannya ke tempat pengembalaan”. (Q.S. AI-Nahl: 6)

Ayat ini mengingatkan sisi keindahan yang mengingatkan keindahan Rabbani yang digambarkan langsung oleh Sang Pencipta, yaitu Allah SWT.

Islam tidak hanya mengajak manusia untuk merasakan keindahan, mencintai dan menikmatinya, tapi juga menekankan agar manusia mengungkapkan perasaan dan kecintaan itu yang juga merupakan suatu keindahan.

Nilai keindahan sangat erat kaitannya dengan keimanan. Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, ia semakin mampu untuk menyaksikan dan merasakan keindahan yang dicipta-kan Allah di alam. Seorang mukmin juga mendntai keindahan, karena Rabbnya mencintai yang indah. Allah itu indah dan mencintai yang indah. Seni bagi seorang mukmin adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan keimanan, bukan menjadi sesuatu yang dapat menimbulkan kelalaian dan kesombongan yang dibenci oleh Allah dan manusia. Oleh karena, itu seorang pendidik hendaklah mampu mengarahkan peserta didiknya untuk dapat mengembangkan dimensi seni, baik dalam bentuk bimbingan untuk merasakan dan menghayati nilai-nilai seni yang ada pada alam ciptaan Allah (qur'any dan kauniy), maupun memotivasi mereka agar mampu mengungkapkan nilai-nilai seni tersebut sesuai dengan bakat dan kemampuan mereka masing-masing.

7. Dimensi Sosial

Seorang manusia adalah makhluk individual dan secara bersamaan adalah mahluk sosial. Keserasian antar individu dan masyarakat tidak mempunyai kontradiksi antara tujuan sosial dan tujuan individu. Dalam Islam tanggung jawab tidak terbatas pada perorangan, tapi juga social sekaligus. Tanggung jawab perorangan pada pribadi merupakan asas, tapi ia tidak mengabaikan tanggung jawab sosial yang merupakan dasar pembentuk masyarakat.

Setiap individu adalah bagian dari kelompoknya. Kelompok terkecil dalam masyarakat adalah keluarga. Individu merupakan bagian integral dari anggota kelompok di dalam masyarakat atau keluarga, atau sebagai anggota keluarga dan pada waktu yang sama, sebagai anggota masyarakat. Kelompok yang paling penting dan besar pengaruhnya adalah keluarga. Karena Perkembangan dimensi sosial telah dimulai semenjak lahir. Dalam perkembangan sosial, setiap individu menempatkan dirinya di antara banyak individu lainnya. Maka agen sosialisasi bagi seorang anak adalah ibu dan bapaknya. Setiap orang tua harus menyadari bahwa setiap interaksinya dengan anak merupakan kesempatan-kesempatan baik untuk menanamkan benih-benih penyesuaian sosial dan pembentukan watak yang dapat menghasilkan buah, sesuatu yang sangat berharga dalam interaksi kemanusiaan. Sebelum anak menyadari dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, stimulan sosial yang diberikan sangat berpengaruh terhadap pembentukan jiwa sosial selanjutnya. Bahkan kecepatan perkembangan sosial anak tergantung pada pemeliharaan sebelum lahir, yaitu bagaimana reaksi orang-orang di sekitarnya terutama orang tua baik yang disadari atau tidak disadari terhadap keberadaannya, .dan kemudian dilanjutkan pendidikan setelah lahir.

Pendidikan sosial ini melibatkan bimbingan terhadap tingkah laku sosial, ekonomi dan politik dalam rangka aqidah Islam yang betul dan ajaran-ajaran dan hukum-hukum agama yang dapat meningkatkan iman, taqwa, takut kepada Allah dan mengerjakan ajaran-ajaran agamanya yang mendorong kepada produksi, menghargai waktu, jujur, ikhlas dalam perbuatan, adil, kasih sayang, ihsan, mementingkan orang lain, tolong menolong, setia kawan, menjaga kemaslahatan umum, cinta tanah air dan lain-lain lagi bentuk akhlak yang mempunyai nilai sosial.

Didalam al-Qur'an dan hadits ditemukan prinsip-prinsip tentang pendidikan sosial. Sabda Rasulullah SAW:

"Perumpamaan orang-orang beriman yang saling cinta, tolong menolong, dan kasih sayang di antara mereka adalah bagaikan suatu tubuh. Bila salah satu bagian dan tubuh kita itu merasakan kesakitan, maka seluruh tubuh akan merasakannya pula dengan menderita demam, dan tidak dapat tidur".

Ikatan kemasyarakatan yang kuat mendorong setiap orang untuk berbuat menolong, sesamanya, bila ditimpa musibah dan kemalangan. Perbuatan demikian merupakan pencerminan keimanan seseorang, seperti tercermin dalam ungkapan Nabi melalui sabdanya:

"Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman. Maka ditanyakan oleh para sahabat: "Siapakah ia, ya Rasulullah ? " Beliau menjawab: "Orang yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, padahal ia mengetahuinya".

Masyarakat yang baik menurut pengertian Islam, adalah masyarakat yang ikut merasakan kesulitan-kesulitan orang lain. Tumbuhlah kemudian rasa cinta dan solider terhadap sesamanya. Yang kaya harus menolong yang miskin, sedangkan orang yang kuat harus menolong kepada yang lemah. Disebutkan oleh Rasulullah SAW, tentang dasar-dasar solidaritas sosial:

"Barang siapa yang membebaskan seorang mukmin dari suatu kesukaran (musibah), maka Allah akan membebaskan dirinya dari kesukaran-kesukaran hari kiamat". "Barang siapa yang meringankan bebannya di dunia dan akhirat". "Barang siapa yang menutupi cacat (kejelekan) orang Islam, maka Allah akan menutupi cacatnya di dunia dan di akhirat". "Sesungguhnya Allah akan menolong hamba-Nya selama bamba-Nya itu suka menolong saudaranya".

Solidaritas sosial mengandung pengertian yang dalam, baik yang menyangkut rasa mencintai dan merasakan kepada penderitaan orang lain, berusaha meringankan beban yang dipikul mereka, sampai menyangkut sikap menutupi kelemahan dan cacat dalam tubuh mereka. Sikap ini tidak mungkin timbul bila keimanan tidak tumbuh dalam diri seorang muslim. Karena itulah Rasulullah SAW bersabda: yang artinya: ''Tidak beriman salah seorang dari kalian, hingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri".

Demikianlah sistem pendidikan Islam, diharapkan dapat membentuk peserta didik yang beriman, yang memiliki pribadi utama dan seimbang dalam keseluruhan dimensi kehidupan peserta didik. Selaras dan seimbang karena segenap dimensi dan potensi yang ada padanya bekerja dan berfungsi sesuai dengan batas kemampuan masing-masing.

D. Keutamaan Belajar

Belajar merupakan sebuah proses penting dal'am kehidupan manusia, karena memang adanya manfaat yang nyata dan besar dalam mengembangkan potensi yang terkandung dalam setiap diri manusia. Sehingga tidak heran jika Islam sangat menaruh perhatian akan urgensi belajar bagi setiap manusia, bahkan Islam telah mewajibkan untuk belajar.

Imam al-Ghazali memandang bahwa belajar merupakan sebuah kegiatan yang mulia dan terpuji. Ia menyandarkan pendapatnya ini pada sebuah teks QS. at-Taubah: 122 yang berbunyi:25


"Mengapa tidak pergi tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama".

Ada beberapa teks yang menyatakan:26

• Artinya: "Barangsiapa menjalani suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka dianugerahi Allah kepadanya jalan ke surga".

• Artinya: "Sesungguhnya malaikat itu membentangkan sayapnya kepada penuntut ilmu, tanda rela dengan usahanya itu".

• Artinya: "Bahwa sesungguhnya engkau berjalan pergi mempelajari suatu bab dari ilmu adalah lebih baik baginya dari dunia dan isinya".

• Artinya: "Menuntut ilmu itu wajib atas tiap-tiap muslim laki-laki dan perempuan".

• Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar ra. Nabi bersabda: "Menghadiri majlis orang berilmu, lebih utama daripada mendirikan shalat seribu rakaat, mengunjungi seribu orang sakit dan bertakziah seribu jenazah". Lalu orang bertanya: "Wahai rasulullah, dari membaca Al-Qur'an?" Maka Nabi menjawab: "Adakah berguna al-Qur'an itu selain dengan ilmu?"

Artinya: "Barang siapa meninggal dunia sedang menuntut ilmu untuk menghidupkan Islam, maka antara dia dengan nabi-nabi dalam surga sejauh satu tingkat".

• Berkata Ibnu Mubarak ra.: "Aku heran orang yang menutut ilmu, bagaimana ia mau membawa dirinya kepada kemuliaan".

• Abu Darda' berkata: "Lebih suka saya mempelajari satu masalah daripada beribadah satu malam".

• Ia menambahkan: "Orang yang berilmu dan orang yang menuntut ilmu berserikat pada kebajikan. Dan manusia lain adalah bodoh, tak ada kebajikan padanya".

• Ia berkata juga: "Barang siapa berpendapat bahwa pergi menuntut ilmu bukan jihad, maka adalah dia orang yang kurang pikiran dan akal".

• Atha' berkata: "Majelis ilmu pengetahuan itu menutupkan tujuh puluh majelis yang sia-sia".

• Imam Asy-Syafi'i berkata: "Menuntut ilmu itu lebih utama daripada berbuat ibadah sunnah".

Dari beberapa teks tersebut, dapatlah diambil pemahaman bahwa belajar mempunyai peranan yang penting'-dalam kehidupan manusia, karena dengan belajar orang bisa pandai, ia dapat mengetahui sesuatu yang sebelumnya ia belum mengetahui dan memahaminya. Dan selain belajar merupakan perbuatan yang mulia, ia juga dinilai suatu ibadah di-hadapan Allah. Selain itu masih banyak lagi keutamaan orang yang berilmu dan menuntut ilmu.

Sehingga tidak heran apabila ada teks yang menyatakan bahwa ilmu yang merupakan hal terpenting dalam tujuan sebuah pendidikan, teks itu adalah:

"Barangsiapa menghendaki dunia, maka hendaklah dengan ilmu, barangsiapa menghendaki akhirat hendaklah dengan ilmu pula, dan barangsiapa yang mengendaki keduanya, maka haruslah dengan ilmu".

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ahwani, ٨١٦٨٦^^ Fuad. Al-Tarbiyah fi al-Islam. Kairo: ٩٢،ه al-Ma'arif, tt.
Al-Ghazali. Ihya 'Ulumuddin, Jus II. tnp., tnt., tt
Al~Ghazaii. Ihya 'Ulumuddin, Jus III. tnp., tnt., tt
Al-Zarnuzi. Burhan al-Islam, Ta'lirn al-Muta'allim fi Thariq al-Ta'allum. Surabaya: Salim Nabhan, tt. 
Arifin, Prof., HM., M.Ed. Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003.

Arifin, Muzayyin, Prof. H., M. Ed. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2005.
Busro, Muhtarom, Drs. Shorof Praktis; Metode Krapyak. Yogyakarta: Menara Kudus, 2003.
Darjat, Zakiyah, Dr. dkk. Ilmu Pendidikan Islam, cet. keenam. Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
Daryanto, Drs. H.M. Administrasi Pendidikan. Jakarta: Rieneka Cipta, 2005.
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur'an dan Terjemahannya. Bandung: Gema Risalah Press, 1989.
Jalaluddin, Dr., dan Said, Usman, Drs. Filsafat Pendidikan Islam; Konsep dan Perkembangan Pemikirannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.

Langgulung, Hasan, Prof., Dr. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988.
Mujib, Abdul, Dr., M.Ag., dan Mudzakkir, Jusuf, Dr.,M.Si.
Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006.
Munardji, H. Drs., M.Ag. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Ilmu, 2004.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir. tnp., Yogyakarta, 1984.
Ramayulis, Prof, Dr. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 1998.
Ramayulis, Prof, Dr. Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat. Jakarta: Kalam Mulia, 2004.
Soebahar, Abd. Halim, Drs. H., MA. Wawasan Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
Suryabrata, Sumadi, Drs. B.A., M.A., Ed.S., Ph.D. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press, 2004.
Tafsir, Ahmad, Dr. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, cet. keenam. Bandung: PT. Rosda Karya, 2005.
Uhbiyati, Nur, Hj., Dra. Ilmu Pendidikan Islam I. Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Uhbiyati, Nur, Hj., Dra. Ilmu Pendidikan Islam II. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Zuhairini, Dra, dkk,. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:Bumi Aksara, 2004.
Zaini. Landasan Kependidikan. Yogyakarta: Mitsaq Pustaka, 2011.

1Abdul Mujib, dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 20.

2Abd. Halim Soebahar., Wawasan Baru Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 4.

3Ibid.

4Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 20-21.

5Ibid.

6Abdul Mujib, dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 12-13.

7Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), him. 25-26, bandingkan dengan Munardji, Ilmu pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu 2004), hlm. 8.

8Munardji, Ilmu pendidikan Islam., hlm. 7.

9Ibid., hlm. 26-27.

10Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam I (Bandung: Pustaka Setia, 1998), him. 17.

11Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), him. 12.

12Ibid., hlm. 12-13.

13Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 31.

14Jalaluddin, dan Said Usman, Filsafat Pendidikan Islam; Konsep

15dan Perkembangan Pemikirannya (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 37.

16Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam

17(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 33-38.

18Zakiyah darajat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. keenam (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), him. 20, dan bandingkan dengan Munardji, Ilmu pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), hlm. 50.

19Ibid., hlm. 40.

20Ibid.

21Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam

22(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm, 43.

23Abdul Mujib, dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam,, hlm. 44

24Ibid., hlm. 46.

25Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), hlm. 62.

26Ibid., bandingkan dengan Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 62.

27Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam

28Mulia, 2004), hlm. 62.

29Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet Keempat (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), him. 65., dan perjelas dalam Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), hlm. 23.

30Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 71.

31Zakiyah Darajat dkk, Ilmu Pendidikan Islam, cet. keenam (Jakarta:

32Bumi Aksara, 2006), hlm. 29.

33Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, cet. keenam

34(Bandung: PT. Rosda Karya, 2005), hlm. 46.

35Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm. 119.

36Lebih jelas lihat dalam Jalaluddin, dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam; Konsep dan Perkembangan Pemikirannya (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 38-39.

37Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, cet. Keempat, 2004), hlm. 65.

38Munardji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), hlm. 53.

39Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, cet. keenam (Bandung: PT. Rosda Karya, 2005), hlm. 46.

40Munardji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), hlm. 53-54.

41Ramayulis, 1998, Ibid, him. 26, lihat juga dalam Ramayulis, 2004, Ibid., hlm. 72.

42Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, cet. keenam

43(Bandung: PT. Rosda Karya, 2005), hlm. 47-48.

44Ibid., hlm. 80.

45Ibid., hlm. 81.

46Ibid., hlm. 85.

47Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 20.

48Zakiyah Darajat dkk, Ilmu Pendidikan Islam, cet. keenam (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hlm. 30-33, bandingkan dengan Abdul Halim Soebahar, Wawasan., hlm. 20-21.

49Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), him. 75. Bandingkan dalam Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm. 115.

50Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), him. 83.

51Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 85.

52Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), hlm. 86.

53Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 88.

54Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Keempat (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), hlm. 88.

55Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu, him. 90, bandingkan

56dengan Munardji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), hlm. 63.

57Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 90

58Munardji, Ilmu Pendidikan Islam., hkm. 63.

59Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu, him. 91, bandingkan dengan Munardji, Ilmu, him. 46 dan Ramayulis, Ilmu, 1998, Ibid, hlm. 45

60Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam., him.

61. 97-98, perjelas dalam Munardji, Ilmu., hlm. 69.

62Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 98

63Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), him. 48-49. Nampaknya pandangan ahli psikologi di atas menurut Lang-gulung dipengaruhi oleh pemikiran filsafat atau setidak-tidaknya memiliki kecenderungan-kecenderungan yang dipengaruhi berbagai

64faktor yang tidak senantiasa dapat dibuktikan secara empirik walaupun metodologi yang digunakan tidak keluar dari metodologi ilmiah.

65Ibid, him. 104. Istilah murid atau thalib ini sesungguhnya memiliki kedalaman makna daripada penyebutan siswa. Artinya, dalam proses pendidikan itu terdapat individu yang secara sungguh-sungguh menghendaki dan mencari ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa istilah murid dan thalib menghendaki adanya keaktifan pada peserta didik dalam proses belaiar mengajar, bukan pada pendik. Namun, dalam pepatah dinyatakan: "tiada tepuk sebelah tangan". Pepatah ini mengisyaratkan adanya active learning bagi peserta didik dan active teaching bagi pendidik, sehingga kedua belah pihak menjadi

66"gayung bersambung" dalam proses pendidikan agar tercapai hasil secara maksimal.

67Ibid, hlm. 115.

68Ibid.

69Ibid., hlm. 116-119. Lihat dalam Burhan al-Islam al-Zamuzi, Ta'lim al-Muta’allim ft Thariq al-Ta'allum (Surabaya: Salim Nabhan, tt), hlm. 15.

70Ibid., hlm, 107.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar